Ucapan Gama mengejutkan Bunga. Mata wanita itu membola tidak percaya.
Apakah pemikiran orang kaya memang seperti ini? Tidak bisa diprediksi, egois, dan menyakitkan hati?
Bunga tidak langsung menjawab. Ia kembali menunduk, lalu dengan suara pelan berucap, “Mohon maaf, Tuan. Saya harus membersihkan kamar tamu sesuai instruksi Nyonya Sofia tadi. Permisi.”
Bohong. Ia sudah melakukan tugas itu tadi. Namun, Bunga memang harus pergi dari hadapan Gama secepatnya sebelum ia menangis di tempat.
***
"Maaf, bukannya aku nggak mau bantu kamu, tapi kamu tahu sendiri perjanjian sebelum kerja di sini, kan?”
Bunga menunduk dalam-dalam saat Sofia berkata demikian. Ia baru saja memberanikan diri dan menyempatkan untuk berbicara dengan Sofia soal pinjaman gaji, lantaran ibunya terus menerus menelepon dan mengiriminya pesan.
Oleh karena itu, saat sekiranya suasana hati Sofia tampak cukup baik, Bunga mengutarakan maksudnya.
Hanya untuk mendapatkan penolakan.
“Aku sudah bilang di awal kalau aku akan menaikkan gaji kamu secara bertahap, tergantung bagaimana rajinnya kamu bekerja dan juga patuhnya kamu pada peraturan yang aku buat,” lanjut Sofia kemudian, yang didengarkan Bunga adalam diam. “Kamu kerja belum ada satu bulan, baru 23 hari, tapi udah berani minjam lebih dari gaji kamu.”
Sofia mendengus. “Kamu cari deh sana perusahaan mana yang dengan baik hati mau kasih kamu pinjam segitu. Nggak ada, Bunga, nggak ada. Kalaupun ada pasti nunggu kamu kerja udah satu tahun."
Bunga menggigit bibir bawahnya. Memang dirinya yang salah, sudah lancang beraninya meminjam uang sebanyak tiga kali gaji.
Tapi ia terdesak. Bunga merasa frustrasi karena tekanan sana-sini.
"Kamu dengar ucapanku 'kan, Bunga?"
Bunga tersentak, kemudian dia mengangguk pelan.
"Iya, Bu. Saya mengerti, saya juga minta maaf karena--"
"Sudahlah. Lebih baik kamu lanjut kerja saja lagi. Itupun kalau kamu masih mau kerja di sini.” Sofia memotong dengan dingin.
Bunga mengangguk.
"Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi." Wanita dari kampung itu berucap dengan lirih.
“Tunggu.” Tepat sebelum Bunga bangkit berdiri, Sofia menahan Bunga. “Ada yang ingin kutanyakan padamu.”
“Ya, Bu?” Bunga menatap sang majikan.
“Apakah malam itu, saat aku tidak ada di rumah, ada wanita lain yang datang?” tanya Sofia. “Aku curiga suamiku sedang bermain api di belakangku.”
Tiba-tiba tubuh Bunga menegang. “Wanita?” beonya, kemudian menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang. “Sa-saya tidak lihat, Bu.”
Sofia mengamati ekspresi Bunga selama beberapa saat sebelum kemudian mengibaskan tangannya.
“Baiklah, kamu bisa pergi,” ucap Sofia kemudian, membuat Bunga langsung berbalik.
Tuhan, tolong maafkan hambamu.
***
"Kalau kamu butuh uang kenapa tawaranku waktu itu kamu tolak?"
"Astaga!"
Bunga terlonjak kaget, ponselnya yang tadi dia pegang terjun bebas ke lantai.
Ia baru saja mengaduk-aduk kontak dalam ponselnya, untuk melihat siapa orang yang bisa ia mintai bantuan finansial ketika tiba-tiba Gama masuk ke dalam dapur.
Bagaimana pria itu tahu? Apakah Sofia memberitahunya?
Tapi bukankah hubungan mereka sedang tidak baik?
"A–Anda sedang apa di sini?" tanya Bunga kemudian dengan gugup.
Gama menjaga jarak dari Bunga dan bersandar pada meja dapur, menatap wanita polos tersebut.
"Aku dari tadi memanggilmu tapi kamu sama sekali tidak menyahut,” ucap Gema dengan suara tenangnya. “Aku ingin kopi."
"O-oh, baik, Pak. Akan saya buatkan," ujar Bunga dengan suara terbata.
Bunga buru-buru menghindar dari tatapan pria itu, tangannya mendadak gemetar karena merasa terus ditatap oleh Gama.
