Di hari berikutnya, Bunga berusaha bekerja seperti biasanya. Ia sama sekali tidak mempertanyakan kenapa majikan wanitanya, Sofia, keluar dari kamar tidur tamu dan kapan wanita itu pulang semalam.
Yang jelas, ia bersyukur Sofia tidak memergokinya keluar dari kamar utama.
Mengingat kejadian semalam membuat hati Bunga kembali sakit. Apalagi pagi ini, ibunya kembali menelepon.
"Ya Tuhan! Aku belum ada uang, Bu. Nanti kalau udah gajian pasti aku bakal kasih uangnya ke Ibu."
Bunga terdengar frustrasi karena didesak seperti ini. Seakan masalah ini datang padanya bertubi-tubi.
Kemarin ibunya meminta uang tiga juta, yang mana adalah nominal hampir seluruh gajinya. Lalu, saat awal menelepon tadi, nominal uangnya mendadak bertambah menjadi lima juta.
Makin lama bicara, nominal yang diminta sang ibu makin tidak masuk akal.
Baru kemudian, ibu Bunga jujur kalau dia baru saja mendapatkan tagihan dari aplikasi pinjol dan memerlukan sepuluh juta.
"Ibu dari tadi diteror terus sama tukang panci itu, Bunga. Ini juga pinjol bentar-bentar nelepon terus, Ibu pusing ini.” Sang ibu terus bicara. “Kenapa ya, nagihnya pas-pasan barengan kayak gini. Mereka juga ngancam, Ibu jadi takut, Bunga.”
Bunga memijit pelipisnya. Pusing dengan tingkah sang ibu.
“Tolong diusahakan dong. Kan kamu kerja di kota besar. Majikanmu kaya,"
Bunga menghela napas.
"Bu, jangan bikin aku tambah pusing,” mohonnya. “Aku juga udah usaha di sini, tapi emang belum ada. Seperti yang aku bilang kemarin, aku belum lama kerja di sini. Lagipula, kerja di kota besar bukan berarti langsung kaya raya.” Bunga menghela napas lagi. “Ibu jangan suka ngutang. Ibu tahu kan kalau kondisi keuangan kita lagi kritis?”
Bunga berusaha berkata tegas lagi. “Kalau masalah utang Ibu, aku nggak bisa bantu. Aku bisanya bantu bayar daftar adek sekolah."
"Duh! Kamu ini gimana sih, bukannya kasih solusi ke Ibu malah ngomel-ngomel nggak jelas.” Bukannya memahami posisi Bunga, si ibu justru balas mengomel. “Pokoknya Ibu nggak mau tahu! Kamu harus kasih Ibu duit sepuluh juta. Kamu pinjam duit ke teman kamu. Orang kota pasti duitnya banyak-banyak juga. Usaha, Bunga!"
"Bu, aku--"
Tut ... Tut ... Tut ...
"Astaga! Belum juga selesai, udah main matiin aja.” Bunga meletakkan ponselnya di atas meja dapur.
Bingung. Di mana ia bisa mendapatkan uang sepuluh juta itu dalam waktu singkat?
Jangankan sepuluh juta. Tiga juta untuk biaya adiknya sekolah saja belum tentu bisa Bunga berikan.
“Hei. Kamu.”
Tubuh Bunga tiba-tiba menegang saat mendengar suara itu. Sontak kepalanya menoleh ke asal suara dan melihat Gama sedang berdiri di ambang dapur.
“Y-ya, Tuan?” cicitnya.
Gama melangkah mendekat dan Bunga langsung mengerut mundur, khawatir pada apa yang akan dilakukan pria itu lagi padanya, sekalipun Sofia sedang ada di dalam rumah.
"Berapa yang kamu minta?"
Pertanyaan itu membuat Bunga memandang si majikan dengan tatapan bingung, sebelum kemudian mengetahui bahwa Gama mengingat peristiwa semalam saat keduanya beradu pandang.
Bunga tersenyum pedih. Sekalipun ingat, alih-alih meminta maaf, Gama malah ingin menukarkan kali pertama Bunga dengan sejumlah uang.
Semurahan itukah dirinya?
"Saya tidak menginginkan uang," ujar wanita itu pelan.
