"Sa, anterin aku sekarang bisa?"
"Ryan gak bisa jemput?"Aku menggeleng tegas, "Bukan pulang, aku mau menemui mantan istrinya yang kembali berulah.""Ada apa lagi, Nisya? Sepertinya masalah kalian nggak ada habisnya.""Nanti aku jelasin, sekarang buruan anterin aku ke rumahnya. Karena jika menunggu Mas Ryan, yang bertindak mau sampai lebaran monyet juga nggak bakalan bereaksi."Bukan sekedar mengantar, Yasa, bahkan ikut turun dan kini kami sudah berada di depan pintu rumah kontrakan Mbak Sarah."Mbak Sarah, keluar! Aku tahu kalau kamu ada di dalam!" seruku sambil mengetuk pintu."Sabar Nisya! ini rumah orang." Yasa mencegahku saat akan kembali melakukan hal yang sama."Yang bilang ini rumahku juga siapa! Aku sudah terlalu sabar ,Sa, selama ini tapi apa? Dia bahkan selalu mengusikku lagi dan lagi."Ceklek!Suara pintu terbuka, menghentikan perdebatanku dengan Yasa,
Setibanya di rumah aku melihat mobil Mas Ryan, sudah terparkir rapi di garasi. Fix, doi beneran marah kali ini dan aku harus siapin mental untuk menghadapinya."Mau aku bantu jelasin ke Ryan?""Nggak usah," tanganku sigap membuka seat belt dan bersiap turun. Namun urung saat aku teringat akan sesuatu yang tertinggal. "Sa... Moly," lirihku menoleh kearahnya."Biar aku yang urus anak pungutmu itu, lebih baik sekarang cepat turun dan temui suamimu sebelum dia benar-benar akan menghajarku!"Aku tidak mendebatnya lagi, karena sama sepertinya aku juga merasa takut buat menemui Mas Ryan. Tapi tidak ada cara lain sebab aku harus tetap menemuinya dan menjelaskan kesalah pahaman ini agar tidak semakin melebar."Kalau butuh bantuan kamu tahu kan harus ke mana?" ujarnya sambil mengelus puncak kepalaku saat aku akan turun dari mobilnya.Kubalas dengan anggukan juga senyuman untuk rasa terima kasihku padanya karena sudah bersedia aku r
Kupercepat langkah kakiku menuju pintu, yang sedari tadi terdengar suara bunyi bel tiada henti. Aku sedang berkutat di dapur, sementara Mas Ryan masih berada di kamar entah apa yang sedang dilakukannya.Setelah pintu terbuka lebar, tidak ada satu orangpun yang kujumpai di depan pintu. Namun aku melihat ada sebuah paket dengan setangkai mawar hitam di atasnya.Mengingat teror yang kami terima belakangan ini, aku urung untuk mengambil paket itu dan kembali masuk untuk memberi tahu Mas Ryan soal ini. Karena terlalu panik aku tidak melihat jika Mas Ryan sudah berada tepat di belakangku sehingga membuatku menubruk dada bidangnya."Hati-hati Sayang!" kedua tangannya sigap merengkuh pinggangku. "Siapa yang datang?" tanyanya kemudian."Bukan siapa Mas, tapi... Mas lihat sendiri saja deh."Aku bergeser ke samping guna memberi jalan Mas Ryan untuk melihat apa yang ada di depan pintu."Mas jangan!" seruku melihat Mas Ryan akan m
