"Kenapa wajahmu tampak pucat begitu, Bunga? Apa terjadi sesuatu?" tanya Sofia penasaran.
"E--enggak kok, Bu. Enggak ada." "Memangnya pesan dari siapa?" Baru kali ini Sofia kepo dengan permasalahan orang lain. Biasanya dia tampak cuek. Terlalu malas ikut campur kehidupan orang. Namun, untuk kali ini berbeda, apalagi melihat wajah Bunga yang tampak syok. Jiwa penasaran Sofia meronta-ronta. 'Dari suami Anda yang gila itu.' Bunga hanya berani menjawab dalam hati. "Biasa, Bu. Pesan dari Ibu saya." Sofia tampak manggut-manggut. "Dia minta uang lagi ke kamu?" Bunga terkejut, mengapa Sofia bisa tahu kalau akhir-akhir ini dirinya selalu didesak perihal uang? "Aku tahu, kemarin kamu nekat pinjam uang juga pasti karena ibumu, kan?" Bunga tanpa sadar mengangguk. "Benar, Bu." Sofia menghela napas berat. "Jadi ini yang membuatmu berdiri di depan kamarku? Kamu ingin membahas ini lagi?" Bunga menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa. Kalau tadi dia begitu menggebu-gebu ingin mengatakan yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan juga Gama, tapi sekarang nyalinya begitu menciut usai Gama mengirim video panas mereka. Memang kala itu Bunga dipaksa. Namun, lambat laun dia ikut menikmati juga, dan tanpa harus melihat videonya Bunga memang mengakui kalau dia sangat menikmati permainan itu. Seandainya Bunga cerita ke Sofia tentang kejadian sebenarnya, pasti Sofia itu tak akan percaya dengan adanya video itu. Karena bingung harus menjawab apa, mau tak mau Bunga mengangguk. "Sebenarnya aku kasihan sama kamu, dan di antara ART yang pernah kerja sama aku, cuma kamu yang bertahan agak lama, walau sebenarnya baru sebulan kamu di sini, tapi memang cuma kamu yang bertahan. Biasanya di antara mereka, baru lima hari udah minta berhenti. Alasannya beragam, dan lebih parahnya lagi mereka nekat menggoda suamiku. Diawal aku melihatmu, aku merasa kamu berbeda dari mereka." Bunga menahan napas ketika mendengar ucapan Sofia. Wanita itu belum tahu saja kalau sebenarnya Gama telah memperkosanya di kamar mereka. Sungguh miris, kalau Sofia tahu mungkin wanita itu akan mengamuk, atau bahkan akan membunuhnya karena sudah menampung dan memberikan pekerjaan pada orang yang salah. "Tapi ... meski kamu beda, aku tetap harus bertindak tegas. Kalau seandainya aku dikit-dikit kasihan sama kamu, nanti kamunya ngelunjak. Udah dikasih pinjam, nanti minjam lagi, minjam terus, dan akan seperti ini ke depannya. Maaf, Bunga, kalau aku ngomong agak sarkas, semoga kamu memahami maksudku." "Saya paham kok, Bu, Saya juga paham dengan maksud Ibu. Justru di sini sayalah yang malu karena dengan tidak tahu diri meminjam uang, padahal kerja juga belum lama. Saya minta maaf, Bu," lirih Bunga. Sofia menggeleng. "Justru aku yang minta maaf ke kamu, Bunga. Maaf karena untuk saat ini aku nggak bisa bantu kamu." "Tidak apa-apa, Bu." "Karena apa yang ingin kamu bahas udah selesai, kini giliran aku yang ingin ngomong sesuatu ke kamu." Ah, Bunga lupa dengan kalimat itu. Benar, bukankah tadi Sofia mengatakan ingin berbicara sesuatu