"Kenapa? Apa pertanyaanku terlalu berat, sampai membuatmu tersedak?" tanyanya, suaranya terdengar halus namun tajam, seperti mata pisau yang menyusuri permukaan sutra.
Dania mengambil gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar, meneguk airnya perlahan, mencoba mengumpulkan pikirannya yang terpecah-pecah.
"Tidak," jawabnya setelah beberapa saat, suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan. "Aku hanya terkejut saja, pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulutmu."
Mark menghela napas kasar, suaranya menyerupai desahan angin yang berhembus melewati pepohonan di malam hari. Ia bangkit dari duduknya, menatap Dania dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Tidak masalah jika memang kau sudah melupakan pria itu," ucapnya dengan nada datar, sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Dania yang masih terdiam di kursinya.
Dania mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari kata-kata suaminya. Apakah Mark merasa lega karena ia sudah tidak mencintai Kevin? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, yang bersembunyi di balik kalimat sederhana itu? Pikirannya dipenuhi oleh tanda tanya, namun tidak ada jawaban yang jelas.
"Dasar, pria aneh," gumamnya dengan kesal, menggelengkan kepala seolah berusaha mengusir pikiran yang mengganggunya. "Kalau bicara seperti pakai kata sandi. Banyak sekali kodenya."
Namun, langkah Mark terhenti tiba-tiba ketika dering ponselnya memecah keheningan yang menggantung di udara. Ia meraih ponsel itu dari sakunya dan menjawab panggilan dengan nada yang jauh lebih lembut daripada sebelumnya.
"Halo, Ibu? Ada apa?"
"Mark, malam ini aku ingin mengajakmu makan malam bersama. Ajak juga istrimu, ya?” ucap Sarah dengan suara lembutnya.
Mark melirik ke arah Dania yang masih duduk di meja makan, menghabiskan sarapannya dengan perlahan, seolah mencoba menunda waktu. "Baik," jawabnya singkat, kemudian menutup panggilan tersebut tanpa banyak bicara.
"Ibuku mengundang kita makan malam di rumahnya," ucapnya kepada Dania dengan nada datarnya.
Dania menatap Mark dengan alis terangkat, ekspresinya bercampur antara ketidakpercayaan dan ketakutan. "Ma—makan malam? Oh, Mark. Aku tidak tahu harus menjawab pertanyaan apa lagi kalau nanti ibumu bertanya di luar dugaan," keluhnya, mencoba mencari celah untuk menghindari situasi yang jelas tidak ingin ia hadapi.
"Kau tidak bisa menolaknya. Harus tetap ikut makan malam," jawab Mark dengan tegas, suaranya tidak memberikan ruang untuk bantahan.
Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, ia berlalu pergi, meninggalkan Dania yang merasa semakin tertekan.
Dania mendesah panjang, merasa kesal dengan sikap suaminya yang semakin hari semakin sulit dipahami. "Dasar, pria tidak punya hati!" umpatnya pelan, melipat tangan di dadanya dengan ekspresi cemberut.
Rasanya seperti berbicara dengan dinding batu—tidak ada yang merespon, tidak ada yang peduli. Mark semakin seenaknya saja, memperlakukannya seolah-olah ia adalah istri yang sungguh-sungguh, bukan sekadar wanita yang terjebak dalam ikatan pernikahan palsu.
Waktu terus berjalan, dan malam yang dinanti dengan perasaan gelisah pun tiba. Dania berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan diri. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari mobil, mengikuti Mark menuju kediaman mertuanya.
Hatinya berdebar kencang, setiap langkah terasa berat, seolah-olah ia sedang menuju medan pertempuran yang tidak bisa ia hindari.
"Kau pernah bilang, jangan ragukan kemampuan aktingku. Kenapa sekarang seperti gugup?" tanya Mark dengan tatapan matanya yang serius, seolah ia tahu bahwa malam ini akan membawa lebih banyak daripada sekadar makan malam keluarga.
Dania menoleh, menatapnya dengan penuh kesal. "Iya, aku tahu—" namun sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Mark sudah menarik tangannya dengan lembut namun tegas, membawanya masuk ke dalam rumah yang megah.
