"Percaya sama papa, Ryan orang baik, papa yakin kalau kalian akan cocok nantinya. Lagian papa juga nggak mungkin asal memilih jodoh buat kamu, putri semata wayangnya papa.'
Teringat ucapan papa saat beliau memutuskan untuk menjodohkanku dengan Mas Ryan, awalnya aku menolak dengan tegas keinginan papa, bagaimana bisa aku menikah dengan seorang yang sama sekali belum pernah aku kenal. Terlebih dengan statusnya yang seorang duda dengan satu anak.
Atas paksaan papa dan juga mama akhirnya mau nggak mau aku terpaksa harus menerima Mas Ryan sebagai suamiku. Tentunya melalui banyak drama dariku yang berusaha agar papa luluh dan membatalkan niatannya itu. Namun ternyata tak seburuk bayanganku, aku mengira akan sulit menjalani pernikahan ini. Terlebih aku juga harus terpaksa menjadi ibu saat itu juga, aku tentu saja takut jika nantinya tidak bisa menjalani kewajibanku sebagai seorang ibu yang baik. Nyatanya ketakutanku terbantahakan pada akhirnya, karena justru kehadiran anak itu lah yang kini membuat hubungan kami berjalan dengan baik.
Kembali ke rutinitasku pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, karena beberapa hari terakhir aku selalu datang mepet waktu. Kesibukanku saat pagi memang memakan waktu yang cukup lama.
Mengurus suami serta anak terlebih dulu, nggak mungkin aku abai sama keperluan mereka terutama dalam hal makanan, sebisa mungkin aku membiasakan untuk sarapan bersama setiap pagi. Dan untuk itu tentu saja akulah yang harus menyiapkannya sendiri.
Karena tuntutan pekerjaan, aku diharus kan berangkat lebih dulu dari Mas Ryan, dan juga Alshad. Sebagai seorang guru di sekolah menengah atas, kami para pengajar dituntut untuk datang lebih awal dari para murid didik kami. Sebagai contoh bagi semua siswa di sekolah kami agar disiplin waktu.
Sudah jalan dua tahun aku mengabdikan diri sebagai pengajar, yang sebenarnya bukan cita-cita yang aku inginkan. Karena sesungguhnya cita-citaku sudah sepenuhnya aku realisasikan. Ini semua aku lakukan bukan murni dari hatiku, melainkan hanya sebagai bentuk penghargaanku kepada seseorang yang namanya bahkan sampai saat ini masih bertahta di dalam hatiku.
Apa aku jahat? Karena masih menyimpan perasaan kepada orang lain, padahal statusku sudah menjadi seorang istri. Aku sendiri tidak tau, ingin aku melupakannya dan mengganti dengan nama suamiku tapi tidak bisa.
Semakin aku berusaha melupakannya perasaan itu malah semakin kuat aku rasakan dan tak mungkin bisa tergantikan oleh siapapun.Sampai sekarang Mas Ryan tidak tau akan hal ini, yang dia tau hanya aku yang belum bisa mencintainya. Selebihnya dia tidak pernah mau tau tentang masa laluku. Tapi bukankah ini sudah adil? Sebab dirinya pun punya masa lalu yang sampai saat ini mungkin belum ada kata selesai di antara mereka. Karena sama seperti Mas Ryan, aku pun tidak pernah menanyakan perihal masa lalunya.
"Mas, sarapan sudah siap aku berangkat kerja dulu, ya," pamitku kepada Mas Ryan.
"Sarapan dulu, Nis, Nanti mas antar cuma nunggu sebentar bisa, kan?"
"Nggak usah Mas, aku langsung berangkat sendiri aja mumpung masih jam segini, belakangan aku mepet terus datangnya."
"Cuma lima menit, kamu juga pasti belum sarapan."
"Nggak sempat Mas, nanti aku sarapan di kantin saja," ucapku menolak tawarannya.
Aku segera mengulurkan tangan bermaksud untuk pamit kepadanya, namun Mas Ryan malah menarikku untuk duduk di sampingnya dan selanjutnya menyuapiku dengan makanan yang telah kusiapkan untuknya.
