Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Dania merasakan tubuhnya terasa berat, seperti ada bebatuan yang menimpanya.
Ia lantas menoleh ke samping kiri, dan seketika mata Dania membulat sempurna, terkejut melihat sosok yang terbaring di sampingnya.
Mulutnya refleks tertutup oleh tangan, mencoba menahan pekikan yang hampir meluncur keluar. ‘Apa terjadi sesuatu semalam?’ pikirnya dalam hati, panik menyeruak dalam pikirannya yang masih setengah sadar.
Dania segera menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, matanya terbelalak, namun kali ini lebih karena rasa lega. Pakaiannya masih lengkap, sama seperti saat ia mengenakannya sebelum tidur.
‘Syukurlah,’ batinnya, meski perasaan lega itu hanya bertahan sesaat sebelum suara berat dan serak yang familiar menyelusup ke telinganya. Kalau bukan karena Mark yang mengancamnya akan mengurungnya di gudang, mana mau Dania tidur dengannya.
“Sudah bangun,hm?” Suara itu milik Mark, masih terbaring di sampingnya dengan mata tertutup, namun nadanya begitu tegas, membuat darah Dania seketika berdesir.
Dania menoleh, namun Mark masih memejamkan mata. Entah dia benar-benar masih tertidur atau sedang berpura-pura, Dania tak bisa memastikan. Ia hanya bisa mendehem, mencoba mengalihkan rasa gugup yang membebani dadanya sejak semalam. Perasaannya masih kacau, tak menentu, seperti ombak yang menghempas keras di tengah badai.
“Aku … aku hanya–”
“Aku tidak akan menyentuhmu dalam keadaan tidak sadar. Aku bukan pria seperti itu,” suara Mark terdengar lagi, kali ini lebih tenang, meski tak kalah tegas.
Dania bisa merasakan kejujuran dalam kata-katanya, membuat rasa bersalah perlahan merayap masuk ke dalam hatinya. Dia merasa bodoh karena sempat berpikir yang tidak-tidak tentang Mark.
Mark beranjak dari tempat tidur tanpa melihat ke arah Dania. Dengan langkah tenang, ia menuju kamar mandi, meninggalkan Dania yang masih terpaku di tempat tidur. Hatinya dilanda perasaan yang sulit dijelaskan—antara rasa syukur, lega, dan kebingungan.
Dia tahu bahwa Mark memiliki semua hak sebagai suaminya, namun pria itu memilih untuk tidak melanggar batas.
“Pernikahan ini memang hanya di atas kertas. Tapi, Mark benar. Aku adalah istri sahnya.” Dania memejamkan mata, merasakan kebingungan yang semakin dalam menghantui dirinya.
Tiba-tiba, suara bel dari pintu depan menggema di seluruh rumah, memecah keheningan dan mengalihkan perhatiannya.
Dengan cepat, Dania bangkit dari tempat tidur. Meski dia tahu bahwa rumah ini dipenuhi pelayan yang siap melayani setiap kebutuhan, rasa penasaran membuatnya ingin melihat sendiri siapa yang datang di pagi buta seperti ini.
“Biar aku saja yang membukanya,” ucapnya kepada pelayan yang hendak menuju pintu.
Dania melangkah ke depan pintu lalu memutar kenop pintu utama. Saat pintu terbuka, alisnya terangkat tinggi, melihat siapa yang berdiri di sana.
‘Bahkan alamat rumah Mark di sini pun dia tahu. Astaga. Ternyata benar, dia tahu banyak tentang Mark,’ pikir Dania sambil menahan napas.
“Cindy? Ada apa pagi-pagi sekali kemari?” tanya Dania, mencoba tetap ramah meskipun hatinya sedang berkecamuk.
Ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul, seolah keberadaan Cindy di rumah ini adalah ancaman yang tidak bisa dia abaikan.
