"Kenapa, Bunga?"
Bunga yang tadinya berniat pulang, harus dia urungkan karena terus didesak oleh Ayu. Dan di sinilah mereka berada di sebuah kafe tak jauh dari hotel yang sempat mereka singgahi untuk melakukan sesuatu. "Kenapa apanya?" tanya Bunga pura-pura tak paham. "Ayolah, dari tadi aku tanya kamu, kamunya selalu aja diam terus. Kenapa? Kamu malu sama aku?" Bunga menggeleng. "Nggak tuh, aku cuma bingung aja jelasinnya ke kamu, takutnya kamu salah paham. Tapi kalau dilihat dari raut wajah kamu memang salah paham beneran ya," lirihnya. "Maksudnya?" "Pasti kamu mikir yang nggak-nggak, kan?" tanya Bunga. Ayu menatap Bunga heran. "Loh, gimana nggak? Posisinya ada laki-laki yang keluar dari kamar terus disusul sama kamu, gimana nggak mikir aneh? Malah kayaknya tebakanku benar." "Ini bukan seperti yang kamu bayangkan, Ayu." 'Pokoknya Ayu nggak boleh tahu pekerjaan aku yang sesungguhnya. Jangan sampai dia cerita masalah ini di desa.' Ayu dan Bunga memang berteman cukup lama, tapi untuk hal sensitif seperti ini Bunga masih belum percaya kalau Ayu bakal bisa jaga rahasia. "Terus?" Ayu tercengang dengan elakkan Bunga, padahal jelas-jelas saja tadi Bunga terciduk, kenapa tidak mau mengaku? "Tadi sebelum kamu lihat seorang laki-laki keluar dari kamar hotel itu, ada wanita yang sebelumnya keluar. Maksud aku, mereka adalah majikan aku, suami istri. Tapi ... mungkin kamu nggak lihat yang perempuannya kali ya? Awalnya cuma mereka berdua yang ada di situ, kenapa aku juga ada di sana? Ya karena aku disuruh sama istrinya beliau, katanya ada dokumen yang ketinggalan di rumah, jadinya ya aku yang disuruh antar ke sana," jelas Bunga dengan gugup. Entahlah, alasannya bisa diterima atau tidak oleh Ayu. 'Ugh! Sejak kapan aku jadi pintar berbohong seperti ini?' keluh Bunga dalam hati. Ayu kembali mengingat-ingat pertemuan mereka tadi. Setahu dia, Bunga tidak membawa apapun. 'Atau cuma perasaan aku aja mungkin yang nggak lihat Bunga bawa apa-apa. Siapa tahu saking seriusnya aku, sampai nggak sadar apa yang Bunga bawa. Aish! Nggak boleh suudzon, Ayu,' decaknya dalam hati. "Begitu ya?" Bunga mengangguk seraya tersenyum. "Iya, kayak gitu ceritanya. Pasti kamu udah mikir yang lain-lain, kan?" "Maaf ya." Ayu mengakui kesalahannya. "Nggak apa-apa kok, aku juga kalau di posisi kamu pasti mikirnya juga begitu. Oh ya, omong-omong tadi kamu juga ngapain di sana?" tanya Bunga penasaran. "Aku ...." Ayu tersenyum kecut. "Kerja." Dia membuang muka karena tak ingin melihat wajah terkejut Bunga. "Kenapa? Kamu heran sama kerjaan aku?" tanya Ayu kemudian. Belum sempat Bunga menjawab, Ayu sudah berkata lebih dulu. "Aku dulunya juga kerja kayak kamu kok, jadi ART, tapi ... nasib aku nggak bagus, aku diperkosa sama majikan aku. Sakitnya lagi hal itu langsung ketahuan sama majikan aku yang perempuan, lebih parahnya istrinya sama sekali nggak percaya sama kata-kata aku, dia malah lebih percaya sama suaminya yang bilang kalau aku goda dia duluan. Detik itu juga aku langsung diusir, dia juga ngancem nggak bakal ada yang mau nerima aku kerja, alhasil aku ambil jalan pintas ini. Karena, selain cepat dapat duitnya, kerjanya juga nggak capek." Ayu tertawa miris, terdengar nada kesedihan. "Dunia ini kejam nggak sih untuk kaum miskin kayak kita ini, Bunga?" Reaksi Bunga? Wanita itu menutup mulut menggunakan kedua tangan. Kaget? Tentu saja. 