Perintah seseorang yang menggema di seluruh lorong hotel, membuat para petugas keamanan segera bergerak ke arah Dania. Tanpa ragu, Dania melesat lari, meninggalkan orang-orang yang mengejarnya di belakang. Dia sudah menduga ini akan terjadi, tapi kali ini, ada satu kesalahan fatal yang ia buat.
Dania datang ke acara pertunangan mantan kekasihnya, Kevin dengan sahabatnya, Marsha. Mereka berdua berselingkuh di belakang Dania. Selama ini, Kevin berpacaran dengan Dania hanya karena Dania cerdas dan bisa membuat para klien Kevin kagum dengan kinerja Dania sebagai manager pemasaran di kantor Kevin.
Dania memang dengan sengaja ingin menghancurkan pesta pertunangan Kevin dan Marsha, akan tetapi rencananya sedikit meleset, karena Dania harus berhadapan dengan orang-orang suruhan Marsha untuk mengejarnya.
Dania masih terus berlari, ia merasakan merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat rencana pelariannya.
Dania memaki dirinya sendiri, ia mulai panik. Matanya menyapu sekitar, mencari tempat berlindung. Di tengah kebingungannya, pandangannya tertumbuk pada sebuah pintu kamar hotel yang sedikit terbuka di ujung koridor. Tanpa berpikir panjang, Dania berlari menuju pintu itu.
Ini pasti tempat yang aman! Pikirnya, dengan harapan bahwa para petugas keamanan tidak akan seberani itu untuk menerobos masuk. Namun, secepat ia berpikir demikian, Dania menyadari bahwa kamar yang ia masuki ternyata ada seseorang di dalam kamar mandi.
“Ah!” Dania hampir berteriak saat pria pemilik kamar hotel tersebut keluar dari dalam kamar mandi. Di hadapannya, seorang pria dengan handuk yang dililitkan di pinggang menatapnya terkejut.
“Siapa kau?!” kata pria itu dengan nada dingin.
Wajah Dania memerah, tapi tak ada waktu untuk merasa malu. Di luar, suara langkah kaki para pengejar semakin mendekat. Tanpa pikir panjang, Dania menutup pintu dan berlari ke arah pria itu untuk menutup mulutnya.
“Maafkan aku, tolong bantu aku!” desaknya masih menutup mulut pria tampan itu. Dia memegang kedua bahu pria itu, mendesaknya untuk tetap diam. “Aku sedang dikejar orang, dan aku butuh bersembunyi. Jika kau membantuku, aku akan melakukan apa saja!”
Pria itu menatapnya tajam, kemudian melepaskan tangan Dania yang berada di mulutnya. “Aku tidak butuh penawaranmu!” sahutnya dengan nada nada yang datar.
“Aku mohon! Aku akan benar-benar menuruti perintahmu,” ujar Dania dengan nada yang penuh dengan keputusasaan.
Pria tampan dengan tinggi semampai bernama Mark itu menatap Dania dengan tatapan yang sulit diartikan, alisnya terangkat seolah menilai situasi.
Dania mengangguk cepat, merasa putus asa. “S-selama itu bukan sesuatu yang tidak pantas,” tambahnya cepat, khawatir pria ini akan mengambil keuntungan dari situasi tersebut.
Pria itu menghela napas, lalu perlahan menjauh dari Dania. “Baiklah,” katanya dingin, “tapi kau harus mengikuti petunjukku.”
Dania mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya mengerti maksud pria itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, pria itu mendekat, menarik Dania lebih dekat ke tubuhnya. Sebelum Dania sempat protes, pria itu membuka kancing kemejanya, menampakkan dadanya yang bidang. Dania hanya bisa terdiam, wajahnya memerah karena jarak mereka yang sangat dekat.
Suara langkah kaki kasar dan suara pintu kamar yang dibuka paksa terdengar jelas.
“Dia pasti di sini!”
Dania menggigit bibir, ketakutan mulai menguasai dirinya. Ketika akhirnya pintu kamar mereka yang digedor, Dania hampir saja panik, namun pria itu tetap tenang.
Dengan satu gerakan cepat, pria itu membuka pintu kamar lebar-lebar, menatap dingin pada orang-orang yang mengejar Dania, mereka pun terkejut melihatnya.
“Kalian mau apa?” suaranya terdengar tajam, membuat para pria yang hendak menerobos masuk seketika membeku.
“T-Tuan Mark!” salah satu dari mereka tergagap, wajahnya langsung pucat.
Dania tertegun, jantungnya berdebar lebih kencang. Nama itu … Mark, pewaris V-One Group, salah satu perusahaan teknologi terbesar di Asia. Orang yang selama ini hanya dia dengar dalam berita dan rumor.
