Hamil? Mana mungkin?Meskipun Bunga ragu tetap saja dia cemas. Selama ini dia jarang menstruasi, bisa dibilang tiga atau empat bulan sekali, dan kata orang kalau seperti itu bakal susah hamil.Meskipun belum tahu kebenarannya, Bunga tetap percaya karena beberapa temannya memang mengalami hal yang sama. Ada salah satu temannya yang sudah menikah, sampai detik ini belum juga dikaruniai anak.'Ah, mana mungkin,' batin wanita itu."Kenapa dari tadi melamun terus?" tanya Ayu dengan kening mengerut.Bunga menghela napas. "Nggak ada, cuma lagi bingung aja.""Masalah orang tua kamu? Bukannya kamu udah kirim uang ke mereka?"Bunga mengangguk pelan."Kalau kamu mikirin mereka terus, kapan kamu bisa bahagianya, Bunga? Kamu juga perlu pikirin diri kamu sendiri. Emangnya kamu nggak pengen nikah?"Mendengar kata menikah, Bunga tertawa hambar.'Menikah? Siapa yang mau nikah sama gadis kotor kayak aku? Nggak ada! Yang ada malah mereka pasti jijik,' decak wanita itu dalam hati."Masih belum kepikiran
"Apa yang kalian lakukan?!""Apa kamu nggak lihat di rambut Bunga ada serangga?" Bunga syok dengan kedatangan Sofia, sedangkan Gama malah bersikap santai? Setelah menyadari, Bunga langsung menyingkir dari hadapan Gama."Maafkan saya, Pak," kata wanita itu seraya menunduk."Kenapa kamu yang minta maaf? Bukannya aku yang deketin kamu?"Bunga menggeram dalam hati.'Jangan banyak tingkah, Pak. Di depanmu ada istrimu sendiri, tolong gunakan akal sehatmu,'"Sa--saya--""Sudahlah, kamu boleh pergi, Bunga," usir Sofia dengan ketus."Aku minta bikinkan kopi," sela Gama."Biar aku aja yang buatkan, sebaiknya kamu pergi ke kamarmu, Bunga." Lagi-lagi Sofia mengusir."Memangnya kamu bisa?" tanya Gama remeh. "Masuk ke dapur aja mana pernah," sindirnya pedas.Sofia mengepalkan tangan, tatapannya begitu tajam ke arah Bunga. Bunga yang menyadari pun langsung memutuskan pergi tanpa pamit."Sejak kapan kamu bela dia, Mas?"Gama menyenderkan tubuhnya di meja, tangannya ditaruh di saku celana, menatap So
"Lepas, Dra. Aku harus pergi sekarang!" geram Sofia."Aku akan antar kamu, sampai depan pintu."Sofia menghela napas berat. "Oke." Dia pun akhirnya pasrah.Baru saja tangan Nendra menyentuh kenop pintu, Sofia langsung menginterupsi. "Udah, sampai sini aja, udah cukup. Aku akan keluar sendiri."Nendra terdiam beberapa saat setelah itu dia mengangkat kedua tangan dan mengangguk pasrah. Sepertinya usahanya gagal untuk menahan Sofia lebih lama di sini."Oke, terserah kamu," katanya kemudian."Nggak biasanya kamu kayak gini, kayak anak kecil yang lagi manja," ejek Sofia.Nendra tak menjawab, dia membiarkan Sofia membuka pintu, setelah hilang dari pandangan dia menghela napas berat.Berbeda dengan Sofia yang berada di balik pintu, matanya melotot ketika melihat seseorang yang dia kenali sedang menyenderkan tubuhnya di dekat pintu hotel yang baru saja dia tutup."Udah selesai?" Nada bicara pria itu tampak berat."M--Mas, ngapain kamu ada di sini?" tanya Sofia gugup."Ngapain ya? Entah, aku j
