Malam sudah semakin larut ketika pesta yang penuh keriuhan dan tawa itu akhirnya usai. Semua tamu telah pulang, meninggalkan keheningan yang perlahan menguasai setiap sudut rumah mewah itu. Mark dan Dania akhirnya pamit untuk pulang dari rumah tersebut.
Mark, yang sudah sejak lama tidak tinggal di rumah orang tuanya sejak lima tahun yang lalu. Kemudian mengajak Dania menuju mobil yang terparkir rapi di halaman.
“Mulai malam ini, kau tinggal di rumahku,” ucap Mark tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh dengan kepastian yang tak terbantahkan.
Dania yang mendengarnya sontak menoleh, matanya membelalak dengan tatapan tak percaya. Mereka masih berada di dalam mobil yang kini telah berhenti di halaman sebuah rumah yang tidak kalah megahnya dari rumah orang tua Mark.
“Apa? Bagaimana bisa? Antarkan aku pulang ke rumahku, Tuan Mark,” desis Dania dengan nada yang lebih menyerupai perintah daripada permintaan.
Mark menoleh sekilas ke arah Dania dengan tatapan yang sulit diartikan. “Jangan panggil aku Tuan, Dania. Aku ini suamimu,” jawabnya dengan suara yang dalam, sebelum keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu utama rumah.
Dania, yang masih terkejut dengan pernyataan Mark, bergegas keluar dari mobil dan dengan langkah cepat mengejar pria itu yang sudah lebih dulu berjalan memasuki rumah megah tersebut. Hatinya berdegup kencang, seolah ada sesuatu yang tak terduga akan segera terjadi.
“Mark …,” panggil Dania dengan suara yang nyaris berbisik, namun cukup untuk membuat Mark berhenti sejenak.
Mark berbalik, menatap Dania dengan tatapan yang tak tergoyahkan. “Dania, status kita sudah menjadi suami istri. Maka, tidak ada yang salah jika kita tinggal dalam satu rumah,” ujar Mark, suaranya penuh dengan keyakinan yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat.
“Bahkan dalam satu kamar,” sambungnya dengan raut wajah datarnya.
Dania terperangah, matanya membulat sempurna mendengar ucapan Mark yang terdengar sangat meyakinkan, seolah bukan sekadar bualan semata.
“Apa? Kau serius?” Dania berusaha mencari kepercayaan pada setiap kata yang keluar dari bibir Mark, namun yang dia temukan hanyalah semakin dalamnya jurang ketidakpastian.
Saat mereka melangkah masuk ke dalam rumah, Dania tak bisa menahan diri untuk tidak terkagum-kagum pada setiap sudut yang mereka lewati.
Rumah itu sungguh memukau, dengan interior yang dipenuhi furnitur mewah dan karya seni yang memancarkan aura keanggunan serta kekayaan.
“Mark, tunggu!” panggil Dania lagi, mengejar langkah Mark yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar—kamar yang akan mereka tempati bersama, sesuai dengan ucapan Mark sebelumnya.
Mark mengabaikan panggilan Dania. Lelaki itu hanya terus berjalan, membuka pintu kamar dengan gerakan yang begitu tenang namun pasti. Ia melepas jas hitam yang sedari tadi dikenakannya, menggantungkan jas itu di gantungan yang ada di sisi lemari.
Dania menelan ludah, merasa dadanya semakin sesak oleh rasa canggung yang sulit dia jelaskan. “A—apa yang kau lakukan?” ucap Dania, suaranya terdengar gemetar saat ia memalingkan wajahnya, tak ingin melihat pemandangan yang membuatnya semakin tidak nyaman.
“Aku ingin mandi,” Mark menanggapi pertanyaan Dania dengan santai.
Namun, Dania hanya diam, ia terlalu kikuk untuk melanjutkan pembicaraan dengan Mark. Mark lantas melangkah ke dalam kamar mandi yang terletak di sudut ruangan. Pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan pancuran air yang jatuh dengan suara gemericik lembut, mengundang siapapun untuk masuk dan merasakan kesegaran airnya.
Sementara itu, Dania duduk di tepi tempat tidur, merasa semakin terjebak dalam situasi yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Ia menatap cermin besar yang terpajang di dinding, menatap bayangan dirinya yang tampak begitu kecil dan rapuh di tengah ruangan yang begitu luas dan mewah ini.
