Dania menghela napas dalam-dalam, matanya terfokus tajam pada sosok suaminya yang berdiri di hadapannya. Udara di antara mereka penuh dengan ketegangan yang membara, seperti api yang siap membakar segalanya dalam sekejap.“Tidak. Aku tetap akan bekerja meskipun kau akan memberiku apa pun yang aku inginkan!” ucap Dania dengan nada suara yang penuh ketegasan, seolah-olah setiap kata adalah sebuah pedang yang menghunus ke dalam hati Mark.“Dania!” Mark berusaha menahan emosinya, menatap tajam ke arah wajah istrinya yang ternyata lebih kuat dari yang ia bayangkan.Tak ada lagi kelembutan dalam tatapannya, hanya ada hasrat untuk menang, untuk mendominasi. Namun, wajah Dania tetap teguh, sekeras batu karang yang menantang ombak ganas.“Apa? Kau ingin membuatku terkurung di sini? Menjadi istri yang tidak melakukan apa pun selain menunggu kepulangan suaminya? Itu, maksudmu?” Dania menantangnya dengan suara lantang, penuh dengan keberanian yang hanya dimiliki oleh mereka yang tahu apa yang mer
“Kedatanganku ke sini ingin memberitahu kalian berdua, bahwa hari ini adalah hari terakhir istriku bekerja.”Kevin dan Marsha membeku di tempat mereka berdiri, tercengang oleh pengakuan tiba-tiba dari Mark. Wajah mereka memucat, seolah darah mereka mengalir mundur, diserap oleh kekosongan yang tiba-tiba menghantam mereka. Begitu juga Dania, yang berdiri terpaku di samping Mark. Ia tidak pernah menyangka Mark akan melakukan ini—mengumumkan kepada semua orang bahwa mereka adalah suami istri. Dania merasakan jantungnya berdebar kencang, tidak tahu harus merasa lega atau marah.“Suami ...?” bisik Marsha pelan, matanya membesar seperti bulan purnama, terpaku pada Mark yang berdiri dengan tenang, seolah-olah segala hal yang terjadi ini adalah bagian dari rencana yang telah lama direncanakannya.Mark tidak memperhatikan keterkejutan yang jelas tergambar di wajah Marsha dan Kevin. Ia memegang erat tangan Dania, menariknya lebih dekat, seakan menegaskan kepemilikannya. “Ya, suami,” ulangnya,
Dania mengepalkan tangannya kuat-kuat, mencoba menahan ledakan emosi yang terus membara di dalam dirinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Mark tadi terasa seperti duri yang menusuk hatinya, membuat luka yang semakin dalam."Kenapa kau terus mengancamku seperti ini, Mark?" suaranya meninggi, penuh dengan kemarahan yang tak lagi bisa ia bendung.Dia ingin berteriak, ingin membalas segala kekangan yang selama ini mengikatnya. “Aku bukan hewan peliharaanmu yang harus patuh pada tuannya! Aku punya hak untuk melakukan apa pun yang aku inginkan!”Mark hanya berdiri di sana, tatapannya dingin dan datar, seolah-olah apa yang dikatakan Dania tidak memiliki arti apa pun baginya. Kesunyian di antara mereka terasa begitu mencekam, seperti badai yang akan segera meledak namun tertahan di ujung angin.Dania merasakan jantungnya berdebar semakin kencang, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga karena perasaan kecewa yang semakin mengakar dalam hatinya. Di hadapan tatapan kosong Mark, dia merasa
“Argh! Mark membuatku frustasi!”Dania menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tengah, frustrasi dan lelah. Kegagalannya untuk melarikan diri tadi sore membuat pikirannya terus berputar mencari jalan keluar lain.Dia tidak pernah menyangka bahwa Mark akan begitu cerdik dan menjaga rumah dengan ketat, seperti benteng yang mustahil ditembus. Dia melihat keluar jendela, menatap ke arah gerbang depan yang sekarang dijaga oleh dua orang pria berbadan tegap.Bahkan pintu gerbang otomatisnya pun tampaknya telah diprogram untuk menolak setiap upaya pelarian. Bagaimana Mark bisa tahu? pikirnya. Dania menggigit bibir bawahnya, merasakan adrenalin mengalir dengan cepat di nadinya.Sore itu, saat dia mencoba menyelinap keluar melalui pintu belakang, tiba-tiba seorang pria berbadan besar menghadangnya. Dengan tatapan dingin dan suara rendah, pria itu memerintahkannya untuk kembali ke dalam rumah.Tanpa banyak pilihan, Dania terpaksa menurut. Hatinya be