Harga diri Bunga saat ini lebih besar dibandingkan penawaran Gama, sekalipun semenit sebelumnya ia sedang kebingungan untuk mencari uang.
Padahal setelah ini pun, Bunga berniat untuk menemui Sofia untuk meminjaum uang.
Sungguh munafik.
"Lalu apa? Kau ingin aku menikahimu?" tanya Gama kemudian.
Lantas Bunga menggeleng. Itu juga sama sekali tidak dia harapkan, saat ini dia benar-benar bingung.
Sebenarnya Bunga ingin keluar saja dari sini, ingin pergi sejauh-jauhnya untuk melupakan kejadian malam tadi, tapi ekonomilah yang memaksa untuk tetap bertahan.
Gama menghela napas gusar, dia bingung dengan sikap Bunga. Ditawar sejumlah uang tidak mau, lalu ditawar untuk menikah dengannya wanita itu juga tidak mau.
Apa yang sebenarnya wanita ini inginkan darinya?
"Kalau tidak ingin keduanya terus apa yang kamu mau, huh?" tanyanya, membuat Bunga kembali menunduk.
Gama memperhatikan Bunga cukup lama, dipandanginya tubuh wanita itu dari atas sampai bawah.
Sial! Tiba-tiba saja tubuhnya meremang ketika mengingat bagaimana rasanya berbagi peluh dengan Bunga.
Pria itu tiba-tiba menggeleng karena sudah berpikir kotor.
Melihat Bunga tampak diam saja membuat Gama menghela napas berat.
"Sudahlah. Aku bisa membayarmu. Katakan saja kamu menginginkan berapa," desis Gama. Tujuan kamu bekerja di sini kalau bukan uang lalu apa? Jangan munafik, Bunga.”
Bunga memberanikan diri menatap Gama. Tatapan wanita itu sulit diartikan.
Namun, Gama yakin hal itu menyiratkan kesedihan sekaligus kebencian.
"Anda sudah mengambil masa depan saya secara paksa. Meski saya tahu kalau tadi malam Anda mabuk, tapi tidakkah Anda merasa bersalah sedikit pun?"
Bunga kemudian membatin, apakah bagi orang-orang kaya, mengucapkan maaf adalah hal sesulit itu?
"Jangan bertele-tele,” tandas Gama. Keningnya mengerut. “Semalam memang sebuah kesalahan. Karenanya, aku menawarkan kompensasi. Kamu yang membuatnya menjadi sulit.”
“Tuan, saya–”
“Atau kamu mau pekerjaan dengan tawaran yang lebih tinggi?” ucap Gama lagi. “Aku bisa membayarmu, lebih daripada yang Sofia berikan.”
Bunga tampak bingung. “Sebagai pembantu, Tuan?”
Gama menatap Bunga selama beberapa saat dalam diam. Entah apakah wanita ini sempat mendengar perdebatannya dengan Sofia atau tidak tadi pagi–lantaran ranjang di kamar utama terlihat seperti habis dipakai untuk beradegan dewasa–tapi hal itu memunculkan ide dalam kepala Gama.
Jika memang istrinya selingkuh dan tidak setia pada pernikahan mereka terlebih dahulu, maka Gama bisa menggunakan ini untuk membalas Sofia.
Karenanya, pria itu mengatakan, “Sebagai wanita rahasiaku.”