Cindy, wanita dengan penampilan anggun namun tatapan yang dingin, menatap Dania dengan pandangan penuh tanya. “Dania? Apa yang kau lakukan di sini?” Cindy bertanya dengan nada tak percaya. Seolah dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Dania adalah istri Mark.
Padahal kedatanganya ke sana untuk memastikan sesuatu, bahwa pernikahan Mark dan Dania tidak ada. Namun, apa yang dia lihat saat ini sangat jauh di luar ekspektasinya.
Dania mengerutkan kening, merasa jengkel dengan ucapan Cindy. “Tentu saja tinggal di sini. Aku kan, istrinya Mark.” Kata-kata itu meluncur dari bibirnya dengan nada tegas, meski dalam hatinya, dia merasakan getaran aneh yang sulit dia pahami.
Ucapan itu terasa asing, seperti peran yang harus dia mainkan, namun bukan peran yang diinginkannya.
“Ada apa datang kemari, Cindy? Ada urusan dengan Mark?” tanya Dania lagi.
Namun, Cindy tidak mengindahkan pertanyaan Dania. Dia memasuki rumah itu meski Dania belum menyuruhnya. Dania kemudian melihat tangan kiri Cindy yang membawa sesuatu, sepertinya makanan, pikir Dania.
“Tidak perlu repot-repot membawakan makanan untuk suamiku. Mulai hari ini, segala sesuatu yang dibutuhkan Mark akan disiapkan olehku,” ucapnya mencoba untuk berperan sebagai istri yang baik, tentu saja hanya di hadapan wanita ini.
Cindy kemudian membalikan tubuhnya, wajahnya seketika berubah, matanya menyipit penuh kebencian. “Kurang ajar! Kau pikir kau siapa, berani berucap seperti itu? Ingat, Dania. Sebelum kau hadir di hidup Mark, aku yang lebih dulu ada dalam hidupnya!” Nada suaranya semakin tinggi, dan amarah mulai menguasai dirinya.
Dania tetap tenang meskipun hatinya mendidih mendengar ucapan Cindy. Dia menatap Cindy dengan sorot mata yang tajam, mencoba mempertahankan posisinya.
“Ya, aku tahu. Tapi, perlu kau garisbawahi bahwa … pemenang sebenarnya adalah dia yang dijadikan miliknya selamanya. Itu artinya, akulah yang akan menemani Mark karena aku, adalah istrinya.”
Kata-kata itu seperti pisau yang mengiris hati Cindy. Wajahnya memerah karena amarah yang meluap, dan tanpa berpikir panjang, dia menyunggingkan senyum sinis, penuh kebencian.
“Kau pikir aku bodoh?” katanya dengan nada mengejek. “Selama ini Mark tidak pernah mau menjalin hubungan dengan siapa pun. Lalu, kau datang dan mengatakan kalau kalian sudah menikah bahkan telah menjalin hubungan selama satu tahun.”
Suaranya berubah menyeramkan, penuh kebencian yang mendalam. “Ini benar-benar fenomena paling mustahil dalam hidup Mark. Kau tahu? Aku jauh lebih tahu tentang Mark daripada dirimu.”
Dania menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya yang hampir terbawa emosi. “Sayangnya, apa yang kau tahu belum tentu benar, Cindy. Ingat, apa yang Mark katakan padamu kemarin malam? ‘Urusan Mark, bukan urusanmu!’” Kata-katanya tegas, meski ada getaran halus dalam suaranya, namun tekadnya tak tergoyahkan.
Cindy geram, wajahnya memerah karena amarah yang membakar. Tanpa berpikir panjang, dia mengangkat tangannya, hendak menampar wajah Dania.
Namun, gerakannya terhenti seketika ketika tangan itu ditahan dengan genggaman kuat. Cindy menoleh dengan terkejut, mendapati Mark yang berdiri di sampingnya, tatapannya dingin dan penuh ancaman.
“Berani menyentuh istriku, kau akan mati di tanganku!”
