"Kenapa wajahmu tampak pucat begitu, Bunga? Apa terjadi sesuatu?" tanya Sofia penasaran.
"E--enggak kok, Bu. Enggak ada." "Memangnya pesan dari siapa?" Baru kali ini Sofia kepo dengan permasalahan orang lain. Biasanya dia tampak cuek. Terlalu malas ikut campur kehidupan orang. Namun, untuk kali ini berbeda, apalagi melihat wajah Bunga yang tampak syok. Jiwa penasaran Sofia meronta-ronta. 'Dari suami Anda yang gila itu.' Bunga hanya berani menjawab dalam hati. "Biasa, Bu. Pesan dari Ibu saya." Sofia tampak manggut-manggut. "Dia minta uang lagi ke kamu?" Bunga terkejut, mengapa Sofia bisa tahu kalau akhir-akhir ini dirinya selalu didesak perihal uang? "Aku tahu, kemarin kamu nekat pinjam uang juga pasti karena ibumu, kan?" Bunga tanpa sadar mengangguk. "Benar, Bu." Sofia menghela napas berat. "Jadi ini yang membuatmu berdiri di depan kamarku? Kamu ingin membahas ini lagi?" Bunga menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa. Kalau tadi dia begitu menggebu-gebu ingin mengatakan yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan juga Gama, tapi sekarang nyalinya begitu menciut usai Gama mengirim video panas mereka. Memang kala itu Bunga dipaksa. Namun, lambat laun dia ikut menikmati juga, dan tanpa harus melihat videonya Bunga memang mengakui kalau dia sangat menikmati permainan itu. Seandainya Bunga cerita ke Sofia tentang kejadian sebenarnya, pasti Sofia itu tak akan percaya dengan adanya video itu. Karena bingung harus menjawab apa, mau tak mau Bunga mengangguk. "Sebenarnya aku kasihan sama kamu, dan di antara ART yang pernah kerja sama aku, cuma kamu yang bertahan agak lama, walau sebenarnya baru sebulan kamu di sini, tapi memang cuma kamu yang bertahan. Biasanya di antara mereka, baru lima hari udah minta berhenti. Alasannya beragam, dan lebih parahnya lagi mereka nekat menggoda suamiku. Diawal aku melihatmu, aku merasa kamu berbeda dari mereka." Bunga menahan napas ketika mendengar ucapan Sofia. Wanita itu belum tahu saja kalau sebenarnya Gama telah memperkosanya di kamar mereka. Sungguh miris, kalau Sofia tahu mungkin wanita itu akan mengamuk, atau bahkan akan membunuhnya karena sudah menampung dan memberikan pekerjaan pada orang yang salah. "Tapi ... meski kamu beda, aku tetap harus bertindak tegas. Kalau seandainya aku dikit-dikit kasihan sama kamu, nanti kamunya ngelunjak. Udah dikasih pinjam, nanti minjam lagi, minjam terus, dan akan seperti ini ke depannya. Maaf, Bunga, kalau aku ngomong agak sarkas, semoga kamu memahami maksudku." "Saya paham kok, Bu, Saya juga paham dengan maksud Ibu. Justru di sini sayalah yang malu karena dengan tidak tahu diri meminjam uang, padahal kerja juga belum lama. Saya minta maaf, Bu," lirih Bunga. Sofia menggeleng. "Justru aku yang minta maaf ke kamu, Bunga. Maaf karena untuk saat ini aku nggak bisa bantu kamu." "Tidak apa-apa, Bu." "Karena apa yang ingin kamu bahas udah selesai, kini giliran aku yang ingin ngomong sesuatu ke kamu." Ah, Bunga lupa dengan kalimat itu. Benar, bukankah tadi Sofia mengatakan ingin berbicara sesuatu padanya? "Anda ingin bicara apa, Bu?" "Jadi, seperti ini ... malam itu, waktu aku nggak pulang ke rumah, aku tahu kalau suamiku ada main gila dengan wanita lain. Pagi harinya kami bertengkar hebat karena aku menemukan noda merah di sprei tempat tidur kami. Dia ngaku kalau udah tidur sama perempuan lain, tapi dia tutup mulut kalau aku tanya siapa perempuan itu. Aku juga udah cek CCTV tapi semuanya nggak ada yang janggal. Aku juga sempat tanya kamu waktu itu, tapi kamu juga jawab nggak tahu, kan?" Mata Bunga seketika terbelalak. CCTV? Jadi di rumah ini ada CCTV? Mengapa selama ini Bunga tidak menyadarinya? Untung saja dia tidak pernah bertindak aneh-aneh, kecuali yang satu itu. Bunga menduga kalau Gama pasti mendapat video itu berasal dari sana. 