Ucapan Gama mengejutkan Bunga. Mata wanita itu membola tidak percaya.Apakah pemikiran orang kaya memang seperti ini? Tidak bisa diprediksi, egois, dan menyakitkan hati?Bunga tidak langsung menjawab. Ia kembali menunduk, lalu dengan suara pelan berucap, “Mohon maaf, Tuan. Saya harus membersihkan kamar tamu sesuai instruksi Nyonya Sofia tadi. Permisi.”Bohong. Ia sudah melakukan tugas itu tadi. Namun, Bunga memang harus pergi dari hadapan Gama secepatnya sebelum ia menangis di tempat.***"Maaf, bukannya aku nggak mau bantu kamu, tapi kamu tahu sendiri perjanjian sebelum kerja di sini, kan?”Bunga menunduk dalam-dalam saat Sofia berkata demikian. Ia baru saja memberanikan diri dan menyempatkan untuk berbicara dengan Sofia soal pinjaman gaji, lantaran ibunya terus menerus menelepon dan mengiriminya pesan.Oleh karena itu, saat sekiranya suasana hati Sofia tampak cukup baik, Bunga mengutarakan maksudnya.Hanya untuk mendapatkan penolakan. “Aku sudah bilang di awal kalau aku akan menaik
"Mu--mungkin Anda salah paham, Pak.” Bunga buru-buru berkata. Suaranya pelan. “Maksud saya, bukankah waktu itu Anda menawarkan sejumlah uang sebagai bentuk tanggung jawab? Saya mengiakan tentang itu, bukan yang lain." Gama tertawa pelan, membuat Bunga langsung mendongak."Justru kamulah yang salah paham, Bunga.” Pria itu berujar. “Dari awal aku memang menawarkan jadi simpananku. Mungkin kamu sedang banyak pikiran, makanya tidak fokus. Bukan, begitu?"Bunga menggeleng. Tidak. Ia memang sedang banyak pikiran, tapi tidak mungkin Bunga salah paham soal ini."Kalau begitu, saya menolak, Pak.” Bunga berusaha berkata dengan tegas, sekalipun ia terintimidasi oleh majikannya. “Bukannya Anda sudah punya istri? Kenapa harus menawarkan hal gila pada saya? Apa satu perempuan tidak cukup untuk Anda?"Hening. Baru kemudian Bunga menyadari kalau dia kelepasan bicara.Ekspresi Gama tampak gelap saat ia berkata, "Kalau kamu tidak tahu tentang kehidupanku, sebaiknya kamu tutup mulut."Bunga langsung m
"Kenapa wajahmu tampak pucat begitu, Bunga? Apa terjadi sesuatu?" tanya Sofia penasaran."E--enggak kok, Bu. Enggak ada.""Memangnya pesan dari siapa?"Baru kali ini Sofia kepo dengan permasalahan orang lain. Biasanya dia tampak cuek. Terlalu malas ikut campur kehidupan orang. Namun, untuk kali ini berbeda, apalagi melihat wajah Bunga yang tampak syok. Jiwa penasaran Sofia meronta-ronta.'Dari suami Anda yang gila itu.' Bunga hanya berani menjawab dalam hati."Biasa, Bu. Pesan dari Ibu saya."Sofia tampak manggut-manggut. "Dia minta uang lagi ke kamu?"Bunga terkejut, mengapa Sofia bisa tahu kalau akhir-akhir ini dirinya selalu didesak perihal uang?"Aku tahu, kemarin kamu nekat pinjam uang juga pasti karena ibumu, kan?"Bunga tanpa sadar mengangguk. "Benar, Bu."Sofia menghela napas berat. "Jadi ini yang membuatmu berdiri di depan kamarku? Kamu ingin membahas ini lagi?"Bunga menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa. Kalau tadi dia begitu menggebu-gebu ingin mengatakan ya