"Habis dari mana kamu?" Sofia menatap Bunga dari atas sampai bawah."Saya habis keluar sebentar, Bu, ketemu sama teman.""Teman lagi, teman lagi. Itu terus yang jadi alasan kamu. Tadi aku lihat kamu ada di hotel. Benar, kan?"Bunga menggeleng cepat. "Saya tidak pernah ke hotel. Mungkin Anda salah lihat."Semakin lama Bunga semakin pandai berbohong, dan ternyata usahanya berhasil karena Sofia tak lagi menatapnya dengan tajam.Sofia terdiam cukup lama, sepertinya termakan ucapan Bunga.'Benar juga, mungkin tadi aku salah lihat. Mungkin tadi sekilas mirip sama dia aja. Kenapa akhir-akhir ini aku selalu menuduh Bunga sih,' keluh Sofia dalam hati."Meskipun kamu benar, bukan berarti kali ini kamu bebas dariku, Bunga. Masih ingat, kan, kalau aku pernah menyuruhmu untuk mengawasi suamiku? Kenapa sampai sekarang tidak kamu lakukan? Malah semakin hari kamu semakin sering keluar rumah, asyik dengan rutinitas sendiri. Sebenarnya kamu niat kerja apa nggak, hah?" Sofia berkacak pinggang.Kepala Bu
Tok ... tok ... tok ...Bunga mengerjapkan matanya berkali-kali, padahal ngantuk berat tapi dia terpaksa bangun membukakan pintu kamar. Takut saja kalau ternyata Sofia yang mengetuk pintu.Bunga menguap lebar, barulah dia membuka pintu."Ada yang bisa saya bantu, Bu-- loh, Pak Gama?" Mata Bunga yang tadinya berat sekali seketika melotot.'Kok bisa? Bukannya dia bilang akan pergi keluar kota beberapa hari?'"Kenapa kaget gitu? Kayak lihat setan aja. Atau jangan-jangan ada yang kamu sembunyikan?" tanya pria itu penuh selidik.Bunga menggeleng cepat. "Bukan, nggak seperti itu. Apa Bu Sofia--""Dia udah pergi dari sini. Mungkin sedang bersenang-senang di luar dengan pria lain. Aku ingin mandi, tolong siapkan air hangat dan juga pakaian tidurku. Dan jangan lupa siapkan aku makan malam."Gama berbalik pergi menuju ke kamar, tapi mendengar Bunga memanggil dia berhenti melangkah."Maksudnya saya disuruh melayani Anda atau gimana ini?" tanya wanita itu bingung.Gama kembali mendekat, seraya me
"Bukti-bukti semakin kuat, kenapa Anda masih mempertahankan pernikahan yang tidak sehat ini, Pak?" tanya Adit heran.Gama yang tadinya fokus dengan tablet, seketika mendongak. Menatap asistennya cukup lama. Gama juga berpikir, sampai kapan dia akan bertahan?Menunggu Sofia yang akan menceraikannya seperti terdengar begitu mustahil. Wanita itu seperti perangko, makin lama makin lengket saja, apalagi sekarang-sekarang semakin manja. Itulah yang membuat dirinya pening tak karuan."Kenapa? Apa kamu mendapatkan bukti lagi?" tanya pria itu, kembali fokus pada tabletnya.Adit menghela napas berat. "Dia memakai uang sangat banyak bulan ini, sepertinya uang itu digunakan untuk pria itu."'Apa selama ini aku terlalu bermurah hati padamu, Sofia? Kau menggunakan uangku untuk bersenang-senang dengan pria lain? Dasar wanita tidak tahu diuntung. Tujuanmu menikah denganku hanya untuk memeras uangku, huh? Sekarang bersenang-senanglah, tapi lihat saja pembalasanku nanti, sialan!'Tangan Gama mengambang
"Siapa yang kamu maksud?"Bunga tersentak, dia tidak menyadari kedatangan Gama. Sejak kapan pria itu berdiri di belakangnya?"Kenapa tiba-tiba datang ke kamarku?""Nggak usah ngalihin pembicaraan, siapa orang yang kamu maksud? Siapa orang yang kamu rindukan?" Bunga menghela napas. "Bukan siapa-siapa."Gama mencengkram dagu Bunga, dia tersenyum sinis. "Apa yang kamu sembunyikan dariku, huh?"Bunga menggeleng."Jangan bohong!""Nggak ada. Aku nggak bohong."Gama melepas cengkeraman itu, lalu berbalik membelakangi Bunga."Ingat perjanjian kita, selama kamu masih terikat kontrak, itu artinya kamu harus turuti perintahku. Tidak ada laki-laki lain di antara kita berdua.""Tapi Mas sendiri yang tidak menulis di kontrak, itu artinya--""Apa? Kamu masih mengelak?" sentak Gama. "Padahal jelas-jelas dikontrak itu dinyatakan kamu harus patuhi semua aturanku, bukan?"Tangan Bunga mengepal. "Kamu curang, kamu seenaknya aja buat kesepakatan sepihak. Padahal aku belum menyetujui, tapi kamu ...."Gam
