"Maksudmu?" tanya Dania, alisnya terangkat, nada suaranya mulai dipenuhi rasa curiga. “Apa yang sebenarnya kau inginkan atas pertolongan yang kau berikan tadi?” Pikirannya berputar, mencoba mencari alasan di balik tindakan Mark yang penuh teka-teki ini.
Mark, pria dengan postur tegap dan wajah dingin, menatap Dania dengan pandangan yang sulit ditebak. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum yang nyaris tidak terlihat, lebih menyerupai garis lurus yang tanpa emosi.
"Kau harus membayar utangmu sekarang juga," katanya dengan nada yang datar, tanpa sedikit pun intonasi yang menunjukkan emosi.
Dania terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata pria di hadapannya. "Utang?" gumamnya dalam hati. Namun, sebelum ia sempat mempertanyakan lebih jauh, Mark melanjutkan kalimatnya, membuat dada Dania semakin sesak oleh kecemasan yang menekan.
“Apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan suara yang bergetar, meskipun ia berusaha keras untuk terdengar tenang.
Tanpa menjawab pertanyaan Dania, Mark tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dan menariknya keluar dari kamar hotel.
Suasana kamar yang tadinya memberikan sedikit rasa aman kini berubah menjadi lorong hotel yang dingin dan sepi. Langkah-langkah mereka menggema di sepanjang lorong, menambah ketegangan yang terus membesar di dalam diri Dania.
“Kau mau membawaku ke mana, Tuan?” tanya Dania dengan nada waspada, merasa cengkraman tangan Mark di pergelangannya semakin erat.
Namun, pria itu hanya menatapnya dengan dingin, tanpa sedikit pun menjawab pertanyaannya. Wajahnya tetap datar, seperti patung marmer yang tak bernyawa, namun mengintimidasi.
Mark menghentikan langkahnya di depan pintu lift dan menekan tombol menuju aula hotel. Mereka berdiri berdampingan di dalam lift, namun atmosfer di antara mereka begitu mencekam. Detik demi detik berlalu dalam keheningan, hanya suara lift yang bergerak naik yang terdengar.
Setelah beberapa saat, Mark akhirnya membuka mulutnya, "Siapa namamu?"
“Dania,” jawabnya singkat, tak ingin membuka lebih banyak informasi tentang dirinya. Hatinya masih dipenuhi kecemasan yang mengguncang, namun ia berusaha untuk tetap tenang.
"Kita akan menikah, itu sebagai bayaran atas jasaku yang telah membantumu dari orang-orang yang mengejarmu."
Mata Dania membulat seketika, hatinya nyaris berhenti berdetak mendengar pernyataan yang begitu tiba-tiba dan tidak masuk akal. “Me–menikah?” Dania tergagap, mencoba memproses kalimat yang baru saja diucapkan oleh Mark. “Bagaimana bisa, Tuan? Bahkan kita baru saja bertemu. Dan kau memintaku menjadi istrimu? Yang benar saja! Apa kau gila?”
Mark menghela napas panjang, seolah merasa jenuh dengan reaksi Dania yang menurutnya tidak perlu. “Aku sedang tidak bercanda. Kau tentu tahu siapa aku, kan?”
Dania tertegun. Dania dan seluruh orang di negeri ini juga sangat tahu siapa itu Mark Evander, nama yang menggema di pikirannya. Dia adalah CEO dari salah satu perusahaan terbesar di negara ini, seorang pria yang sangat berpengaruh dan terkenal. Tentu saja, Dania tahu siapa dia. Namun, tetap saja, apa yang diinginkan Mark dari dirinya sangat tidak masuk akal.
Meski demikian, Dania mencoba menyingkirkan rasa terkejutnya. "Tetap saja, keinginanmu tidak bisa aku terima begitu saja," katanya tegas, meskipun dalam hatinya ia merasa takut.
Mark menatapnya tajam, membuat Dania merasa semakin terpojok. "Perlukah aku membawamu kepada orang-orang yang mencarimu tadi?" ancam Mark, suaranya berubah dingin seperti es yang menggigit kulit.
Dania merasa dadanya semakin sesak. "Kau mengancamku?" desisnya, tak suka dengan situasi ini. Matanya menatap tajam pada Mark, meskipun ia tahu posisinya sangat tidak menguntungkan.