'Lalu di dapur itu, apa Bu Sofia sudah mengeceknya? Ah, bagaimana ini?' Bunga semakin ketar-ketir. "Bunga, ada apa? Kenapa kamu kelihatan panik gitu?" tanya Sofia dengan ekspresi curiga. "Bukan apa-apa, Bu, saya cuma kaget aja kalau seperti itu bisa kejadian." Ugh! Sejak kapan Bunga bisa membual seperti ini, jelas-jelas wanita yang Sofia maksud adalah dirinya. Sofia mengangguk. "Bukan hanya kamu, aku juga kaget. Suami yang aku kenal, tiba-tiba saja berubah dalam satu malam. Maka dari itu, kali ini aku benar-benar meminta bantuanmu, Bunga." Kali ini Bunga merasa firasatnya tidak enak. "Tolong bantu aku untuk mencari tahu siapa wanita itu. Kalau kamu berhasil, aku akan menaikkan gajimu dua kali lipat. Gimana? Kamu tertarik, kan?" Ucapan Sofia tampak menggebu-gebu, membuat Bunga menelan salivanya dengan susah payah. *** Bunga dilanda dilema. Dihadapkan dengan dua pilihan yang sebenarnya pilihan keduanya tidak masuk akal. Di sini peran utamanya yang tengah dibicarakan adalah dia, Bunga sendiri. Jadi apa yang harus Bunga lakukan? Menerima tawaran Sofia atau menerima tawaran Gama? Memilih untuk keluar dari rumah ini juga bukan pilihan yang tepat. Kalau misalkan Bunga memang berniat pergi diam-diam, lalu biaya hidupnya di luar bagaimana? Sedangkan dia aja belum menerima gaji, yang ada nanti hidupnya akan terlunta-lunta. "Arrgghh!" Tanpa sadar Bunga berteriak karena saking frustrasinya. "Bisa gila aku kalau lama-lama kayak gini." Tak lama setelah itu ponselnya berbunyi. Bunga sengaja mengabaikan panggilan itu ketika tahu siapa yang menghubunginya. Namun, karena sipemilik nomor tak henti-hentinya terus menghubungi, mau tak mau Bunga mengangkat panggilan itu. "Ya halo, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bunga dengan nada ogah-ogahan. Bunga tak perlu berbasa-basi lagi menanyakan 'ini siapa ya?' karena memang dia sudah tahu pemilik nomor tersebut. "Kenapa mengabaikan panggilanku, huh? Bukannya aku sudah pernah mengatakan kalau aku--" "Maaf, Pak, jadi tujuan Anda menghubungi saya untuk apa?" sela Bunga cepat. "Kamu sudah memberitahu malam panas kita pada Sofia?" Benar, kan? Gama hanya ingin bermain-main padanya. "Memangnya kenapa? Apa Anda takut kalau Bu Sofia sudah tahu?" Bukannya takut, Bunga malah menantang. Mendengar tawa Gama membahana membuat sekujur tubuhnya merinding. "Apa kamu bilang? Aku takut? Bukannya malah kebalikan ya? Buktinya sampai saat ini kamu belum membicarakannya, kan?" Bunga menggeram dalam hati karena tebakan Gama benar. "Atau aku bisa saja bantu kamu, Bunga. Bukannya kamu tidak punya keberanian melakukannya?" Ah, sial! Gama semakin melunjak. "Anda jangan main-main, Pak. Kalau Anda memberitahunya, Anda sendiri yang rugi." Bunga mencoba mengingatkan Gama tentang kewarasan pria itu, sialnya jawaban Gama membuat Bunga tercengang. "Kamu salah! Justru ini yang aku inginkan. Kita hancur bersama-sama. Oh, jangan lupa satu hal, aku juga akan mengirimkan video ini pada keluargamu. Bagaimana?" Bunga memijit pelipisnya, kalau sudah membawa-bawa keluarga, dia pening luar biasa. Bisa-bisanya Gama bertindak di luar batas hanya karena ... menginginkan tubuhnya? "Anda gila! Saya tidak akan