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai yang masih tertutup sebagian. Kamar terasa sepi, hanya suara detak jam dinding yang mengisi keheningan.Dania masih terbaring di tempat tidur, pikirannya dipenuhi oleh kejadian semalam. Mata yang lelah menatap kosong ke langit-langit, mencoba mencari ketenangan yang tak kunjung datang.Pintu kamar terbuka perlahan. Mark masuk dengan langkah tenang, ekspresinya tampak lebih lembut daripada biasanya.Di tangannya, dia membawa sebuah kartu kecil berwarna hitam yang berkilauan di bawah cahaya matahari pagi. Black card, simbol kekayaan tanpa batas, sebuah kartu yang memberi akses ke segala kemewahan dunia.Mark mendekat, menyodorkan black card itu ke arahnya. “Ini. Pergilah belanja, semaumu. Beli apa pun yang kau inginkan.”Dania menatap kartu itu dengan alis terangkat. Dia tahu Mark berusaha menenangkan suasana, berusaha membeli kedamaian dengan cara yang paling mudah baginya.Tapi baginya, kartu itu hanya simbol lain dari kendali y
Sorot mata Mark tajam, seakan mencoba menembus pertahanan rapuh wanita itu, sementara bibirnya menyunggingkan senyum dingin penuh sinisme.“Mulut kotormu dan caramu menghina istriku semakin jelas menunjukkan bahwa kau bukan wanita baik-baik,” katanya dengan nada sarkastis, kata-katanya menusuk seperti belati yang menggores hati, meninggalkan luka yang tak terlihat namun terasa pedih.Marsha terperanjat, seolah tidak percaya bahwa kata-kata kasar itu ditujukan padanya. Mark melanjutkan ucapannya, kali ini mengalihkan tatapannya ke arah Kevin, yang masih terpaku dengan wajah yang kini semakin memerah karena amarah yang tak bisa ia ungkapkan.“Kalian berdua memang cocok, serasi sekali,” lanjut Mark, nada suaranya semakin tajam, penuh dengan ejekan yang menambah rasa malu dan kemarahan Kevin.“Mark?” Dania mencelos mendengar hinaan yang keluar dari mulut suaminya itu. Sejenak, ia merasa terguncang, tetapi di sisi lain, ada perasaan lega yang tak dapat ia pungkiri.Meski kata-kata Mark kas
Setelah tiba di rumah, Mark dengan tenang menyerahkan sebuah paper bag berwarna perak berkilau kepada Dania.Wajah Dania menampakkan kebingungan yang mendalam, alisnya bertaut, dan matanya menatap Mark dengan tatapan penuh tanda tanya. Suaranya sedikit serak, melafalkan, “Ini apa?”Mark menatap Dania dengan tatapan khasnya—datar dan dingin, seolah menyembunyikan apa pun di baliknya. “Nanti malam ada pesta di Silver Hotel,” jawabnya singkat, seolah itu sudah menjelaskan segalanya tanpa perlu elaborasi lebih lanjut.“Kenapa aku harus ikut?” tanya Dania lagi, kali ini suaranya lebih tajam, penuh dengan rasa tak sabar yang hampir meledak.Dia sudah muak dengan rencana-rencana mendadak yang selalu muncul tanpa sepengetahuannya, seperti potongan-potongan teka-teki yang tidak pernah lengkap dan tidak pernah membuatnya merasa nyaman.Mark mengangkat bahu dengan ringan, pandangannya sedikit mengendur namun tetap men
Mark merasakan tatapan tajam dari Alex yang penuh dengan kecurigaan yang terpendam. Dia tahu betul bahwa Alex tidak pernah sepenuhnya menerima pernikahannya dengan Dania.Bagi Alex, Dania adalah sebuah variabel yang tidak pasti, sesuatu yang tidak pernah bisa ia kendalikan. Namun, Mark tetap tenang di hadapan ayahnya, menjaga wajahnya tetap tanpa ekspresi seperti topeng yang sudah terlatih."Ayah Dania tidak tinggal di kota ini," kata Mark dengan nada datar, suaranya tetap tenang meskipun ada sedikit ketegangan yang merayap di sudut bibirnya."Perusahaannya berada di luar negeri, jadi dia tidak bisa datang ke acara pesta yang hanya mengundang relasi di kota ini." Mark menatap Alex langsung di mata, berharap penjelasannya cukup untuk meredakan keingintahuan ayahnya yang mengganggu.Alex memandang Mark dengan tatapan yang sulit diuraikan, senyumnya samar dan penuh dengan maksud tersembunyi. "Oh, begitu ya?" gumamnya, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu.Namun, ada sesuatu dalam n