'Mengapa kisah kita sama, Ayu. Aku pun seperti itu, dan sialnya aku juga terjebak permainan orang kaya itu.' "Semoga saja kamu nggak bernasib sama seperti aku ya, Bunga." "Ayu, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Bunga memastikan. "Bohong sih kalau aku bilang nggak apa-apa. Hidup aku hancur, tapi kalau nggak kayak gini siapa yang bakal ngirimin Ibu uang kalau bukan aku yang kerja. Jaga rahasia ini ya, Bunga. Jangan sampai orang-orang dan ibuku tahu tentang pekerjaan hinaku ini." Bunga tak berani komentar apapun, apalagi memberi masukan, toh apa bedanya dia dengan Ayu. "Aku nggak bakal cerita sama siapapun." "Aku percaya sama kamu, Bunga." "Tapi--" "Bunga?" Bunga tersentak kaget, dia sangat mengenali suara itu, tanpa sadar dia menoleh ke belakang. Matanya membulat karena melihat sosok Gama berdiri di belakangnya. "Sedang apa kamu di sini? Bukankah aku menyuruhmu untuk langsung pulang?" *** "Saya turun di sini saja, Pak, takutnya nanti Bu Sofia--" "Pak, ya?" sela Gama sambil manggut-manggut. "Maaf, maksudnya ... turunkan aku di sini aja biar nanti Bu Sofia nggak curiga," pinta Bunga. "Memangnya kenapa kalau dia tahu? Kamu takut?" Gama tersenyum menyeringai. 'Pake acara tanya lagi,' gerutu Bunga dalam hati. "Turun di sini aja!" Kali ini intonasi Bunga agak naik. Namun, sepertinya tak didengar oleh Gama. Bukannya menurunkan, Gama malah menambah kecepatan. Dan yang ditakutkan Bunga pun akhirnya terjadi, setelah mobil itu sudah berhenti di pelataran rumah, Sofia terlihat berdiri di pintu utama, seperti tengah menunggu seseorang. Siapa? Dirinya? Tidak mungkin, sudah pasti yang ditunggu adalah Gama, suaminya. "Turun!" perintah Gama. "Tapi ... ada Bu Sofia, bagaimana kalau nanti--" "Justru kalau kamu lama keluar yang ada dia semakin curiga. Kalau aku sih nggak masalah." Mendengar Gama berbicara seperti itu, Bunga pun langsung keluar dari mobil dengan buru-buru. "Sore, Bu," sapa Bunga dengan pelan. "Kenapa kamu bisa bareng sama suamiku?" tanya Sofia tanpa basa-basi. Tatapannya terasa aneh, seperti tengah mencurigai sesuatu. "Itu ... tadi saya tidak sengaja berpapasan dengan beliau, Bu." Bunga memberi alasan. "Terus kamu nebeng sama dia?" Bunga terdiam, bingung. "Itu ... tadi Pak Gama nawarin saya, katanya searah--" "Terus kamu terima begitu saja? Murahan sekali kamu!" "Maafin saya, Bu. Saya--" "Sudahlah, Sofia. Hal sepele aja kamu besar-besarkan. Senang sekali kamu mencari masalah," tegur Gama. "Mas, awal mula orang-orang selingkuh juga karena sepele. Memangnya kamu nggak takut kalau digoda sama dia?" "Jangan lupa, bahkan kamu sudah ketahuan olehku tidur dengan beberapa pria. Apa aku marah? Nggak, kan? Ingat, jangan seolah-olah kita ini saling mencintai, pernikahan kita ini hanya bisnis, jangan berlagak sungguhan. Aku sungguh muak dengar ocehanmu." Meskipun mereka tampak berjalan menjauh, tapi suara mereka masih terdengar jelas di telinga Bunga. Lagi dan lagi Bunga mendengar pertengkaran kedua majikannya, dan kali ini pemicunya adalah dirinya sendiri. Bunga menghela napas berat. "Heran, kenapa mereka suka banget kelahi, padahal kalau dipikir-pikir mereka itu pasangan yang serasi." Bunga pun masuk ke dalam rumah itu. Namun, selama dia melangkah dia baru menyadari satu hal. 