"Aku hanya menagih janjimu," balas Mark datar, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa kasihan.
Pria itu benar-benar memanfaatkan keadaannya yang terdesak untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dania menggigit bibirnya, mencoba menahan diri untuk tidak meledak dalam situasi ini.
Mark yang berdiri di sampingnya tampak begitu dingin dan tak tersentuh, membuatnya merasa semakin terasing dalam situasi ini.
Mereka tiba di gedung Catatan Sipil. Dania terperangah, menyadari jika ucapan Mark tidak main-main.
“Dokumen yang anda minta sudah selesai, Tuan,” Vicky, asisten Mark langsung menghampiri mobil Mark, dan memberikan dokumen pernikahan Mark dan Dania.
“Ini benar-benar tidak masuk akal,” gerutu Dania seraya menghela napasnya.
Mark menyerahkan dokumen tersebut kepada Dania. “Peranmu saat ini adalah menjadi istriku, maka lakukan dengan benar.”
Dania membelalakan matanya, ia tidak percaya bahwa hal-hal seperti ini bisa diurus dengan cepat, bahkan dalam hitungan jam saja. Mark memang benar-benar bukan orang sembarangan.
Setelah beberapa saat mengurus pernikahan mereka di catatan sipil, Mark membawa Dania ke sebuah pesta keluarga yang diadakan di kediaman keluarga besar Mark.
Sesampainya di rumah megah berlantai tiga, mereka disambut oleh sorot mata tajam dari para tamu yang hadir. Mark berjalan dengan percaya diri, membawa Dania di sisinya seperti seorang pangeran yang menggandeng putri. Namun, bagi Dania, ini lebih terasa seperti perangkap yang menjeratnya semakin dalam.
Di antara kerumunan itu, seorang wanita berambut cokelat muda dengan wajah cantik berdiri menunggu. Matanya menatap tajam ke arah Mark dan Dania. “Mark. Akhirnya kau sampai juga,” katanya dengan nada manis.
Namun, saat matanya bertemu dengan Dania, wajah wanita itu berubah dingin. “Siapa dia?” tanyanya, meskipun lebih terdengar seperti gumaman yang penuh kecurigaan.
Mark mengabaikan kehadiran wanita itu dan berjalan melewatinya, menarik Dania lebih dekat ke arahnya.
Dania bisa merasakan ketegangan dalam genggaman tangan Mark. Wanita bernama Cindy itu jelas merasa kesal, terlihat dari raut wajahnya yang penuh dengan kebencian tersembunyi.
Mark menarik kursi untuk Dania duduk. Mark memberikan sapu tangannya untuk Dania, kemudian membersihkan makanan yang menempel di mulut Dania dengan usapan lembutnya.
Dania menatapnya sejenak, merasa aneh dengan perubahan nada suara Mark. Namun, ia tahu perannya saat ini. “Terima kasih,” jawabnya sambil mengambil alih sapu tangan di tangan Mark, mencoba untuk tidak menunjukkan rasa canggung yang melanda dirinya.
Cindy yang masih berdiri di dekat mereka menatap Dania dengan tatapan tajam. “Siapa wanita ini, Mark?” tanyanya dengan nada dingin yang tak dapat disembunyikan lagi.
Mark menoleh ke arah ayah dan ibunya yang duduk tak jauh dari mereka, tampak penasaran dengan wanita yang dibawa anaknya. Mereka tahu, Mark bukanlah tipe pria yang suka memperkenalkan wanita kepada keluarganya. Namun, kali ini berbeda. Ada sesuatu yang berbeda.
“Ayah, Ibu. Berhenti mengenalkan wanita tidak jelas lagi padaku,” ucap Mark dengan suara dinginnya. Sorot matanya menatap datar kedua orang tuanya.
“Aku ke sini membawa hadiah untuk kalian,” Mark memperkenalkan Dania di depan orang tuanya. “Ini Dania, istriku.”