"Kamu sepertinya sedang kesulitan uang."
Bunga tak mengiakan ataupun membantah itu, dia hanya fokus membuatkan suami majikannya kopi.
"Kalau Sofia memberikan kamu gaji yang begitu kecil, kenapa tawaranku kemarin kamu abaikan?" tanya pria itu lagi.
Bunga membalikkan badannya, dia mendekat ke arah Gama seraya tersenyum kaku.
"Silakan diminum, Pak.” Bunga meletakkan kopinya di atas meja. “Saya izin ke kamar dulu, harus menghubungi keluarga. Kalau Anda butuh sesuatu langsung panggil saya."
Bunga kembali beralasan.
Namun, baru siap melangkah, tiba-tiba saja tangan Bunga langsung dicekal.
"Dari tadi pertanyaanku kenapa tidak dijawab? Apa kamu sengaja?” Suara Gama mendadak terdengar rendah. “Aku tidak suka diabaikan!"
Bunga tampak tidak nyaman. "Jangan seperti ini, Pak. Kalau Bu Sofia melihat bisa bahaya."
"Kalau begitu, jawab.” Gama memerintahkan. “Kamu lagi butuh uang, kan? Tawaranku yang waktu itu masih berlaku."
Bunga terdiam cukup lama, dia benar-benar dilema.
Ia butuh uang–saat ini benar-benar kesulitan. Namun, menerima tawaran Gama berarti–
"Apa uang sepuluh juta kurang untukmu? Kalau iya aku bisa tambahkan.” Gama kembali berujar. “Sebut saja berapa yang kamu minta. Asalkan kamu menurut.”
Apakah pria ini memang minus moral? Bunga berpikir. Tapi jika ia mengiakannya, maka ia berarti juga–
Bunga menggigit bibir. Ia hanya bisa menyuarakan rasa dongkolnya dalam hati.
Seandainya saja Bunga bisa langsung memprotes Gama secara langsung. Sayangnya tidak bisa, dia terlalu takut. Takut kalau dia akan diusir dari sini.
"Bagaimana?" tanya Gama lagi.
Bunga menelan salivanya dengan susah payah. "Memangnya Anda mau kasih berapa, Tuan?"
Ah, sial memang. Otak sama hati Bunga tidak sejalan. Di satu sisi dia sangat menolak tawaran itu, tapi di sisi lain kalau dia tidak ambil tawaran itu harus dapat duit dari mana?
Kepalanya sudah mau meledak karena teror ibunya.
Gama menyeringai, tampak puas saat menyaksikan Bunga goyah seperti ini.
"Kamu butuhnya berapa?” Pria itu balik bertanya. “Lima belas? Dua puluh? Dua puluh lima? Sebut saja."
Mulut Bunga menganga, tidak percaya dengan angka yang baru saja disebutkan oleh majikannya.
"Ma-maksudnya,” bisik wanita itu. “Dua puluh lima … juta, Tuan?”
“Rupanya kamu menghargai dirimu mahal juga ya.” Gama justru berkomentar. “Oke, aku akan memberimu dua puluh lima juta per bulan.”
Bunga mengernyit. “Maaf, maksudnya, Pak?”
Bukankah ia hanya meminta kompensasi atas perlakuan Gama padanya malam itu? Kenapa pria itu mau memberinya uang per bulan?
“Mulai saat ini, kamu adalah wanitaku.”