Akhirnya kami sarapan dalam diam, dengan Mas Ryan yang masih terus menyuapiku bergantian dengan dirinya sendiri. Dia melarang saat aku hendak mengambil piring untuk aku gunakan mengambil makananku sendiri.
"Biar mas saja kamu bawa Alshad, ke mobil dan juga barang-barang lainya jangan ada yang tertinggal," cegahnya saat aku akan membereskan meja makan.
Aku tidak bisa membantah setiap ucapannya, segera kuajak Alshad untuk bersiap dan menunggu di dalam mobil.
"Sudah semua kan? Nggak ada yang ketinggalan?" tanyanya setelah dia masuk dan duduk dibalik kemudi mobilnya.
Aku hanya menggeleng menanggapi pertanyaannya, agak kesal sebenarnya tapi entah kenapa aku selalu tidak bisa melawan setiap perintahmya. Sebenarnya apa yang terjadi sama diriku ini, kenapa aku bisa begitu menurut terhadapnya? Alam bawah sadarku seolah menolak setiap kali Mas Ryan bersikap seperti ini, tapi entah kenapa ragaku selalu saja tak berdaya dibuatnya. Sehingga selalu saja menurut dan seolah menikmati setiap tindakan yang dilakukan olehnya.
"Al, yang pintar ya sekolahnya nurut sama ibu guru dan nggak boleh rewel," pesanku ketika mengantar Alshad sampai depan pintu gerbang sekolahnya.
Setelah memastikan anak itu masuk dan disambut oleh gurunya, aku langsung kembali masuk mobil untuk melanjutkan kembali perjalanan menuju sekolah tempatku mengajar.
"Marah sama, mas?" tanyanya melirik ke arahku sekejap.
Mungkin dia ngerasa kalau aku sedang kesal padanya, "enggak, kenapa?" jawabku, dia hanya menghendikan bahu acuh dan kembali fokus dengan kemudinya.
Sesampainya di sekolah, aku langsung pamit dengan mencium punggung tangannya, dan dibalas kecupan hangat di keningku juga usapan lembut di puncak kepalaku. Hubungan kami memang tanpa cinta, tapi sebisa mungkin kami menjalani pernikahan ini selayaknya pasangan normal lainnya. Seperti ritual ini yang sudah wajib kami lakukan, terlebih Mas Ryan sendiri yang memulainya sejak awal aku resmi menyandang status sebagai istrinya.
"Hubungi mas, jam berapapun kamu selesai mengajarnya."
"Aku pulang sendiri saja, Mas. Lagian jam pulangnya Nisya juga nggak menentu."
"Nggak masalah, bukanya tadi sudah mas katakan jam berapapun kamu selesai."
"Aku bisa pulang sendiri ....""Mas tau, cuma tolong Nis mulai sekarang gunakan mas ini sebagai suamimu, bisa?" pintanya.
"Selama ini selalu kamu yang direpotkan untuk mengurus kami, kali ini biarkan mas sedikit berguna untuk kamu," sambungnya.
"Nggak gitu, Mas. Cuma ...."
"Mas berangkat, ingat pesan mas tadi," putusnya tanpa mau mendengarkan ucapan yang akan aku lontarkan.
Sepeninggal Mas Ryan, aku langsung melangkah menuju ruanganku. "Senangnya yang pagi-pagi sudah diantar mas suami," celetuk salah satu guru di sini yang sialnya dia adalah sahabatku.
Pastinya dia akan terus menggodaku seharian ini. "Biasa aja," balasku cuek tanpa mau menoleh ke arahnya dan terus melangkah menuju ruang guru.
"Masih pagi sudah judes aja Mbak, kenapa? Nggak dapat jatah dari Mas Ryan, tah, semalam?" ucapannya kubalas dengan pukulan di lengannya.
"Nggak sadar tempat banget kalau ngomong." Dia malah terkekeh geli menanggapi kekesalanku.
Arsena Nadhira, sahabatku yang sudah tau seluk beluk perjalanan hidupku selama ini. "Nanti mau mampir nggak? Maaf minggu kemarin aku ada urusan jadi belum sempat ke sana."
