Share

Jadi Seperti Ini Pekerjaanmu?

"Bunga!"

Kepala Bunga tertoleh ke belakang, dia mengerutkan kening karena ada seseorang yang melambaikan tangannya.

Seorang wanita dengan pakaian seksi. Apakah Bunga mengenalnya?

'Siapa ya?'

"Astaga! Jadi ini beneran kamu, aku pikir tadi salah orang."

Bunga masih terdiam, mengingat-ingat siapa sosok di depannya ini.

"Maaf, kalau boleh tahu kamu siapa ya? Apa kita saling mengenal?" tanyanya hati-hati.

Wanita itu menepuk pundak Bunga seraya histeris. "Serius kamu nggak kenal aku? Ini aku Ayu, Bunga. Teman kamu! Astaga, kenapa cepat sekali lupa sama aku." Wanita itu menggerutu.

"Ayu?" Bunga menatap penampilan temannya dari atas sampai bawah.

Cara berpakaiannya ... sangat beda sekali. Waktu di desa, Ayu selalu berpakaian dengan sopan, bahkan Bunga tak pernah sekali pun melihat Ayu berpakaian pendek. Tapi sekarang apa yang dia lihat? Kenapa Ayu berbeda, seperti yang bukan Bunga kenal.

"Ini beneran kamu?" tanyanya sekali lagi.

"Iya, ini aku. Kenapa kamu kaget gitu, ada yang salah?"

'Apa dia nggak nyadar kalau dia jauh berbeda? Sebenarnya apa yang membuatnya seperti ini?' batin Bunga, bertanya-tanya.

Ingin menanyakan langsung, tapi Bunga sungkan, selain itu dia juga takut kalau nanti Ayu tersinggung.

"O-oh, hai ... apa kabar, Ayu?" Bunga tertawa terkesan dipaksakan. "Aku nggak tahu kalau kamu juga kerja di kota, kalau tahu pasti aku samperin kamu. Sekarang tinggal di mana?"

"Aku ngekos, kamu sendiri di mana?"

Meskipun penampilan Ayu jauh berbeda, sikapnya tetap ramah.

"Aku ... tinggal di rumah majikan."

Ayu manggut-manggut. "ART ya?"

"Ya ... begitulah. Kalau kamu sekarang kerja di mana?" tanya Bunga penasaran.

"Di sini."

Bunga baru menyadari satu hal, kalau saat ini dia sedang berada di depan hotel, karena Gama yang menyuruhnya untuk datang ke tempat itu. Sementara yang menjadi pertanyaan Bunga, apakah Ayu bekerja di sini? Namun, mengapa pakaiannya begitu terbuka?

"Kamu kerja di hotel? Wah, keren banget."

Ayu tersenyum aneh, seperti tidak suka dengan pujian Bunga.

"Ini bukan seperti yang kamu kira, tapi ... aku harap kamu jangan ceritakan ke siapa pun ya tentang pekerjaanku, terutama kedua orang tuaku."

Kening Bunga mengerut heran. "Loh kenapa? Harusnya bangga dong bisa kerja di hotel, pasti gajinya besar, iya, kan? Terus kenapa jangan sampai ada yang tahu?"

"Karena pekerjaanku tidak seperti yang kamu kira, Bunga. Kamu sendiri ngapain di sini?" tanya Ayu mengalihkan pembicaraan.

"Aku ...." Tenggorokan Bunga terasa tercekat, dia bingung menjelaskan dengan pekerjaannya. "Lagi ada perlu sama teman, dia memintaku untuk datang menemuinya di sini."

Ayu menatap Bunga sanksi, seperti ingin mengatakan sesuatu namun ponselnya tiba-tiba berdering.

"Oke, lima menit lagi aku sampai, ini udah ada di depan. Ditunggu aja, nggak bakal lama, oke? Bye, muaacchhh."

Mata Bunga mengerjap secara perlahan. Seolah-olah bertanya dalam hati.

'Ini serius Ayu yang aku kenal? Yang dulu begitu pendiam tapi kenapa sekarang berubah jadi begini?'

"Oke, Bunga. Sayang banget ya, padahal aku masih ingin banyak ngobrol sama kamu, tapi sayangnya partnerku udah nunggu dari tadi, nggak enak kalau biarin dia nunggu aku kelamaan. Lain kali kita ketemu lagi ya, oh iya nomor kamu masih yang dulu itu, kan?"

Bunga mengangguk. "Iya masih yang dulu."

"Oke, sampai ketemu lain kali, bye-bye, Bunga."

Bunga kembali menatap punggung Ayu yang semakin menjauh dari pandangannya. Menerka-nerka kira-kira pekerjaan apa yang saat ini Ayu lakoni. Apakah sama seperti yang dia ... lakukan?

Bunga menggeleng kuat. Tidak, dia tidak boleh berpikir buruk tentang temannya.

Bunga pun kembali berjalan, tujuannya mencari kamar nomor 009, takut Gama akan marah padanya karena datang terlambat.