Dua minggu sudah berlalu sejak insiden teror yang kembali kami terima. Jujur aku merasa takut, sebab pesan bernada ancaman itu hanya ditujukan kepadaku seorang. Aku bahkan tidak berani untuk keluar rumah sendirian, bayangan seseorang yang akan mencelakaiku membuatku tidak tenang selama berada di luar rumah. Beruntung aku mempunyai suami juga teman yang bersedia untuk mengantar jemputku ke sekolah, karena aku tidak sampai hati untuk mengabaikan pekerjan yang sudah menjadi tanggung jawabku.Mengenai keputusan yang dibuat Mas Ryan, aku tidak lagi dapat berkata-kata. Tanpa pikir panjang, Mas Ryan langsung melaporkan teror itu kepada pihak yang berwajib. Tepatnya setelah aksiku yang berurai air mata, pun dengannya."Seharusnya mas sudah melakukan ini dari dulu, sayangnya mas terlalu menganggap kalau ini hanya masalah sepele. Nyatanya mas salah karena terlalu menyepelekan itu semua, terlepas dari siapa pun pelaku yang terlibat, mas janji akan tetap memprosesnya s
"Ibu nggak papa, kan? Maaf kami sedikit terlambat."Tubuhku masih lemas bagai tak bertulang, kejadian yang aku alami barusan sungguh membuatku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata. Aku sangatshockdantidak menyangka akan mengalami kejadian menakutkan seperti ini. Selama aku hidup kejadian seperti ini hanya pernah aku lihat di layar televisi,nyatanya sekarang aku mengalaminya sendiri di dunia nyata."Ibu tenang ya, jangan takut sekarang Ibu sudah aman bersama kami."Ucap salah satu dari mereka yang masih terus berusaha untuk membuatku tenang. Satu persatu dari mereka ikut jongkok di depanku dan melihat keadaanku yang mengenaskan."Terima kasih, ibu... nggak tahu jika ...."Aku tidak sanggup lagi meneruskan kalimatku, tubuhku masih bergetar hebat. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan jika Arka dan teman-temannya tidak segera datang menolongku. Pasti aku sudah tidak bisa selamat dari orang-orang yang sudah b
"Untuk sekarang kamu hanya perlu fokus terhadap istrimu, masalah ini nanti biar papa yang ikut turun tangan.""Terima kasih, Pa. Dan maaf Ryan belum bisa menjaga mereka sebaik yang Papa lakukan."Sayup-sayup aku mulai bisa mendengar obrolan antara Mas Ryan dan papa, ketika akan bangkit aku merasakan nyeri yang teramat berpusat pada perut bagian bawahku. Mungkin mendengar suara rintihanku sehingga kini bukan hanya Mas Ryan, bahkan papa langsung sigap menghampiriku."Sayang! Kamu sudah sadar, butuh apa biar mas ambilkan," ucap Mas Ryan menghampiriku.Setelah aku amati nyatanya bukan hanya Mas Ryan dan papa yang berada di sini, ada mama serta ibunya Mas Ryan yang duduk bersebelahan di sofa. Aku masih sadar ketika Mas Ryan berikut Yasa membawaku ke sini dengan paniknya, sampai akhirnya dokter mengatakan sesuatu yang membuatku langsung tidak sadarkan diri."Ma!" panggilku kepada sosok wanita yang paling berjasa selama perjalanan kehi
"Maafin Nisya, Ma.""Ya, memang seharusnya kamu minta maaf," balas mama."Bukan maksud Nisya seperti itu, Ma. Hanya saja Nisya enggak mau nantinya Mama juga Papa malah ikut kepikiran.""Kamu tahu Nis, kami sebagai orang tuamu dari dulu tidak pernah sekalipun berbuat kasar kepada putri semata wayang kami. Anak perempuan mama satu-satunya, tapi sekarang melihat keadaan kamu seperti ini hancur hati mama Nisya. Mama merasa berdosa karena tidak bisa menjagamu dengan baik.""Ma, ini bukan salah Mama. Maaf Nisya tidak bermaksud untuk merahasiakan ini dari Mama dan Papa. Nisya tidak ingin membut kalian terbebani dengan masalah yang kami hadapi.""Dengan membahayakan nyawamu? Bahkan anak yang keberadaannya belum sempat kalian ketahui juga sudah lebih dulu pergi? Apa kalian pikir itu tindakan yang paling benar?!"Aku tidak dapat membantah ucapan mama, yang beliau katakan memang benar adanya. Tentang aku yang menyembunyikan masa
