Di hari berikutnya, Bunga berusaha bekerja seperti biasanya. Ia sama sekali tidak mempertanyakan kenapa majikan wanitanya, Sofia, keluar dari kamar tidur tamu dan kapan wanita itu pulang semalam.
Yang jelas, ia bersyukur Sofia tidak memergokinya keluar dari kamar utama.
Mengingat kejadian semalam membuat hati Bunga kembali sakit. Apalagi pagi ini, ibunya kembali menelepon.
"Ya Tuhan! Aku belum ada uang, Bu. Nanti kalau udah gajian pasti aku bakal kasih uangnya ke Ibu."
Bunga terdengar frustrasi karena didesak seperti ini. Seakan masalah ini datang padanya bertubi-tubi.
Kemarin ibunya meminta uang tiga juta, yang mana adalah nominal hampir seluruh gajinya. Lalu, saat awal menelepon tadi, nominal uangnya mendadak bertambah menjadi lima juta.
Makin lama bicara, nominal yang diminta sang ibu makin tidak masuk akal.
Baru kemudian, ibu Bunga jujur kalau dia baru saja mendapatkan tagihan dari aplikasi pinjol dan memerlukan sepuluh juta.
"Ibu dari tadi diteror terus sama tukang panci itu, Bunga. Ini juga pinjol bentar-bentar nelepon terus, Ibu pusing ini.” Sang ibu terus bicara. “Kenapa ya, nagihnya pas-pasan barengan kayak gini. Mereka juga ngancam, Ibu jadi takut, Bunga.”
Bunga memijit pelipisnya. Pusing dengan tingkah sang ibu.
“Tolong diusahakan dong. Kan kamu kerja di kota besar. Majikanmu kaya,"
Bunga menghela napas.
"Bu, jangan bikin aku tambah pusing,” mohonnya. “Aku juga udah usaha di sini, tapi emang belum ada. Seperti yang aku bilang kemarin, aku belum lama kerja di sini. Lagipula, kerja di kota besar bukan berarti langsung kaya raya.” Bunga menghela napas lagi. “Ibu jangan suka ngutang. Ibu tahu kan kalau kondisi keuangan kita lagi kritis?”
Bunga berusaha berkata tegas lagi. “Kalau masalah utang Ibu, aku nggak bisa bantu. Aku bisanya bantu bayar daftar adek sekolah."
"Duh! Kamu ini gimana sih, bukannya kasih solusi ke Ibu malah ngomel-ngomel nggak jelas.” Bukannya memahami posisi Bunga, si ibu justru balas mengomel. “Pokoknya Ibu nggak mau tahu! Kamu harus kasih Ibu duit sepuluh juta. Kamu pinjam duit ke teman kamu. Orang kota pasti duitnya banyak-banyak juga. Usaha, Bunga!"
"Bu, aku--"
Tut ... Tut ... Tut ...
"Astaga! Belum juga selesai, udah main matiin aja.” Bunga meletakkan ponselnya di atas meja dapur.
Bingung. Di mana ia bisa mendapatkan uang sepuluh juta itu dalam waktu singkat?
Jangankan sepuluh juta. Tiga juta untuk biaya adiknya sekolah saja belum tentu bisa Bunga berikan.
“Hei. Kamu.”
Tubuh Bunga tiba-tiba menegang saat mendengar suara itu. Sontak kepalanya menoleh ke asal suara dan melihat Gama sedang berdiri di ambang dapur.
“Y-ya, Tuan?” cicitnya.
Gama melangkah mendekat dan Bunga langsung mengerut mundur, khawatir pada apa yang akan dilakukan pria itu lagi padanya, sekalipun Sofia sedang ada di dalam rumah.
"Berapa yang kamu minta?"
Pertanyaan itu membuat Bunga memandang si majikan dengan tatapan bingung, sebelum kemudian mengetahui bahwa Gama mengingat peristiwa semalam saat keduanya beradu pandang.
Bunga tersenyum pedih. Sekalipun ingat, alih-alih meminta maaf, Gama malah ingin menukarkan kali pertama Bunga dengan sejumlah uang.
Semurahan itukah dirinya?
"Saya tidak menginginkan uang," ujar wanita itu pelan.