'Kalau Pak Gama tahu Bu Sofia sudah tidur dengan orang lain, terus dia melakukannya denganku apa karena ingin balas dendam pada Bu Sofia?'Tok ... Tok ... Tok ...Bunga mengernyit heran, tengah malam begini siapa yang mengetuk pintu kamarnya?Karena orang itu tak bersuara, akhirnya Bunga memutuskan tidak membuka pintu. Takut saja siapa tahu itu maling, misalnya?"Buka pintunya, cepat!"Bunga tersentak, dia yakin suara itu suara Gama. Tapi ... untuk apa pria itu malam-malam datang ke kamarnya?"Iya sebentar!" Gegas Bunga turun dari ranjang.Bunga terkesiap, usai dia membuka pintu, tiba-tiba saja Gama mendorong tubuhnya ke dinding. Tak lupa juga pria itu menutup pintu lalu menguncinya."Ada ap--""Sssttt! Diamlah, di luar ada Sofia yang tengah mencariku," bisiknya di telinga Bunga, membuat wanita itu meremang.Baru saja Gama selesai berbicara, tiba-tiba suara Sofia terdengar."Mas, kamu di mana?"Baik Bunga maupun Gama sama-sama terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain. Lagi, suara Sofia kembali menggema, membuat Gama mendengkus keras."Sekarang kamu keluar, berpura-pura menanyakan pada Sofia apa yang terjadi," titah
"Akhir-akhir ini kamu sering banget izin keluar rumah, kenapa?" "Ada yang harus saya cari, Bu. Kebetulan ada barang yang harus saya beli," dusta Bunga."Sesering itu? Kali ini kamu minta izin untuk apa lagi? Alasan keperluan kamu habis lagi?"Bunga meremas kedua tangannya seraya menggeleng. "Bukan, Bu. Teman saya mengajak ketemu."Untuk kali ini Bunga jujur, dia meminta izin keluar karena memang Ayu meminta bertemu, bukan karena Gama."Teman atau pacar?" sindir Sofia. "Bukannya waktu itu kamu juga pernah izin terus pulangnya ada cupang di leher kamu?"Ditatap begitu rendah oleh Sofia membuat perasaannya sedih, tapi dia juga tidak bisa mengelak karena ucapan majikannya memang benar."Teman, Bu."Sofia tampak manggut-manggut. "Lagian aku nggak peduli juga sih kamu mau ke mana. Ingat ya pulang tepat waktu, kamu itu harus sadar diri, di sini kamu itu cuma pembantu, jadi nggak boleh pulang pergi seenaknya.""Baik, Bu. Saya janji tidak akan pulang terlambat."Bunga menatap kepergian Sofia
Hamil? Mana mungkin?Meskipun Bunga ragu tetap saja dia cemas. Selama ini dia jarang menstruasi, bisa dibilang tiga atau empat bulan sekali, dan kata orang kalau seperti itu bakal susah hamil.Meskipun belum tahu kebenarannya, Bunga tetap percaya karena beberapa temannya memang mengalami hal yang sama. Ada salah satu temannya yang sudah menikah, sampai detik ini belum juga dikaruniai anak.'Ah, mana mungkin,' batin wanita itu."Kenapa dari tadi melamun terus?" tanya Ayu dengan kening mengerut.Bunga menghela napas. "Nggak ada, cuma lagi bingung aja.""Masalah orang tua kamu? Bukannya kamu udah kirim uang ke mereka?"Bunga mengangguk pelan."Kalau kamu mikirin mereka terus, kapan kamu bisa bahagianya, Bunga? Kamu juga perlu pikirin diri kamu sendiri. Emangnya kamu nggak pengen nikah?"Mendengar kata menikah, Bunga tertawa hambar.'Menikah? Siapa yang mau nikah sama gadis kotor kayak aku? Nggak ada! Yang ada malah mereka pasti jijik,' decak wanita itu dalam hati."Masih belum kepikiran
