"Lepas, Dra. Aku harus pergi sekarang!" geram Sofia."Aku akan antar kamu, sampai depan pintu."Sofia menghela napas berat. "Oke." Dia pun akhirnya pasrah.Baru saja tangan Nendra menyentuh kenop pintu, Sofia langsung menginterupsi. "Udah, sampai sini aja, udah cukup. Aku akan keluar sendiri."Nendra terdiam beberapa saat setelah itu dia mengangkat kedua tangan dan mengangguk pasrah. Sepertinya usahanya gagal untuk menahan Sofia lebih lama di sini."Oke, terserah kamu," katanya kemudian."Nggak biasanya kamu kayak gini, kayak anak kecil yang lagi manja," ejek Sofia.Nendra tak menjawab, dia membiarkan Sofia membuka pintu, setelah hilang dari pandangan dia menghela napas berat.Berbeda dengan Sofia yang berada di balik pintu, matanya melotot ketika melihat seseorang yang dia kenali sedang menyenderkan tubuhnya di dekat pintu hotel yang baru saja dia tutup."Udah selesai?" Nada bicara pria itu tampak berat."M--Mas, ngapain kamu ada di sini?" tanya Sofia gugup."Ngapain ya? Entah, aku j
"Habis dari mana kamu?" Sofia menatap Bunga dari atas sampai bawah."Saya habis keluar sebentar, Bu, ketemu sama teman.""Teman lagi, teman lagi. Itu terus yang jadi alasan kamu. Tadi aku lihat kamu ada di hotel. Benar, kan?"Bunga menggeleng cepat. "Saya tidak pernah ke hotel. Mungkin Anda salah lihat."Semakin lama Bunga semakin pandai berbohong, dan ternyata usahanya berhasil karena Sofia tak lagi menatapnya dengan tajam.Sofia terdiam cukup lama, sepertinya termakan ucapan Bunga.'Benar juga, mungkin tadi aku salah lihat. Mungkin tadi sekilas mirip sama dia aja. Kenapa akhir-akhir ini aku selalu menuduh Bunga sih,' keluh Sofia dalam hati."Meskipun kamu benar, bukan berarti kali ini kamu bebas dariku, Bunga. Masih ingat, kan, kalau aku pernah menyuruhmu untuk mengawasi suamiku? Kenapa sampai sekarang tidak kamu lakukan? Malah semakin hari kamu semakin sering keluar rumah, asyik dengan rutinitas sendiri. Sebenarnya kamu niat kerja apa nggak, hah?" Sofia berkacak pinggang.Kepala Bu
Tok ... tok ... tok ...Bunga mengerjapkan matanya berkali-kali, padahal ngantuk berat tapi dia terpaksa bangun membukakan pintu kamar. Takut saja kalau ternyata Sofia yang mengetuk pintu.Bunga menguap lebar, barulah dia membuka pintu."Ada yang bisa saya bantu, Bu-- loh, Pak Gama?" Mata Bunga yang tadinya berat sekali seketika melotot.'Kok bisa? Bukannya dia bilang akan pergi keluar kota beberapa hari?'"Kenapa kaget gitu? Kayak lihat setan aja. Atau jangan-jangan ada yang kamu sembunyikan?" tanya pria itu penuh selidik.Bunga menggeleng cepat. "Bukan, nggak seperti itu. Apa Bu Sofia--""Dia udah pergi dari sini. Mungkin sedang bersenang-senang di luar dengan pria lain. Aku ingin mandi, tolong siapkan air hangat dan juga pakaian tidurku. Dan jangan lupa siapkan aku makan malam."Gama berbalik pergi menuju ke kamar, tapi mendengar Bunga memanggil dia berhenti melangkah."Maksudnya saya disuruh melayani Anda atau gimana ini?" tanya wanita itu bingung.Gama kembali mendekat, seraya me
"Bukti-bukti semakin kuat, kenapa Anda masih mempertahankan pernikahan yang tidak sehat ini, Pak?" tanya Adit heran.Gama yang tadinya fokus dengan tablet, seketika mendongak. Menatap asistennya cukup lama. Gama juga berpikir, sampai kapan dia akan bertahan?Menunggu Sofia yang akan menceraikannya seperti terdengar begitu mustahil. Wanita itu seperti perangko, makin lama makin lengket saja, apalagi sekarang-sekarang semakin manja. Itulah yang membuat dirinya pening tak karuan."Kenapa? Apa kamu mendapatkan bukti lagi?" tanya pria itu, kembali fokus pada tabletnya.Adit menghela napas berat. "Dia memakai uang sangat banyak bulan ini, sepertinya uang itu digunakan untuk pria itu."'Apa selama ini aku terlalu bermurah hati padamu, Sofia? Kau menggunakan uangku untuk bersenang-senang dengan pria lain? Dasar wanita tidak tahu diuntung. Tujuanmu menikah denganku hanya untuk memeras uangku, huh? Sekarang bersenang-senanglah, tapi lihat saja pembalasanku nanti, sialan!'Tangan Gama mengambang
"Kamu bentar lagi gajihan, kan? Adek kamu mau lulus, Ibu minta uang ya buat bayar kelulusan sama buat bayar biaya pendaftaran."Bunga menatap koper di depan lemari dengan senyum miris. Awalnya dia berencana untuk mengundurkan diri. Namun, mendengar keluh kesah ibunya dia jadi ragu apakah keluar dari pekerjaan ini keputusan yang tepat?Ya, Bunga memutuskan untuk berhenti karena melihat kondisinya sudah tidak aman. Majikannya itu sering kali bertengkar, entah apa penyebabnya. Itulah yang membuat Bunga tidak nyaman untuk melanjutkan bekerja di sini, karena menurut Bunga, mentalnya juga ikut-ikutan terganggu karena terlalu sering mendengar teriakan, umpatan kasar, dan juga barang pecah.Bisa-bisa nanti dirinya ikut terkena akibat dari pertengkaran sang majikan."Kok diam? Kamu nggak mau bantu Ibu ya, Bunga?” Ibunya kembali berkata. “Terus kalau bukan kamu siapa lagi yang bakal Ibu andalkan? Ayah kamu baru aja dipecat. Katanya pengurangan karyawan karena bentar lagi proyeknya udah selesai.