Dania menoleh perlahan, seakan waktu melambat saat ia mengamati setiap garis tajam di wajah Mark.Mata kelam pria itu menatap Cindy dengan kebencian yang begitu terang, membuat suasana ruangan seolah membeku dalam ketegangan. Bibirnya terkatup rapat, dagunya terangkat tinggi, menandakan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat."Apa maksudmu, Mark?" tanya Cindy dengan nada marah, matanya menyala penuh emosi. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Mark, seolah sentuhan itu telah menjadi duri yang menusuk kulitnya.Mark menghela napas panjang, seolah berusaha menahan amarah yang membara di dalam dadanya. “Pergi dari rumahku sebelum aku memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar,” ucapnya dingin, suaranya bergetar dengan ancaman yang jelas.Perkataan itu menyulut kemarahan Cindy. Dengan wajah memerah, ia mendesis, “Argh!” sebelum akhirnya berbalik dan pergi dengan langkah cepat, menghentak-hentakkan kakinya di atas lantai marmer yang dingin.Mark tidak memedulikan Cindy lagi. Ia ber
"Kenapa? Apa pertanyaanku terlalu berat, sampai membuatmu tersedak?" tanyanya, suaranya terdengar halus namun tajam, seperti mata pisau yang menyusuri permukaan sutra.Dania mengambil gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar, meneguk airnya perlahan, mencoba mengumpulkan pikirannya yang terpecah-pecah."Tidak," jawabnya setelah beberapa saat, suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan. "Aku hanya terkejut saja, pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulutmu."Mark menghela napas kasar, suaranya menyerupai desahan angin yang berhembus melewati pepohonan di malam hari. Ia bangkit dari duduknya, menatap Dania dengan sorot mata yang sulit diartikan."Tidak masalah jika memang kau sudah melupakan pria itu," ucapnya dengan nada datar, sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Dania yang masih terdiam di kursinya.Dania mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari kata-kata suaminya. Apakah Mark merasa lega karena ia sudah tidak mencintai Kevin? Ataukah ada sesuatu ya
Mark mengangkat wajahnya, menatap ibunya yang masih menunggu jawaban dengan penuh harap. Di sebelahnya, Dania terdiam, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia tahu, dalam situasi ini, lebih baik diam dan membiarkan Mark yang mengambil alih percakapan. Biarlah dia yang berbicara, biarlah dia yang memberikan penjelasan."Ibu," katanya dengan nada yang begitu tenang, namun dingin, seakan mencoba untuk menekan setiap emosi yang mendidih di dalam dirinya, "Kami baru saja menikah. Tidak pantas jika harus menanyakan soal anak sementara umur pernikahan kami baru dua hari.""Kami masih ingin menikmati masa-masa pernikahan kami dulu," lanjut Mark tanpa jeda, "Belum memikirkan tentang anak."Namun, sebelum kata-kata itu benar-benar dapat meresap ke dalam pikiran Sarah, suara lain yang lebih keras dan tegas memecah keheningan. "Kenapa harus ditunda-tunda, Mark?" suara Alex meluncur dengan nada yang mulai mengintimidasi. "Jika memang benar kalian sudah menikah, untuk apa menunda kehamilan? La