"Apa yang kalian lakukan?!""Apa kamu nggak lihat di rambut Bunga ada serangga?" Bunga syok dengan kedatangan Sofia, sedangkan Gama malah bersikap santai? Setelah menyadari, Bunga langsung menyingkir dari hadapan Gama."Maafkan saya, Pak," kata wanita itu seraya menunduk."Kenapa kamu yang minta maaf? Bukannya aku yang deketin kamu?"Bunga menggeram dalam hati.'Jangan banyak tingkah, Pak. Di depanmu ada istrimu sendiri, tolong gunakan akal sehatmu,'"Sa--saya--""Sudahlah, kamu boleh pergi, Bunga," usir Sofia dengan ketus."Aku minta bikinkan kopi," sela Gama."Biar aku aja yang buatkan, sebaiknya kamu pergi ke kamarmu, Bunga." Lagi-lagi Sofia mengusir."Memangnya kamu bisa?" tanya Gama remeh. "Masuk ke dapur aja mana pernah," sindirnya pedas.Sofia mengepalkan tangan, tatapannya begitu tajam ke arah Bunga. Bunga yang menyadari pun langsung memutuskan pergi tanpa pamit."Sejak kapan kamu bela dia, Mas?"Gama menyenderkan tubuhnya di meja, tangannya ditaruh di saku celana, menatap So
"Lepas, Dra. Aku harus pergi sekarang!" geram Sofia."Aku akan antar kamu, sampai depan pintu."Sofia menghela napas berat. "Oke." Dia pun akhirnya pasrah.Baru saja tangan Nendra menyentuh kenop pintu, Sofia langsung menginterupsi. "Udah, sampai sini aja, udah cukup. Aku akan keluar sendiri."Nendra terdiam beberapa saat setelah itu dia mengangkat kedua tangan dan mengangguk pasrah. Sepertinya usahanya gagal untuk menahan Sofia lebih lama di sini."Oke, terserah kamu," katanya kemudian."Nggak biasanya kamu kayak gini, kayak anak kecil yang lagi manja," ejek Sofia.Nendra tak menjawab, dia membiarkan Sofia membuka pintu, setelah hilang dari pandangan dia menghela napas berat.Berbeda dengan Sofia yang berada di balik pintu, matanya melotot ketika melihat seseorang yang dia kenali sedang menyenderkan tubuhnya di dekat pintu hotel yang baru saja dia tutup."Udah selesai?" Nada bicara pria itu tampak berat."M--Mas, ngapain kamu ada di sini?" tanya Sofia gugup."Ngapain ya? Entah, aku j
"Habis dari mana kamu?" Sofia menatap Bunga dari atas sampai bawah."Saya habis keluar sebentar, Bu, ketemu sama teman.""Teman lagi, teman lagi. Itu terus yang jadi alasan kamu. Tadi aku lihat kamu ada di hotel. Benar, kan?"Bunga menggeleng cepat. "Saya tidak pernah ke hotel. Mungkin Anda salah lihat."Semakin lama Bunga semakin pandai berbohong, dan ternyata usahanya berhasil karena Sofia tak lagi menatapnya dengan tajam.Sofia terdiam cukup lama, sepertinya termakan ucapan Bunga.'Benar juga, mungkin tadi aku salah lihat. Mungkin tadi sekilas mirip sama dia aja. Kenapa akhir-akhir ini aku selalu menuduh Bunga sih,' keluh Sofia dalam hati."Meskipun kamu benar, bukan berarti kali ini kamu bebas dariku, Bunga. Masih ingat, kan, kalau aku pernah menyuruhmu untuk mengawasi suamiku? Kenapa sampai sekarang tidak kamu lakukan? Malah semakin hari kamu semakin sering keluar rumah, asyik dengan rutinitas sendiri. Sebenarnya kamu niat kerja apa nggak, hah?" Sofia berkacak pinggang.Kepala Bu
Tok ... tok ... tok ...Bunga mengerjapkan matanya berkali-kali, padahal ngantuk berat tapi dia terpaksa bangun membukakan pintu kamar. Takut saja kalau ternyata Sofia yang mengetuk pintu.Bunga menguap lebar, barulah dia membuka pintu."Ada yang bisa saya bantu, Bu-- loh, Pak Gama?" Mata Bunga yang tadinya berat sekali seketika melotot.'Kok bisa? Bukannya dia bilang akan pergi keluar kota beberapa hari?'"Kenapa kaget gitu? Kayak lihat setan aja. Atau jangan-jangan ada yang kamu sembunyikan?" tanya pria itu penuh selidik.Bunga menggeleng cepat. "Bukan, nggak seperti itu. Apa Bu Sofia--""Dia udah pergi dari sini. Mungkin sedang bersenang-senang di luar dengan pria lain. Aku ingin mandi, tolong siapkan air hangat dan juga pakaian tidurku. Dan jangan lupa siapkan aku makan malam."Gama berbalik pergi menuju ke kamar, tapi mendengar Bunga memanggil dia berhenti melangkah."Maksudnya saya disuruh melayani Anda atau gimana ini?" tanya wanita itu bingung.Gama kembali mendekat, seraya me