Harga diri Bunga saat ini lebih besar dibandingkan penawaran Gama, sekalipun semenit sebelumnya ia sedang kebingungan untuk mencari uang.
Padahal setelah ini pun, Bunga berniat untuk menemui Sofia untuk meminjaum uang.
Sungguh munafik.
"Lalu apa? Kau ingin aku menikahimu?" tanya Gama kemudian.
Lantas Bunga menggeleng. Itu juga sama sekali tidak dia harapkan, saat ini dia benar-benar bingung.
Sebenarnya Bunga ingin keluar saja dari sini, ingin pergi sejauh-jauhnya untuk melupakan kejadian malam tadi, tapi ekonomilah yang memaksa untuk tetap bertahan.
Gama menghela napas gusar, dia bingung dengan sikap Bunga. Ditawar sejumlah uang tidak mau, lalu ditawar untuk menikah dengannya wanita itu juga tidak mau.
Apa yang sebenarnya wanita ini inginkan darinya?
"Kalau tidak ingin keduanya terus apa yang kamu mau, huh?" tanyanya, membuat Bunga kembali menunduk.
Gama memperhatikan Bunga cukup lama, dipandanginya tubuh wanita itu dari atas sampai bawah.
Sial! Tiba-tiba saja tubuhnya meremang ketika mengingat bagaimana rasanya berbagi peluh dengan Bunga.
Pria itu tiba-tiba menggeleng karena sudah berpikir kotor.
Melihat Bunga tampak diam saja membuat Gama menghela napas berat.
"Sudahlah. Aku bisa membayarmu. Katakan saja kamu menginginkan berapa," desis Gama. Tujuan kamu bekerja di sini kalau bukan uang lalu apa? Jangan munafik, Bunga.”
Bunga memberanikan diri menatap Gama. Tatapan wanita itu sulit diartikan.
Namun, Gama yakin hal itu menyiratkan kesedihan sekaligus kebencian.
"Anda sudah mengambil masa depan saya secara paksa. Meski saya tahu kalau tadi malam Anda mabuk, tapi tidakkah Anda merasa bersalah sedikit pun?"
Bunga kemudian membatin, apakah bagi orang-orang kaya, mengucapkan maaf adalah hal sesulit itu?
"Jangan bertele-tele,” tandas Gama. Keningnya mengerut. “Semalam memang sebuah kesalahan. Karenanya, aku menawarkan kompensasi. Kamu yang membuatnya menjadi sulit.”
“Tuan, saya–”
“Atau kamu mau pekerjaan dengan tawaran yang lebih tinggi?” ucap Gama lagi. “Aku bisa membayarmu, lebih daripada yang Sofia berikan.”
Bunga tampak bingung. “Sebagai pembantu, Tuan?”
Gama menatap Bunga selama beberapa saat dalam diam. Entah apakah wanita ini sempat mendengar perdebatannya dengan Sofia atau tidak tadi pagi–lantaran ranjang di kamar utama terlihat seperti habis dipakai untuk beradegan dewasa–tapi hal itu memunculkan ide dalam kepala Gama.
Jika memang istrinya selingkuh dan tidak setia pada pernikahan mereka terlebih dahulu, maka Gama bisa menggunakan ini untuk membalas Sofia.
Karenanya, pria itu mengatakan, “Sebagai wanita rahasiaku.”