"Apa?!" Suara Alex seperti guntur yang menggema di langit yang gelap. Matanya, penuh keterkejutan, menatap tak percaya pada putra sulungnya. "Bagaimana bisa? Apa kau yakin, Mark?""Ya Tuhan, Mark ... kenapa kau tidak memberitahu kami sebelumnya?" ucap Sarah, suaranya penuh dengan kegelisahan dan ketidakpercayaan. Matanya, yang selalu penuh kasih, kini menatap anaknya dengan campuran perasaan yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata.Mark mengangkat tangan kirinya. Memperlihatkan cincin di jarinya, simbol ikatan yang tak terbantahkan."Ya, aku serius. Kalian tidak melihat, kami mengenakan cincin ini," katanya dengan nada dingin yang memotong udara seperti belati.Sarah tertegun, sorot matanya yang biasa lembut kini dipenuhi kebingungan. "Tapi ... kenapa? Maksudku, kenapa kau tidak memberitahu kami jika kau sudah menikah, Mark?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.Dania, yang sedari tadi hanya menjadi bayangan yang setia di sis
Malam sudah semakin larut ketika pesta yang penuh keriuhan dan tawa itu akhirnya usai. Semua tamu telah pulang, meninggalkan keheningan yang perlahan menguasai setiap sudut rumah mewah itu. Mark dan Dania akhirnya pamit untuk pulang dari rumah tersebut.Mark, yang sudah sejak lama tidak tinggal di rumah orang tuanya sejak lima tahun yang lalu. Kemudian mengajak Dania menuju mobil yang terparkir rapi di halaman. “Mulai malam ini, kau tinggal di rumahku,” ucap Mark tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh dengan kepastian yang tak terbantahkan.Dania yang mendengarnya sontak menoleh, matanya membelalak dengan tatapan tak percaya. Mereka masih berada di dalam mobil yang kini telah berhenti di halaman sebuah rumah yang tidak kalah megahnya dari rumah orang tua Mark.“Apa? Bagaimana bisa? Antarkan aku pulang ke rumahku, Tuan Mark,” desis Dania dengan nada yang lebih menyerupai perintah daripada permintaan.Mark menoleh sekilas ke arah Dania dengan tatapan yang sulit diartikan. “Jangan pangg
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Dania merasakan tubuhnya terasa berat, seperti ada bebatuan yang menimpanya. Ia lantas menoleh ke samping kiri, dan seketika mata Dania membulat sempurna, terkejut melihat sosok yang terbaring di sampingnya.Mulutnya refleks tertutup oleh tangan, mencoba menahan pekikan yang hampir meluncur keluar. ‘Apa terjadi sesuatu semalam?’ pikirnya dalam hati, panik menyeruak dalam pikirannya yang masih setengah sadar.Dania segera menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, matanya terbelalak, namun kali ini lebih karena rasa lega. Pakaiannya masih lengkap, sama seperti saat ia mengenakannya sebelum tidur.‘Syukurlah,’ batinnya, meski perasaan lega itu hanya bertahan sesaat sebelum suara berat dan serak yang familiar menyelusup ke telinganya. Kalau bukan karena Mark yang mengancamnya akan mengurungnya di gudang, mana mau Dania tidur dengannya. “Sudah bangun,hm?” Suara itu milik Mark, masih terbaring di sampingnya dengan mata tertutup, namun nadanya begit
Dania menoleh perlahan, seakan waktu melambat saat ia mengamati setiap garis tajam di wajah Mark.Mata kelam pria itu menatap Cindy dengan kebencian yang begitu terang, membuat suasana ruangan seolah membeku dalam ketegangan. Bibirnya terkatup rapat, dagunya terangkat tinggi, menandakan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat."Apa maksudmu, Mark?" tanya Cindy dengan nada marah, matanya menyala penuh emosi. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Mark, seolah sentuhan itu telah menjadi duri yang menusuk kulitnya.Mark menghela napas panjang, seolah berusaha menahan amarah yang membara di dalam dadanya. “Pergi dari rumahku sebelum aku memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar,” ucapnya dingin, suaranya bergetar dengan ancaman yang jelas.Perkataan itu menyulut kemarahan Cindy. Dengan wajah memerah, ia mendesis, “Argh!” sebelum akhirnya berbalik dan pergi dengan langkah cepat, menghentak-hentakkan kakinya di atas lantai marmer yang dingin.Mark tidak memedulikan Cindy lagi. Ia ber