padanya? "Anda ingin bicara apa, Bu?" "Jadi, seperti ini ... malam itu, waktu aku nggak pulang ke rumah, aku tahu kalau suamiku ada main gila dengan wanita lain. Pagi harinya kami bertengkar hebat karena aku menemukan noda merah di sprei tempat tidur kami. Dia ngaku kalau udah tidur sama perempuan lain, tapi dia tutup mulut kalau aku tanya siapa perempuan itu. Aku juga udah cek CCTV tapi semuanya nggak ada yang janggal. Aku juga sempat tanya kamu waktu itu, tapi kamu juga jawab nggak tahu, kan?" Mata Bunga seketika terbelalak. CCTV? Jadi di rumah ini ada CCTV? Mengapa selama ini Bunga tidak menyadarinya? Untung saja dia tidak pernah bertindak aneh-aneh, kecuali yang satu itu. Bunga menduga kalau Gama pasti mendapat video itu berasal dari sana. 'Lalu di dapur itu, apa Bu Sofia sudah mengeceknya? Ah, bagaimana ini?' Bunga semakin ketar-ketir. "Bunga, ada apa? Kenapa kamu kelihatan panik gitu?" tanya Sofia dengan ekspresi curiga. "Bukan apa-apa, Bu, saya cuma kaget aja kalau seperti itu bisa kejadian." Ugh! Sejak kapan Bunga bisa membual seperti ini, jelas-jelas wanita yang Sofia maksud adalah dirinya. Sofia mengangguk. "Bukan hanya kamu, aku juga kaget. Suami yang aku kenal, tiba-tiba saja berubah dalam satu malam. Maka dari itu, kali ini aku benar-benar meminta bantuanmu, Bunga." Kali ini Bunga merasa firasatnya tidak enak. "Tolong bantu aku untuk mencari tahu siapa wanita itu. Kalau kamu berhasil, aku akan menaikkan gajimu dua kali lipat. Gimana? Kamu tertarik, kan?" Ucapan Sofia tampak menggebu-gebu, membuat Bunga menelan salivanya dengan susah payah. *** Bunga dilanda dilema. Dihadapkan dengan dua pilihan yang sebenarnya pilihan keduanya tidak masuk akal. Di sini peran utamanya yang tengah dibicarakan adalah dia, Bunga sendiri. Jadi apa yang harus Bunga lakukan? Menerima tawaran Sofia atau menerima tawaran Gama? Memilih untuk keluar dari rumah ini juga bukan pilihan yang tepat. Kalau misalkan Bunga memang berniat pergi diam-diam, lalu biaya hidupnya di luar bagaimana? Sedangkan dia aja belum menerima gaji, yang ada nanti hidupnya akan terlunta-lunta. "Arrgghh!" Tanpa sadar Bunga berteriak karena saking frustrasinya. "Bisa gila aku kalau lama-lama kayak gini." Tak lama setelah itu ponselnya berbunyi. Bunga sengaja mengabaikan panggilan itu ketika tahu siapa yang menghubunginya. Namun, karena sipemilik nomor tak henti-hentinya terus menghubungi, mau tak mau Bunga mengangkat panggilan itu. "Ya halo, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bunga dengan nada ogah-ogahan. Bunga tak perlu berbasa-basi lagi menanyakan 'ini siapa ya?' karena memang dia sudah tahu pemilik nomor tersebut. "Kenapa mengabaikan panggilanku, huh? Bukannya aku sudah pernah mengatakan kalau aku--" "Maaf, Pak, jadi tujuan Anda menghubungi saya untuk apa?" sela Bunga cepat. "Kamu sudah memberitahu malam panas kita pada Sofia?" Benar, kan? Gama hanya ingin bermain-main padanya. "Memangnya kenapa? Apa Anda takut kalau Bu Sofia sudah tahu?" Bukannya takut, Bunga malah menantang. Mendengar tawa Gama membahana membuat