"Aku menerimanya.""Bagus. Itulah jawaban yang aku inginkan."Tak lama setelah itu panggilan terputus. Bunga menghela napas, entah jawaban itu benar atau tidak menurutnya."Maaf, Bu. Aku cari uang dengan cara yang seperti ini. Aku tidak menyalahkanmu, tapi kondisilah yang membuatku seperti ini. Menjadi orang ketiga di pernikahan orang lain."Keesokan harinya Bunga meminta izin untuk keluar rumah oleh Sofia, dengan dalih ingin bertemu teman, padahal itu adalah suruhan Gama.Ya, Gama menginginkan mereka bertemu untuk membahas tentang pekerjaan yang akan Bunga lakukan. Walaupun sebenarnya Bunga sudah tahu."Pergilah, tapi aku minta jangan lama-lama. Selain tugasmu untuk bersih-bersih, kamu juga harus jaga rumah. Nggak lupa, kan, kemarin aku menyuruhmu apa? Awasi suamiku! Siapa tahu kalau aku pergi dia akan membawa wanita lain pulang."Kepala Bunga tertunduk, setiap kali Sofia membahas tentang 'wanita itu' dia menjadi bersalah. Bagaimana mungkin Sofia mempercayakannya sedangkan sebenarnya
"Bunga!"Kepala Bunga tertoleh ke belakang, dia mengerutkan kening karena ada seseorang yang melambaikan tangannya.Seorang wanita dengan pakaian seksi. Apakah Bunga mengenalnya?'Siapa ya?'"Astaga! Jadi ini beneran kamu, aku pikir tadi salah orang."Bunga masih terdiam, mengingat-ingat siapa sosok di depannya ini."Maaf, kalau boleh tahu kamu siapa ya? Apa kita saling mengenal?" tanyanya hati-hati.Wanita itu menepuk pundak Bunga seraya histeris. "Serius kamu nggak kenal aku? Ini aku Ayu, Bunga. Teman kamu! Astaga, kenapa cepat sekali lupa sama aku." Wanita itu menggerutu."Ayu?" Bunga menatap penampilan temannya dari atas sampai bawah.Cara berpakaiannya ... sangat beda sekali. Waktu di desa, Ayu selalu berpakaian dengan sopan, bahkan Bunga tak pernah sekali pun melihat Ayu berpakaian pendek. Tapi sekarang apa yang dia lihat? Kenapa Ayu berbeda, seperti yang bukan Bunga kenal."Ini beneran kamu?" tanyanya sekali lagi."Iya, ini aku. Kenapa kamu kaget gitu, ada yang salah?"'Apa dia
"Kenapa, Bunga?"Bunga yang tadinya berniat pulang, harus dia urungkan karena terus didesak oleh Ayu.Dan di sinilah mereka berada di sebuah kafe tak jauh dari hotel yang sempat mereka singgahi untuk melakukan sesuatu."Kenapa apanya?" tanya Bunga pura-pura tak paham."Ayolah, dari tadi aku tanya kamu, kamunya selalu aja diam terus. Kenapa? Kamu malu sama aku?"Bunga menggeleng. "Nggak tuh, aku cuma bingung aja jelasinnya ke kamu, takutnya kamu salah paham. Tapi kalau dilihat dari raut wajah kamu memang salah paham beneran ya," lirihnya."Maksudnya?""Pasti kamu mikir yang nggak-nggak, kan?" tanya Bunga.Ayu menatap Bunga heran. "Loh, gimana nggak? Posisinya ada laki-laki yang keluar dari kamar terus disusul sama kamu, gimana nggak mikir aneh? Malah kayaknya tebakanku benar.""Ini bukan seperti yang kamu bayangkan, Ayu."'Pokoknya Ayu nggak boleh tahu pekerjaan aku yang sesungguhnya. Jangan sampai dia cerita masalah ini di desa.'Ayu dan Bunga memang berteman cukup lama, tapi untuk ha
Tok ... Tok ... Tok ...Bunga mengernyit heran, tengah malam begini siapa yang mengetuk pintu kamarnya?Karena orang itu tak bersuara, akhirnya Bunga memutuskan tidak membuka pintu. Takut saja siapa tahu itu maling, misalnya?"Buka pintunya, cepat!"Bunga tersentak, dia yakin suara itu suara Gama. Tapi ... untuk apa pria itu malam-malam datang ke kamarnya?"Iya sebentar!" Gegas Bunga turun dari ranjang.Bunga terkesiap, usai dia membuka pintu, tiba-tiba saja Gama mendorong tubuhnya ke dinding. Tak lupa juga pria itu menutup pintu lalu menguncinya."Ada ap--""Sssttt! Diamlah, di luar ada Sofia yang tengah mencariku," bisiknya di telinga Bunga, membuat wanita itu meremang.Baru saja Gama selesai berbicara, tiba-tiba suara Sofia terdengar."Mas, kamu di mana?"Baik Bunga maupun Gama sama-sama terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain. Lagi, suara Sofia kembali menggema, membuat Gama mendengkus keras."Sekarang kamu keluar, berpura-pura menanyakan pada Sofia apa yang terjadi," titah