Ucapan Gama mengejutkan Bunga. Mata wanita itu membola tidak percaya.Apakah pemikiran orang kaya memang seperti ini? Tidak bisa diprediksi, egois, dan menyakitkan hati?Bunga tidak langsung menjawab. Ia kembali menunduk, lalu dengan suara pelan berucap, “Mohon maaf, Tuan. Saya harus membersihkan kamar tamu sesuai instruksi Nyonya Sofia tadi. Permisi.”Bohong. Ia sudah melakukan tugas itu tadi. Namun, Bunga memang harus pergi dari hadapan Gama secepatnya sebelum ia menangis di tempat.***"Maaf, bukannya aku nggak mau bantu kamu, tapi kamu tahu sendiri perjanjian sebelum kerja di sini, kan?”Bunga menunduk dalam-dalam saat Sofia berkata demikian. Ia baru saja memberanikan diri dan menyempatkan untuk berbicara dengan Sofia soal pinjaman gaji, lantaran ibunya terus menerus menelepon dan mengiriminya pesan.Oleh karena itu, saat sekiranya suasana hati Sofia tampak cukup baik, Bunga mengutarakan maksudnya.Hanya untuk mendapatkan penolakan. “Aku sudah bilang di awal kalau aku akan menaik
"Mu--mungkin Anda salah paham, Pak.” Bunga buru-buru berkata. Suaranya pelan. “Maksud saya, bukankah waktu itu Anda menawarkan sejumlah uang sebagai bentuk tanggung jawab? Saya mengiakan tentang itu, bukan yang lain." Gama tertawa pelan, membuat Bunga langsung mendongak."Justru kamulah yang salah paham, Bunga.” Pria itu berujar. “Dari awal aku memang menawarkan jadi simpananku. Mungkin kamu sedang banyak pikiran, makanya tidak fokus. Bukan, begitu?"Bunga menggeleng. Tidak. Ia memang sedang banyak pikiran, tapi tidak mungkin Bunga salah paham soal ini."Kalau begitu, saya menolak, Pak.” Bunga berusaha berkata dengan tegas, sekalipun ia terintimidasi oleh majikannya. “Bukannya Anda sudah punya istri? Kenapa harus menawarkan hal gila pada saya? Apa satu perempuan tidak cukup untuk Anda?"Hening. Baru kemudian Bunga menyadari kalau dia kelepasan bicara.Ekspresi Gama tampak gelap saat ia berkata, "Kalau kamu tidak tahu tentang kehidupanku, sebaiknya kamu tutup mulut."Bunga langsung m
"Kenapa wajahmu tampak pucat begitu, Bunga? Apa terjadi sesuatu?" tanya Sofia penasaran.Bunga buru-buru menetralkan wajahnya. Meskipun dalam hati, ia ingin menangis."E--enggak kok, Bu.” Bunga menjawab. “Enggak ada."Namun, Sofia tampaknya tidak percaya."Memangnya pesan dari siapa?" tanya majikannya itu lagi.Baru kali ini Sofia kepo dengan permasalahan orang lain. Biasanya dia tampak cuek. Terlalu malas ikut campur kehidupan orang. Akan tetapi, entah kenapa untuk kali ini berbeda.'Dari suami Anda yang gila itu,' jawab Bunga. Namun, ia hanya berani menjawab dalam hati.Bisa-bisa nasibnya tamat kalau majikan perempuannya ini tahu.Pada akhirnya, Bunga hanya menyahut, "Biasa, Bu. Pesan dari Ibu saya."Sofia tampak manggut-manggut. "Dia minta uang lagi ke kamu?"Bunga tidak langsung menjawab, sehingga Sofia melanjutkan, "Kemarin kamu nekat pinjam uang juga pasti karena ibumu, kan?"Bunga tanpa sadar mengangguk. "Benar, Bu."Sofia menghela napas berat. "Jadi ini yang membuatmu berdiri