"Kayaknya nggak bisa, Sen. Mas Ryan maksa mau jemput, nitip salam aja, ya."
"Cie, yang sekarang sudah ada yang antar jemput," ujarnya mulai menggodaku.
Sena, dia tidak akan berhenti untuk cengin aku. Maka aku putuskan untuk lekas meninggalkannya. Mengabaikan ocehan Sena yang masih bisa kudengar, aku nggak mau tambah badmood pagi-pagi karena membahas masalah ini. Kasian nanti murid-muridku kalau sampai kena imbasnya.
Bukan tidak sadar jika belakangan ini Mas Ryan mencoba untuk mendekatkan diri padaku, tapi aku tidak menyangka kalau akan secepat dan sedrastis ini Mas Ryan melakukan niatannya. Dan yang aku sesalkan kenapa aku seolah-olah nyaman dan tidak mampu untuk menolak setiap perhatian juga perlakuan manis darinya. Seperti pagi tadi, aku bahkan tidak dapat menolak saat dia menyuapiku makan.
Apa aku sudah mulai menerimanya? Kurasa tidak karena sampai saat ini aku masih belum bisa melupakan 'dia' dari ingatanku. Bayang-bayang wajahnya masih bisa aku ingat bahkan sampai saat ini.
Sebelum masuk kelas untuk mengajar, ponsel yang berada di dalam tas berdering. Masih ada sedikit waktu untuk membuka pesan tersebut dan mencari tau siapa gerangan yang sudah mengirimkan pesan itu padaku.
Hanya satu baris kalimat singkat dan nama pengirim yang tertera di atas layar, tetapi efeknya bisa sedahsyat ini buatku. Bahkan jantungku terasa semakin kuat detakannya dan juga aku merasa seperti ada kupu-kupu yang sedang berterbangan di dalam perutku.
"Selamat bekerja!"
Beserta emoji love diakhir kalimatnya.
"Nisya, makan yuk!" Arsena menghampiriku saat jam istirahat tiba, dengan membawa dua buah kotak bekal tup***ware. Yang aku tahu pasti dari siapa pengirimnya. "Dikirim lagi?" Dia mengangguk, "Iya, pokoknya sebelum aku maafin, pasti dia bakal kirim terus. Dia tau banget kalau aku lemah sama makanan buatannya. Cuma disogok ginian aja udah bikin aku luluh, murahan banget ini perut." "Kali ini gara-gara apa lagi?" "Biasa, nggak usah ditanya," ketusnya sambil cemberut. Sena lantas duduk di depanku dan menata bekal yang dibawanya di atas meja. Dengan aku yang lebih dulu menyingkirkan tumpukan kertas berukut menggeser laptop ke samping. "Sekali-kali ngalah Sen, masak mau rebutan sama anak SMA, malu tuh sama anak didikmu." "Kamu nggak tau aja Nis, betapa ngeselinya keponakannya itu, kelaminnya doang cowok tapi mulutnya subhanallah ngalah-ngalahin si Angel anak IPA 1 itu." Sepertinya dia lagi ngambek lagi sama pacarnya, ter
"Kamu kenapa? Mas lihat dari tadi diam saja." "Ah... enggak papa, Mas mau pesan apa?" tanyaku mengalihkan pertanyaan Mas Ryan. "Biar mas saja yang pesan seperti biasanya, kan?" tanyanya sekaligus mencegahku untuk memesan makanan. Aku pun hanya mengangguk menjawab pertanyaannya, perlakuan manis Mas Ryan tidak hanya dilakukan saat kami di dalam mobil, ketika turun dari mobil dengan cepat Mas Ryan kembali mengambil jemariku untuk dia gandeng dan berjalan memasuki tempat makan yang kami tuju. Setelahnya kami makan dalam diam, karena sudah kebiasaan di rumah jika sedang makan tidak boleh ada yang bersuara. Kulihat Mas Ryan sepertinya memang sangat lapar terbukti dia dengan cepat menghabiskan makanan di piringnya. "Mas, mau nambah lagi?" "Enggak, mas sudah cukup kenyang." "boleh ambil makan punya Nisya kalau Mas mau." "Kenapa? Mau pesan yang lain?" tanyanya. Jangankan pesan lagi ini saja hanya tiga suap yang berhasil