***

"Apakah kita akan bertemu secara diam-diam seperti ini terus, Pak?" tanya Bunga pelan.

Seperti biasa, Bunga berani berbicara ketika mereka selesai melakukan ranjang.

"Pak?" Gama menatap Bunga dingin. "Biasakan kalau hanya kita berdua, hilangkan sebutan itu."

"Pertanyaan tadi belum dijawab." Bunga kembali menyela.

"Kalau kamu mau, kita akan melakukannya di rumah."

Mata Bunga melotot. Yang benar saja? Kalau sampai hal itu terjadi, jelas saja mereka ketahuan.

"Jangan!" sergah Bunga, membuat Gama menghela napas.

"Seperti yang sudah kita sepakati, ikuti saja aturanku, tugasmu hanya menurut."

Gama memakai jasnya kembali, sepertinya pria itu ingin lanjut bekerja.

"Pulanglah, aku tidak ingin Sofia mengomel lagi seperti kemarin."

"Baik." Bunga bersiap pergi tapi kembali dipanggil oleh Gama.

"Tunggu, ini untukmu. Kalau kamu membutuhkan sesuatu pakailah, kodenya nanti aku kirim lewat ponsel," ujar Gama seraya menyodorkan black card pada Bunga.

Bunga tercengang, untuk apa Gama melakukannya? Bukankah ini tidak ada di dalam perjanjian mereka?

"Untuk apa, Pak? Bukankah Anda--"

"Pak lagi?"

"Maaf." Bunga kembali menunduk.

"Panggil namaku kalau kita sedang berdua, dan bicaralah dengan nada santai."

'Bagaimana bisa, sedangkan Anda saja saat ini majikan saya,' gerutu Bunga dalam hati.

"I-iya. Untuk Apa Anda--maksudnya buat apa kasih ini ke aku, bukankah pekerjaanku digaji setiap bulannya?"

"Anggap aja ini bonus karena kamu sudah bekerja dengan baik. Ambillah." Gama memberi kode agar Bunga segera mengambil kartu itu.

Bunga pun mengambilnya. "Terima kasih," ujarnya sungkan. "Apa boleh aku memakai uangnya untuk mengirim ke ibuku?"

"Pakailah, itu sudah jadi hakmu sekarang. Langsung pulang, jangan ngeluyur lagi kalau tidak ingin terkena marah lagi oleh Sofia. Wanita itu dari dulu memang tidak mau menghargai orang lain selain dirinya sendiri, aku sungguh muak mendengar ocehannya setiap hari." Tanpa sadar Gama mengeluarkan unek-uneknya.

'Tapi biar gitu-gitu juga istrimu, kenapa kamu menjelekkannya di belakang dia? cibir Bunga dalam hati.

"Terima kasih." Lagi, Bunga mengatakan itu membuat Gama berdecak kesal.

Dia sudah terlalu sering mendengar kata itu dari orang lain, jadi merasakan biasa saja. Berbeda dengan Bunga yang sangat bersyukur karena pada akhirnya bisa memberi uang pada ibunya.

'Semoga setelah aku kirim uang, Ibu nggak neror aku lagi.'

Kini tinggal Bunga sendiri berada di kamar hotel itu, setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, barulah dia memutuskan untuk pergi.

"Bunga!"

Bunga melirik ke samping, matanya membulat karena melihat Ayu lagi. Posisinya sama seperti dia, Ayu sedang menutup pintu kamar hotel tersebut. Lebih parahnya lagi kamar mereka bersebelahan.

"Kamu ...." Kalimat Bunga menggantung, dia menatap Ayu lekat. "Habis kerja ya?"

Ayu tak menjawab, dia hanya tersenyum tipis. Berjalan mendekat ke arah Bunga yang tampak mematung.

"Jadi seperti ini pekerjaan kamu?"

Bunga tampak pias, dan gelagat Bunga menimbulkan kecurigaan Ayu.

"Tadi sebelum aku melihat kamu, ada seorang pria yang keluar dari kamar ini terlebih dahulu. Aku nggak nyangka sih kalau dia ada di kamar yang sama dengan kamu. Aku pikir tadi salah lihat, atau cuma halusinasi. Untuk memastikan penglihatanku benar apa nggak aku sampe ngucek-ngucek mataku beberapa kali, dan ternyata nggak ada yang salah. Yang aku lihat memang benar kamu, Bunga."

Tanpa sadar Bunga meremas kedua tangannya, perasaannya campur aduk.

'Aduh, bagaimana ini? Kalau dia sampai cerita ke orang tuaku gimana?'

"Bunga, kenapa kamu diam aja? Kamu nggak mau jelasin sama aku? Kita ini temenan loh," bujuk Ayu.

"A--aku ...." Bunga benar-benar gugup. "Aku ... aku ...."

"Kayaknya dugaanku benar deh. Apa selama ini kamu bekerja seperti ini di kota? Jadi, ucapanmu sebagai ART tadi nggak benar?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status