Di dalam, kedua orang tua Mark sudah duduk di meja makan, menunggu dengan sabar. Sarah, dengan senyum lembutnya, menyambut mereka dengan kehangatan yang terasa seperti rumah.
"Selamat malam, Ayah, Ibu," sapa Dania, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa, mengulas senyum manis yang terasa palsu di bibirnya.
"Selamat malam, Dania. Aku ingin mengajakmu makan malam karena pertemuan pertama kita kemarin sepertinya kurang," kata Sarah, suaranya lembut namun penuh arti, seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar makan malam ini.
Dania menganggukkan kepala dengan sopan. "Iya, Ibu benar. Terima kasih sudah mengundangku malam ini, Ibu, Ayah," ucapnya, namun matanya melirik ke arah Alex, ayah Mark, yang tampaknya enggan menyapa menantu yang tidak pernah ia terima sepenuhnya.
Di balik sikap tenangnya, Dania merasakan ada sesuatu yang berbeda malam itu. Mungkin ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan. Pikiran ini membuatnya merasa semakin gelisah, seolah-olah ada badai yang sedang mendekat.
"Dania. Bisakah kau memberitahu kami tentang keluargamu?" tanya Sarah tiba-tiba, menghentikan lamunan Dania.
Dania terkejut, namun ia berusaha menjawab dengan tenang. "Huh? Keluargaku? Um … ayahku memiliki perusahaan yang cukup berkembang pesat. Tapi, karena perusahaan yang dipegang ayahku tidak sesuai dengan basic yang aku miliki, aku memilih bekerja di perusahaan lain," jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha tetap tenang meskipun hatinya merasa tidak nyaman.
Sarah mengangguk, tampak mengerti. Ia tersenyum lembut, menatap Dania dengan mata yang penuh kasih. "Aku mengerti, Dania. Terima kasih, sudah mau menikah dengan anakku, ya," ucapnya, senyumnya semakin lebar.
Mark yang duduk di samping Dania hanya menaikkan alisnya, tidak memberikan reaksi yang berarti. Ia kembali fokus pada makan malamnya, seolah tidak ada yang penting dari ucapan ibunya.
Namun, Alex, dengan nada yang lebih tegas, menyela percakapan. "Kenapa harus berterima kasih? Belum tentu apa yang dia katakan itu benar," katanya dengan nada dingin, matanya tajam menatap Dania seolah menantang setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Dania menelan ludah, merasa cemas mendengar ucapan Alex. Perasaannya campur aduk—antara takut dan marah, namun ia tahu bahwa ini bukan tempat untuk melepaskan emosinya.
Sarah hanya menggelengkan kepala, berusaha menenangkan suaminya. "Terima saja, keputusan anakmu, Alex. Dia yang lebih tahu dengan hidupnya," ucapnya dengan nada sabar, mencoba meredakan ketegangan yang semakin terasa.
Mark tetap diam, namun tatapannya tidak bisa menyembunyikan ketidaksenangan yang ia rasakan. Ia menatap wajah ayahnya dengan datar, seolah berkata bahwa ia tidak peduli dengan pendapatnya.
Di tengah ketegangan yang menggantung itu, Sarah tiba-tiba beralih ke topik lain, suaranya lembut namun penuh harap. "Kalau begitu, kapan kalian akan memberi kami cucu?"