Sejak insiden siang pertama kami dua minggu yang lalu, hubunganku dengan Mas Ryan sudah satu langkah lebih maju. Aku sudah mulai nyaman ketika Mas Ryan menunjukkan perhatiannya kepadaku ketika di rumah maupun di luar rumah. Seperti halnya rutinitas mengantar jemputku setiap hari, yang sudah dua minggu ini mulai rutin dilakukan oleh Mas Ryan. Dan aku sudah tidak kuasa lagi untuk menolaknya. Pun dengan perhatian-perhatiannya yang setiap jam istirahat selalu mengingatkanku untuk jangan sampai melupakan makan siang. Baik itu melalui pesan singkat, maupun sambungan telepon langsung. "Mas, hari ini Nisya berangkat sendiri, ya?" "Kenapa?" "Nisya ada urusan, nanti sore selepas mengajar." "Mau kemana?" "Boleh nggak? Kalau enggak boleh ya nggak papa," tanyaku balik. Sengaja aku nggak ingin Mas Ryan tau kemana aku akan pergi nantinya, sebab aku masoh belum punya keberanian untuk membicarakan semua tentang masa laluku padanya. "Han
"Sialan! Kamu bener-bener ya, Nisya ... A arrrhhh! Bisa nggak kebiasaanmu yang satu ini dihilangkan! Untung ini jantung buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah tinggal nama aku, Nisya Kailandra!" Aku menghendikan bahu acuh dan masa bodo dengan amarah Yasa yang memenuhi ruangannya. Sudah menjadi kebiasaanku untuk langsung masuk ke ruangannya tanpa permisi. Dan aku tentu sudah biasa dengan amarah Yasa setelahnya.Mengabaikan gerutuannya yang masih bisa kudengar, aku memilih abai dan mengambil duduk persis di hadapannya dengan dia yang lantas menggesel laptop ke samping untuk menyambut kedatanganku. "Gimana dengan masalah yang kemarin, sudah beres semua, kan?" "Kamu tanya beginian ada maksud apa? Dan lagi aku minta tolongnya sudah dari kapan, Ibu Guru Nisya yang sok sibuk!" "Biasa aja enggak usah ngegas, satu lagi aku memang benar-benar sibuk tahu!" "Sibuk apa? Ngurusin ha
Setelah insiden kemarin aku selalu dihantui rasa bersalah terhadap Mas Ryan, bukannya tidak mau jujur tetapi aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masa laluku. Beruntung Mas Ryan tidak lagi membahas masalah itu dan kembali melanjutkan pekerjaanya ketika Bayu datang saat akucakan menjawab pertanyaan mendebarkan itu. "Nis, Al sudah tidur?" tanya Mas Ryan saat menyusulku yang tengah menidurkan anaknya. "Sudah, kenapa?" "Bisa minta tolong?" Aku mengangguk, perlahan dengan hati-hati turun dari atas tempat tidur agar Alshad tidak sampai terbangun merasakan pergerakanku. "Buatkan mas kopi ya, sekalian antar ke ruang kerja mas." Pintanya ketika aku sudah berada didekatnya lalu menutup pintu kamar. Kembali aku mengangguk dan segera melakukan perintahnya. Mas Ryan, dia langsung menuju ruang kerjanya yang berada tepat di depan kamar utama. "Lembur, Mas?" tanyaku saat mengantar dan menaruh kopi pesanannya di at
"Mau sampai kapan kamu diamkan mas seperti ini?" Aku tidak menjawab dan tidak juga menoleh kearahnya, sudah aku bilang kan jika aku paling nggak suka ada orang yang semena-mena sendiri. "Oke, mas minta maaf, mas ngaku salah kerena nggak bisa bersikap tegas sama Sarah," ucapannya lagi. Dan aku masih tetap diam dan terus melanjutkan sarapanku, karena terlanjur malas dengan sikapnya itu. Mas Ryan, kuakui dia memang baik sebagai seorang suami, tapi kebaikannya itu juga yang menjadi kelemahannya. Selama menjadi istrinya tidak pernah sekalipun aku bersikap kurang ajar atau tidak sopan padanya, biarpun aku masih belum bisa sepenuhnya menerima dia sebagai suamiku. Tapi itu tidak menjadikanku alasan untuk bersikap semauku terhadapnya, bahkan aku cenderung menghormatinya sebagai laki-laki juga imam keluarga. "Nisya!" Dia menarik lenganku, "mas janji ini yang terakhir mas bantu dia." "Terakhir ya," responku lalu meletakkan kembali sendok yang kupegang.