"Bukti-bukti semakin kuat, kenapa Anda masih mempertahankan pernikahan yang tidak sehat ini, Pak?" tanya Adit heran.Gama yang tadinya fokus dengan tablet, seketika mendongak. Menatap asistennya cukup lama. Gama juga berpikir, sampai kapan dia akan bertahan?Menunggu Sofia yang akan menceraikannya seperti terdengar begitu mustahil. Wanita itu seperti perangko, makin lama makin lengket saja, apalagi sekarang-sekarang semakin manja. Itulah yang membuat dirinya pening tak karuan."Kenapa? Apa kamu mendapatkan bukti lagi?" tanya pria itu, kembali fokus pada tabletnya.Adit menghela napas berat. "Dia memakai uang sangat banyak bulan ini, sepertinya uang itu digunakan untuk pria itu."'Apa selama ini aku terlalu bermurah hati padamu, Sofia? Kau menggunakan uangku untuk bersenang-senang dengan pria lain? Dasar wanita tidak tahu diuntung. Tujuanmu menikah denganku hanya untuk memeras uangku, huh? Sekarang bersenang-senanglah, tapi lihat saja pembalasanku nanti, sialan!'Tangan Gama mengambang
"Ada apa ya, Pak, kenapa ingin berbicara dengan saya secara empat mata? Apa saya punya masalah dengan Anda?" tanya Bunga sungguh-sungguh.Wanita itu agak ngeri karena hanya berdua saja dengan pria di hadapannya ini. Takut terjadi yang tidak-tidak.Bunga tahu kalau pikirannya berlebihan, tapi sebagai antisipasi wajar saja, bukan?"Apa kita saling kenal?" tanya Bunga lagi karena melihat pria paruh baya itu tampak menatapnya cukup tajam.Raut wajah pria itu tampak tak suka, membuat Bunga mengernyit heran.'Kenapa ya? Kok kayaknya ada yang aneh sama orang ini. Kelihatan benci banget sama aku, tapi alasannya apa? Ketemu aja nggak pernah, kenal aja apalagi, baru kali ini malahan aku lihat dia,' gumam Bunga dalam hati."Kita memang nggak saling kenal, tapi aku mengetahui kepribadianmu dengan baik." Senyum sinis tersungging dari bibir pria itu. Setelah terdiam cukup lama, dan membuat Bunga terheran-heran, akhirnya pria itu mau membuka suara juga, walau terdengar sangat ketus.Bunga tampak man
Apa yang dipikirkan mereka berdua ternyata salah. Nyatanya Gama tidak jadi menjemput Bunga karena pria itu beralasan ada urusan mendadak.Akhirnya Bunga pun memutuskan untuk pulang sendiri."Hahaha, ternyata pikiran kamu emang salah ya, lagian dari awal aku udah bilang kalau dia nggak mungkin suka sama aku."Ayu cemberut, moodnya seketika berubah. Buyar sudah uang sepuluh juta untuk tas incarannya.'Ah elah, ngapain pake acara nggak jadi jemput sih,' omel Ayu dalam hati."Ya udah, aku mau pulang dulu ya, takut kesorean," pamit Bunga."Nggak nunggu dia dulu? Tadi katanya disuruh nunggu, kan?"Bunga menggeleng. "Nggaklah, dia itu sekarang pulangnya suka tengah malam. Mana mungkin aku sesabar itu harus nunggu dia. Bye."Ayu mengangguk, dia membiarkan Bunga pergi.Bunga hampir tiba di rumahnya, lebih tepatnya rumah Gama. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Lampu mobil itu menyorot Bunga, membuat mata wanita itu menyipit karena silau.Tak lama