"Akhir-akhir ini kamu sering banget izin keluar rumah, kenapa?" "Ada yang harus saya cari, Bu. Kebetulan ada barang yang harus saya beli," dusta Bunga."Sesering itu? Kali ini kamu minta izin untuk apa lagi? Alasan keperluan kamu habis lagi?"Bunga meremas kedua tangannya seraya menggeleng. "Bukan, Bu. Teman saya mengajak ketemu."Untuk kali ini Bunga jujur, dia meminta izin keluar karena memang Ayu meminta bertemu, bukan karena Gama."Teman atau pacar?" sindir Sofia. "Bukannya waktu itu kamu juga pernah izin terus pulangnya ada cupang di leher kamu?"Ditatap begitu rendah oleh Sofia membuat perasaannya sedih, tapi dia juga tidak bisa mengelak karena ucapan majikannya memang benar."Teman, Bu."Sofia tampak manggut-manggut. "Lagian aku nggak peduli juga sih kamu mau ke mana. Ingat ya pulang tepat waktu, kamu itu harus sadar diri, di sini kamu itu cuma pembantu, jadi nggak boleh pulang pergi seenaknya.""Baik, Bu. Saya janji tidak akan pulang terlambat."Bunga menatap kepergian Sofia
Apa yang dipikirkan mereka berdua ternyata salah. Nyatanya Gama tidak jadi menjemput Bunga karena pria itu beralasan ada urusan mendadak.Akhirnya Bunga pun memutuskan untuk pulang sendiri."Hahaha, ternyata pikiran kamu emang salah ya, lagian dari awal aku udah bilang kalau dia nggak mungkin suka sama aku."Ayu cemberut, moodnya seketika berubah. Buyar sudah uang sepuluh juta untuk tas incarannya.'Ah elah, ngapain pake acara nggak jadi jemput sih,' omel Ayu dalam hati."Ya udah, aku mau pulang dulu ya, takut kesorean," pamit Bunga."Nggak nunggu dia dulu? Tadi katanya disuruh nunggu, kan?"Bunga menggeleng. "Nggaklah, dia itu sekarang pulangnya suka tengah malam. Mana mungkin aku sesabar itu harus nunggu dia. Bye."Ayu mengangguk, dia membiarkan Bunga pergi.Bunga hampir tiba di rumahnya, lebih tepatnya rumah Gama. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Lampu mobil itu menyorot Bunga, membuat mata wanita itu menyipit karena silau.Tak lama
"Itu mah si Mas Gamamu butuh perhatian. Dia itu sebenarnya udah ada rasa sama kamu. Kamunya aja yang nggak peka."Setelah Bunga menceritakan semuanya, barulah Ayu berani menyimpulkan apa penyebab perkelahian pasangan suami-istri itu."Kok kamu bisa mikir kayak gitu?" tanya Bunga heran.Ayu memutar bola matanya malas. "Kamu tanya aja ke orang-orang, pasti mereka bakal jawab hal yang sama seperti apa yang aku ucapin barusan. Nggak percaya? Buktiin aja," tantang Ayu.Bunga kembali terdiam, entah apa yang sedang wanita itu pikirkan."Emangnya kamu itu nggak pernah jatuh cinta ya? Eh bukan, maksudku emangnya kamu itu nggak pernah pacaran? Kok bodoh banget sama hal percintaan?""Apaan sih, Yu," kata Bunga tak terima."Nggak usah baper, aelah. Kamu ini kenapa sih kok sensian banget akhir-akhir ini. Beneran lagi menstruasi? Masa iya? Ini udah ganti bulan kali, Bunga, ya kali nggak kelar-kelar. Bawaannya tersinggung Mulu, heran deh," decak Ayu.Bunga menggaruk hidungnya yang tidak gatal. "Buka