Sudah beberapa hari ini aku jadi rutin mengunjunginya lagi, setelah kemarin-kemarin tidak bisa karena terhalang oleh aktivitasku yang tidak sebebas dulu. Aku letakkan setangkai bunga yang aku bawa, bersebelahan dengan bunga dari Sena, dia tidak bisa ikut karena sedang ada acara dengan keluarganya Mas Biru. Selanjutnya aku akan menjemput, Al, di rumah ibunya Mas Ryan sebelum pulang, tapi beberapa hari ini Al sudah mulai agak berubah kepadaku entah karena apa, dia jadi lebih pendiam dan nggak lagi suka bermanja denganku. "Al, kenapa sekarang nggak pernah cari bunda lagi kalau bangun tidur?" tanyaku sesaat setelah keluar dari rumah mama. Jarak rumah mama tidak terlalu jauh dari kediamanku sehingga aku berani membonceng anak ini menggunakan motor. "Kata ayah nggak boleh ganggu bunda lagi," ucapnya disela-sela perjalanan kami. "Kapan ayah bilang begitu?" "Kemarin, pas Al rewel terus ayah yang datang katanya mulai sekarang nggak
"Aku lihat sejak turun dari mobil Mas Biru, kamu tidak berhenti buat nggak unjuk gigi Sen, ada apa rupanya?" Dan sosok yang kutanya masih bertahan dengan senyuman yang asli membuatku ingin sekali menampol wajah ngeselinnya. "Arsena Nadhira! lo kesambet, hah?!" tanyaku yang mulai kesal. "Sabar Nis, aku bingung mau cerita dari mananya." "Nggak usah cerita, lagian pede banget aku mau dengar ceritamu yang nggak mutu itu!" "Dasar ibu-ibu ambekan, oke aku cerita dengerin baik-baik, aku ... habis dilamar Mas Biru dong," ucapnya dengan percaya diri sambil mengangkat tangannya untuk memperlihatkan kalau sudah ada cincin yang melingkar di jari manisnya. "Udah basi, lamarannya sudah dari kapan ceritanya baru sekarang, kamu masih waras kan, Sen?" "Ish, beda Nisya, ini tuh Mas Biru ngelamarnya pakek acara ala-ala yang romantis gitu tahu." Girangnya. "Jadi, Mas Biru melamar kamu lagi begitu?" Dia menga
Dinginnya malam tidak menjadi halangan untuk sepasang suami istri yang sedang memadu kasih. Saling membelit satu sama lain, erangan juga desahan saling bersahutanMenikmati permainan yang seakan tidak akan ada kata puas bagi keduaanya. "Ah.. Sayang.. Mas akan segera sampai." "Tetap pada posisi Mas ya, please ...," Tidak mengindahkan permohonan sang istri, ketika dirasa puncak kenikmatan akan segera diraih sang suami yang semula bergarak lincah di atas istrinya mendadak melepaskan diri dari liang yang semula memberinya kenikmatan. Ia merelakan sedikit kenikmatan itu terenggut demi melindungi sang istri, menurutnya. Namun bukan ucapan terima kasih yang didapatkan, melainkan aksi merajuk dari istrinya setelah ia berhasil menumpahkan buah dari hasil pergulatan panas mereka di atas perut sang istri.