"Itu mah si Mas Gamamu butuh perhatian. Dia itu sebenarnya udah ada rasa sama kamu. Kamunya aja yang nggak peka."Setelah Bunga menceritakan semuanya, barulah Ayu berani menyimpulkan apa penyebab perkelahian pasangan suami-istri itu."Kok kamu bisa mikir kayak gitu?" tanya Bunga heran.Ayu memutar bola matanya malas. "Kamu tanya aja ke orang-orang, pasti mereka bakal jawab hal yang sama seperti apa yang aku ucapin barusan. Nggak percaya? Buktiin aja," tantang Ayu.Bunga kembali terdiam, entah apa yang sedang wanita itu pikirkan."Emangnya kamu itu nggak pernah jatuh cinta ya? Eh bukan, maksudku emangnya kamu itu nggak pernah pacaran? Kok bodoh banget sama hal percintaan?""Apaan sih, Yu," kata Bunga tak terima."Nggak usah baper, aelah. Kamu ini kenapa sih kok sensian banget akhir-akhir ini. Beneran lagi menstruasi? Masa iya? Ini udah ganti bulan kali, Bunga, ya kali nggak kelar-kelar. Bawaannya tersinggung Mulu, heran deh," decak Ayu.Bunga menggaruk hidungnya yang tidak gatal. "Buka
"Baru pulang, Mas?" tanya Bunga ketika membukakan pintu untuk Gama."Hmm." Gama berdeham pelan.Bunga menyalami tangan Gama, tapi baru di udara dia langsung mengernyit heran."Tanganmu berdarah, Mas. Mas habis ngapain kok tangannya sampai terluka kayak gini?" Gama tak menyahut, dia melepaskan tangannya dari Bunga, lalu segera masuk ke dalam rumah dan Bunga mengikuti dari belakang."Aku obatin dulu tangannya.""Kamu nggak nanya kenapa aku pulang selarut ini?" Gama malah bertanya ke hal lain.'Aku pengen tanya, tapi takut bikin kamu nggak nyaman, Mas.'"Pasti banyak kerjaan makanya Mas baru pulang." Bunga tersenyum tipis."Kalau salah? Kalau ternyata bukan karena kerjaan, apa kamu bakal marah?"Bunga kembali tersenyum, tapi kali ini bukan jenis senyum tulus, melainkan dibuat-buat."Itu urusanmu, Mas. Kenapa jadi tanya gitu ke aku? Aku nggak berhak tahu semua tentangmu, kan?""Kenapa nggak berhak? Jelas kamu berhak, bukannya kamu istriku?" Tanpa sadar Gama meninggikan suara."Aku cuma i
Kalimat Gama waktu itu terdengar begitu ambigu, membuat Bunga selalu berpikir macam-macam.Mungkinkah Gama jatuh hati padanya, seperti dia yang jatuh cinta pada pria itu?Bunga menyadari kalau dirinya salah. Namun, siapa yang mau mempunyai perasaan seperti ini? Dari awal memang hubungan mereka karena kesepakatan, bukan murni karena saling jatuh cinta. Bunga butuh uang, dan Gama ingin membalaskan dendam pada Sofia. Impas! Ya, menurut wanita itu impas. Akan tetapi, siapa sangka kalau akhirnya menjadi seperti ini?Mengapa Bunga malah mencintai pria yang tidak mencintainya?"Ish! Mikir apa sih aku ini, mana mungkin dia juga cinta sama aku. Aku yakin dia bilang kayak gitu karena masih butuh pertolonganku, besok kalau udah nggak butuh juga pasti bakal dibuang. Aku harus menghubungi Bu Sofia, ya, aku harus menjelaskan semuanya. Meskipun nanti dia maki-maki aku, aku nggak peduli. Udah resikonya seperti itu, tapi ... gimana caranya aku dapat nomor Bu Sofia?"Pikiran Bunga tiba-tiba ada di pons
"Dari awal aku bilang juga apa, kamu harus hati-hati sama pembantu itu. Kelihatan polos, tapi aslinya berbisa. Tapi kamu malah jawab kalau dia itu beda dari pembantumu yang dulu-dulu, dia orangnya nggak neko-neko, see kenyataannya sekarang gimana?" cibir Sasya."Betul, biasanya laki-laki itu sukanya yang polos-polos gimana gitu, laki-laki itu nggak suka sama perempuan centil. Ya mungkin menurut laki-laki kalau perempuan polos itu perempuan baik-baik, kan? Itu aku cerita dari sudut pandang laki-laki loh ya," timpal Dona."Ish! Apaan, kalau namanya perempuan gatal ya udah sih, tetap aja gatal. Ngapain juga dibela-bela," sungut Sasya lagi."Siapa juga yang bela itu perempuan. Awalnya juga aku bilang harus hati-hati juga, kan? Si Sofia aja yang ngeyel."Sofia menggebrak meja dengan kencang, membuat kedua temannya terbelalak kaget."Aku lagi pusing, tapi malah kalian lebih bikin aku pusing sama perdebatan kalian berdua. Argghhh! Setres aku lama-lama kalau di sini.""Pulang dah sana, biar n