"Baru pulang, Mas?" tanya Bunga ketika membukakan pintu untuk Gama."Hmm." Gama berdeham pelan.Bunga menyalami tangan Gama, tapi baru di udara dia langsung mengernyit heran."Tanganmu berdarah, Mas. Mas habis ngapain kok tangannya sampai terluka kayak gini?" Gama tak menyahut, dia melepaskan tangannya dari Bunga, lalu segera masuk ke dalam rumah dan Bunga mengikuti dari belakang."Aku obatin dulu tangannya.""Kamu nggak nanya kenapa aku pulang selarut ini?" Gama malah bertanya ke hal lain.'Aku pengen tanya, tapi takut bikin kamu nggak nyaman, Mas.'"Pasti banyak kerjaan makanya Mas baru pulang." Bunga tersenyum tipis."Kalau salah? Kalau ternyata bukan karena kerjaan, apa kamu bakal marah?"Bunga kembali tersenyum, tapi kali ini bukan jenis senyum tulus, melainkan dibuat-buat."Itu urusanmu, Mas. Kenapa jadi tanya gitu ke aku? Aku nggak berhak tahu semua tentangmu, kan?""Kenapa nggak berhak? Jelas kamu berhak, bukannya kamu istriku?" Tanpa sadar Gama meninggikan suara."Aku cuma i
Kalimat Gama waktu itu terdengar begitu ambigu, membuat Bunga selalu berpikir macam-macam.Mungkinkah Gama jatuh hati padanya, seperti dia yang jatuh cinta pada pria itu?Bunga menyadari kalau dirinya salah. Namun, siapa yang mau mempunyai perasaan seperti ini? Dari awal memang hubungan mereka karena kesepakatan, bukan murni karena saling jatuh cinta. Bunga butuh uang, dan Gama ingin membalaskan dendam pada Sofia. Impas! Ya, menurut wanita itu impas. Akan tetapi, siapa sangka kalau akhirnya menjadi seperti ini?Mengapa Bunga malah mencintai pria yang tidak mencintainya?"Ish! Mikir apa sih aku ini, mana mungkin dia juga cinta sama aku. Aku yakin dia bilang kayak gitu karena masih butuh pertolonganku, besok kalau udah nggak butuh juga pasti bakal dibuang. Aku harus menghubungi Bu Sofia, ya, aku harus menjelaskan semuanya. Meskipun nanti dia maki-maki aku, aku nggak peduli. Udah resikonya seperti itu, tapi ... gimana caranya aku dapat nomor Bu Sofia?"Pikiran Bunga tiba-tiba ada di pons
"Dari awal aku bilang juga apa, kamu harus hati-hati sama pembantu itu. Kelihatan polos, tapi aslinya berbisa. Tapi kamu malah jawab kalau dia itu beda dari pembantumu yang dulu-dulu, dia orangnya nggak neko-neko, see kenyataannya sekarang gimana?" cibir Sasya."Betul, biasanya laki-laki itu sukanya yang polos-polos gimana gitu, laki-laki itu nggak suka sama perempuan centil. Ya mungkin menurut laki-laki kalau perempuan polos itu perempuan baik-baik, kan? Itu aku cerita dari sudut pandang laki-laki loh ya," timpal Dona."Ish! Apaan, kalau namanya perempuan gatal ya udah sih, tetap aja gatal. Ngapain juga dibela-bela," sungut Sasya lagi."Siapa juga yang bela itu perempuan. Awalnya juga aku bilang harus hati-hati juga, kan? Si Sofia aja yang ngeyel."Sofia menggebrak meja dengan kencang, membuat kedua temannya terbelalak kaget."Aku lagi pusing, tapi malah kalian lebih bikin aku pusing sama perdebatan kalian berdua. Argghhh! Setres aku lama-lama kalau di sini.""Pulang dah sana, biar n
Entah bagaimana caranya, Sofia bisa masuk gerbang yang megah itu, dia berjalan mendekat ke arah mereka, yang tampak asik berpelukan.Sofia bertepuk tangan seraya tertawa kencang, membuat Bunga maupun Gama langsung menoleh ke sumber suara.Bunga kelabakan, sementara Gama terlampau santai, seolah dia sudah memprediksi apa yang akan terjadi."Wow, wow, wow. Jadi selama ini kamu selingkuh dengan dia, Mas? Dan, Bunga? Apa yang kamu lakukan? Kamu mengkhianati majikanmu sendiri? Luar biasa, dasar perempuan gatal kamu, aku kira kamu beda dari perempuan-perempuan lain, nyatanya aku malah bawa masuk ke rumah dengan membawa ular?"Bunga tak berani berucap, bahkan mengangkat wajahnya saja dia tak mempunyai keberanian."Untuk apa kamu datang ke sini?" Kali ini Gama yang bertanya, dengan nada ogah-ogahan."Untuk apa? Nggak tahu kenapa aku punya firasat buruk makanya aku mengikutimu, dan ternyata firasatku benar, kan? Kamu selingkuh dengan pembantu kita, Mas? What? Aku nggak mimpi, kan?" Sofia terta
