Dua minggu sudah berlalu sejak insiden teror yang kembali kami terima. Jujur aku merasa takut, sebab pesan bernada ancaman itu hanya ditujukan kepadaku seorang. Aku bahkan tidak berani untuk keluar rumah sendirian, bayangan seseorang yang akan mencelakaiku membuatku tidak tenang selama berada di luar rumah. Beruntung aku mempunyai suami juga teman yang bersedia untuk mengantar jemputku ke sekolah, karena aku tidak sampai hati untuk mengabaikan pekerjan yang sudah menjadi tanggung jawabku.
Mengenai keputusan yang dibuat Mas Ryan, aku tidak lagi dapat berkata-kata. Tanpa pikir panjang, Mas Ryan langsung melaporkan teror itu kepada pihak yang berwajib. Tepatnya setelah aksiku yang berurai air mata, pun dengannya."Seharusnya mas sudah melakukan ini dari dulu, sayangnya mas terlalu menganggap kalau ini hanya masalah sepele. Nyatanya mas salah karena terlalu menyepelekan itu semua, terlepas dari siapa pun pelaku yang terlibat, mas janji akan tetap memprosesnya s"Ibu nggak papa, kan? Maaf kami sedikit terlambat."Tubuhku masih lemas bagai tak bertulang, kejadian yang aku alami barusan sungguh membuatku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata. Aku sangatshockdantidak menyangka akan mengalami kejadian menakutkan seperti ini. Selama aku hidup kejadian seperti ini hanya pernah aku lihat di layar televisi,nyatanya sekarang aku mengalaminya sendiri di dunia nyata."Ibu tenang ya, jangan takut sekarang Ibu sudah aman bersama kami."Ucap salah satu dari mereka yang masih terus berusaha untuk membuatku tenang. Satu persatu dari mereka ikut jongkok di depanku dan melihat keadaanku yang mengenaskan."Terima kasih, ibu... nggak tahu jika ...."Aku tidak sanggup lagi meneruskan kalimatku, tubuhku masih bergetar hebat. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan jika Arka dan teman-temannya tidak segera datang menolongku. Pasti aku sudah tidak bisa selamat dari orang-orang yang sudah b
"Untuk sekarang kamu hanya perlu fokus terhadap istrimu, masalah ini nanti biar papa yang ikut turun tangan.""Terima kasih, Pa. Dan maaf Ryan belum bisa menjaga mereka sebaik yang Papa lakukan."Sayup-sayup aku mulai bisa mendengar obrolan antara Mas Ryan dan papa, ketika akan bangkit aku merasakan nyeri yang teramat berpusat pada perut bagian bawahku. Mungkin mendengar suara rintihanku sehingga kini bukan hanya Mas Ryan, bahkan papa langsung sigap menghampiriku."Sayang! Kamu sudah sadar, butuh apa biar mas ambilkan," ucap Mas Ryan menghampiriku.Setelah aku amati nyatanya bukan hanya Mas Ryan dan papa yang berada di sini, ada mama serta ibunya Mas Ryan yang duduk bersebelahan di sofa. Aku masih sadar ketika Mas Ryan berikut Yasa membawaku ke sini dengan paniknya, sampai akhirnya dokter mengatakan sesuatu yang membuatku langsung tidak sadarkan diri."Ma!" panggilku kepada sosok wanita yang paling berjasa selama perjalanan kehi
"Maafin Nisya, Ma.""Ya, memang seharusnya kamu minta maaf," balas mama."Bukan maksud Nisya seperti itu, Ma. Hanya saja Nisya enggak mau nantinya Mama juga Papa malah ikut kepikiran.""Kamu tahu Nis, kami sebagai orang tuamu dari dulu tidak pernah sekalipun berbuat kasar kepada putri semata wayang kami. Anak perempuan mama satu-satunya, tapi sekarang melihat keadaan kamu seperti ini hancur hati mama Nisya. Mama merasa berdosa karena tidak bisa menjagamu dengan baik.""Ma, ini bukan salah Mama. Maaf Nisya tidak bermaksud untuk merahasiakan ini dari Mama dan Papa. Nisya tidak ingin membut kalian terbebani dengan masalah yang kami hadapi.""Dengan membahayakan nyawamu? Bahkan anak yang keberadaannya belum sempat kalian ketahui juga sudah lebih dulu pergi? Apa kalian pikir itu tindakan yang paling benar?!"Aku tidak dapat membantah ucapan mama, yang beliau katakan memang benar adanya. Tentang aku yang menyembunyikan masa
Suasana hatiku teramat kacau, setelah tanpa sengaja mendengar pembicaraan papa dan Mas Ryan. Aku sudah tidak bersemangat lagi, bahkan jika aku boleh memilih aku akan pergi saja dari sini. Sayangnya aku tidak berdaya untuk itu, sebab kini kondisiku sedang dalam perawatan intensif pasca keguguran. Jika aku nekat pulang akibatnya sangat fatal bagi kelangsungan hidupku kelak, bisa jadi aku akan sulit mendapatkan momongan jika sampai aku tidak patuh terhadap perintah dokter yang menanganiku."Kata Ryan kamu belum makan apapun dari kemarin, mau aku belikan sesuatu? Barangkali kamu ingin makan makanan dari luar."Tidak sepatah katapun keluar dari mulutku dari sejak kejadian kemarin, bahkan itu kepada Mas Ryan sekalipun aku tetap bungkam dan tidak ingin berbicara dengannya.Hari ini Yasa kebagian menjagaku karena Mas Ryan sudah mulai masuk kantor setelah tiga hari absen."Nis, ayolah jangan seperti ini. Ini bukan akhir dari segalanya Nisya, kamu masih punya kesem