sekujur tubuhnya merinding. "Apa kamu bilang? Aku takut? Bukannya malah kebalikan ya? Buktinya sampai saat ini kamu belum membicarakannya, kan?" Bunga menggeram dalam hati karena tebakan Gama benar. "Atau aku bisa saja bantu kamu, Bunga. Bukannya kamu tidak punya keberanian melakukannya?" Ah, sial! Gama semakin melunjak. "Anda jangan main-main, Pak. Kalau Anda memberitahunya, Anda sendiri yang rugi." Bunga mencoba mengingatkan Gama tentang kewarasan pria itu, sialnya jawaban Gama membuat Bunga tercengang. "Kamu salah! Justru ini yang aku inginkan. Kita hancur bersama-sama. Oh, jangan lupa satu hal, aku juga akan mengirimkan video ini pada keluargamu. Bagaimana?" Bunga memijit pelipisnya, kalau sudah membawa-bawa keluarga, dia pening luar biasa. Bisa-bisanya Gama bertindak di luar batas hanya karena ... menginginkan tubuhnya? "Anda gila! Saya tidak akan pernah mau jadi simpanan Anda!" Wanita itu mencoba berpikir positif, siapa tahu Gama hanya menggertaknya saja. Namun, mengingat bagaimana nekatnya Gama, seketika Bunga ragu. "Oke, kalau begitu aku kirim videonya sekarang." Nada bicara Gama begitu tenang namun kata-katanya menyiratkan penuh ancaman. Benar, inilah yang Bunga takutkan, Gama akan menggunakan video itu untuk menjebaknya. Sial! Wanita itu kehabisan kata-kata, bingung luar biasa. Hingga pada akhirnya dia memberikan sebuah jawaban. "Oke." "Oke bagaimana? Kamu terima tawaranku atau menolaknya?""Aku menerimanya.""Bagus. Itulah jawaban yang aku inginkan."Tak lama setelah itu panggilan terputus. Bunga menghela napas, entah jawaban itu benar atau tidak menurutnya."Maaf, Bu. Aku cari uang dengan cara yang seperti ini. Aku tidak menyalahkanmu, tapi kondisilah yang membuatku seperti ini. Menjadi orang ketiga di pernikahan orang lain."Keesokan harinya Bunga meminta izin untuk keluar rumah oleh Sofia, dengan dalih ingin bertemu teman, padahal itu adalah suruhan Gama.Ya, Gama menginginkan mereka bertemu untuk membahas tentang pekerjaan yang akan Bunga lakukan. Walaupun sebenarnya Bunga sudah tahu."Pergilah, tapi aku minta jangan lama-lama. Selain tugasmu untuk bersih-bersih, kamu juga harus jaga rumah. Nggak lupa, kan, kemarin aku menyuruhmu apa? Awasi suamiku! Siapa tahu kalau aku pergi dia akan membawa wanita lain pulang."Kepala Bunga tertunduk, setiap kali Sofia membahas tentang 'wanita itu' dia menjadi bersalah. Bagaimana mungkin Sofia mempercayakannya sedangkan sebenarnya
"Bunga!"Kepala Bunga tertoleh ke belakang, dia mengerutkan kening karena ada seseorang yang melambaikan tangannya.Seorang wanita dengan pakaian seksi. Apakah Bunga mengenalnya?'Siapa ya?'"Astaga! Jadi ini beneran kamu, aku pikir tadi salah orang."Bunga masih terdiam, mengingat-ingat siapa sosok di depannya ini."Maaf, kalau boleh tahu kamu siapa ya? Apa kita saling mengenal?" tanyanya hati-hati.Wanita itu menepuk pundak Bunga seraya histeris. "Serius kamu nggak kenal aku? Ini aku Ayu, Bunga. Teman kamu! Astaga, kenapa cepat sekali lupa sama aku." Wanita itu menggerutu."Ayu?" Bunga menatap penampilan temannya dari atas sampai bawah.Cara berpakaiannya ... sangat beda sekali. Waktu di desa, Ayu selalu berpakaian dengan sopan, bahkan Bunga tak pernah sekali pun melihat Ayu berpakaian pendek. Tapi sekarang apa yang dia lihat? Kenapa Ayu berbeda, seperti yang bukan Bunga kenal."Ini beneran kamu?" tanyanya sekali lagi."Iya, ini aku. Kenapa kamu kaget gitu, ada yang salah?"'Apa dia