Suasana hatiku teramat kacau, setelah tanpa sengaja mendengar pembicaraan papa dan Mas Ryan. Aku sudah tidak bersemangat lagi, bahkan jika aku boleh memilih aku akan pergi saja dari sini. Sayangnya aku tidak berdaya untuk itu, sebab kini kondisiku sedang dalam perawatan intensif pasca keguguran. Jika aku nekat pulang akibatnya sangat fatal bagi kelangsungan hidupku kelak, bisa jadi aku akan sulit mendapatkan momongan jika sampai aku tidak patuh terhadap perintah dokter yang menanganiku."Kata Ryan kamu belum makan apapun dari kemarin, mau aku belikan sesuatu? Barangkali kamu ingin makan makanan dari luar."Tidak sepatah katapun keluar dari mulutku dari sejak kejadian kemarin, bahkan itu kepada Mas Ryan sekalipun aku tetap bungkam dan tidak ingin berbicara dengannya.Hari ini Yasa kebagian menjagaku karena Mas Ryan sudah mulai masuk kantor setelah tiga hari absen."Nis, ayolah jangan seperti ini. Ini bukan akhir dari segalanya Nisya, kamu masih punya kesem
Niatanku untuk pergi sudah bulat, tidak ada yang bisa aku harapkan dari pernikahan ini. Begitu juga Mas Ryan, bukankah dia akan memulangkanku kepada papa pada akhirnya? Lantas kenapa dia merasa tidak terima jika aku menolak kehadiran anaknya? Toh sama saja nanti kita juga tidak ada hubungan apapaun lagi. Ketenanganku sedikit terganggu dengan datangnya keluarga Sena, berikut seluruh anggotanya yang sore ini menyempatkan diri untuk menjengukku."Sedih-sedihnya sudah ya Bu Nisya. Sekarang kami datang hanya ingin melihat senyum diwajahmu yang masih tertutup awan tebal.""Berisik banget, Sen.""Memang, karena ini tujuanku datang ke sini." Dengan santainya Sena berucap, lalu mengambil duduk di pinggiran ranjangku. Sementara Wira bocah itu berada persis di sebelah kiriku, bersebrangan dengan Sena. Dan posisiku sangat tidak menguntunkan berada di tengah-tengah mereka."Mau Wira bantu mengusirnya, Bu? Wira juga sangat terganggu dengan keberisikannya yang s
Dinginnya malam tidak menjadi halangan untuk sepasang suami istri yang sedang memadu kasih. Saling membelit satu sama lain, erangan juga desahan saling bersahutanMenikmati permainan yang seakan tidak akan ada kata puas bagi keduaanya. "Ah.. Sayang.. Mas akan segera sampai." "Tetap pada posisi Mas ya, please ...," Tidak mengindahkan permohonan sang istri, ketika dirasa puncak kenikmatan akan segera diraih sang suami yang semula bergarak lincah di atas istrinya mendadak melepaskan diri dari liang yang semula memberinya kenikmatan. Ia merelakan sedikit kenikmatan itu terenggut demi melindungi sang istri, menurutnya. Namun bukan ucapan terima kasih yang didapatkan, melainkan aksi merajuk dari istrinya setelah ia berhasil menumpahkan buah dari hasil pergulatan panas mereka di atas perut sang istri.