Dania menghela napas dalam-dalam, matanya terfokus tajam pada sosok suaminya yang berdiri di hadapannya. Udara di antara mereka penuh dengan ketegangan yang membara, seperti api yang siap membakar segalanya dalam sekejap.“Tidak. Aku tetap akan bekerja meskipun kau akan memberiku apa pun yang aku inginkan!” ucap Dania dengan nada suara yang penuh ketegasan, seolah-olah setiap kata adalah sebuah pedang yang menghunus ke dalam hati Mark.“Dania!” Mark berusaha menahan emosinya, menatap tajam ke arah wajah istrinya yang ternyata lebih kuat dari yang ia bayangkan.Tak ada lagi kelembutan dalam tatapannya, hanya ada hasrat untuk menang, untuk mendominasi. Namun, wajah Dania tetap teguh, sekeras batu karang yang menantang ombak ganas.“Apa? Kau ingin membuatku terkurung di sini? Menjadi istri yang tidak melakukan apa pun selain menunggu kepulangan suaminya? Itu, maksudmu?” Dania menantangnya dengan suara lantang, penuh dengan keberanian yang hanya dimiliki oleh mereka yang tahu apa yang mer
“Kedatanganku ke sini ingin memberitahu kalian berdua, bahwa hari ini adalah hari terakhir istriku bekerja.”Kevin dan Marsha membeku di tempat mereka berdiri, tercengang oleh pengakuan tiba-tiba dari Mark. Wajah mereka memucat, seolah darah mereka mengalir mundur, diserap oleh kekosongan yang tiba-tiba menghantam mereka. Begitu juga Dania, yang berdiri terpaku di samping Mark. Ia tidak pernah menyangka Mark akan melakukan ini—mengumumkan kepada semua orang bahwa mereka adalah suami istri. Dania merasakan jantungnya berdebar kencang, tidak tahu harus merasa lega atau marah.“Suami ...?” bisik Marsha pelan, matanya membesar seperti bulan purnama, terpaku pada Mark yang berdiri dengan tenang, seolah-olah segala hal yang terjadi ini adalah bagian dari rencana yang telah lama direncanakannya.Mark tidak memperhatikan keterkejutan yang jelas tergambar di wajah Marsha dan Kevin. Ia memegang erat tangan Dania, menariknya lebih dekat, seakan menegaskan kepemilikannya. “Ya, suami,” ulangnya,
Dania mengepalkan tangannya kuat-kuat, mencoba menahan ledakan emosi yang terus membara di dalam dirinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Mark tadi terasa seperti duri yang menusuk hatinya, membuat luka yang semakin dalam."Kenapa kau terus mengancamku seperti ini, Mark?" suaranya meninggi, penuh dengan kemarahan yang tak lagi bisa ia bendung.Dia ingin berteriak, ingin membalas segala kekangan yang selama ini mengikatnya. “Aku bukan hewan peliharaanmu yang harus patuh pada tuannya! Aku punya hak untuk melakukan apa pun yang aku inginkan!”Mark hanya berdiri di sana, tatapannya dingin dan datar, seolah-olah apa yang dikatakan Dania tidak memiliki arti apa pun baginya. Kesunyian di antara mereka terasa begitu mencekam, seperti badai yang akan segera meledak namun tertahan di ujung angin.Dania merasakan jantungnya berdebar semakin kencang, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga karena perasaan kecewa yang semakin mengakar dalam hatinya. Di hadapan tatapan kosong Mark, dia merasa
“Argh! Mark membuatku frustasi!”Dania menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tengah, frustrasi dan lelah. Kegagalannya untuk melarikan diri tadi sore membuat pikirannya terus berputar mencari jalan keluar lain.Dia tidak pernah menyangka bahwa Mark akan begitu cerdik dan menjaga rumah dengan ketat, seperti benteng yang mustahil ditembus. Dia melihat keluar jendela, menatap ke arah gerbang depan yang sekarang dijaga oleh dua orang pria berbadan tegap.Bahkan pintu gerbang otomatisnya pun tampaknya telah diprogram untuk menolak setiap upaya pelarian. Bagaimana Mark bisa tahu? pikirnya. Dania menggigit bibir bawahnya, merasakan adrenalin mengalir dengan cepat di nadinya.Sore itu, saat dia mencoba menyelinap keluar melalui pintu belakang, tiba-tiba seorang pria berbadan besar menghadangnya. Dengan tatapan dingin dan suara rendah, pria itu memerintahkannya untuk kembali ke dalam rumah.Tanpa banyak pilihan, Dania terpaksa menurut. Hatinya be