"Kenapa, Bunga?"Bunga yang tadinya berniat pulang, harus dia urungkan karena terus didesak oleh Ayu.Dan di sinilah mereka berada di sebuah kafe tak jauh dari hotel yang sempat mereka singgahi untuk melakukan sesuatu."Kenapa apanya?" tanya Bunga pura-pura tak paham."Ayolah, dari tadi aku tanya kamu, kamunya selalu aja diam terus. Kenapa? Kamu malu sama aku?"Bunga menggeleng. "Nggak tuh, aku cuma bingung aja jelasinnya ke kamu, takutnya kamu salah paham. Tapi kalau dilihat dari raut wajah kamu memang salah paham beneran ya," lirihnya."Maksudnya?""Pasti kamu mikir yang nggak-nggak, kan?" tanya Bunga.Ayu menatap Bunga heran. "Loh, gimana nggak? Posisinya ada laki-laki yang keluar dari kamar terus disusul sama kamu, gimana nggak mikir aneh? Malah kayaknya tebakanku benar.""Ini bukan seperti yang kamu bayangkan, Ayu."'Pokoknya Ayu nggak boleh tahu pekerjaan aku yang sesungguhnya. Jangan sampai dia cerita masalah ini di desa.'Ayu dan Bunga memang berteman cukup lama, tapi untuk ha
Tok ... Tok ... Tok ...Bunga mengernyit heran, tengah malam begini siapa yang mengetuk pintu kamarnya?Karena orang itu tak bersuara, akhirnya Bunga memutuskan tidak membuka pintu. Takut saja siapa tahu itu maling, misalnya?"Buka pintunya, cepat!"Bunga tersentak, dia yakin suara itu suara Gama. Tapi ... untuk apa pria itu malam-malam datang ke kamarnya?"Iya sebentar!" Gegas Bunga turun dari ranjang.Bunga terkesiap, usai dia membuka pintu, tiba-tiba saja Gama mendorong tubuhnya ke dinding. Tak lupa juga pria itu menutup pintu lalu menguncinya."Ada ap--""Sssttt! Diamlah, di luar ada Sofia yang tengah mencariku," bisiknya di telinga Bunga, membuat wanita itu meremang.Baru saja Gama selesai berbicara, tiba-tiba suara Sofia terdengar."Mas, kamu di mana?"Baik Bunga maupun Gama sama-sama terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain. Lagi, suara Sofia kembali menggema, membuat Gama mendengkus keras."Sekarang kamu keluar, berpura-pura menanyakan pada Sofia apa yang terjadi," titah
"Akhir-akhir ini kamu sering banget izin keluar rumah, kenapa?" "Ada yang harus saya cari, Bu. Kebetulan ada barang yang harus saya beli," dusta Bunga."Sesering itu? Kali ini kamu minta izin untuk apa lagi? Alasan keperluan kamu habis lagi?"Bunga meremas kedua tangannya seraya menggeleng. "Bukan, Bu. Teman saya mengajak ketemu."Untuk kali ini Bunga jujur, dia meminta izin keluar karena memang Ayu meminta bertemu, bukan karena Gama."Teman atau pacar?" sindir Sofia. "Bukannya waktu itu kamu juga pernah izin terus pulangnya ada cupang di leher kamu?"Ditatap begitu rendah oleh Sofia membuat perasaannya sedih, tapi dia juga tidak bisa mengelak karena ucapan majikannya memang benar."Teman, Bu."Sofia tampak manggut-manggut. "Lagian aku nggak peduli juga sih kamu mau ke mana. Ingat ya pulang tepat waktu, kamu itu harus sadar diri, di sini kamu itu cuma pembantu, jadi nggak boleh pulang pergi seenaknya.""Baik, Bu. Saya janji tidak akan pulang terlambat."Bunga menatap kepergian Sofia