Entah bagaimana caranya, Sofia bisa masuk gerbang yang megah itu, dia berjalan mendekat ke arah mereka, yang tampak asik berpelukan.Sofia bertepuk tangan seraya tertawa kencang, membuat Bunga maupun Gama langsung menoleh ke sumber suara.Bunga kelabakan, sementara Gama terlampau santai, seolah dia sudah memprediksi apa yang akan terjadi."Wow, wow, wow. Jadi selama ini kamu selingkuh dengan dia, Mas? Dan, Bunga? Apa yang kamu lakukan? Kamu mengkhianati majikanmu sendiri? Luar biasa, dasar perempuan gatal kamu, aku kira kamu beda dari perempuan-perempuan lain, nyatanya aku malah bawa masuk ke rumah dengan membawa ular?"Bunga tak berani berucap, bahkan mengangkat wajahnya saja dia tak mempunyai keberanian."Untuk apa kamu datang ke sini?" Kali ini Gama yang bertanya, dengan nada ogah-ogahan."Untuk apa? Nggak tahu kenapa aku punya firasat buruk makanya aku mengikutimu, dan ternyata firasatku benar, kan? Kamu selingkuh dengan pembantu kita, Mas? What? Aku nggak mimpi, kan?" Sofia terta
"Aku akan membunuhnya.""Brengsek!"Ucapan itu terus terngiang-ngiang di kepala Gama, membuat pria itu tampak gelisah.'Apa aku harus menyuruhnya pergi? Tidak, tidak, sepertinya aku sudah mulai terbiasa berada di dekatnya. Sial, bagaimana aku harus menghadapi lelaki tua itu. Benar-benar sialan! Kenapa orang tua itu kalau mengambil kesimpulan seenaknya. Argghhh! Aku benci hidupku yang selalu didikte oleh orang tua itu! Berpikir, Gama, berpikir!' decak pria itu dalam hati."Mas.""Hemm," sahut Gama dengan mata terpejam."Nggak makan malam dulu? Aku udah masakin kesukaan Mas loh."Gama tersenyum tipis, ini yang dia suka dari Bunga. Meskipun dia selalu acuh, tapi perhatian yang Bunga berikan padanya tidaklah palsu. Wanita itu tampak tulus, sangat, itulah yang membuat hati Gama luluh."Iya nanti dulu.""Lagi ada masalah soal pekerjaan ya? Maaf kalau aku terlalu ikut campur, tapi kita bisa berpikir jernih kalau perut kita sudah terisi, kita makan dulu yuk, Mas, habis itu nanti bisa dilanjut
"Kamu nggak apa-apa, kan?"Gama melihat pria itu melangkah dengan cepat, dia langsung merogoh saku untuk mengambil ponsel, lalu menghubungi orang suruhannya."Cari tahu siapa orangnya.""Baik, Bos."Klik, sambungan terputus."Kamu nggak apa-apa?" ulang Gama lagi.Bunga menggeleng seraya mengerjap, dia bingung dengan Gama yang tiba-tiba saja meneriakinya, tak hanya itu, raut wajahnya pun begitu panik.'Emangnya aku kenapa?' batin Bunga bertanya-tanya.Gama mengusap wajahnya kasar. "Kamu nggak lihat tadi ada orang di belakangmu? Dia hampir aja ...." Gama menggeleng, sebaiknya tak usah ceritakan hal yang sebenarnya pada wanita itu, takutnya nanti malah membuat istrinya cemas."Hampir aja kenapa?" tanya Bunga penasaran."Lupakan, sebaiknya kita pulang sekarang."Bunga mengangguk. "Iya, kelihatannya Mas juga capek banget, kayak banyak pikiran juga. Ya udah ayo kita pulang."**"Sebenarnya tadi ada apa ya? Kok aku ngerasa ada sesuatu terjadi tadi, tapi apa?" gumam Bunga seraya memandangi Ga