'Bayu? Ada apa dengan pria itu?' Bunga bertanya-tanya dalam hati.Sebelum berkata lebih jauh, Bunga menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk memastikan kalau saat ini dirinya aman.Dia menghela napas lega karena hanya dia sendiri yang ada di dalam kamar, untuk mencari aman Bunga pun mengunci pintu kamar."Emangnya ada apa dengan dia, Yu?" tanya Bunga penasaran."Ish! Panjang pokoknya ceritanya. Nggak enak juga kalau dijelasin lewat telepon. Enaknya kita bahas pas ketemu langsung.""Kenapa nggak di sini aja sih. Penting banget ya?"Ah! Bunga kalau sudah penasaran pasti akan selalu mendesak."Nggak bisa, Bunga. Kita harus ketemu."Bunga mengembuskan napas berat. 'Besok kira-kira aku diizinin pergi nggak ya? Dicoba aja dulu deh, mudahan Bu Sofia nggak ngelarang pergi lagi,' batin wanita itu."Iya deh iya. Tapi aku nggak janji ya, Yu. Kamu tahu sendiri kan kondisi aku ini gimana.""Yang penting kamu ada inisiatif mau datang. Kalau ditanya mau ke mana, tinggal kamu jawab aja kalau ada titipan
"Aku nggak tahu kamu ngadu apa ke Mas Gama, Bunga."Bunga mendongak, dia tercenung beberapa saat."Maksud Anda apa ya, Bu?" tanya Bunga tak paham."Nggak usah pura-pura polos deh sekarang. Aku yakin kamu kan yang ngerayu Mas Gama supaya aku mau nurut sama dia?"Kening Bunga semakin mengkerut, semakin tak paham."Kamu kemarin bilang mau berhenti kerja, nggak kukasih izin bukannya nurut malah ngadu yang nggak-nggak ke suamiku."Barulah Bunga paham.'Hah? Secepat itu. Memangnya dia ngomong apa sih, kok Bu Sofia sampai semarah ini?'"Saya tidak mengadu apa-apa ke beliau, Bu. Tapi saya memang meminta bantuan ke Pak Gama, karena saya memang harus berhenti bekerja, orang tua saya--""Lama-lama kok aku yakin ya kalau kamu sekarang pintar cari alasan?" sinis Sofia.Bunga menggeleng, tangannya gemetar. Jelas saja dia ketakutan karena apa yang diucapkan Sofia memang benar."Saya memang ingin berhenti, Bu. Tolong jangan tahan saya," lirih Bunga."Beruntung sekali ya hidupmu. Cari pembelaan sana-s
"Aku nggak dikasih keluar sama Bu Sofia."Kedua alis Gama mengkerut. "Kok bisa?""Aku juga nggak ngerti. Aku bilang mau ngundurin diri, tapi dia bilang cuma dia yang berhak," keluh wanita itu."Kamu cari alasan apa gitu yang masuk akal, masa cuma ngurusin kayak gini nggak mampu?"Bunga menatap Gama sebal. "Aku juga udah usaha, aku udah kasih alasan yang masuk akal, tapi namanya Bu Sofia tetap nggak mau ya gimana?""Oke, nanti biar aku yang ngomong sama dia."Bunga menggeleng. "Nggak bisa, nanti kalau dia curiga gimana?""Kenapa itu terus yang kamu takutkan? Masalah itu biar aku yang atur, kamu cukup patuhi aturanku saja. Kalau kamu mau denger, maka selalu selamat hidupmu, tapi kalau tidak, maka hidupmu akan hancur dalam sekejap, ngerti?"Bunga menghela napas secara perlahan, kemudian mengangguk mengerti."Bagus, aku suka dengan wanita penurut. Jika kamu sudah menikah denganku, jadilah istri yang penurut."Bunga diam, dia hanya memperhatikan Gama pergi meninggalkannya."Sepertinya aku