"Kak, ikut Papa, yuk.""Mbak juga diajak kan, Pah?"Dedek ikut!""Jadi kalian semua mau ikut Papa? Boleh asal nanti tidak ada yang rewel cari-cari Bunda.""Mbak gak mau ikut.""Dedek mo cama Bunda.""Nah itu lebih baik, karena Papa akan pergi bersama Kakak lama sekali. Jadi kalian para princesnya Papa di rumah sama Bunda, ya."Dua anak perempuan yang tak lain adalah Arsy, dan Risya itu pun mengangguk patuh menatap pria dewasa yang dipanggilnya Papa. Keduanya harus merelakan sang Kakak yang akan pergi bersama Papanya untuk sementara waktu. Putri dari Ryan dan Nisya yang sudah berusia 6 dan 2 tahun itu kini hanya bisa memandang punggung kakaknya yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya."Ayah, kapan Kakak Al pulangnya?""Mbak, Kakak baru saja pergi sudah ditanyain kapan pul
"Bunda, susu."Balita berusia 4 tahun itu menarik-narik baju yang dikenakan oleh ibunya. Adalah Nisya yang sedang memangku putrinya yang baru saja terlelap."Ngomongnya yang baik gimana, Sayang? Bunda kan sudah ajarkan, Mbak Arsy.""Bunda, minta tolong buatkan susu.""Subhanallah pintarnya anak Bunda, tunggu sebentar bisa? Tapi bunda juga minta tolong sama Mbak jagain Dedek bayi, boleh?""Kakak Al?""Kakak Al kan masih sekolah.""Ayah?""Mbak lupa emangnya tadi pagi Ayah pamit mau kemana?""Mo kelja, cali uangna buat beli susu Mbak, sama Dedek bayi.""Artinya Mbak sekarang mau dong tolongin Bunda jaga Dedek?"Balita perempuan itu mengangguk, meski setengah hati. Ia bukan tidak ingin menjaga adiknya, tetapi balita 4 tahun itu merasa takut karen
"Jangan bebaskan aku, Mbak. Biarkan aku menebus kesalahanku, dan dosaku di sini.""Tidak, kamu memang sempat bersalah tapi karena kamu juga nyawa Mbak dan anak Mbak terselamatkan. Jadi sebagai rasa terima kasih Mbak, tolong terima lah bantuan Mbak demi Ibu.""Bahkan untuk bertatap muka dengan Ibu aku sudah tidak berani, Mbak. Ibu pasti kecewa banget sama aku.""Siapa bilang? Ibu sangat menunggu putranya bisa segera bebas dan bisa berkumpul kembali."Tidak ada jawaban dari pemuda di hadapan Nisya, hanya isak tangis tertahan yang keluar dari mulutnya. Reno, pemuda itu terlihat begitu menyesali tindakannya yang gegabah. Demi rasa dendamnya yang salah, ia harus rela mendekam di balik jerusi besi."Kamu sudah menyesali perbuatanmu, itu sudah cukup buat Mbak, Ren. Mbak tahu kalau kamu sebenarnya tidak sejahat itu, terbukti kamu juga yang sudah selamatkan Mbak."
"Al, ayah minta tolong bisa?""Iya, Ayah. Minta tolong apa?""Tolong jaga adik-adik sebentar, ya.""Ayah mau kemana?""Ayah ada urusan, nanti kalau mereka rewel tolong panggil Nenek, atau Bibik di bawah.""Ayah, apa ayah akan ke tempat Bunda?""Iya, kalian di tunggu di rumah saja, ya. Ayah janji tidak akan lama.""Apa.. Al, boleh ikut, Yah?""Kalau Al ikut nanti yang bantu Ayah jaga adek siapa? Di rumah saja, ya. Ayah hanya sebentar setelah iku kita bisa jagain adek sama-sama."Anak itu mengangguk patuh, mengambil alih tanggung jawab dari sang ayah. Lalu mulai mengajak kedua adik perempuannya untuk bermain. Tidak terlalu sulit karena dua adiknya sangat mengerti situasi, kecuali yang paling kecil. Alshad masih belum bisa untuk mengatasi jika sedang rewel, kondisinya yang masih sangat l
"Mas, jangan banyak bergerak dulu. Bekas oprasi di kepala Mas masih sangat rentan, Didi gak mau kalau di suruh nangis lagi. Mas pikir gak capek apa nangis dua hari dua malam.""Mas mau bertemu Mbak, Dek. Gimana keadaannya?""Mbak baik, Mas jangan khawatir soal itu. Kita semua di sini untuk kesembuhan Mas Mbak dan juga anak kalian.""Dia, apa dia masih bertahan, Dek?""Tentu, karena dia anak yang kuat. Sangat kuat, Mas sepatutnya berbangga sama dia.""Dek, apa tidak bisa ruang perawatan kita di satukan saja?""Mas kata ini hotel bisa tawar menawar?""Tapi Mas beneran ingin ketemu mereka, Dek. Kalian tidak sedang menutu-nutupi sesuatu dari Mas, kan?"Diandra menatap netra Ryan dalam diam, berusaha sekuat tenaga agar terlihat biasa saja di hadapan Mas-nya, yang baru saja bangun dari tidur panjangnya.