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai yang masih tertutup sebagian. Kamar terasa sepi, hanya suara detak jam dinding yang mengisi keheningan.Dania masih terbaring di tempat tidur, pikirannya dipenuhi oleh kejadian semalam. Mata yang lelah menatap kosong ke langit-langit, mencoba mencari ketenangan yang tak kunjung datang.Pintu kamar terbuka perlahan. Mark masuk dengan langkah tenang, ekspresinya tampak lebih lembut daripada biasanya.Di tangannya, dia membawa sebuah kartu kecil berwarna hitam yang berkilauan di bawah cahaya matahari pagi. Black card, simbol kekayaan tanpa batas, sebuah kartu yang memberi akses ke segala kemewahan dunia.Mark mendekat, menyodorkan black card itu ke arahnya. “Ini. Pergilah belanja, semaumu. Beli apa pun yang kau inginkan.”Dania menatap kartu itu dengan alis terangkat. Dia tahu Mark berusaha menenangkan suasana, berusaha membeli kedamaian dengan cara yang paling mudah baginya.Tapi baginya, kartu itu hanya simbol lain dari kendali y
Malam itu suasana rumah terasa hangat, tetapi sedikit riuh dengan suara percakapan yang mengisi ruang tengah.Clara masih berdiri di tempatnya, tangan terlipat di dada dengan ekspresi serius yang belum juga memudar.Di depannya, Mark hanya bisa menghela napas, mencoba memahami sikap putrinya yang tampaknya tak mau mundur.“Tidak! Biarkan Mommy saja yang peduli padamu,” ujar Clara dengan nada tegas, matanya menatap tajam ke arah ayahnya. “Untuk saat ini, aku sedang ingin memarahimu.”Mark mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sambil mengembungkan pipinya seperti anak kecil. Namun, di dalam hatinya, ia tidak benar-benar marah.Ia tahu Clara sedang meluapkan emosinya, dan sebagai seorang ayah, ia memilih untuk bersabar. Toh, ia pun pernah berada di posisi Clara—jatuh cinta dan begitu peduli pada seseorang.Mark pun hanya menghela napas dan mengangkat tangan seolah menyerah. “Baiklah, Tuan Putri. Daddy akan menerima semua kemarahanmu dengan lapang dada,” ujarnya dengan nada bercanda,
“Apa kau belum makan siang?” tanya Clara dengan nada lembut, tetapi ada kekhawatiran yang terselip di sana.Clara duduk berhadapan dengan Stevan, mengamati dengan penuh perhatian bagaimana pria itu begitu lahap menyantap makan siangnya.Wajah Stevan tampak sedikit lelah, tetapi matanya masih bersinar, mencerminkan semangat yang tak pernah luntur.Clara melirik jam di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah menunjuk angka dua, dan ia mengerutkan dahi kecilnya.Stevan, yang tengah sibuk dengan suapan nasi dan lauk di hadapannya, mendongak sejenak. Bibirnya membentuk senyum cengengesan khasnya.“Lebih tepatnya, belum makan sejak pagi tadi,” jawabnya santai. Ia kemudian mengusap mulutnya dengan tisu sebelum melanjutkan.“Aku lupa sarapan karena harus mengikuti meeting dengan ayahmu. Jadi, aku baru sempat mengisi perutku sekarang.”Clara mendesah pelan, matanya menatap Stevan dengan sedikit protes. “Bisa-bisanya kau bekerja dengan perut kosong. Memangnya otakmu bisa konsen?” tanyanya, me