Mark mengangkat wajahnya, menatap ibunya yang masih menunggu jawaban dengan penuh harap. Di sebelahnya, Dania terdiam, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia tahu, dalam situasi ini, lebih baik diam dan membiarkan Mark yang mengambil alih percakapan. Biarlah dia yang berbicara, biarlah dia yang memberikan penjelasan."Ibu," katanya dengan nada yang begitu tenang, namun dingin, seakan mencoba untuk menekan setiap emosi yang mendidih di dalam dirinya, "Kami baru saja menikah. Tidak pantas jika harus menanyakan soal anak sementara umur pernikahan kami baru dua hari.""Kami masih ingin menikmati masa-masa pernikahan kami dulu," lanjut Mark tanpa jeda, "Belum memikirkan tentang anak."Namun, sebelum kata-kata itu benar-benar dapat meresap ke dalam pikiran Sarah, suara lain yang lebih keras dan tegas memecah keheningan. "Kenapa harus ditunda-tunda, Mark?" suara Alex meluncur dengan nada yang mulai mengintimidasi. "Jika memang benar kalian sudah menikah, untuk apa menunda kehamilan? La
Dania menghela napas dalam-dalam, matanya terfokus tajam pada sosok suaminya yang berdiri di hadapannya. Udara di antara mereka penuh dengan ketegangan yang membara, seperti api yang siap membakar segalanya dalam sekejap.“Tidak. Aku tetap akan bekerja meskipun kau akan memberiku apa pun yang aku inginkan!” ucap Dania dengan nada suara yang penuh ketegasan, seolah-olah setiap kata adalah sebuah pedang yang menghunus ke dalam hati Mark.“Dania!” Mark berusaha menahan emosinya, menatap tajam ke arah wajah istrinya yang ternyata lebih kuat dari yang ia bayangkan.Tak ada lagi kelembutan dalam tatapannya, hanya ada hasrat untuk menang, untuk mendominasi. Namun, wajah Dania tetap teguh, sekeras batu karang yang menantang ombak ganas.“Apa? Kau ingin membuatku terkurung di sini? Menjadi istri yang tidak melakukan apa pun selain menunggu kepulangan suaminya? Itu, maksudmu?” Dania menantangnya dengan suara lantang, penuh dengan keberanian yang hanya dimiliki oleh mereka yang tahu apa yang mer
“Kedatanganku ke sini ingin memberitahu kalian berdua, bahwa hari ini adalah hari terakhir istriku bekerja.”Kevin dan Marsha membeku di tempat mereka berdiri, tercengang oleh pengakuan tiba-tiba dari Mark. Wajah mereka memucat, seolah darah mereka mengalir mundur, diserap oleh kekosongan yang tiba-tiba menghantam mereka. Begitu juga Dania, yang berdiri terpaku di samping Mark. Ia tidak pernah menyangka Mark akan melakukan ini—mengumumkan kepada semua orang bahwa mereka adalah suami istri. Dania merasakan jantungnya berdebar kencang, tidak tahu harus merasa lega atau marah.“Suami ...?” bisik Marsha pelan, matanya membesar seperti bulan purnama, terpaku pada Mark yang berdiri dengan tenang, seolah-olah segala hal yang terjadi ini adalah bagian dari rencana yang telah lama direncanakannya.Mark tidak memperhatikan keterkejutan yang jelas tergambar di wajah Marsha dan Kevin. Ia memegang erat tangan Dania, menariknya lebih dekat, seakan menegaskan kepemilikannya. “Ya, suami,” ulangnya,
Dania mengepalkan tangannya kuat-kuat, mencoba menahan ledakan emosi yang terus membara di dalam dirinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Mark tadi terasa seperti duri yang menusuk hatinya, membuat luka yang semakin dalam."Kenapa kau terus mengancamku seperti ini, Mark?" suaranya meninggi, penuh dengan kemarahan yang tak lagi bisa ia bendung.Dia ingin berteriak, ingin membalas segala kekangan yang selama ini mengikatnya. “Aku bukan hewan peliharaanmu yang harus patuh pada tuannya! Aku punya hak untuk melakukan apa pun yang aku inginkan!”Mark hanya berdiri di sana, tatapannya dingin dan datar, seolah-olah apa yang dikatakan Dania tidak memiliki arti apa pun baginya. Kesunyian di antara mereka terasa begitu mencekam, seperti badai yang akan segera meledak namun tertahan di ujung angin.Dania merasakan jantungnya berdebar semakin kencang, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga karena perasaan kecewa yang semakin mengakar dalam hatinya. Di hadapan tatapan kosong Mark, dia merasa