"Kak, ikut Papa, yuk.""Mbak juga diajak kan, Pah?"Dedek ikut!""Jadi kalian semua mau ikut Papa? Boleh asal nanti tidak ada yang rewel cari-cari Bunda.""Mbak gak mau ikut.""Dedek mo cama Bunda.""Nah itu lebih baik, karena Papa akan pergi bersama Kakak lama sekali. Jadi kalian para princesnya Papa di rumah sama Bunda, ya."Dua anak perempuan yang tak lain adalah Arsy, dan Risya itu pun mengangguk patuh menatap pria dewasa yang dipanggilnya Papa. Keduanya harus merelakan sang Kakak yang akan pergi bersama Papanya untuk sementara waktu. Putri dari Ryan dan Nisya yang sudah berusia 6 dan 2 tahun itu kini hanya bisa memandang punggung kakaknya yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya."Ayah, kapan Kakak Al pulangnya?""Mbak, Kakak baru saja pergi sudah ditanyain kapan pul
"Bunda, susu."Balita berusia 4 tahun itu menarik-narik baju yang dikenakan oleh ibunya. Adalah Nisya yang sedang memangku putrinya yang baru saja terlelap."Ngomongnya yang baik gimana, Sayang? Bunda kan sudah ajarkan, Mbak Arsy.""Bunda, minta tolong buatkan susu.""Subhanallah pintarnya anak Bunda, tunggu sebentar bisa? Tapi bunda juga minta tolong sama Mbak jagain Dedek bayi, boleh?""Kakak Al?""Kakak Al kan masih sekolah.""Ayah?""Mbak lupa emangnya tadi pagi Ayah pamit mau kemana?""Mo kelja, cali uangna buat beli susu Mbak, sama Dedek bayi.""Artinya Mbak sekarang mau dong tolongin Bunda jaga Dedek?"Balita perempuan itu mengangguk, meski setengah hati. Ia bukan tidak ingin menjaga adiknya, tetapi balita 4 tahun itu merasa takut karen
"Jangan bebaskan aku, Mbak. Biarkan aku menebus kesalahanku, dan dosaku di sini.""Tidak, kamu memang sempat bersalah tapi karena kamu juga nyawa Mbak dan anak Mbak terselamatkan. Jadi sebagai rasa terima kasih Mbak, tolong terima lah bantuan Mbak demi Ibu.""Bahkan untuk bertatap muka dengan Ibu aku sudah tidak berani, Mbak. Ibu pasti kecewa banget sama aku.""Siapa bilang? Ibu sangat menunggu putranya bisa segera bebas dan bisa berkumpul kembali."Tidak ada jawaban dari pemuda di hadapan Nisya, hanya isak tangis tertahan yang keluar dari mulutnya. Reno, pemuda itu terlihat begitu menyesali tindakannya yang gegabah. Demi rasa dendamnya yang salah, ia harus rela mendekam di balik jerusi besi."Kamu sudah menyesali perbuatanmu, itu sudah cukup buat Mbak, Ren. Mbak tahu kalau kamu sebenarnya tidak sejahat itu, terbukti kamu juga yang sudah selamatkan Mbak."
"Al, ayah minta tolong bisa?""Iya, Ayah. Minta tolong apa?""Tolong jaga adik-adik sebentar, ya.""Ayah mau kemana?""Ayah ada urusan, nanti kalau mereka rewel tolong panggil Nenek, atau Bibik di bawah.""Ayah, apa ayah akan ke tempat Bunda?""Iya, kalian di tunggu di rumah saja, ya. Ayah janji tidak akan lama.""Apa.. Al, boleh ikut, Yah?""Kalau Al ikut nanti yang bantu Ayah jaga adek siapa? Di rumah saja, ya. Ayah hanya sebentar setelah iku kita bisa jagain adek sama-sama."Anak itu mengangguk patuh, mengambil alih tanggung jawab dari sang ayah. Lalu mulai mengajak kedua adik perempuannya untuk bermain. Tidak terlalu sulit karena dua adiknya sangat mengerti situasi, kecuali yang paling kecil. Alshad masih belum bisa untuk mengatasi jika sedang rewel, kondisinya yang masih sangat l
"Mas, jangan banyak bergerak dulu. Bekas oprasi di kepala Mas masih sangat rentan, Didi gak mau kalau di suruh nangis lagi. Mas pikir gak capek apa nangis dua hari dua malam.""Mas mau bertemu Mbak, Dek. Gimana keadaannya?""Mbak baik, Mas jangan khawatir soal itu. Kita semua di sini untuk kesembuhan Mas Mbak dan juga anak kalian.""Dia, apa dia masih bertahan, Dek?""Tentu, karena dia anak yang kuat. Sangat kuat, Mas sepatutnya berbangga sama dia.""Dek, apa tidak bisa ruang perawatan kita di satukan saja?""Mas kata ini hotel bisa tawar menawar?""Tapi Mas beneran ingin ketemu mereka, Dek. Kalian tidak sedang menutu-nutupi sesuatu dari Mas, kan?"Diandra menatap netra Ryan dalam diam, berusaha sekuat tenaga agar terlihat biasa saja di hadapan Mas-nya, yang baru saja bangun dari tidur panjangnya.