"Jadi gimana? Apa kamu sudah mengambil keputusan? Kira-kira kamu pilih yang mana?""Emangnya harus banget ya kita nikah?" Bukannya menjawab, Bunga malah balik bertanya. "Nikah itu kan janji suci, bukan untuk main-main. Sementara kamu dan Bu Sofia masih suami-istri. Kalau Bu--""Aku cuma minta kamu pilih yang mana, bukan ngurusin yang lain. Kamu nggak perlu ikut campur rumah tanggaku dengan Sofia, paham?!" bentak Gama.Bunga mengangguk, dia ketakutan."Sekarang aku butuh jawabanmu.""Aku--""Dan aku nggak mau dengar kata tidak," sela Gama cepat.Bunga mengatupkan bibirnya dengan rapat. Sepertinya Gama membaca isi pikiran Bunga."Jadi gimana?"'Apa aku masih berhak menjawab? Bukannya tadi dia bilang aku nggak boleh jawab tidak? Dasar manusia sombong!' decih Bunga dalam hati."Aku--""Kita akan menikah secepatnya. Ya, itu lebih cepat lebih baik. Baiklah, kamu tunggu kabar baik dariku, kamu cukup duduk manis dan patuhi perintahku, paham?"Bunga menghela napas berat, dia hanya bisa memand
Bunga menggeleng cepat. "Sa--saya tidak tahu orang itu, Bu," katanya gugup."Kamu yakin?" Mata Sofia memicing. "Tapi ... Mas Gama sendiri loh yang ngomong kalau kamu tahu orangnya seperti apa, bahkan kalian sempat ngobrol, malah kata suamiku kalian akrab banget. Kamu nggak menusukku dari belakang, kan, Bunga?""Saya beneran nggak tahu, Bu. Saya malah bingung kenapa Pak Gama bicara seperti itu, padahal pernah bertemu sama orang itu aja tidak pernah," sangkalnya.Sofia diam, dia mengamati gerak-gerik Bunga yang terlihat tenang. Sialnya dia tidak bisa membaca pikiran orang lain.'Jadi siapa yang benar? Mas Gama atau Bunga? Kenapa diantara mereka berdua seperti berbicara dengan sungguh-sungguh? Dan yang bohong sebenarnya siapa?' Sofia bertanya-tanya dalam hati."Saya juga tidak menusuk Ibu dari belakang." Bunga menelan salivanya dengan susah payah. Lidah ini benar-benar sudah lihai untuk berdusta."Terus kenapa sampai saat ini kamu belum membuktikan kalau Mas Gama ada main belakang sama p
Bunga frustrasi, semakin ke sini Gama tampak terang-terangan menunjukkan gelagat di depan Sofia.Dan Sialnya sepertinya Sofia sudah mulai curiga pada mereka, setidaknya itulah yang Bunga pikirkan."Jangan terang-terangan kayak gini," tegur Bunga, karena Gama tampak mendekat dan menepuk bokongnya."Kenapa? Takut?" tanya Gama remeh. Pria itu mengambil air minum di kulkas lalu menandasnya sampai air sisa setengah.'Pake ditanya lagi, jelas aja iya,' gerutu Bunga dalam hati. Sayangnya dia tidak berani berucap dengan lantang, karena takut akan menyinggung Gama."Bukannya aku udah memberimu dua pilihan? Dan sayangnya kamu malah memilih opsi yang kedua, yaitu terima konsekuensinya. Jadi, hari ini aku akan memutuskan untuk memberitahu Sofia tentang masalah kita." Gama mengedipkan sebelah mata."Jangan gila!" Tiba-tiba suara Bunga meninggi."No! Siapa yang gila? Kamulah yang memilihnya."'Arggghhh! Gama sialan! Gama berengsek!' umpat Bunga dalam hati."Beri aku waktu untuk menjawab ulang, tapi
"Aku punya dua pilihan untukmu, dan aku harap kamu mau memilih salah satunya.""Apa itu?" tanya Bunga penasaran."Sebenarnya mudah kalau kamu paham."Bunga mengernyit heran. Ucapan Gama agak sulit untuk dicerna, apa pria itu akan memberikan pilihan yang sulit?"Bisa diperjelas maksudnya apa?" tanya Bunga tak sabaran."Kita akan menikah."Mulut Bunga menganga lebar, syok, pandangannya beralih ke sana-sini lalu pipinya ditepuk-tepuk berkali-kali. Takut kalau dia sedang halusinasi, kenyataannya tidak."Aku nggak salah dengar, kan?" Bunga terus menggeleng, dia berasumsi kalau sedang bermimpi."Menurutmu?""Atas dasar apa mengajakku menikah? Bukannya aku ini statusnya kerja yang digaji dapat uang? Kenapa--""Intinya kamu mau apa tidak?"Bunga menggeleng cepat. "Nggak!" katanya tegas."Alasannya?" Gama menaikkan dagu, sifat songongnya pun muncul, merasa tertantang karena baru saja ditolak secara mentah-mentah."Banyak. Banyak banget. Kamu itu suami orang, kamu itu orang kaya, kamu itu orang