Hamil? Mana mungkin?Meskipun Bunga ragu tetap saja dia cemas. Selama ini dia jarang menstruasi, bisa dibilang tiga atau empat bulan sekali, dan kata orang kalau seperti itu bakal susah hamil.Meskipun belum tahu kebenarannya, Bunga tetap percaya karena beberapa temannya memang mengalami hal yang sama. Ada salah satu temannya yang sudah menikah, sampai detik ini belum juga dikaruniai anak.'Ah, mana mungkin,' batin wanita itu."Kenapa dari tadi melamun terus?" tanya Ayu dengan kening mengerut.Bunga menghela napas. "Nggak ada, cuma lagi bingung aja.""Masalah orang tua kamu? Bukannya kamu udah kirim uang ke mereka?"Bunga mengangguk pelan."Kalau kamu mikirin mereka terus, kapan kamu bisa bahagianya, Bunga? Kamu juga perlu pikirin diri kamu sendiri. Emangnya kamu nggak pengen nikah?"Mendengar kata menikah, Bunga tertawa hambar.'Menikah? Siapa yang mau nikah sama gadis kotor kayak aku? Nggak ada! Yang ada malah mereka pasti jijik,' decak wanita itu dalam hati."Masih belum kepikiran
"Apa yang kalian lakukan?!""Apa kamu nggak lihat di rambut Bunga ada serangga?" Bunga syok dengan kedatangan Sofia, sedangkan Gama malah bersikap santai? Setelah menyadari, Bunga langsung menyingkir dari hadapan Gama."Maafkan saya, Pak," kata wanita itu seraya menunduk."Kenapa kamu yang minta maaf? Bukannya aku yang deketin kamu?"Bunga menggeram dalam hati.'Jangan banyak tingkah, Pak. Di depanmu ada istrimu sendiri, tolong gunakan akal sehatmu,'"Sa--saya--""Sudahlah, kamu boleh pergi, Bunga," usir Sofia dengan ketus."Aku minta bikinkan kopi," sela Gama."Biar aku aja yang buatkan, sebaiknya kamu pergi ke kamarmu, Bunga." Lagi-lagi Sofia mengusir."Memangnya kamu bisa?" tanya Gama remeh. "Masuk ke dapur aja mana pernah," sindirnya pedas.Sofia mengepalkan tangan, tatapannya begitu tajam ke arah Bunga. Bunga yang menyadari pun langsung memutuskan pergi tanpa pamit."Sejak kapan kamu bela dia, Mas?"Gama menyenderkan tubuhnya di meja, tangannya ditaruh di saku celana, menatap So
"Lepas, Dra. Aku harus pergi sekarang!" geram Sofia."Aku akan antar kamu, sampai depan pintu."Sofia menghela napas berat. "Oke." Dia pun akhirnya pasrah.Baru saja tangan Nendra menyentuh kenop pintu, Sofia langsung menginterupsi. "Udah, sampai sini aja, udah cukup. Aku akan keluar sendiri."Nendra terdiam beberapa saat setelah itu dia mengangkat kedua tangan dan mengangguk pasrah. Sepertinya usahanya gagal untuk menahan Sofia lebih lama di sini."Oke, terserah kamu," katanya kemudian."Nggak biasanya kamu kayak gini, kayak anak kecil yang lagi manja," ejek Sofia.Nendra tak menjawab, dia membiarkan Sofia membuka pintu, setelah hilang dari pandangan dia menghela napas berat.Berbeda dengan Sofia yang berada di balik pintu, matanya melotot ketika melihat seseorang yang dia kenali sedang menyenderkan tubuhnya di dekat pintu hotel yang baru saja dia tutup."Udah selesai?" Nada bicara pria itu tampak berat."M--Mas, ngapain kamu ada di sini?" tanya Sofia gugup."Ngapain ya? Entah, aku j