"Pa, sudah ada kabar dari orang suruhan papa?""Belum, Sa. Mereka masih menyelidiki setiap sudut rumah sakit ini yang memungkinkan bisa terpantau oleh kamera cctv.""Apa menurut Papa ini orang sama?""Kalau dari Nisya mungkin iya, tapi kita tidak tahu dari Ryan. Bisa jadi di pihak lain ada yang ingin menjatuhkan Ryan, sehingga melakukan ini semua."Abraham merasa kecolongan atas apa yang menimpa anak dan menantunya. Dia pikir keadaan sudah aman terkendali, nyatanya dia melupakan sesuatu jika dalang dari semua teror yang diterima putrinya dulu masih belum berhasil di tangkap kembali oleh pihak polisi."Maaf bukan maksud lancang, tapi jika diperbolehkan saya bisa membantu masalah ini. Kebetulan saya punya kenalan detektif juga yang selama ini membantu saya."Langit, Kakak dari Biru suami Sena yang kebetulan datang menjenguk Ryan ikut bersuara. Ia m
"Eengghh!"Nisya sudah mulai tersadar dari efek obat bius yang diberikan oleh perawat yang membawanya pergi dari rumah sakit. Untuk sesaat Nisya melihat sekeliling ruangan yang ditempatinya. Otaknya berpikir keras apa saja yang diingatnya, sampai ia sadar jika saat ini dirinya sedang dalam bahaya.Nisya ingat terakhir dia berada di basment yang tiba-tiba kesadaranya menghilang karena perawat yang membawanya membekapnya sehingga dia tidak sadarkan diri.Entah sudah berapa lama ia tertidur karana kini efek obat bius sudah mulai terasa efek sampingnya. Nisya merasa pusing yang teramat, berikut mual yang tak tertahankan. Ia ingin mengeluarkan isi perutnya saat ini juga. Tapi keadaan yang memaksa Nisya untuk menahannya, kedua tangan serta kakinya sudah terikat dengan erat menyatu pada sebuah kursi.Ceklek!Suara pintu yang terbuka dari luar membuat Nisya
"Dok, tolong jangan ucapkan kata itu. Kami semua tidak ingin mendengar kata 'maaf'.""Saya mengerti, tapi dengan berat hati saya harus mengatakan jika memang oprasinya telah berjalan dengan lancar. Tapi mohon maaf, pasien kami nyatakan koma untuk waktu yang belum bisa kami pastikan akan sampai kapan."Fakta itu membuat semua yang ada di sana tertunduk lesu, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Selain pasrah akan vonis dokter yang menangani Ryan. Setelah menjelaskan kondisi Ryan, juga berpesan untuk tidak dulu memperbolehkan membesuk Ryan yang sudah dipindahkan ke ruangan ICU.Mereka hanya bisa melihat tubuh Ryan yang terbujur di atas brangkar dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya."Gimana dengan Nisya? Apa kita akan mengatakan yang sebenarnya?""Sebaiknya memang jangan, dia sudah sangat shock atas kejadian ini. Jika dia tahu kondisi Ryan koma, dia pasti akan