"Kenapa? Apa pertanyaanku terlalu berat, sampai membuatmu tersedak?" tanyanya, suaranya terdengar halus namun tajam, seperti mata pisau yang menyusuri permukaan sutra.Dania mengambil gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar, meneguk airnya perlahan, mencoba mengumpulkan pikirannya yang terpecah-pecah."Tidak," jawabnya setelah beberapa saat, suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan. "Aku hanya terkejut saja, pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulutmu."Mark menghela napas kasar, suaranya menyerupai desahan angin yang berhembus melewati pepohonan di malam hari. Ia bangkit dari duduknya, menatap Dania dengan sorot mata yang sulit diartikan."Tidak masalah jika memang kau sudah melupakan pria itu," ucapnya dengan nada datar, sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Dania yang masih terdiam di kursinya.Dania mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari kata-kata suaminya. Apakah Mark merasa lega karena ia sudah tidak mencintai Kevin? Ataukah ada sesuatu ya
Mark mengangkat wajahnya, menatap ibunya yang masih menunggu jawaban dengan penuh harap. Di sebelahnya, Dania terdiam, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia tahu, dalam situasi ini, lebih baik diam dan membiarkan Mark yang mengambil alih percakapan. Biarlah dia yang berbicara, biarlah dia yang memberikan penjelasan."Ibu," katanya dengan nada yang begitu tenang, namun dingin, seakan mencoba untuk menekan setiap emosi yang mendidih di dalam dirinya, "Kami baru saja menikah. Tidak pantas jika harus menanyakan soal anak sementara umur pernikahan kami baru dua hari.""Kami masih ingin menikmati masa-masa pernikahan kami dulu," lanjut Mark tanpa jeda, "Belum memikirkan tentang anak."Namun, sebelum kata-kata itu benar-benar dapat meresap ke dalam pikiran Sarah, suara lain yang lebih keras dan tegas memecah keheningan. "Kenapa harus ditunda-tunda, Mark?" suara Alex meluncur dengan nada yang mulai mengintimidasi. "Jika memang benar kalian sudah menikah, untuk apa menunda kehamilan? La
Dania menghela napas dalam-dalam, matanya terfokus tajam pada sosok suaminya yang berdiri di hadapannya. Udara di antara mereka penuh dengan ketegangan yang membara, seperti api yang siap membakar segalanya dalam sekejap.“Tidak. Aku tetap akan bekerja meskipun kau akan memberiku apa pun yang aku inginkan!” ucap Dania dengan nada suara yang penuh ketegasan, seolah-olah setiap kata adalah sebuah pedang yang menghunus ke dalam hati Mark.“Dania!” Mark berusaha menahan emosinya, menatap tajam ke arah wajah istrinya yang ternyata lebih kuat dari yang ia bayangkan.Tak ada lagi kelembutan dalam tatapannya, hanya ada hasrat untuk menang, untuk mendominasi. Namun, wajah Dania tetap teguh, sekeras batu karang yang menantang ombak ganas.“Apa? Kau ingin membuatku terkurung di sini? Menjadi istri yang tidak melakukan apa pun selain menunggu kepulangan suaminya? Itu, maksudmu?” Dania menantangnya dengan suara lantang, penuh dengan keberanian yang hanya dimiliki oleh mereka yang tahu apa yang mer
“Kedatanganku ke sini ingin memberitahu kalian berdua, bahwa hari ini adalah hari terakhir istriku bekerja.”Kevin dan Marsha membeku di tempat mereka berdiri, tercengang oleh pengakuan tiba-tiba dari Mark. Wajah mereka memucat, seolah darah mereka mengalir mundur, diserap oleh kekosongan yang tiba-tiba menghantam mereka. Begitu juga Dania, yang berdiri terpaku di samping Mark. Ia tidak pernah menyangka Mark akan melakukan ini—mengumumkan kepada semua orang bahwa mereka adalah suami istri. Dania merasakan jantungnya berdebar kencang, tidak tahu harus merasa lega atau marah.“Suami ...?” bisik Marsha pelan, matanya membesar seperti bulan purnama, terpaku pada Mark yang berdiri dengan tenang, seolah-olah segala hal yang terjadi ini adalah bagian dari rencana yang telah lama direncanakannya.Mark tidak memperhatikan keterkejutan yang jelas tergambar di wajah Marsha dan Kevin. Ia memegang erat tangan Dania, menariknya lebih dekat, seakan menegaskan kepemilikannya. “Ya, suami,” ulangnya,