“Argh! Mark membuatku frustasi!”Dania menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tengah, frustrasi dan lelah. Kegagalannya untuk melarikan diri tadi sore membuat pikirannya terus berputar mencari jalan keluar lain.Dia tidak pernah menyangka bahwa Mark akan begitu cerdik dan menjaga rumah dengan ketat, seperti benteng yang mustahil ditembus. Dia melihat keluar jendela, menatap ke arah gerbang depan yang sekarang dijaga oleh dua orang pria berbadan tegap.Bahkan pintu gerbang otomatisnya pun tampaknya telah diprogram untuk menolak setiap upaya pelarian. Bagaimana Mark bisa tahu? pikirnya. Dania menggigit bibir bawahnya, merasakan adrenalin mengalir dengan cepat di nadinya.Sore itu, saat dia mencoba menyelinap keluar melalui pintu belakang, tiba-tiba seorang pria berbadan besar menghadangnya. Dengan tatapan dingin dan suara rendah, pria itu memerintahkannya untuk kembali ke dalam rumah.Tanpa banyak pilihan, Dania terpaksa menurut. Hatinya be
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai yang masih tertutup sebagian. Kamar terasa sepi, hanya suara detak jam dinding yang mengisi keheningan.Dania masih terbaring di tempat tidur, pikirannya dipenuhi oleh kejadian semalam. Mata yang lelah menatap kosong ke langit-langit, mencoba mencari ketenangan yang tak kunjung datang.Pintu kamar terbuka perlahan. Mark masuk dengan langkah tenang, ekspresinya tampak lebih lembut daripada biasanya.Di tangannya, dia membawa sebuah kartu kecil berwarna hitam yang berkilauan di bawah cahaya matahari pagi. Black card, simbol kekayaan tanpa batas, sebuah kartu yang memberi akses ke segala kemewahan dunia.Mark mendekat, menyodorkan black card itu ke arahnya. “Ini. Pergilah belanja, semaumu. Beli apa pun yang kau inginkan.”Dania menatap kartu itu dengan alis terangkat. Dia tahu Mark berusaha menenangkan suasana, berusaha membeli kedamaian dengan cara yang paling mudah baginya.Tapi baginya, kartu itu hanya simbol lain dari kendali y
Sorot mata Mark tajam, seakan mencoba menembus pertahanan rapuh wanita itu, sementara bibirnya menyunggingkan senyum dingin penuh sinisme.“Mulut kotormu dan caramu menghina istriku semakin jelas menunjukkan bahwa kau bukan wanita baik-baik,” katanya dengan nada sarkastis, kata-katanya menusuk seperti belati yang menggores hati, meninggalkan luka yang tak terlihat namun terasa pedih.Marsha terperanjat, seolah tidak percaya bahwa kata-kata kasar itu ditujukan padanya. Mark melanjutkan ucapannya, kali ini mengalihkan tatapannya ke arah Kevin, yang masih terpaku dengan wajah yang kini semakin memerah karena amarah yang tak bisa ia ungkapkan.“Kalian berdua memang cocok, serasi sekali,” lanjut Mark, nada suaranya semakin tajam, penuh dengan ejekan yang menambah rasa malu dan kemarahan Kevin.“Mark?” Dania mencelos mendengar hinaan yang keluar dari mulut suaminya itu. Sejenak, ia merasa terguncang, tetapi di sisi lain, ada perasaan lega yang tak dapat ia pungkiri.Meski kata-kata Mark kas
Setelah tiba di rumah, Mark dengan tenang menyerahkan sebuah paper bag berwarna perak berkilau kepada Dania.Wajah Dania menampakkan kebingungan yang mendalam, alisnya bertaut, dan matanya menatap Mark dengan tatapan penuh tanda tanya. Suaranya sedikit serak, melafalkan, “Ini apa?”Mark menatap Dania dengan tatapan khasnya—datar dan dingin, seolah menyembunyikan apa pun di baliknya. “Nanti malam ada pesta di Silver Hotel,” jawabnya singkat, seolah itu sudah menjelaskan segalanya tanpa perlu elaborasi lebih lanjut.“Kenapa aku harus ikut?” tanya Dania lagi, kali ini suaranya lebih tajam, penuh dengan rasa tak sabar yang hampir meledak.Dia sudah muak dengan rencana-rencana mendadak yang selalu muncul tanpa sepengetahuannya, seperti potongan-potongan teka-teki yang tidak pernah lengkap dan tidak pernah membuatnya merasa nyaman.Mark mengangkat bahu dengan ringan, pandangannya sedikit mengendur namun tetap men