Share

Tawaran Kompensasi

Di hari berikutnya, Bunga berusaha bekerja seperti biasanya. Ia sama sekali tidak mempertanyakan kenapa majikan wanitanya, Sofia, keluar dari kamar tidur tamu dan kapan wanita itu pulang semalam.

Yang jelas, ia bersyukur Sofia tidak memergokinya keluar dari kamar utama. 

Mengingat kejadian semalam membuat hati Bunga kembali sakit. Apalagi pagi ini, ibunya kembali menelepon.

"Ya Tuhan! Aku belum ada uang, Bu. Nanti kalau udah gajian pasti aku bakal kasih uangnya ke Ibu."

Bunga terdengar frustrasi karena didesak seperti ini. Seakan masalah ini datang padanya bertubi-tubi.

Kemarin ibunya meminta uang tiga juta, yang mana adalah nominal hampir seluruh gajinya. Lalu, saat awal menelepon tadi, nominal uangnya mendadak bertambah menjadi lima juta.

Makin lama bicara, nominal yang diminta sang ibu makin tidak masuk akal.

Baru kemudian, ibu Bunga jujur kalau dia baru saja mendapatkan tagihan dari aplikasi pinjol dan memerlukan sepuluh juta.

"Ibu dari tadi diteror terus sama tukang panci itu, Bunga. Ini juga pinjol bentar-bentar nelepon terus, Ibu pusing ini.” Sang ibu terus bicara. “Kenapa ya, nagihnya pas-pasan barengan kayak gini. Mereka juga ngancam, Ibu jadi takut, Bunga.” 

Bunga memijit pelipisnya. Pusing dengan tingkah sang ibu.

“Tolong diusahakan dong. Kan kamu kerja di kota besar. Majikanmu kaya,"

Bunga menghela napas. 

"Bu, jangan bikin aku tambah pusing,” mohonnya. “Aku juga udah usaha di sini, tapi emang belum ada. Seperti yang aku bilang kemarin, aku belum lama kerja di sini. Lagipula, kerja di kota besar bukan berarti langsung kaya raya.” Bunga menghela napas lagi. “Ibu jangan suka ngutang. Ibu tahu kan kalau kondisi keuangan kita lagi kritis?” 

Bunga berusaha berkata tegas lagi. “Kalau masalah utang Ibu, aku nggak bisa bantu. Aku bisanya bantu bayar daftar adek sekolah."

"Duh! Kamu ini gimana sih, bukannya kasih solusi ke Ibu malah ngomel-ngomel nggak jelas.” Bukannya memahami posisi Bunga, si ibu justru balas mengomel. “Pokoknya Ibu nggak mau tahu! Kamu harus kasih Ibu duit sepuluh juta. Kamu pinjam duit ke teman kamu. Orang kota pasti duitnya banyak-banyak juga. Usaha, Bunga!"

"Bu, aku--"

Tut ... Tut ... Tut ...

"Astaga! Belum juga selesai, udah main matiin aja.” Bunga meletakkan ponselnya di atas meja dapur. 

Bingung. Di mana ia bisa mendapatkan uang sepuluh juta itu dalam waktu singkat? 

Jangankan sepuluh juta. Tiga juta untuk biaya adiknya sekolah saja belum tentu bisa Bunga berikan.

“Hei. Kamu.”

Tubuh Bunga tiba-tiba menegang saat mendengar suara itu. Sontak kepalanya menoleh ke asal suara dan melihat Gama sedang berdiri di ambang dapur.

“Y-ya, Tuan?” cicitnya.

Gama melangkah mendekat dan Bunga langsung mengerut mundur, khawatir pada apa yang akan dilakukan pria itu lagi padanya, sekalipun Sofia sedang ada di dalam rumah.

"Berapa yang kamu minta?"

Pertanyaan itu membuat Bunga memandang si majikan dengan tatapan bingung, sebelum kemudian mengetahui bahwa Gama mengingat peristiwa semalam saat keduanya beradu pandang.

Bunga tersenyum pedih. Sekalipun ingat, alih-alih meminta maaf, Gama malah ingin menukarkan kali pertama Bunga dengan sejumlah uang. 

Semurahan itukah dirinya?

"Saya tidak menginginkan uang," ujar wanita itu pelan.

Harga diri Bunga saat ini lebih besar dibandingkan penawaran Gama, sekalipun semenit sebelumnya ia sedang kebingungan untuk mencari uang.

Padahal setelah ini pun, Bunga berniat untuk menemui Sofia untuk meminjaum uang.

Sungguh munafik.

"Lalu apa? Kau ingin aku menikahimu?" tanya Gama kemudian.

Lantas Bunga menggeleng. Itu juga sama sekali tidak dia harapkan, saat ini dia benar-benar bingung.

Sebenarnya Bunga ingin keluar saja dari sini, ingin pergi sejauh-jauhnya untuk melupakan kejadian malam tadi, tapi ekonomilah yang memaksa untuk tetap bertahan.

Gama menghela napas gusar, dia bingung dengan sikap Bunga. Ditawar sejumlah uang tidak mau, lalu ditawar untuk menikah dengannya wanita itu juga tidak mau. 

Apa yang sebenarnya wanita ini inginkan darinya?

"Kalau tidak ingin keduanya terus apa yang kamu mau, huh?" tanyanya, membuat Bunga kembali menunduk. 

Gama memperhatikan Bunga cukup lama, dipandanginya tubuh wanita itu dari atas sampai bawah. 

Sial! Tiba-tiba saja tubuhnya meremang ketika mengingat bagaimana rasanya berbagi peluh dengan Bunga.

Pria itu tiba-tiba menggeleng karena sudah berpikir kotor.

Melihat Bunga tampak diam saja membuat Gama menghela napas berat.

"Sudahlah. Aku bisa membayarmu. Katakan saja kamu menginginkan berapa," desis Gama. Tujuan kamu bekerja di sini kalau bukan uang lalu apa? Jangan munafik, Bunga.”

Bunga memberanikan diri menatap Gama. Tatapan wanita itu sulit diartikan. 

Namun, Gama yakin hal itu menyiratkan kesedihan sekaligus kebencian.

"Anda sudah mengambil masa depan saya secara paksa. Meski saya tahu kalau tadi malam Anda mabuk, tapi tidakkah Anda merasa bersalah sedikit pun?"

Bunga kemudian membatin, apakah bagi orang-orang kaya, mengucapkan maaf adalah hal sesulit itu?

"Jangan bertele-tele,” tandas Gama. Keningnya mengerut. “Semalam memang sebuah kesalahan. Karenanya, aku menawarkan kompensasi. Kamu yang membuatnya menjadi sulit.”

“Tuan, saya–”

“Atau kamu mau pekerjaan dengan tawaran yang lebih tinggi?” ucap Gama lagi. “Aku bisa membayarmu, lebih daripada yang Sofia berikan.”

Bunga tampak bingung. “Sebagai pembantu, Tuan?”

Gama menatap Bunga selama beberapa saat dalam diam. Entah apakah wanita ini sempat mendengar perdebatannya dengan Sofia atau tidak tadi pagi–lantaran ranjang di kamar utama terlihat seperti habis dipakai untuk beradegan dewasa–tapi hal itu memunculkan ide dalam kepala Gama.

Jika memang istrinya selingkuh dan tidak setia pada pernikahan mereka terlebih dahulu, maka Gama bisa menggunakan ini untuk membalas Sofia.

Karenanya, pria itu mengatakan, “Sebagai wanita rahasiaku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status