“Oh, jangan lupa satu hal, aku juga akan mengirimkan video ini pada keluargamu. Bagaimana?"Kalimat itu mengejutkan Bunga.“Anda gila!”“Perlu kamu tahu, aku bukan orang yang sabar, Bunga.” Gama berucap. “Aku mau dengar keputusanmu sekarang.”Bunga menggigit bibirnya, lalu memijit pelipis. Kalau sudah membawa-bawa keluarga, dia pening luar biasa. Bisa-bisanya Gama bertindak di luar batas hanya karena ... menginginkan tubuhnya?"Saya mau jadi simpanan Anda, Pak," ucap Bunga, teringat pada obrolannya dengan Sofia tadi. “Saya–”"Oke, kalau begitu aku kirim videonya sekarang." Nada bicara Gama begitu tenang namun kata-katanya menyiratkan penuh ancaman.“Pak!”Hening. Bunga menutup matanya, lalu menarik napas dalam-dalam. Awalnya, napasnya sempat tersendat karena perasaan sesak di dadanya, tapi perlahan ritmenya mulai teratur.“Baiklah.” Bunga akhirnya berbisik."Baik bagaimana? Kamu terima tawaranku atau menolaknya?""Saya menerimanya."Di seberang saluran telepon, Gama tersenyum penuh
"Maaf, Bu, saya terlambat pulang."Bunga hanya bisa menunduk saat ia masuk ke dalam kediaman majikannya dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Sofia."Bukannya aku sudah bilang kalau jangan sampai telat? Lihatlah, bahkan suamiku pulang lebih dulu!” Sofia menunjuk ke arah Gama, yang saat ini sedang fokus pada tabletnya.Suara Sofia begitu rendah namun penuh penekanan."Saya minta maaf, Bu, saya janji tidak akan mengulangi lagi." Lagi dan lagi Bunga hanya bisa meminta maaf. Memangnya apa lagi yang bisa dia lakukan?"Kali ini aku kecewa sama kamu, dan sebagai balasannya gaji kamu aku potong!" Sofia berucap. “Bisa-bisanya kamu justru enak-enakan pacaran dan malah mengabaikan pesanku.”Bunga tercekat. Apa tadi Sofia mengikuti gerak-geriknya secara diam-diam? Kenapa majikannya berucap demikian?Bunga pun menimbulkan gelagat aneh."Itu ada tanda merah di leher kamu, makanya aku bicara seperti itu," sahut Sofia ketus.Bunga langsung menutupi leher menggunakan kedua tangannya. Aish! Rupa
“Kita bisa melakukannya di rumah.”Mata Bunga melotot. Yang benar saja? Kalau sampai hal itu terjadi, jelas saja mereka ketahuan."Jangan!" sergah Bunga, membuat Gama menghela napas."Seperti yang sudah kita sepakati, ikuti saja aturanku, tugasmu hanya menurut."Gama memakai jasnya kembali, sepertinya pria itu ingin lanjut bekerja."Pulanglah, aku tidak ingin Sofia mengomel lagi seperti kemarin.""Baik." Bunga bersiap pergi tapi kembali dipanggil oleh Gama."Tunggu, ini untukmu. Kalau kamu membutuhkan sesuatu pakailah, kodenya nanti aku kirim lewat ponsel," ujar Gama seraya menyodorkan black card pada Bunga.Bunga tercengang, untuk apa Gama melakukannya? Bukankah ini tidak ada di dalam perjanjian mereka?"Untuk apa, Pak? Bukankah Anda--""Pak lagi?""Maaf." Bunga kembali menunduk."Panggil namaku kalau kita sedang berdua, dan bicaralah dengan nada santai."'Bagaimana bisa, sedangkan Anda saja saat ini majikan saya,' gerutu Bunga dalam hati."I-iya. Untuk Apa Anda--maksudnya buat apa k
"Saya turun di sini saja, Pak, takutnya nanti Bu Sofia--""Pak, ya?" sela Gama sambil manggut-manggut."Maaf, maksudnya ... turunkan aku di sini aja biar nanti Bu Sofia nggak curiga," pinta Bunga.Namun, sepertinya tak didengar oleh Gama. Bukannya menurunkan, Gama malah menambah kecepatan.Dan yang ditakutkan Bunga pun akhirnya terjadi, setelah mobil itu sudah berhenti di pelataran rumah, Sofia terlihat berdiri di pintu utama, seperti tengah menunggu seseorang.Siapa? Dirinya? Tidak mungkin, sudah pasti yang ditunggu adalah Gama, suaminya."Turun!" perintah Gama."Tapi ... ada Bu Sofia, bagaimana kalau nanti--""Justru kalau kamu lama keluar yang ada dia semakin curiga. Kalau aku sih nggak masalah."Mendengar Gama berbicara seperti itu, Bunga pun langsung keluar dari mobil dengan buru-buru."Sore, Bu," sapa Bunga dengan pelan."Kenapa kamu bisa bareng sama suamiku?" tanya Sofia tanpa basa-basi. Tatapannya terasa aneh, seperti tengah mencurigai sesuatu."Itu ... tadi saya tidak sengaja