"Sebenarnya aku sudah pasang beberapa cctv, bahkan suamiku juga tahu. Sesekali kami mengeceknya. Ini ide suamiku, awal nikah dia nggak percaya sama aku, dan ya ... sampai sekarang dia pun masih nggak percaya. Makanya cctv itu masih berjalan, dan sekarang aku menambah lagi di area tertentu, sesuai keinginan kalian. Nyatanya apa? Sedingin-dinginnya suamiku, dia tetap nggak tertarik sama perempuan lain, meskipun perempuan itu cantik sekalipun."Usai Sofia berkata seperti itu, tatapan dari teman-temannya tampak berbeda-beda."Ish! Jangan terlalu percaya deh sama laki-laki, mungkin sekarang dia begitu, tapi siapa tahu ke depannya berubah? Apalagi sampai saat ini kalian masih belum berdamai, kan?" semprot Sasya."Iya, kenapa sih kalian nggak coba bicara pake kepala dingin gitu? Iya, kami semua juga tahu kalau kalian dijodohin. Banyak loh teman kita yang awalnya dijodohin tapi ujung-ujungnya saling mencintai, bahkan udah punya anak banyak. Lah kamu gimana kabarnya? Udah hampir tujuh bulan, k
Gama tampak manggut-manggut ketika melihat kedatangan Bunga."Bagus, jam berapa ini? Kenapa baru sampai rumah?" sindir pria itu.Bunga sengaja menulikan telinga, dia melewati Gama begitu saja, sialnya Gama langsung menyentak tangan Bunga."Dengar nggak aku ngomong? Apa akhir-akhir ini aku terlalu baik sama kamu, terlalu membebaskan kamu, makanya kamu sudah mulai berani sama aku, huh!" bentak Gama.Bunga meringis kesakitan, kendati demikian Gama tak melepaskan cekalan tangannya."Bukannya sudah kubilang? Jangan terlalu dekat temanmu itu, lihat sendiri hasilnya, kamu sekarang udah mulai membangkang. Sadar diri, kamu itu di sini siapa, kamu itu pekerja yang seharusnya selalu menurut apa kata bos kamu. Kamu di sini dituntut untuk disiplin, kan? Kenapa ucapanku kamu abaikan?"Benar, Bunga kembali membuat kesalahan yang dilakukan berkali-kali. Dia memang sadar diri, tapi kenapa selalu melakukannya? Dan lagi-lagi karena bertemu dengan Ayu.Apa memutuskan berteman dengan Ayu keputusan yang sa
"Ehem."Baik Ayu maupun Bunga tersentak, mereka langsung menoleh ke arah sumber suara.Awalnya Ayu tercengang, tapi setelah dia ingat siapa pria itu, barulah memasang wajah tak ramah."Ngapain lama-lama di sini?""Aku ketemu sama teman, ngobrol," jawab Bunga acuh.Gama melirik jam yang ada di tangannya, lalu mendesah berat."Udah dua jam kamu ada di sini, nanti kalau Sofia cari kamu gimana?""Bu Sofia tadi pergi sama teman-temannya, dia bilang pulangnya malam," sahut Bunga lagi.Gama tampak manggut-manggut, dia menatap wanita rahasianya yang sudah mulai berani padanya, lalu pandangannya beralih ke arah Ayu yang sedari tadi memperhatikannya.Gama menduga kalau keberanian Bunga pasti asal muasalnya dari Ayu, entah mengapa dari awal Gama tidak suka dengan Ayu, menurutnya wanita itu membawa pergaulan buruk, apalagi dilihat dari pekerjaannya yang tidak beres."Oke, aku tunggu di rumah. Jangan sampai telat kalau kamu nggak mau menanggung akibatnya," ancam pria itu.Belum sempat Bunga menjaw