Di hari berikutnya, Bunga berusaha bekerja seperti biasanya. Ia sama sekali tidak mempertanyakan kenapa majikan wanitanya, Sofia, keluar dari kamar tidur tamu dan kapan wanita itu pulang semalam.Yang jelas, ia bersyukur Sofia tidak memergokinya keluar dari kamar utama. Mengingat kejadian semalam membuat hati Bunga kembali sakit. Apalagi pagi ini, ibunya kembali menelepon."Ya Tuhan! Aku belum ada uang, Bu. Nanti kalau udah gajian pasti aku bakal kasih uangnya ke Ibu."Bunga terdengar frustrasi karena didesak seperti ini. Seakan masalah ini datang padanya bertubi-tubi.Kemarin ibunya meminta uang tiga juta, yang mana adalah nominal hampir seluruh gajinya. Lalu, saat awal menelepon tadi, nominal uangnya mendadak bertambah menjadi lima juta.Makin lama bicara, nominal yang diminta sang ibu makin tidak masuk akal.Baru kemudian, ibu Bunga jujur kalau dia baru saja mendapatkan tagihan dari aplikasi pinjol dan memerlukan sepuluh juta."Ibu dari tadi diteror terus sama tukang panci itu, Bu
Ucapan Gama mengejutkan Bunga. Mata wanita itu membola tidak percaya.Apakah pemikiran orang kaya memang seperti ini? Tidak bisa diprediksi, egois, dan menyakitkan hati?Bunga tidak langsung menjawab. Ia kembali menunduk, lalu dengan suara pelan berucap, “Mohon maaf, Tuan. Saya harus membersihkan kamar tamu sesuai instruksi Nyonya Sofia tadi. Permisi.”Bohong. Ia sudah melakukan tugas itu tadi. Namun, Bunga memang harus pergi dari hadapan Gama secepatnya sebelum ia menangis di tempat.***"Maaf, bukannya aku nggak mau bantu kamu, tapi kamu tahu sendiri perjanjian sebelum kerja di sini, kan?”Bunga menunduk dalam-dalam saat Sofia berkata demikian. Ia baru saja memberanikan diri dan menyempatkan untuk berbicara dengan Sofia soal pinjaman gaji, lantaran ibunya terus menerus menelepon dan mengiriminya pesan.Oleh karena itu, saat sekiranya suasana hati Sofia tampak cukup baik, Bunga mengutarakan maksudnya.Hanya untuk mendapatkan penolakan. “Aku sudah bilang di awal kalau aku akan menaik
"Mu--mungkin Anda salah paham, Pak.” Bunga buru-buru berkata. Suaranya pelan. “Maksud saya, bukankah waktu itu Anda menawarkan sejumlah uang sebagai bentuk tanggung jawab? Saya mengiakan tentang itu, bukan yang lain." Gama tertawa pelan, membuat Bunga langsung mendongak."Justru kamulah yang salah paham, Bunga.” Pria itu berujar. “Dari awal aku memang menawarkan jadi simpananku. Mungkin kamu sedang banyak pikiran, makanya tidak fokus. Bukan, begitu?"Bunga menggeleng. Tidak. Ia memang sedang banyak pikiran, tapi tidak mungkin Bunga salah paham soal ini."Kalau begitu, saya menolak, Pak.” Bunga berusaha berkata dengan tegas, sekalipun ia terintimidasi oleh majikannya. “Bukannya Anda sudah punya istri? Kenapa harus menawarkan hal gila pada saya? Apa satu perempuan tidak cukup untuk Anda?"Hening. Baru kemudian Bunga menyadari kalau dia kelepasan bicara.Ekspresi Gama tampak gelap saat ia berkata, "Kalau kamu tidak tahu tentang kehidupanku, sebaiknya kamu tutup mulut."Bunga langsung m