“Kenapa malah jadi seperti ini? Bukankah pernikahan ini hanya pernikahan di atas kertas? Kenapa harus tidur dalam satu kamar yang sama? Apa yang sebetulnya pria itu rencanakan?” gumam Dania pada dirinya sendiri, merasa semakin frustasi dengan situasi yang semakin tak terkendali.
Beberapa menit kemudian, suara air yang berhenti mengalir menandakan bahwa Mark sudah selesai mandi. Pintu kamar mandi terbuka, dan Mark keluar dengan handuk melilit di pinggangnya, tubuhnya masih basah dan berkilauan dalam cahaya lampu yang temaram.
Dadanya terekspos bebas, memperlihatkan setiap lekuk otot yang sempurna, seolah-olah dipahat oleh tangan dewa.
Mata Dania terbelalak, wajahnya memerah seketika, namun dengan cepat ia membuang muka, tak ingin melihat tubuh Mark yang begitu mempesona itu. “Cepat pakai bajumu!” katanya, suaranya terdengar putus asa, hampir seperti permohonan.
Mark menaikkan alisnya, melihat reaksi Dania yang begitu gugup. “Apa yang kau lakukan? Aku ini suamimu, Dania. Tidak masalah jika kau ingin melihatnya,” jawab Mark dingin.
Dania berdecak kesal, merasa terjebak dalam situasi yang benar-benar di luar kendalinya. “Tetap saja … aku tidak biasa melihat pria telanjang,” ulangnya, sambil terus memalingkan wajahnya, matanya mencari-cari sesuatu untuk dilihat, asal jangan tubuh Mark.
Ketika Mark berjalan menuju lemari, Dania mencoba mengendalikan perasaannya, berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlalu memikirkan situasi yang semakin memanas ini.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia tanpa sengaja menginjak genangan air di dekat kamar mandi. Tubuhnya sedikit oleng, dan sebelum ia menyadarinya, Mark sudah meraih tangannya, menangkap tubuhnya dengan cepat.
Mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat, begitu intim. Detak jantung Dania semakin tak terkendali, seolah ingin meledak di dalam dadanya. Wajah Mark yang begitu tampan dan sempurna terasa begitu dekat, terlalu dekat, hingga membuatnya kehilangan kata-kata.
“Berhati-hatilah!” ujar Mark dengan nada yang sedikit memerintah. Saat ini mereka sangat dekat sekali, Dania dapat melihat dengan jelas wajah tampan dengan rahang yang tegas milik Mark, membuat gadis itu semakin terpesona oleh kehadiran pria di hadapannya.
Sebelum Dania sempat menjawab, Mark mengangkat tubuhnya, membuat Dania terkejut dan memekik kecil. “Mark! Aku bisa jalan sendiri, jangan menggendongku seperti ini!” teriak Dania, berusaha melepaskan diri dari genggaman Mark.
“Banyak air yang jatuh ke lantai, jadi aku akan membantumu.” ujar Mark tanpa menatap ke arah Dania.
Mark membawa tubuh Dania ke ranjang, kemudian dengan hati-hati, ia menaruh tubuh Dania.
“M-maaf … t-tapi ini tidak—” Dania kehilangan kata-katanya, ia masih terkejut dengan apa yang dilakukan Mark kepada dirinya.
Matanya menatap was-was pada Mark, takut terjadi hal-hal yang tidak dia inginkan.
“Aku akan keluar, jadi kau cepat pakai pakaianmu!” Dania melangkah dengan cepat keluar dari kamar, jantungnya berdegup sangat cepat.
‘Apa yang baru saja aku lakukan? Bahkan pernikahan ini hanya sekadar pernikahan kontrak, sadarlah Dania!’