Clara duduk di bangku taman kampus, mengerutkan kening sambil menatap layar ponselnya yang sudah redup sejak tadi. Pesannya ke Stevan tak juga mendapat balasan. Ia melirik jam di sudut layar: pukul satu siang. Waktu sudah mepet, dan dalam satu jam lagi ia harus pulang.“Ke mana Uncle Stevan?” gumam Clara sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya ke layar ponsel. Ia menggigit bibir bawahnya, kebiasaan lamanya saat merasa gelisah. “Tumben sekali pesanku belum dia balas.”Ia bersandar di bangku dan memandangi awan yang berarak di langit. Kecurigaan mulai merayap di benaknya.“Sepertinya Daddy mulai membuat Uncle Stevan sibuk. Bisa-bisanya sudah pukul satu dan dia belum juga online,” keluhnya, memicing curiga. Ia tahu betul bagaimana ayahnya selalu menyeret Stevan ke dalam urusan kantor, bahkan di luar jam kerja.“Clara?” Sebuah suara laki-laki yang lembut namun tegas menyapanya, memecah lamunannya.Clara mengangkat kepala, mendapati Matthew berdiri beberapa langkah darinya. Pemuda itu terseny
“Kau serius, akan menikah dengan Uncle Stevan?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan.Clara menoleh, menatap Samuel dengan alis terangkat. “Kenapa?” tanyanya santai sambil meniup perlahan kukunya agar cepat kering.“Kau takut media mempermasalahkannya? Bukankah mereka sudah tahu yang sebenarnya?”Samuel menghela napas kasar, berjalan masuk dan menjatuhkan tubuhnya di kursi dekat meja rias Clara.“Tidak. Aku tidak mempermasalahkan itu,” ucapnya dengan nada datar. “Justru aku bingung, kenapa Uncle Stevan bisa mencintai wanita aneh sepertimu.”Clara sontak menyunggingkan senyum sinis. Ucapan Samuel selalu punya cara untuk membuat darahnya naik, meskipun ia tahu itu hanya cara Samuel menggoda.“Kau ingin tahu jawabannya, Sam?” Clara meletakkan kuas kuteksnya, menatap Samuel dengan ekspresi penuh tantangan.“Coba menjalin hubungan, biar kau tahu bahwa cinta itu nyata!” sengalnya dengan nada yang sengaja dibuat menusuk.Samuel malah mengangkat bahu, seolah tidak terpengaruh sedikit pun. “
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana pesta yang digelar untuk menyambut Stevan sebagai CEO baru Kv’s Group semakin meriah.Aula megah itu dipenuhi tamu-tamu berpakaian formal, dengan gelas-gelas anggur yang berkilau di bawah cahaya lampu kristal.Denting piano dari sudut ruangan menciptakan suasana elegan, sementara obrolan dan tawa memenuhi udara.Stevan berdiri di salah satu sisi ruangan, dikelilingi oleh beberapa eksekutif perusahaan yang memberikan ucapan selamat kepadanya. Wajahnya tetap tenang, meski malam itu sebenarnya menguras banyak energi emosinya.“Congrats, Uncle. Kau berhak mendapatkan ini semua,” suara Samuel memecah pikirannya. Pemuda itu menepuk pundaknya dengan senyum percaya diri yang khas.Stevan menoleh dan mengulas senyum kecil. “Terima kasih, Sam. Fokus belajar, kau harus masuk universitas terbaik untuk menggantikan posisi ayahmu suatu hari nanti.”Samuel menyeringai kecil, matanya memancarkan keyakinan. “Mudah bagiku, Uncle. Bahkan saat ini
“Setelah delapan belas tahun lamanya Kv’s Group berada di bawah naungan Tuan Mark Louis Evander,” ujarnya, menghentikan kalimatnya sejenak untuk memberi waktu pada hadirin yang kembali bertepuk tangan.“Kita semua mengakui dan sangat mengagumi keberhasilan yang telah beliau berikan pada Kv’s Group. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan ini tidak hanya bertahan tetapi berkembang menjadi salah satu konglomerasi terbesar di dunia.”Suasana ruang rapat utama Kv’s Group dipenuhi oleh para jajaran eksekutif, investor, dan awak media yang sudah siap dengan kamera dan mikrofon.Sorotan lampu terang menerangi podium yang berdiri megah di tengah ruangan, tempat Mark Louis Evander berdiri dengan karisma khasnya, tersenyum tipis di tengah riuh tepuk tangan yang membahana.Seorang pembawa memulai pidato dengan suara yang lantang dan penuh wibawa.Mark mengangguk pelan sebagai tanda terima kasih, tetapi senyumnya tidak memudar sedikit pun.Pembawa acara melanjutkan, “Karena beliau telah mendapatkan