Mark menatap mereka dengan tatapan yang menusuk, seolah menantang mereka untuk berbuat lebih jauh. “Kalian mengganggu saya!” ancamnya dingin.
Para pengejar itu langsung mundur, kebingungan di wajah mereka jelas terlihat. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya berbalik dan pergi dari kamar milik Mark dengan cepat, meninggalkan Mark dan Dania dalam keheningan yang tegang.
Setelah yakin mereka benar-benar pergi, Mark melepaskan cengkeramannya pada Dania. “Ingat utangmu padaku,” katanya dengan nada tenang namun tegas.
Dania mengangguk, masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. “T-terima kasih …,” ucapnya pelan, masih merasa tidak percaya dengan keberuntungannya.
“Jangan senang dulu,” kata Mark, mengenakan kembali dasinya. “Ini belum selesai.”
"Maksudmu?" tanya Dania, alisnya terangkat, nada suaranya mulai dipenuhi rasa curiga. “Apa yang sebenarnya kau inginkan atas pertolongan yang kau berikan tadi?” Pikirannya berputar, mencoba mencari alasan di balik tindakan Mark yang penuh teka-teki ini.Mark, pria dengan postur tegap dan wajah dingin, menatap Dania dengan pandangan yang sulit ditebak. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum yang nyaris tidak terlihat, lebih menyerupai garis lurus yang tanpa emosi. "Kau harus membayar utangmu sekarang juga," katanya dengan nada yang datar, tanpa sedikit pun intonasi yang menunjukkan emosi.Dania terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata pria di hadapannya. "Utang?" gumamnya dalam hati. Namun, sebelum ia sempat mempertanyakan lebih jauh, Mark melanjutkan kalimatnya, membuat dada Dania semakin sesak oleh kecemasan yang menekan.“Apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan suara yang bergetar, meskipun ia berusaha keras untuk terdengar tenang.Tanpa menjawab pertanyaan Dania, Mark tiba-t
"Apa?!" Suara Alex seperti guntur yang menggema di langit yang gelap. Matanya, penuh keterkejutan, menatap tak percaya pada putra sulungnya. "Bagaimana bisa? Apa kau yakin, Mark?""Ya Tuhan, Mark ... kenapa kau tidak memberitahu kami sebelumnya?" ucap Sarah, suaranya penuh dengan kegelisahan dan ketidakpercayaan. Matanya, yang selalu penuh kasih, kini menatap anaknya dengan campuran perasaan yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata.Mark mengangkat tangan kirinya. Memperlihatkan cincin di jarinya, simbol ikatan yang tak terbantahkan."Ya, aku serius. Kalian tidak melihat, kami mengenakan cincin ini," katanya dengan nada dingin yang memotong udara seperti belati.Sarah tertegun, sorot matanya yang biasa lembut kini dipenuhi kebingungan. "Tapi ... kenapa? Maksudku, kenapa kau tidak memberitahu kami jika kau sudah menikah, Mark?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.Dania, yang sedari tadi hanya menjadi bayangan yang setia di sis
Malam sudah semakin larut ketika pesta yang penuh keriuhan dan tawa itu akhirnya usai. Semua tamu telah pulang, meninggalkan keheningan yang perlahan menguasai setiap sudut rumah mewah itu. Mark dan Dania akhirnya pamit untuk pulang dari rumah tersebut.Mark, yang sudah sejak lama tidak tinggal di rumah orang tuanya sejak lima tahun yang lalu. Kemudian mengajak Dania menuju mobil yang terparkir rapi di halaman. “Mulai malam ini, kau tinggal di rumahku,” ucap Mark tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh dengan kepastian yang tak terbantahkan.Dania yang mendengarnya sontak menoleh, matanya membelalak dengan tatapan tak percaya. Mereka masih berada di dalam mobil yang kini telah berhenti di halaman sebuah rumah yang tidak kalah megahnya dari rumah orang tua Mark.“Apa? Bagaimana bisa? Antarkan aku pulang ke rumahku, Tuan Mark,” desis Dania dengan nada yang lebih menyerupai perintah daripada permintaan.Mark menoleh sekilas ke arah Dania dengan tatapan yang sulit diartikan. “Jangan pangg
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Dania merasakan tubuhnya terasa berat, seperti ada bebatuan yang menimpanya. Ia lantas menoleh ke samping kiri, dan seketika mata Dania membulat sempurna, terkejut melihat sosok yang terbaring di sampingnya.Mulutnya refleks tertutup oleh tangan, mencoba menahan pekikan yang hampir meluncur keluar. ‘Apa terjadi sesuatu semalam?’ pikirnya dalam hati, panik menyeruak dalam pikirannya yang masih setengah sadar.Dania segera menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, matanya terbelalak, namun kali ini lebih karena rasa lega. Pakaiannya masih lengkap, sama seperti saat ia mengenakannya sebelum tidur.‘Syukurlah,’ batinnya, meski perasaan lega itu hanya bertahan sesaat sebelum suara berat dan serak yang familiar menyelusup ke telinganya. Kalau bukan karena Mark yang mengancamnya akan mengurungnya di gudang, mana mau Dania tidur dengannya. “Sudah bangun,hm?” Suara itu milik Mark, masih terbaring di sampingnya dengan mata tertutup, namun nadanya begit