"Aku nggak tahu kamu ngadu apa ke Mas Gama, Bunga."Bunga mendongak, dia tercenung beberapa saat."Maksud Anda apa ya, Bu?" tanya Bunga tak paham."Nggak usah pura-pura polos deh sekarang. Aku yakin kamu kan yang ngerayu Mas Gama supaya aku mau nurut sama dia?"Kening Bunga semakin mengkerut, semakin tak paham."Kamu kemarin bilang mau berhenti kerja, nggak kukasih izin bukannya nurut malah ngadu yang nggak-nggak ke suamiku."Barulah Bunga paham.'Hah? Secepat itu. Memangnya dia ngomong apa sih, kok Bu Sofia sampai semarah ini?'"Saya tidak mengadu apa-apa ke beliau, Bu. Tapi saya memang meminta bantuan ke Pak Gama, karena saya memang harus berhenti bekerja, orang tua saya--""Lama-lama kok aku yakin ya kalau kamu sekarang pintar cari alasan?" sinis Sofia.Bunga menggeleng, tangannya gemetar. Jelas saja dia ketakutan karena apa yang diucapkan Sofia memang benar."Saya memang ingin berhenti, Bu. Tolong jangan tahan saya," lirih Bunga."Beruntung sekali ya hidupmu. Cari pembelaan sana-s
"Aku nggak dikasih keluar sama Bu Sofia."Kedua alis Gama mengkerut. "Kok bisa?""Aku juga nggak ngerti. Aku bilang mau ngundurin diri, tapi dia bilang cuma dia yang berhak," keluh wanita itu."Kamu cari alasan apa gitu yang masuk akal, masa cuma ngurusin kayak gini nggak mampu?"Bunga menatap Gama sebal. "Aku juga udah usaha, aku udah kasih alasan yang masuk akal, tapi namanya Bu Sofia tetap nggak mau ya gimana?""Oke, nanti biar aku yang ngomong sama dia."Bunga menggeleng. "Nggak bisa, nanti kalau dia curiga gimana?""Kenapa itu terus yang kamu takutkan? Masalah itu biar aku yang atur, kamu cukup patuhi aturanku saja. Kalau kamu mau denger, maka selalu selamat hidupmu, tapi kalau tidak, maka hidupmu akan hancur dalam sekejap, ngerti?"Bunga menghela napas secara perlahan, kemudian mengangguk mengerti."Bagus, aku suka dengan wanita penurut. Jika kamu sudah menikah denganku, jadilah istri yang penurut."Bunga diam, dia hanya memperhatikan Gama pergi meninggalkannya."Sepertinya aku
"Jadi gimana? Apa kamu sudah mengambil keputusan? Kira-kira kamu pilih yang mana?""Emangnya harus banget ya kita nikah?" Bukannya menjawab, Bunga malah balik bertanya. "Nikah itu kan janji suci, bukan untuk main-main. Sementara kamu dan Bu Sofia masih suami-istri. Kalau Bu--""Aku cuma minta kamu pilih yang mana, bukan ngurusin yang lain. Kamu nggak perlu ikut campur rumah tanggaku dengan Sofia, paham?!" bentak Gama.Bunga mengangguk, dia ketakutan."Sekarang aku butuh jawabanmu.""Aku--""Dan aku nggak mau dengar kata tidak," sela Gama cepat.Bunga mengatupkan bibirnya dengan rapat. Sepertinya Gama membaca isi pikiran Bunga."Jadi gimana?"'Apa aku masih berhak menjawab? Bukannya tadi dia bilang aku nggak boleh jawab tidak? Dasar manusia sombong!' decih Bunga dalam hati."Aku--""Kita akan menikah secepatnya. Ya, itu lebih cepat lebih baik. Baiklah, kamu tunggu kabar baik dariku, kamu cukup duduk manis dan patuhi perintahku, paham?"Bunga menghela napas berat, dia hanya bisa memand