"Aku akan membunuhnya.""Brengsek!"Ucapan itu terus terngiang-ngiang di kepala Gama, membuat pria itu tampak gelisah.'Apa aku harus menyuruhnya pergi? Tidak, tidak, sepertinya aku sudah mulai terbiasa berada di dekatnya. Sial, bagaimana aku harus menghadapi lelaki tua itu. Benar-benar sialan! Kenapa orang tua itu kalau mengambil kesimpulan seenaknya. Argghhh! Aku benci hidupku yang selalu didikte oleh orang tua itu! Berpikir, Gama, berpikir!' decak pria itu dalam hati."Mas.""Hemm," sahut Gama dengan mata terpejam."Nggak makan malam dulu? Aku udah masakin kesukaan Mas loh."Gama tersenyum tipis, ini yang dia suka dari Bunga. Meskipun dia selalu acuh, tapi perhatian yang Bunga berikan padanya tidaklah palsu. Wanita itu tampak tulus, sangat, itulah yang membuat hati Gama luluh."Iya nanti dulu.""Lagi ada masalah soal pekerjaan ya? Maaf kalau aku terlalu ikut campur, tapi kita bisa berpikir jernih kalau perut kita sudah terisi, kita makan dulu yuk, Mas, habis itu nanti bisa dilanjut
"Kamu nggak apa-apa, kan?"Gama melihat pria itu melangkah dengan cepat, dia langsung merogoh saku untuk mengambil ponsel, lalu menghubungi orang suruhannya."Cari tahu siapa orangnya.""Baik, Bos."Klik, sambungan terputus."Kamu nggak apa-apa?" ulang Gama lagi.Bunga menggeleng seraya mengerjap, dia bingung dengan Gama yang tiba-tiba saja meneriakinya, tak hanya itu, raut wajahnya pun begitu panik.'Emangnya aku kenapa?' batin Bunga bertanya-tanya.Gama mengusap wajahnya kasar. "Kamu nggak lihat tadi ada orang di belakangmu? Dia hampir aja ...." Gama menggeleng, sebaiknya tak usah ceritakan hal yang sebenarnya pada wanita itu, takutnya nanti malah membuat istrinya cemas."Hampir aja kenapa?" tanya Bunga penasaran."Lupakan, sebaiknya kita pulang sekarang."Bunga mengangguk. "Iya, kelihatannya Mas juga capek banget, kayak banyak pikiran juga. Ya udah ayo kita pulang."**"Sebenarnya tadi ada apa ya? Kok aku ngerasa ada sesuatu terjadi tadi, tapi apa?" gumam Bunga seraya memandangi Ga
"Udah selesai?" tanya Bunga, ketika dia langsung mengangkat sambungan telepon dari Gama."Masih ada kerjaan sedikit lagi. Udah mau pulang?"Bunga mendengkus kesal. Dia sudah mengingatkan Gama berkali-kali kalau tidak perlu diantar jemput ketika ingin main atau ingin pergi jalan-jalan. Sayangnya Gama keras kepala, pria itu selalu mengatakan kalau Bunga harus diawasi, jika ditanya mengapa? Pasti pria itu selalu menjawab kalau Bunga sedang dalam bahaya.Terdengar tidak masuk akal sebenarnya, tapi ya ... mau tidak mau Bunga akhirnya menurut.Namun, lihatlah sekarang, kerjaan Gama yang jadi sasarannya hanya karena ingin Bunga tetap aman."Aku biar pulang sendiri aja deh. Mas nggak usah ke sini, selesaikan aja pekerjaannya. Aku nggak mau ganggu.""Tetap di situ kalau nggak mau aku macam-macam sama kamu, Bunga."Bunga memutar bola matanya malas, selalu itu kalimat Gama. Mengancam!"Aku masih lama kok, belum mau pulang. Ayu juga lagi free, dia minta temenin aku, lagi bosan katanya. Ya udah, M