"Mu--mungkin Anda salah paham, Pak.” Bunga buru-buru berkata. Suaranya pelan. “Maksud saya, bukankah waktu itu Anda menawarkan sejumlah uang sebagai bentuk tanggung jawab? Saya mengiakan tentang itu, bukan yang lain." Gama tertawa pelan, membuat Bunga langsung mendongak."Justru kamulah yang salah paham, Bunga.” Pria itu berujar. “Dari awal aku memang menawarkan jadi simpananku. Mungkin kamu sedang banyak pikiran, makanya tidak fokus. Bukan, begitu?"Bunga menggeleng. Tidak. Ia memang sedang banyak pikiran, tapi tidak mungkin Bunga salah paham soal ini."Kalau begitu, saya menolak, Pak.” Bunga berusaha berkata dengan tegas, sekalipun ia terintimidasi oleh majikannya. “Bukannya Anda sudah punya istri? Kenapa harus menawarkan hal gila pada saya? Apa satu perempuan tidak cukup untuk Anda?"Hening. Baru kemudian Bunga menyadari kalau dia kelepasan bicara.Ekspresi Gama tampak gelap saat ia berkata, "Kalau kamu tidak tahu tentang kehidupanku, sebaiknya kamu tutup mulut."Bunga langsung m
"Kenapa wajahmu tampak pucat begitu, Bunga? Apa terjadi sesuatu?" tanya Sofia penasaran."E--enggak kok, Bu. Enggak ada.""Memangnya pesan dari siapa?"Baru kali ini Sofia kepo dengan permasalahan orang lain. Biasanya dia tampak cuek. Terlalu malas ikut campur kehidupan orang. Namun, untuk kali ini berbeda, apalagi melihat wajah Bunga yang tampak syok. Jiwa penasaran Sofia meronta-ronta.'Dari suami Anda yang gila itu.' Bunga hanya berani menjawab dalam hati."Biasa, Bu. Pesan dari Ibu saya."Sofia tampak manggut-manggut. "Dia minta uang lagi ke kamu?"Bunga terkejut, mengapa Sofia bisa tahu kalau akhir-akhir ini dirinya selalu didesak perihal uang?"Aku tahu, kemarin kamu nekat pinjam uang juga pasti karena ibumu, kan?"Bunga tanpa sadar mengangguk. "Benar, Bu."Sofia menghela napas berat. "Jadi ini yang membuatmu berdiri di depan kamarku? Kamu ingin membahas ini lagi?"Bunga menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa. Kalau tadi dia begitu menggebu-gebu ingin mengatakan ya
"Aku menerimanya.""Bagus. Itulah jawaban yang aku inginkan."Tak lama setelah itu panggilan terputus. Bunga menghela napas, entah jawaban itu benar atau tidak menurutnya."Maaf, Bu. Aku cari uang dengan cara yang seperti ini. Aku tidak menyalahkanmu, tapi kondisilah yang membuatku seperti ini. Menjadi orang ketiga di pernikahan orang lain."Keesokan harinya Bunga meminta izin untuk keluar rumah oleh Sofia, dengan dalih ingin bertemu teman, padahal itu adalah suruhan Gama.Ya, Gama menginginkan mereka bertemu untuk membahas tentang pekerjaan yang akan Bunga lakukan. Walaupun sebenarnya Bunga sudah tahu."Pergilah, tapi aku minta jangan lama-lama. Selain tugasmu untuk bersih-bersih, kamu juga harus jaga rumah. Nggak lupa, kan, kemarin aku menyuruhmu apa? Awasi suamiku! Siapa tahu kalau aku pergi dia akan membawa wanita lain pulang."Kepala Bunga tertunduk, setiap kali Sofia membahas tentang 'wanita itu' dia menjadi bersalah. Bagaimana mungkin Sofia mempercayakannya sedangkan sebenarnya
"Bunga!"Kepala Bunga tertoleh ke belakang, dia mengerutkan kening karena ada seseorang yang melambaikan tangannya.Seorang wanita dengan pakaian seksi. Apakah Bunga mengenalnya?'Siapa ya?'"Astaga! Jadi ini beneran kamu, aku pikir tadi salah orang."Bunga masih terdiam, mengingat-ingat siapa sosok di depannya ini."Maaf, kalau boleh tahu kamu siapa ya? Apa kita saling mengenal?" tanyanya hati-hati.Wanita itu menepuk pundak Bunga seraya histeris. "Serius kamu nggak kenal aku? Ini aku Ayu, Bunga. Teman kamu! Astaga, kenapa cepat sekali lupa sama aku." Wanita itu menggerutu."Ayu?" Bunga menatap penampilan temannya dari atas sampai bawah.Cara berpakaiannya ... sangat beda sekali. Waktu di desa, Ayu selalu berpakaian dengan sopan, bahkan Bunga tak pernah sekali pun melihat Ayu berpakaian pendek. Tapi sekarang apa yang dia lihat? Kenapa Ayu berbeda, seperti yang bukan Bunga kenal."Ini beneran kamu?" tanyanya sekali lagi."Iya, ini aku. Kenapa kamu kaget gitu, ada yang salah?"'Apa dia