Dania menoleh perlahan, seakan waktu melambat saat ia mengamati setiap garis tajam di wajah Mark.Mata kelam pria itu menatap Cindy dengan kebencian yang begitu terang, membuat suasana ruangan seolah membeku dalam ketegangan. Bibirnya terkatup rapat, dagunya terangkat tinggi, menandakan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat."Apa maksudmu, Mark?" tanya Cindy dengan nada marah, matanya menyala penuh emosi. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Mark, seolah sentuhan itu telah menjadi duri yang menusuk kulitnya.Mark menghela napas panjang, seolah berusaha menahan amarah yang membara di dalam dadanya. “Pergi dari rumahku sebelum aku memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar,” ucapnya dingin, suaranya bergetar dengan ancaman yang jelas.Perkataan itu menyulut kemarahan Cindy. Dengan wajah memerah, ia mendesis, “Argh!” sebelum akhirnya berbalik dan pergi dengan langkah cepat, menghentak-hentakkan kakinya di atas lantai marmer yang dingin.Mark tidak memedulikan Cindy lagi. Ia ber
"Kenapa? Apa pertanyaanku terlalu berat, sampai membuatmu tersedak?" tanyanya, suaranya terdengar halus namun tajam, seperti mata pisau yang menyusuri permukaan sutra.Dania mengambil gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar, meneguk airnya perlahan, mencoba mengumpulkan pikirannya yang terpecah-pecah."Tidak," jawabnya setelah beberapa saat, suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan. "Aku hanya terkejut saja, pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulutmu."Mark menghela napas kasar, suaranya menyerupai desahan angin yang berhembus melewati pepohonan di malam hari. Ia bangkit dari duduknya, menatap Dania dengan sorot mata yang sulit diartikan."Tidak masalah jika memang kau sudah melupakan pria itu," ucapnya dengan nada datar, sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Dania yang masih terdiam di kursinya.Dania mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari kata-kata suaminya. Apakah Mark merasa lega karena ia sudah tidak mencintai Kevin? Ataukah ada sesuatu ya
Mark mengangkat wajahnya, menatap ibunya yang masih menunggu jawaban dengan penuh harap. Di sebelahnya, Dania terdiam, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia tahu, dalam situasi ini, lebih baik diam dan membiarkan Mark yang mengambil alih percakapan. Biarlah dia yang berbicara, biarlah dia yang memberikan penjelasan."Ibu," katanya dengan nada yang begitu tenang, namun dingin, seakan mencoba untuk menekan setiap emosi yang mendidih di dalam dirinya, "Kami baru saja menikah. Tidak pantas jika harus menanyakan soal anak sementara umur pernikahan kami baru dua hari.""Kami masih ingin menikmati masa-masa pernikahan kami dulu," lanjut Mark tanpa jeda, "Belum memikirkan tentang anak."Namun, sebelum kata-kata itu benar-benar dapat meresap ke dalam pikiran Sarah, suara lain yang lebih keras dan tegas memecah keheningan. "Kenapa harus ditunda-tunda, Mark?" suara Alex meluncur dengan nada yang mulai mengintimidasi. "Jika memang benar kalian sudah menikah, untuk apa menunda kehamilan? La
Dania menghela napas dalam-dalam, matanya terfokus tajam pada sosok suaminya yang berdiri di hadapannya. Udara di antara mereka penuh dengan ketegangan yang membara, seperti api yang siap membakar segalanya dalam sekejap.“Tidak. Aku tetap akan bekerja meskipun kau akan memberiku apa pun yang aku inginkan!” ucap Dania dengan nada suara yang penuh ketegasan, seolah-olah setiap kata adalah sebuah pedang yang menghunus ke dalam hati Mark.“Dania!” Mark berusaha menahan emosinya, menatap tajam ke arah wajah istrinya yang ternyata lebih kuat dari yang ia bayangkan.Tak ada lagi kelembutan dalam tatapannya, hanya ada hasrat untuk menang, untuk mendominasi. Namun, wajah Dania tetap teguh, sekeras batu karang yang menantang ombak ganas.“Apa? Kau ingin membuatku terkurung di sini? Menjadi istri yang tidak melakukan apa pun selain menunggu kepulangan suaminya? Itu, maksudmu?” Dania menantangnya dengan suara lantang, penuh dengan keberanian yang hanya dimiliki oleh mereka yang tahu apa yang mer