"Akhir-akhir ini kamu sering banget izin keluar rumah, kenapa?" "Ada yang harus saya cari, Bu. Kebetulan ada barang yang harus saya beli," dusta Bunga."Sesering itu? Kali ini kamu minta izin untuk apa lagi? Alasan keperluan kamu habis lagi?"Bunga meremas kedua tangannya seraya menggeleng. "Bukan, Bu. Teman saya mengajak ketemu."Untuk kali ini Bunga jujur, dia meminta izin keluar karena memang Ayu meminta bertemu, bukan karena Gama."Teman atau pacar?" sindir Sofia. "Bukannya waktu itu kamu juga pernah izin terus pulangnya ada cupang di leher kamu?"Ditatap begitu rendah oleh Sofia membuat perasaannya sedih, tapi dia juga tidak bisa mengelak karena ucapan majikannya memang benar."Teman, Bu."Sofia tampak manggut-manggut. "Lagian aku nggak peduli juga sih kamu mau ke mana. Ingat ya pulang tepat waktu, kamu itu harus sadar diri, di sini kamu itu cuma pembantu, jadi nggak boleh pulang pergi seenaknya.""Baik, Bu. Saya janji tidak akan pulang terlambat."Bunga menatap kepergian Sofia
"Apa yang Papa lakukan?""Melakukan yang memang pantas kulakukan," jawab Gunadi enteng.Gama mengepalkan tangannya. Dia tak menyangka kalau situasinya akan menjadi seperti ini."Bukannya kamu setuju pisah sama dia? Kenapa masih dipertanyakan lagi?" Gunadi menatap putranya dengan sorot mata tajam."Aku emang setuju, tapi kenapa Papa masih ikut campur? Lama-lama aku muak sama kelakuan Papa. Dengar, aku ini bukan anak kecil yang selalu diatur-atur harus seperti ini, harus seperti itu. Nggak, Pa. Aku nggak habis pikir punya keluarga macam Papa." Gama menggeleng kecewa."Percuma kamu meratapi nasib, orang itu sekarang udah pergi jauh. Dia nggak bakal ganggu kamu lagi, sekarang mulai semuanya dari awal. Cari wanita yang setara, supaya tidak malu-maluin keluarga kita jika diajak pergi ke pesta."Gama tersenyum sinis. Segampang itu? Seandainya orang yang ada di hadapannya ini bukan papanya, mungkin sudah dia bunuh, karena sudah berani-beraninya mengacaukan seluruh hidupnya, ikut campur pribad
Apa yang dikatakan Ayu memang benar, Gunadi adalah orang yang sangat berbahaya.Bunga sangat menyesal karena telah berurusan dengan pria itu. Nyatanya uang 5 milyar yang dijanjikan pria itu tidak dikasih, yang ada Bunga diancam kalau tidak menuruti perintah pria itu.Bahkan Ayu yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah mereka pun ikut terseret."Yu, aku minta maaf. Ini belum terlambat, lebih baik kamu pergi aja sebelum semuanya--""Udah, nggak apa-apa, Bunga," sela Ayu cepat.Sebelum orang suruhan Gunadi benar-benar pergi, berkali-kali Bunga menyuruh Ayu untuk membuntuti mereka, sayangnya Ayu tidak mau. Dia malah memilih untuk bersama Bunga. Dia tidak tega meninggalkan Bunga seorang diri di tempat sepi seperti ini.Bunga tahu kalau Ayu juga syok dengan kekacauan yang terjadi. Bunga berkali-kali menyesali keputusannya, berkali-kali juga meminta maaf pada Ayu.Awalnya Bunga meminta uang 5 milyar hanya ingin basa-basi saja, atau ... bisa dikatakan sekadar iseng, untuk memastikan ucap