Bunga menggeleng cepat. "Sa--saya tidak tahu orang itu, Bu," katanya gugup."Kamu yakin?" Mata Sofia memicing. "Tapi ... Mas Gama sendiri loh yang ngomong kalau kamu tahu orangnya seperti apa, bahkan kalian sempat ngobrol, malah kata suamiku kalian akrab banget. Kamu nggak menusukku dari belakang, kan, Bunga?""Saya beneran nggak tahu, Bu. Saya malah bingung kenapa Pak Gama bicara seperti itu, padahal pernah bertemu sama orang itu aja tidak pernah," sangkalnya.Sofia diam, dia mengamati gerak-gerik Bunga yang terlihat tenang. Sialnya dia tidak bisa membaca pikiran orang lain.'Jadi siapa yang benar? Mas Gama atau Bunga? Kenapa diantara mereka berdua seperti berbicara dengan sungguh-sungguh? Dan yang bohong sebenarnya siapa?' Sofia bertanya-tanya dalam hati."Saya juga tidak menusuk Ibu dari belakang." Bunga menelan salivanya dengan susah payah. Lidah ini benar-benar sudah lihai untuk berdusta."Terus kenapa sampai saat ini kamu belum membuktikan kalau Mas Gama ada main belakang sama p
Bunga frustrasi, semakin ke sini Gama tampak terang-terangan menunjukkan gelagat di depan Sofia.Dan Sialnya sepertinya Sofia sudah mulai curiga pada mereka, setidaknya itulah yang Bunga pikirkan."Jangan terang-terangan kayak gini," tegur Bunga, karena Gama tampak mendekat dan menepuk bokongnya."Kenapa? Takut?" tanya Gama remeh. Pria itu mengambil air minum di kulkas lalu menandasnya sampai air sisa setengah.'Pake ditanya lagi, jelas aja iya,' gerutu Bunga dalam hati. Sayangnya dia tidak berani berucap dengan lantang, karena takut akan menyinggung Gama."Bukannya aku udah memberimu dua pilihan? Dan sayangnya kamu malah memilih opsi yang kedua, yaitu terima konsekuensinya. Jadi, hari ini aku akan memutuskan untuk memberitahu Sofia tentang masalah kita." Gama mengedipkan sebelah mata."Jangan gila!" Tiba-tiba suara Bunga meninggi."No! Siapa yang gila? Kamulah yang memilihnya."'Arggghhh! Gama sialan! Gama berengsek!' umpat Bunga dalam hati."Beri aku waktu untuk menjawab ulang, tapi
"Aku punya dua pilihan untukmu, dan aku harap kamu mau memilih salah satunya.""Apa itu?" tanya Bunga penasaran."Sebenarnya mudah kalau kamu paham."Bunga mengernyit heran. Ucapan Gama agak sulit untuk dicerna, apa pria itu akan memberikan pilihan yang sulit?"Bisa diperjelas maksudnya apa?" tanya Bunga tak sabaran."Kita akan menikah."Mulut Bunga menganga lebar, syok, pandangannya beralih ke sana-sini lalu pipinya ditepuk-tepuk berkali-kali. Takut kalau dia sedang halusinasi, kenyataannya tidak."Aku nggak salah dengar, kan?" Bunga terus menggeleng, dia berasumsi kalau sedang bermimpi."Menurutmu?""Atas dasar apa mengajakku menikah? Bukannya aku ini statusnya kerja yang digaji dapat uang? Kenapa--""Intinya kamu mau apa tidak?"Bunga menggeleng cepat. "Nggak!" katanya tegas."Alasannya?" Gama menaikkan dagu, sifat songongnya pun muncul, merasa tertantang karena baru saja ditolak secara mentah-mentah."Banyak. Banyak banget. Kamu itu suami orang, kamu itu orang kaya, kamu itu orang