"Kenapa, Bunga?"Bunga yang tadinya berniat pulang, harus dia urungkan karena terus didesak oleh Ayu.Dan di sinilah mereka berada di sebuah kafe tak jauh dari hotel yang sempat mereka singgahi untuk melakukan sesuatu."Kenapa apanya?" tanya Bunga pura-pura tak paham."Ayolah, dari tadi aku tanya kamu, kamunya selalu aja diam terus. Kenapa? Kamu malu sama aku?"Bunga menggeleng. "Nggak tuh, aku cuma bingung aja jelasinnya ke kamu, takutnya kamu salah paham. Tapi kalau dilihat dari raut wajah kamu memang salah paham beneran ya," lirihnya."Maksudnya?""Pasti kamu mikir yang nggak-nggak, kan?" tanya Bunga.Ayu menatap Bunga heran. "Loh, gimana nggak? Posisinya ada laki-laki yang keluar dari kamar terus disusul sama kamu, gimana nggak mikir aneh? Malah kayaknya tebakanku benar.""Ini bukan seperti yang kamu bayangkan, Ayu."'Pokoknya Ayu nggak boleh tahu pekerjaan aku yang sesungguhnya. Jangan sampai dia cerita masalah ini di desa.'Ayu dan Bunga memang berteman cukup lama, tapi untuk ha
Tok ... Tok ... Tok ...Bunga mengernyit heran, tengah malam begini siapa yang mengetuk pintu kamarnya?Karena orang itu tak bersuara, akhirnya Bunga memutuskan tidak membuka pintu. Takut saja siapa tahu itu maling, misalnya?"Buka pintunya, cepat!"Bunga tersentak, dia yakin suara itu suara Gama. Tapi ... untuk apa pria itu malam-malam datang ke kamarnya?"Iya sebentar!" Gegas Bunga turun dari ranjang.Bunga terkesiap, usai dia membuka pintu, tiba-tiba saja Gama mendorong tubuhnya ke dinding. Tak lupa juga pria itu menutup pintu lalu menguncinya."Ada ap--""Sssttt! Diamlah, di luar ada Sofia yang tengah mencariku," bisiknya di telinga Bunga, membuat wanita itu meremang.Baru saja Gama selesai berbicara, tiba-tiba suara Sofia terdengar."Mas, kamu di mana?"Baik Bunga maupun Gama sama-sama terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain. Lagi, suara Sofia kembali menggema, membuat Gama mendengkus keras."Sekarang kamu keluar, berpura-pura menanyakan pada Sofia apa yang terjadi," titah
"Akhir-akhir ini kamu sering banget izin keluar rumah, kenapa?" "Ada yang harus saya cari, Bu. Kebetulan ada barang yang harus saya beli," dusta Bunga."Sesering itu? Kali ini kamu minta izin untuk apa lagi? Alasan keperluan kamu habis lagi?"Bunga meremas kedua tangannya seraya menggeleng. "Bukan, Bu. Teman saya mengajak ketemu."Untuk kali ini Bunga jujur, dia meminta izin keluar karena memang Ayu meminta bertemu, bukan karena Gama."Teman atau pacar?" sindir Sofia. "Bukannya waktu itu kamu juga pernah izin terus pulangnya ada cupang di leher kamu?"Ditatap begitu rendah oleh Sofia membuat perasaannya sedih, tapi dia juga tidak bisa mengelak karena ucapan majikannya memang benar."Teman, Bu."Sofia tampak manggut-manggut. "Lagian aku nggak peduli juga sih kamu mau ke mana. Ingat ya pulang tepat waktu, kamu itu harus sadar diri, di sini kamu itu cuma pembantu, jadi nggak boleh pulang pergi seenaknya.""Baik, Bu. Saya janji tidak akan pulang terlambat."Bunga menatap kepergian Sofia
Hamil? Mana mungkin?Meskipun Bunga ragu tetap saja dia cemas. Selama ini dia jarang menstruasi, bisa dibilang tiga atau empat bulan sekali, dan kata orang kalau seperti itu bakal susah hamil.Meskipun belum tahu kebenarannya, Bunga tetap percaya karena beberapa temannya memang mengalami hal yang sama. Ada salah satu temannya yang sudah menikah, sampai detik ini belum juga dikaruniai anak.'Ah, mana mungkin,' batin wanita itu."Kenapa dari tadi melamun terus?" tanya Ayu dengan kening mengerut.Bunga menghela napas. "Nggak ada, cuma lagi bingung aja.""Masalah orang tua kamu? Bukannya kamu udah kirim uang ke mereka?"Bunga mengangguk pelan."Kalau kamu mikirin mereka terus, kapan kamu bisa bahagianya, Bunga? Kamu juga perlu pikirin diri kamu sendiri. Emangnya kamu nggak pengen nikah?"Mendengar kata menikah, Bunga tertawa hambar.'Menikah? Siapa yang mau nikah sama gadis kotor kayak aku? Nggak ada! Yang ada malah mereka pasti jijik,' decak wanita itu dalam hati."Masih belum kepikiran