"Aku nggak nyangka kalau dia bakalan buang aku, Yu. Padahal selama ini aku udah ngotot pertahanin dia. Kenapa dia ... jahat banget sama aku, Yu."Ayu menatap Bunga prihatin, Bunga sedari tadi menangis sesenggukan dan beberapa kali juga memaki Gama.Sedari tadi mulut Ayu terasa begitu gatal, hanya saja dia terus menahannya. Tunggu benar-benar Bunga membaik, barulah Ayu akan mengeluarkan sumpah serapahnya itu."Yu, kok kamu dari tadi diam aja sih, biasanya juga ngomel-ngomel. Kamu nggak lagi di pihak aku ya?" omel Bunga di sela-sela tangisnya.Ayu menghela napas berat. "Kamu ini ngomong apa sih, justru aku kasih kamu kesempatan buat nenangin diri.""Dia tiba-tiba bilang kalau lebih baik aku sama dia pisah aja. Tiba-tiba banget loh, Yu, nggak ada angin nggak ada hujan, kamu bayangin aja gimana syoknya jadi aku.""Kan dari awal aku juga udah bilang, jangan pernah berurusan sama laki-laki kaya, apalagi sampai jatuh cinta. Nih lihat sendiri kan akibatnya, dan lagi saat ini kamu lagi bunting
"Kamu tahu kalau istri kamu itu hamil?"Gama tersenyum menyeringai, mencengkram ponsel itu dengan erat. Saat ini dia sedang berbicara dengan Gunadi melalui telepon.Entah mengapa tiba-tiba Gunadi berbicara seperti itu, dan apa alasan Sofia mengatakan hal itu pada Gunadi? Apa karena tidak terima karena dirinya meminta cerai?"Papa yakin kalau itu anakku?""Kamu tanya sama Papa? Yakin? Kan kamu sendiri yang nanam benih," cibir Gunadi dari ujung sana.Gama mengacak rambutnya frustrasi. "Pa, aku udah bilang, aku nggak pernah sentuh Sofia. Mana mungkin itu anak aku, keputusanku udah bulat ya, mulai sekarang Papa nggak usah ikut campur lagi sama aku dan Sofia. Aku sama Sofia udah selesai, Pa.""Sofia?" Gunadi tertawa terbahak-bahak. "Emangnya Papa ada bahas dia?"Gama terdiam beberapa saat, mencerna apa yang barusan dia dengar. Apa maksud Gunadi?Lalu pandangan Gama beralih pada pintu kamar yang saat ini ditempati oleh Bunga istirahat.Apa mungkin yang dimaksud Gunadi adalah Bunga? Sial! Ba
"Bunga, kamu ... maaf aku baru bisa ngabarin kamu sekarang, semalam aku pulang ke rumah, mamaku sakit dan entah kenapa dia tiba-tiba manja banget sama aku, dia nggak mau aku tinggalin, alhasil aku nginep di sana, ponselku kehabisan daya. Aku minta maaf, aku dengar dari satpam kalau kamu habis kelahi sama Sofia, iya?"Bunga tersenyum kecut. Apa tadi kata pria itu? Mamaku ya? Sudah sangat jelas bukan kalau Bunga sama sekali tidak diharapkan dalam pernikahan ini?Bahkan selama mereka menikah pun Bunga sama sekali tidak pernah dikenalkan oleh keluarga Gama. Entah, Bunga juga bingung kenapa dia harus mempermasalahkan ini sekarang, padahal sudah jelas-jelas pernikahan mereka didasari karena terpaksa.Argghh! Bunga benci dengan situasi ini, dia heran kenapa berubah menjadi serakah?"Aku nggak papa," sahutnya ketus."Aku tahu kamu marah, aku minta maaf atas perlakuan Sofia. Kamu habis dari mana, kok baru pulang?"Bunga tak menjawab, dia hanya bisa geleng-geleng kepala. Stok kesabarannya kali
Hingga pagi menjelang, Bunga masih berharap jika Gama akan menjemputnya. Kenyataannya? Menghubungi dirinya saja tidak, boro-boro untuk menghampiri dirinya ke sini.Sebenarnya Gama pergi ke mana? Kenapa menjadi tanda tanya besar laki-laki itu tiba-tiba menghilang?Bunga hanya bisa menghela napas berat, dilihatnya sudah jam delapan pagi, kondisinya juga sudah lumayan membaik, dan dia juga sudah diizinkan pulang karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.Dokter hanya berpesan jika dia harus menjaga kandungannya sebaik mungkin, untuk biaya rumah sakit pun Bunga juga sudah membayarnya sendiri, untungnya waktu itu dia masih mengingat dompetnya, jaga-jaga untuk keperluan mendadak, dan ternyata benar. Bunga berjalan menuju koridor rumah sakit, sesekali mengecek ponselnya, berharap Gama menghubunginya, sayangnya nihil."Apa sebegitu nggak penting aku bagimu, Mas? Sampai-sampai aku nggak ada di rumah pun kamu sama sekali nggak peduli," gumam wanita itu tersenyum miris.Sesampainya Bunga d