Niatanku untuk pergi sudah bulat, tidak ada yang bisa aku harapkan dari pernikahan ini. Begitu juga Mas Ryan, bukankah dia akan memulangkanku kepada papa pada akhirnya? Lantas kenapa dia merasa tidak terima jika aku menolak kehadiran anaknya? Toh sama saja nanti kita juga tidak ada hubungan apapaun lagi. Ketenanganku sedikit terganggu dengan datangnya keluarga Sena, berikut seluruh anggotanya yang sore ini menyempatkan diri untuk menjengukku."Sedih-sedihnya sudah ya Bu Nisya. Sekarang kami datang hanya ingin melihat senyum diwajahmu yang masih tertutup awan tebal.""Berisik banget, Sen.""Memang, karena ini tujuanku datang ke sini." Dengan santainya Sena berucap, lalu mengambil duduk di pinggiran ranjangku. Sementara Wira bocah itu berada persis di sebelah kiriku, bersebrangan dengan Sena. Dan posisiku sangat tidak menguntunkan berada di tengah-tengah mereka."Mau Wira bantu mengusirnya, Bu? Wira juga sangat terganggu dengan keberisikannya yang s
"Ini terlalu beresiko Bu, dan saya takut jika nanti terjadi sesuatu sama Ibu tidak ada yang sigap menolong. Apalagi sekarang keadaan ibu belum sepenuhnya pulih, saya takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, juga keberadaan pelaku utama yang sampai kini belum ditemukan. Itu masih menjadi ancaman bagi Ibu nantinya, jika Ibu nekat ingin pergi.""Jangan khawatir soal itu, ibu cuma butuh waktu sejenak untuk menenangkan diri. Setelah itu ibu janji akan secepatnya kembali jika suasana hati ibu sudah tenang.""Baiklah, jika Ibu kekeh dengan keputusan Ibu. Kebetulan saya ada rumah di daerah malang barangkali Ibu berkenan dan bisa tinggal di sana jika mau.""Sama saja bohong Ar, pasti Mbak Anggi tahu dan akhirnya bilang kesemua orang.""Tidak akan Bu, rumah ini peninggalan mendiang mama buat saya juga Kak Alin. Jadi yang tahu hanya saya, Kak Alin, untuk Ante jangan khawatir sebab selama ini Ante tidak pernah tahu kalau saya sering pergi ke sana,
Nisya benar-benar merealisasikan kepergiannya, sesuai rencana dia pergi dengan bantuan Arka. Selepas Ryan datang saat jam istirahat kantor, Nisya sudah mengatur sedemikian rupa agar tidak ada yang curiga. Pun dengan Ryan sendiri yang langsung kembali ke kantor setelah selesai menyuapi makan istrinya dan memastikan Nisya meminum obat dengan tepat waktu.Sampai pada sore hari saat Ryan kembali ke rumah sakit, dia sudah tak mendapari istrinya itu ada di ruang rawat inapnya. Ryan masih berpikir positif, mengira jika Nisya sedang keluar untuk memcari udara segar dibantu dengan salah satu perawat. Namun setelah hampir satu jam menunggu, sosok istrinya tak juga kunjung menampakkan diri. Ryan mulai tidak tenang, memilih untuk menanyakan langsung kepada perawat yang bertugas menjaga istrinya tersebut. Sayangnya tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui keberadaan istrinya.Ryan mulai panik dan tidak dapat berpikir jernih, bahkan beberapa perawat yang saat itu berad
"Sudah sering Didi ingatkan sama Mas, tapi enggak pernah dipercaya. Sekarang kalau sudah seperti ini mau menyalahkan siapa, takdir?!"Sambutan yang diberikan sang adik untuk Ryan, sepulang dari rumah sakit. Dia memilih untuk langsung pulang ke rumahnya karena sudah tidak tahu harus melakukan apa untuk mencari keberadaan istrinya. Pun dengan kedua mertuanya yang meminta agar dirinya lebih baik pulang, dari pada harus kembali terlibat pertikaian dengan Yasa. Alih-alih ingin menyendiri dan meratapi kepergian sang istri, Ryan harus dihadapkan oleh keberadaan Diandra di kediamannya. Entah ada urusan apa, sehingga Didi mau bertandang ke rumahnya yang dalam keadaan tanpa penghuni."Mas butuh istirahat, Dek. Pulang sana! Dari pada di sini enggak ada gunanya.""Terserah Didi, dong! Kenapa? Enggak terima Didi ada di rumah, Mas?""Lakukan semaumu! Yang penting jangan ganggu mas!"Ryan melangkan menuju kamarnya, sementara Diandra menatap pu