Stevan berdiri di samping mobilnya, melipat lengan di depan dada sambil mengamati gerbang megah kampus tempat Clara menuntut ilmu.Langit sore mulai memerah, memberikan nuansa hangat yang kontras dengan suasana hatinya yang tengah diliputi beragam pikiran. Langkah cepat Clara yang mendekatinya menariknya kembali ke kenyataan.“Sudah lama, menunggu?” tanya Stevan seraya melirik ke arah wanita muda itu.Clara mendengus kecil, kedua tangannya terlipat di dada, matanya menatapnya tajam. “Ya! Setengah jam lamanya aku menunggumu, Uncle!” protes Clara dengan nada setengah manja, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang sedang merajuk.Stevan hanya terkekeh menanggapi. Dengan lembut, ia mengusap pucuk kepala Clara, membuat rambut panjangnya sedikit berantakan.“Maafkan aku. Jalanan macet,” balasnya dengan nada menggoda.Clara mendengus lagi, tapi kali ini dengan nada menyerah. “Huh, alasanmu selalu macet.”Setelah itu, keduanya masuk ke dalam mobil. Stevan memutar kunci, dan suara mesin ya
Gedung Kv’s Group berdiri megah dengan desain modern nan elegan, mencerminkan kesuksesan yang telah dibangun selama bertahun-tahun.Di salah satu ruangan di lantai tertinggi, Stevan duduk di hadapan Mark, kakaknya, yang kini memimpin perusahaan itu.Di tangannya, sebuah dokumen tebal dengan kop surat resmi Kv’s Group tampak mencolok. Wajah Stevan dipenuhi kebingungan.“Apa ini, Kak?” tanya Stevan, keningnya mengerut saat membaca baris pertama dokumen tersebut. Ia melirik Mark yang duduk tenang di kursinya, dengan ekspresi penuh percaya diri.Mark melipat tangannya di atas meja kaca besar. “Sudah satu bulan lamanya kami berunding untuk posisi CEO di Kv’s Group yang sudah hampir tujuh belas tahun ini masih aku pegang,” katanya pelan namun tegas, menatap adiknya dengan tatapan tajam.Stevan mengangkat wajahnya dari dokumen itu, menatap Mark yang terlihat begitu serius.“Menunggu Samuel masih lama,” lanjut Mark, menyebut nama putra sulungnya. “Mungkin tujuh sampai delapan tahun baru bisa
“Wow! My Dad is amazing!” seru Clara dengan nada ceria yang begitu khasnya, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah impian.Ia menggeleng-gelengkan kepala sembari bertepuk tangan, seolah ingin menyambut kabar dari Mark dengan sorak kemenangan.Aura antusiasnya memenuhi ruang itu, melengkapi suasana penuh rencana yang menggantung di udara.“Stevan sudah tahu soal ini, Mark?” tanya Dania, suaranya lembut namun sarat perhatian, sembari menyuapkan anggur hijau ke bibirnya yang merah alami.Matanya menatap Mark penuh rasa ingin tahu, seolah mencari tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh suaminya itu.Mark menggeleng pelan, bibirnya tersungging dengan senyuman kecil yang penuh rahasia. “Belum,” jawabnya santai, sembari melipat kedua tangannya di atas meja.“Aku akan mengumpulkan jajaran terlebih dahulu untuk memberitahu bahwa Kv’s Group akan dipimpin oleh Stevan. Ini akan menjadi kejutan untuknya.”“Well, Dad,” sela Samuel, suara beratnya memotong percakapan s