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Dania merasakan tubuhnya terasa berat, seperti ada bebatuan yang menimpanya. Ia lantas menoleh ke samping kiri, dan seketika mata Dania membulat sempurna, terkejut melihat sosok yang terbaring di sampingnya.Mulutnya refleks tertutup oleh tangan, mencoba menahan pekikan yang hampir meluncur keluar. ‘Apa terjadi sesuatu semalam?’ pikirnya dalam hati, panik menyeruak dalam pikirannya yang masih setengah sadar.Dania segera menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, matanya terbelalak, namun kali ini lebih karena rasa lega. Pakaiannya masih lengkap, sama seperti saat ia mengenakannya sebelum tidur.‘Syukurlah,’ batinnya, meski perasaan lega itu hanya bertahan sesaat sebelum suara berat dan serak yang familiar menyelusup ke telinganya. Kalau bukan karena Mark yang mengancamnya akan mengurungnya di gudang, mana mau Dania tidur dengannya. “Sudah bangun,hm?” Suara itu milik Mark, masih terbaring di sampingnya dengan mata tertutup, namun nadanya begit
Dania menoleh perlahan, seakan waktu melambat saat ia mengamati setiap garis tajam di wajah Mark.Mata kelam pria itu menatap Cindy dengan kebencian yang begitu terang, membuat suasana ruangan seolah membeku dalam ketegangan. Bibirnya terkatup rapat, dagunya terangkat tinggi, menandakan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat."Apa maksudmu, Mark?" tanya Cindy dengan nada marah, matanya menyala penuh emosi. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Mark, seolah sentuhan itu telah menjadi duri yang menusuk kulitnya.Mark menghela napas panjang, seolah berusaha menahan amarah yang membara di dalam dadanya. “Pergi dari rumahku sebelum aku memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar,” ucapnya dingin, suaranya bergetar dengan ancaman yang jelas.Perkataan itu menyulut kemarahan Cindy. Dengan wajah memerah, ia mendesis, “Argh!” sebelum akhirnya berbalik dan pergi dengan langkah cepat, menghentak-hentakkan kakinya di atas lantai marmer yang dingin.Mark tidak memedulikan Cindy lagi. Ia ber
"Kenapa? Apa pertanyaanku terlalu berat, sampai membuatmu tersedak?" tanyanya, suaranya terdengar halus namun tajam, seperti mata pisau yang menyusuri permukaan sutra.Dania mengambil gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar, meneguk airnya perlahan, mencoba mengumpulkan pikirannya yang terpecah-pecah."Tidak," jawabnya setelah beberapa saat, suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan. "Aku hanya terkejut saja, pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulutmu."Mark menghela napas kasar, suaranya menyerupai desahan angin yang berhembus melewati pepohonan di malam hari. Ia bangkit dari duduknya, menatap Dania dengan sorot mata yang sulit diartikan."Tidak masalah jika memang kau sudah melupakan pria itu," ucapnya dengan nada datar, sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Dania yang masih terdiam di kursinya.Dania mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari kata-kata suaminya. Apakah Mark merasa lega karena ia sudah tidak mencintai Kevin? Ataukah ada sesuatu ya
Mark mengangkat wajahnya, menatap ibunya yang masih menunggu jawaban dengan penuh harap. Di sebelahnya, Dania terdiam, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia tahu, dalam situasi ini, lebih baik diam dan membiarkan Mark yang mengambil alih percakapan. Biarlah dia yang berbicara, biarlah dia yang memberikan penjelasan."Ibu," katanya dengan nada yang begitu tenang, namun dingin, seakan mencoba untuk menekan setiap emosi yang mendidih di dalam dirinya, "Kami baru saja menikah. Tidak pantas jika harus menanyakan soal anak sementara umur pernikahan kami baru dua hari.""Kami masih ingin menikmati masa-masa pernikahan kami dulu," lanjut Mark tanpa jeda, "Belum memikirkan tentang anak."Namun, sebelum kata-kata itu benar-benar dapat meresap ke dalam pikiran Sarah, suara lain yang lebih keras dan tegas memecah keheningan. "Kenapa harus ditunda-tunda, Mark?" suara Alex meluncur dengan nada yang mulai mengintimidasi. "Jika memang benar kalian sudah menikah, untuk apa menunda kehamilan? La
