Share

Bab 7: Kapan Kalian Memberiku Cucu?

"Kenapa? Apa pertanyaanku terlalu berat, sampai membuatmu tersedak?" tanyanya, suaranya terdengar halus namun tajam, seperti mata pisau yang menyusuri permukaan sutra.

Dania mengambil gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar, meneguk airnya perlahan, mencoba mengumpulkan pikirannya yang terpecah-pecah.

"Tidak," jawabnya setelah beberapa saat, suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan. "Aku hanya terkejut saja, pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulutmu."

Mark menghela napas kasar, suaranya menyerupai desahan angin yang berhembus melewati pepohonan di malam hari. Ia bangkit dari duduknya, menatap Dania dengan sorot mata yang sulit diartikan.

"Tidak masalah jika memang kau sudah melupakan pria itu," ucapnya dengan nada datar, sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Dania yang masih terdiam di kursinya.

Dania mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari kata-kata suaminya. Apakah Mark merasa lega karena ia sudah tidak mencintai Kevin? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, yang bersembunyi di balik kalimat sederhana itu? Pikirannya dipenuhi oleh tanda tanya, namun tidak ada jawaban yang jelas.

"Dasar, pria aneh," gumamnya dengan kesal, menggelengkan kepala seolah berusaha mengusir pikiran yang mengganggunya. "Kalau bicara seperti pakai kata sandi. Banyak sekali kodenya."

Namun, langkah Mark terhenti tiba-tiba ketika dering ponselnya memecah keheningan yang menggantung di udara. Ia meraih ponsel itu dari sakunya dan menjawab panggilan dengan nada yang jauh lebih lembut daripada sebelumnya.

"Halo, Ibu? Ada apa?"

"Mark, malam ini aku ingin mengajakmu makan malam bersama. Ajak juga istrimu, ya?” ucap Sarah dengan suara lembutnya.

Mark melirik ke arah Dania yang masih duduk di meja makan, menghabiskan sarapannya dengan perlahan, seolah mencoba menunda waktu. "Baik," jawabnya singkat, kemudian menutup panggilan tersebut tanpa banyak bicara.

"Ibuku mengundang kita makan malam di rumahnya," ucapnya kepada Dania dengan nada datarnya.

Dania menatap Mark dengan alis terangkat, ekspresinya bercampur antara ketidakpercayaan dan ketakutan. "Ma—makan malam? Oh, Mark. Aku tidak tahu harus menjawab pertanyaan apa lagi kalau nanti ibumu bertanya di luar dugaan," keluhnya, mencoba mencari celah untuk menghindari situasi yang jelas tidak ingin ia hadapi.

"Kau tidak bisa menolaknya. Harus tetap ikut makan malam," jawab Mark dengan tegas, suaranya tidak memberikan ruang untuk bantahan.

Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, ia berlalu pergi, meninggalkan Dania yang merasa semakin tertekan.

Dania mendesah panjang, merasa kesal dengan sikap suaminya yang semakin hari semakin sulit dipahami. "Dasar, pria tidak punya hati!" umpatnya pelan, melipat tangan di dadanya dengan ekspresi cemberut.

Rasanya seperti berbicara dengan dinding batu—tidak ada yang merespon, tidak ada yang peduli. Mark semakin seenaknya saja, memperlakukannya seolah-olah ia adalah istri yang sungguh-sungguh, bukan sekadar wanita yang terjebak dalam ikatan pernikahan palsu.

Waktu terus berjalan, dan malam yang dinanti dengan perasaan gelisah pun tiba. Dania berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan diri. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari mobil, mengikuti Mark menuju kediaman mertuanya.

Hatinya berdebar kencang, setiap langkah terasa berat, seolah-olah ia sedang menuju medan pertempuran yang tidak bisa ia hindari.

"Kau pernah bilang, jangan ragukan kemampuan aktingku. Kenapa sekarang seperti gugup?" tanya Mark dengan tatapan matanya yang serius, seolah ia tahu bahwa malam ini akan membawa lebih banyak daripada sekadar makan malam keluarga.