"Beneran nggak apa-apa?"Bunga mengangguk. "Iya, nggak papa kok."Ayu berdecak sebal. Tadi dia kembali datang ke rumah Gama karena ada barang yang menurutnya sangat penting tertinggal, tidak tahunya malah dia melihat adegan yang tampak sangat mengerikan.Beruntungnya Ayu langsung sigap menolong Bunga. Sofia? Wanita itu langsung kabur ketika Ayu berteriak ada perampok."Suami kamu mana? Kok dia nggak bantuin kamu waktu kamu diginiin sama istrinya?" tanya Ayu sewot."Dia ada kerjaan.""Kerjaan apa kerjaan? Dasar banyak alasan dia itu. Coba seandainya kalau aku nggak datang, nggak tahu apa yang bakal terjadi sama kamu, bahkan nyawa anakmu juga dipertaruhkan. Aku udah ingetin kamu dari dulu, jangan pernah berurusan sama orang kaya, lihat nih akibatnya. Ini belum seberapa loh, Bunga."Bunga tampak manggut-manggut. Iya, dia setuju dengan kalimat Ayu.Ini belum seberapa, dan ini baru Sofia yang melakukannya, belum lagi seorang Gunadi. Ya, memang itu resikonya ketika dia memutuskan bertahan d
"Ayo ke rumah sakit."Bunga menggeleng seraya tersenyum. "Aku udah mendingan, emangnya nggak lihat ya kalau aku udah baik-baik aja?"Gama menghela napas. Dia memang melihat wajah Bunga sudah tampak segar. Namun, tetap saja dia masih khawatir. Apalagi meskipun Bunga sudah bisa melakukan aktivitas seperti biasa, tak bisa dipungkiri kalau wajah wanita itu masih terlihat begitu pucat. Mana tega pria itu melihatnya."Kamu yakin udah baik-baik aja?" tanya Gama penuh keraguan.Bunga mengangguk. "Yakin, buktinya aku udah nggak ngeluh-ngeluh lagi, kan? Nggak yang kayak kemarin-kemarin. Mas tenang aja, aku udah nggak papa kok," ujar wanita itu meyakinkan.Bunga berusaha keras menolak, agar tak ketahuan oleh Gama bahwa saya ini dia sedang mengandung anak dari pria itu."Kalau ada apa-apa bilang aku ya, kita langsung ke rumah sakit.""Aku nggak apa-apa, Mas. Ya Tuhan."Gama memutar bola matanya. "Iya, iya. Terserah kamu aja deh. Dasar wanita keras kepala. Aku mau pergi dulu, agak lama. Kalau butu
"Nih, aku beliin dari yang murah sampai yang mehong. Tes aja semuanya kalau kamu ragu," ucap Ayu seraya memberikan kantung plastik berwarna hitam pada Bunga."Banyak banget, Yu.""Iya, kalau yang biasa takutnya nggak valid, makanya aku beli semua aja. Yakin deh itu, pasti di antara semua itu ada yang valid. Aku belum pernah pakai yang beginian, jadi kurang info. Intinya kalau garis dua ya tandanya hamil. Kamu coba aja deh sana.""Caranya gimana?" tanya Bunga bingung.Ayu berdecak malas. "Masa gini-gini harus dikasih tahu sih. Kamu itu udah bukan anak TK lagi, Bunga. Gimana sih kamu ini. Ambil sample taruh di cup kecil, nanti kamu cobain semua testpack ini, masukin satu-satu."Bunga manggut-manggut. "Oke, aku ke kamar mandi dulu kalau gitu. Kamu duduk-duduk aja dulu, kalau mau bikin minum bisa ke dapur sendiri ya, nggak apa-apa, kan?"Ayu mengernyit heran. "Hah? Nggak salah dengar? Ini rumah gede banget loh, Bunga. Masa kamu nggak punya pembantu?" tanya Ayu tak habis pikir."Pembantu a