Dania menghela napas dalam-dalam, matanya terfokus tajam pada sosok suaminya yang berdiri di hadapannya. Udara di antara mereka penuh dengan ketegangan yang membara, seperti api yang siap membakar segalanya dalam sekejap.“Tidak. Aku tetap akan bekerja meskipun kau akan memberiku apa pun yang aku inginkan!” ucap Dania dengan nada suara yang penuh ketegasan, seolah-olah setiap kata adalah sebuah pedang yang menghunus ke dalam hati Mark.“Dania!” Mark berusaha menahan emosinya, menatap tajam ke arah wajah istrinya yang ternyata lebih kuat dari yang ia bayangkan.Tak ada lagi kelembutan dalam tatapannya, hanya ada hasrat untuk menang, untuk mendominasi. Namun, wajah Dania tetap teguh, sekeras batu karang yang menantang ombak ganas.“Apa? Kau ingin membuatku terkurung di sini? Menjadi istri yang tidak melakukan apa pun selain menunggu kepulangan suaminya? Itu, maksudmu?” Dania menantangnya dengan suara lantang, penuh dengan keberanian yang hanya dimiliki oleh mereka yang tahu apa yang mer
“Kedatanganku ke sini ingin memberitahu kalian berdua, bahwa hari ini adalah hari terakhir istriku bekerja.”Kevin dan Marsha membeku di tempat mereka berdiri, tercengang oleh pengakuan tiba-tiba dari Mark. Wajah mereka memucat, seolah darah mereka mengalir mundur, diserap oleh kekosongan yang tiba-tiba menghantam mereka. Begitu juga Dania, yang berdiri terpaku di samping Mark. Ia tidak pernah menyangka Mark akan melakukan ini—mengumumkan kepada semua orang bahwa mereka adalah suami istri. Dania merasakan jantungnya berdebar kencang, tidak tahu harus merasa lega atau marah.“Suami ...?” bisik Marsha pelan, matanya membesar seperti bulan purnama, terpaku pada Mark yang berdiri dengan tenang, seolah-olah segala hal yang terjadi ini adalah bagian dari rencana yang telah lama direncanakannya.Mark tidak memperhatikan keterkejutan yang jelas tergambar di wajah Marsha dan Kevin. Ia memegang erat tangan Dania, menariknya lebih dekat, seakan menegaskan kepemilikannya. “Ya, suami,” ulangnya,
Dania mengepalkan tangannya kuat-kuat, mencoba menahan ledakan emosi yang terus membara di dalam dirinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Mark tadi terasa seperti duri yang menusuk hatinya, membuat luka yang semakin dalam."Kenapa kau terus mengancamku seperti ini, Mark?" suaranya meninggi, penuh dengan kemarahan yang tak lagi bisa ia bendung.Dia ingin berteriak, ingin membalas segala kekangan yang selama ini mengikatnya. “Aku bukan hewan peliharaanmu yang harus patuh pada tuannya! Aku punya hak untuk melakukan apa pun yang aku inginkan!”Mark hanya berdiri di sana, tatapannya dingin dan datar, seolah-olah apa yang dikatakan Dania tidak memiliki arti apa pun baginya. Kesunyian di antara mereka terasa begitu mencekam, seperti badai yang akan segera meledak namun tertahan di ujung angin.Dania merasakan jantungnya berdebar semakin kencang, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga karena perasaan kecewa yang semakin mengakar dalam hatinya. Di hadapan tatapan kosong Mark, dia merasa
“Argh! Mark membuatku frustasi!”Dania menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tengah, frustrasi dan lelah. Kegagalannya untuk melarikan diri tadi sore membuat pikirannya terus berputar mencari jalan keluar lain.Dia tidak pernah menyangka bahwa Mark akan begitu cerdik dan menjaga rumah dengan ketat, seperti benteng yang mustahil ditembus. Dia melihat keluar jendela, menatap ke arah gerbang depan yang sekarang dijaga oleh dua orang pria berbadan tegap.Bahkan pintu gerbang otomatisnya pun tampaknya telah diprogram untuk menolak setiap upaya pelarian. Bagaimana Mark bisa tahu? pikirnya. Dania menggigit bibir bawahnya, merasakan adrenalin mengalir dengan cepat di nadinya.Sore itu, saat dia mencoba menyelinap keluar melalui pintu belakang, tiba-tiba seorang pria berbadan besar menghadangnya. Dengan tatapan dingin dan suara rendah, pria itu memerintahkannya untuk kembali ke dalam rumah.Tanpa banyak pilihan, Dania terpaksa menurut. Hatinya be