pernah mau jadi simpanan Anda!" Wanita itu mencoba berpikir positif, siapa tahu Gama hanya menggertaknya saja. Namun, mengingat bagaimana nekatnya Gama, seketika Bunga ragu. "Oke, kalau begitu aku kirim videonya sekarang." Nada bicara Gama begitu tenang namun kata-katanya menyiratkan penuh ancaman. Benar, inilah yang Bunga takutkan, Gama akan menggunakan video itu untuk menjebaknya. Sial! Wanita itu kehabisan kata-kata, bingung luar biasa. Hingga pada akhirnya dia memberikan sebuah jawaban. "Oke." "Oke bagaimana? Kamu terima tawaranku atau menolaknya?""Aku menerimanya.""Bagus. Itulah jawaban yang aku inginkan."Tak lama setelah itu panggilan terputus. Bunga menghela napas, entah jawaban itu benar atau tidak menurutnya."Maaf, Bu. Aku cari uang dengan cara yang seperti ini. Aku tidak menyalahkanmu, tapi kondisilah yang membuatku seperti ini. Menjadi orang ketiga di pernikahan orang lain."Keesokan harinya Bunga meminta izin untuk keluar rumah oleh Sofia, dengan dalih ingin bertemu teman, padahal itu adalah suruhan Gama.Ya, Gama menginginkan mereka bertemu untuk membahas tentang pekerjaan yang akan Bunga lakukan. Walaupun sebenarnya Bunga sudah tahu."Pergilah, tapi aku minta jangan lama-lama. Selain tugasmu untuk bersih-bersih, kamu juga harus jaga rumah. Nggak lupa, kan, kemarin aku menyuruhmu apa? Awasi suamiku! Siapa tahu kalau aku pergi dia akan membawa wanita lain pulang."Kepala Bunga tertunduk, setiap kali Sofia membahas tentang 'wanita itu' dia menjadi bersalah. Bagaimana mungkin Sofia mempercayakannya sedangkan sebenarnya
"Bunga!"Kepala Bunga tertoleh ke belakang, dia mengerutkan kening karena ada seseorang yang melambaikan tangannya.Seorang wanita dengan pakaian seksi. Apakah Bunga mengenalnya?'Siapa ya?'"Astaga! Jadi ini beneran kamu, aku pikir tadi salah orang."Bunga masih terdiam, mengingat-ingat siapa sosok di depannya ini."Maaf, kalau boleh tahu kamu siapa ya? Apa kita saling mengenal?" tanyanya hati-hati.Wanita itu menepuk pundak Bunga seraya histeris. "Serius kamu nggak kenal aku? Ini aku Ayu, Bunga. Teman kamu! Astaga, kenapa cepat sekali lupa sama aku." Wanita itu menggerutu."Ayu?" Bunga menatap penampilan temannya dari atas sampai bawah.Cara berpakaiannya ... sangat beda sekali. Waktu di desa, Ayu selalu berpakaian dengan sopan, bahkan Bunga tak pernah sekali pun melihat Ayu berpakaian pendek. Tapi sekarang apa yang dia lihat? Kenapa Ayu berbeda, seperti yang bukan Bunga kenal."Ini beneran kamu?" tanyanya sekali lagi."Iya, ini aku. Kenapa kamu kaget gitu, ada yang salah?"'Apa dia
"Kenapa, Bunga?"Bunga yang tadinya berniat pulang, harus dia urungkan karena terus didesak oleh Ayu.Dan di sinilah mereka berada di sebuah kafe tak jauh dari hotel yang sempat mereka singgahi untuk melakukan sesuatu."Kenapa apanya?" tanya Bunga pura-pura tak paham."Ayolah, dari tadi aku tanya kamu, kamunya selalu aja diam terus. Kenapa? Kamu malu sama aku?"Bunga menggeleng. "Nggak tuh, aku cuma bingung aja jelasinnya ke kamu, takutnya kamu salah paham. Tapi kalau dilihat dari raut wajah kamu memang salah paham beneran ya," lirihnya."Maksudnya?""Pasti kamu mikir yang nggak-nggak, kan?" tanya Bunga.Ayu menatap Bunga heran. "Loh, gimana nggak? Posisinya ada laki-laki yang keluar dari kamar terus disusul sama kamu, gimana nggak mikir aneh? Malah kayaknya tebakanku benar.""Ini bukan seperti yang kamu bayangkan, Ayu."'Pokoknya Ayu nggak boleh tahu pekerjaan aku yang sesungguhnya. Jangan sampai dia cerita masalah ini di desa.'Ayu dan Bunga memang berteman cukup lama, tapi untuk ha