"Pa, sudah ada kabar dari orang suruhan papa?""Belum, Sa. Mereka masih menyelidiki setiap sudut rumah sakit ini yang memungkinkan bisa terpantau oleh kamera cctv.""Apa menurut Papa ini orang sama?""Kalau dari Nisya mungkin iya, tapi kita tidak tahu dari Ryan. Bisa jadi di pihak lain ada yang ingin menjatuhkan Ryan, sehingga melakukan ini semua."Abraham merasa kecolongan atas apa yang menimpa anak dan menantunya. Dia pikir keadaan sudah aman terkendali, nyatanya dia melupakan sesuatu jika dalang dari semua teror yang diterima putrinya dulu masih belum berhasil di tangkap kembali oleh pihak polisi."Maaf bukan maksud lancang, tapi jika diperbolehkan saya bisa membantu masalah ini. Kebetulan saya punya kenalan detektif juga yang selama ini membantu saya."Langit, Kakak dari Biru suami Sena yang kebetulan datang menjenguk Ryan ikut bersuara. Ia m
"Eengghh!"Nisya sudah mulai tersadar dari efek obat bius yang diberikan oleh perawat yang membawanya pergi dari rumah sakit. Untuk sesaat Nisya melihat sekeliling ruangan yang ditempatinya. Otaknya berpikir keras apa saja yang diingatnya, sampai ia sadar jika saat ini dirinya sedang dalam bahaya.Nisya ingat terakhir dia berada di basment yang tiba-tiba kesadaranya menghilang karena perawat yang membawanya membekapnya sehingga dia tidak sadarkan diri.Entah sudah berapa lama ia tertidur karana kini efek obat bius sudah mulai terasa efek sampingnya. Nisya merasa pusing yang teramat, berikut mual yang tak tertahankan. Ia ingin mengeluarkan isi perutnya saat ini juga. Tapi keadaan yang memaksa Nisya untuk menahannya, kedua tangan serta kakinya sudah terikat dengan erat menyatu pada sebuah kursi.Ceklek!Suara pintu yang terbuka dari luar membuat Nisya
"Dok, tolong jangan ucapkan kata itu. Kami semua tidak ingin mendengar kata 'maaf'.""Saya mengerti, tapi dengan berat hati saya harus mengatakan jika memang oprasinya telah berjalan dengan lancar. Tapi mohon maaf, pasien kami nyatakan koma untuk waktu yang belum bisa kami pastikan akan sampai kapan."Fakta itu membuat semua yang ada di sana tertunduk lesu, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Selain pasrah akan vonis dokter yang menangani Ryan. Setelah menjelaskan kondisi Ryan, juga berpesan untuk tidak dulu memperbolehkan membesuk Ryan yang sudah dipindahkan ke ruangan ICU.Mereka hanya bisa melihat tubuh Ryan yang terbujur di atas brangkar dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya."Gimana dengan Nisya? Apa kita akan mengatakan yang sebenarnya?""Sebaiknya memang jangan, dia sudah sangat shock atas kejadian ini. Jika dia tahu kondisi Ryan koma, dia pasti akan