Dania menoleh, menatapnya dengan penuh kesal. "Iya, aku tahu—" namun sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Mark sudah menarik tangannya dengan lembut namun tegas, membawanya masuk ke dalam rumah yang megah.

Di dalam, kedua orang tua Mark sudah duduk di meja makan, menunggu dengan sabar. Sarah, dengan senyum lembutnya, menyambut mereka dengan kehangatan yang terasa seperti rumah.

"Selamat malam, Ayah, Ibu," sapa Dania, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa, mengulas senyum manis yang terasa palsu di bibirnya.

"Selamat malam, Dania. Aku ingin mengajakmu makan malam karena pertemuan pertama kita kemarin sepertinya kurang," kata Sarah, suaranya lembut namun penuh arti, seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar makan malam ini.

Dania menganggukkan kepala dengan sopan. "Iya, Ibu benar. Terima kasih sudah mengundangku malam ini, Ibu, Ayah," ucapnya, namun matanya melirik ke arah Alex, ayah Mark, yang tampaknya enggan menyapa menantu yang tidak pernah ia terima sepenuhnya.

Di balik sikap tenangnya, Dania merasakan ada sesuatu yang berbeda malam itu. Mungkin ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan. Pikiran ini membuatnya merasa semakin gelisah, seolah-olah ada badai yang sedang mendekat.

"Dania. Bisakah kau memberitahu kami tentang keluargamu?" tanya Sarah tiba-tiba, menghentikan lamunan Dania.

Dania terkejut, namun ia berusaha menjawab dengan tenang. "Huh? Keluargaku? Um … ayahku memiliki perusahaan yang cukup berkembang pesat. Tapi, karena perusahaan yang dipegang ayahku tidak sesuai dengan basic yang aku miliki, aku memilih bekerja di perusahaan lain," jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha tetap tenang meskipun hatinya merasa tidak nyaman.

Sarah mengangguk, tampak mengerti. Ia tersenyum lembut, menatap Dania dengan mata yang penuh kasih. "Aku mengerti, Dania. Terima kasih, sudah mau menikah dengan anakku, ya," ucapnya, senyumnya semakin lebar.

Mark yang duduk di samping Dania hanya menaikkan alisnya, tidak memberikan reaksi yang berarti. Ia kembali fokus pada makan malamnya, seolah tidak ada yang penting dari ucapan ibunya.

Namun, Alex, dengan nada yang lebih tegas, menyela percakapan. "Kenapa harus berterima kasih? Belum tentu apa yang dia katakan itu benar," katanya dengan nada dingin, matanya tajam menatap Dania seolah menantang setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Dania menelan ludah, merasa cemas mendengar ucapan Alex. Perasaannya campur aduk—antara takut dan marah, namun ia tahu bahwa ini bukan tempat untuk melepaskan emosinya.

Sarah hanya menggelengkan kepala, berusaha menenangkan suaminya. "Terima saja, keputusan anakmu, Alex. Dia yang lebih tahu dengan hidupnya," ucapnya dengan nada sabar, mencoba meredakan ketegangan yang semakin terasa.

Mark tetap diam, namun tatapannya tidak bisa menyembunyikan ketidaksenangan yang ia rasakan. Ia menatap wajah ayahnya dengan datar, seolah berkata bahwa ia tidak peduli dengan pendapatnya.

Di tengah ketegangan yang menggantung itu, Sarah tiba-tiba beralih ke topik lain, suaranya lembut namun penuh harap. "Kalau begitu, kapan kalian akan memberi kami cucu?"

Komen (20)
goodnovel comment avatar
Janah Jan
yg sabar ya Bu ,cucu pasti. berdoa saja
goodnovel comment avatar
Ika Dewi Fatma J
udah g kaget sih tiap habis nikah pasti yg ditodong orang tua pertama kali itu cucu,la ini nikah cuma pura2 ditodong cucu,apa g pening kepala dania hehe
goodnovel comment avatar
MAIMAI
tp ko aku curiga ya hubungan dania sama keluarga nya, masa gak di cariin gitu anak nya gak pulang pulang. apa ortunya dania jahat?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status