"Sebenarnya aku sudah pasang beberapa cctv, bahkan suamiku juga tahu. Sesekali kami mengeceknya. Ini ide suamiku, awal nikah dia nggak percaya sama aku, dan ya ... sampai sekarang dia pun masih nggak percaya. Makanya cctv itu masih berjalan, dan sekarang aku menambah lagi di area tertentu, sesuai keinginan kalian. Nyatanya apa? Sedingin-dinginnya suamiku, dia tetap nggak tertarik sama perempuan lain, meskipun perempuan itu cantik sekalipun."Usai Sofia berkata seperti itu, tatapan dari teman-temannya tampak berbeda-beda."Ish! Jangan terlalu percaya deh sama laki-laki, mungkin sekarang dia begitu, tapi siapa tahu ke depannya berubah? Apalagi sampai saat ini kalian masih belum berdamai, kan?" semprot Sasya."Iya, kenapa sih kalian nggak coba bicara pake kepala dingin gitu? Iya, kami semua juga tahu kalau kalian dijodohin. Banyak loh teman kita yang awalnya dijodohin tapi ujung-ujungnya saling mencintai, bahkan udah punya anak banyak. Lah kamu gimana kabarnya? Udah hampir tujuh bulan, k
Gama tampak manggut-manggut ketika melihat kedatangan Bunga."Bagus, jam berapa ini? Kenapa baru sampai rumah?" sindir pria itu.Bunga sengaja menulikan telinga, dia melewati Gama begitu saja, sialnya Gama langsung menyentak tangan Bunga."Dengar nggak aku ngomong? Apa akhir-akhir ini aku terlalu baik sama kamu, terlalu membebaskan kamu, makanya kamu sudah mulai berani sama aku, huh!" bentak Gama.Bunga meringis kesakitan, kendati demikian Gama tak melepaskan cekalan tangannya."Bukannya sudah kubilang? Jangan terlalu dekat temanmu itu, lihat sendiri hasilnya, kamu sekarang udah mulai membangkang. Sadar diri, kamu itu di sini siapa, kamu itu pekerja yang seharusnya selalu menurut apa kata bos kamu. Kamu di sini dituntut untuk disiplin, kan? Kenapa ucapanku kamu abaikan?"Benar, Bunga kembali membuat kesalahan yang dilakukan berkali-kali. Dia memang sadar diri, tapi kenapa selalu melakukannya? Dan lagi-lagi karena bertemu dengan Ayu.Apa memutuskan berteman dengan Ayu keputusan yang sa
"Ehem."Baik Ayu maupun Bunga tersentak, mereka langsung menoleh ke arah sumber suara.Awalnya Ayu tercengang, tapi setelah dia ingat siapa pria itu, barulah memasang wajah tak ramah."Ngapain lama-lama di sini?""Aku ketemu sama teman, ngobrol," jawab Bunga acuh.Gama melirik jam yang ada di tangannya, lalu mendesah berat."Udah dua jam kamu ada di sini, nanti kalau Sofia cari kamu gimana?""Bu Sofia tadi pergi sama teman-temannya, dia bilang pulangnya malam," sahut Bunga lagi.Gama tampak manggut-manggut, dia menatap wanita rahasianya yang sudah mulai berani padanya, lalu pandangannya beralih ke arah Ayu yang sedari tadi memperhatikannya.Gama menduga kalau keberanian Bunga pasti asal muasalnya dari Ayu, entah mengapa dari awal Gama tidak suka dengan Ayu, menurutnya wanita itu membawa pergaulan buruk, apalagi dilihat dari pekerjaannya yang tidak beres."Oke, aku tunggu di rumah. Jangan sampai telat kalau kamu nggak mau menanggung akibatnya," ancam pria itu.Belum sempat Bunga menjaw