Tok ... Tok ... Tok ...Bunga mengernyit heran, tengah malam begini siapa yang mengetuk pintu kamarnya?Karena orang itu tak bersuara, akhirnya Bunga memutuskan tidak membuka pintu. Takut saja siapa tahu itu maling, misalnya?"Buka pintunya, cepat!"Bunga tersentak, dia yakin suara itu suara Gama. Tapi ... untuk apa pria itu malam-malam datang ke kamarnya?"Iya sebentar!" Gegas Bunga turun dari ranjang.Bunga terkesiap, usai dia membuka pintu, tiba-tiba saja Gama mendorong tubuhnya ke dinding. Tak lupa juga pria itu menutup pintu lalu menguncinya."Ada ap--""Sssttt! Diamlah, di luar ada Sofia yang tengah mencariku," bisiknya di telinga Bunga, membuat wanita itu meremang.Baru saja Gama selesai berbicara, tiba-tiba suara Sofia terdengar."Mas, kamu di mana?"Baik Bunga maupun Gama sama-sama terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain. Lagi, suara Sofia kembali menggema, membuat Gama mendengkus keras."Sekarang kamu keluar, berpura-pura menanyakan pada Sofia apa yang terjadi," titah
"Akhir-akhir ini kamu sering banget izin keluar rumah, kenapa?" "Ada yang harus saya cari, Bu. Kebetulan ada barang yang harus saya beli," dusta Bunga."Sesering itu? Kali ini kamu minta izin untuk apa lagi? Alasan keperluan kamu habis lagi?"Bunga meremas kedua tangannya seraya menggeleng. "Bukan, Bu. Teman saya mengajak ketemu."Untuk kali ini Bunga jujur, dia meminta izin keluar karena memang Ayu meminta bertemu, bukan karena Gama."Teman atau pacar?" sindir Sofia. "Bukannya waktu itu kamu juga pernah izin terus pulangnya ada cupang di leher kamu?"Ditatap begitu rendah oleh Sofia membuat perasaannya sedih, tapi dia juga tidak bisa mengelak karena ucapan majikannya memang benar."Teman, Bu."Sofia tampak manggut-manggut. "Lagian aku nggak peduli juga sih kamu mau ke mana. Ingat ya pulang tepat waktu, kamu itu harus sadar diri, di sini kamu itu cuma pembantu, jadi nggak boleh pulang pergi seenaknya.""Baik, Bu. Saya janji tidak akan pulang terlambat."Bunga menatap kepergian Sofia
Hamil? Mana mungkin?Meskipun Bunga ragu tetap saja dia cemas. Selama ini dia jarang menstruasi, bisa dibilang tiga atau empat bulan sekali, dan kata orang kalau seperti itu bakal susah hamil.Meskipun belum tahu kebenarannya, Bunga tetap percaya karena beberapa temannya memang mengalami hal yang sama. Ada salah satu temannya yang sudah menikah, sampai detik ini belum juga dikaruniai anak.'Ah, mana mungkin,' batin wanita itu."Kenapa dari tadi melamun terus?" tanya Ayu dengan kening mengerut.Bunga menghela napas. "Nggak ada, cuma lagi bingung aja.""Masalah orang tua kamu? Bukannya kamu udah kirim uang ke mereka?"Bunga mengangguk pelan."Kalau kamu mikirin mereka terus, kapan kamu bisa bahagianya, Bunga? Kamu juga perlu pikirin diri kamu sendiri. Emangnya kamu nggak pengen nikah?"Mendengar kata menikah, Bunga tertawa hambar.'Menikah? Siapa yang mau nikah sama gadis kotor kayak aku? Nggak ada! Yang ada malah mereka pasti jijik,' decak wanita itu dalam hati."Masih belum kepikiran
"Apa yang kalian lakukan?!""Apa kamu nggak lihat di rambut Bunga ada serangga?" Bunga syok dengan kedatangan Sofia, sedangkan Gama malah bersikap santai? Setelah menyadari, Bunga langsung menyingkir dari hadapan Gama."Maafkan saya, Pak," kata wanita itu seraya menunduk."Kenapa kamu yang minta maaf? Bukannya aku yang deketin kamu?"Bunga menggeram dalam hati.'Jangan banyak tingkah, Pak. Di depanmu ada istrimu sendiri, tolong gunakan akal sehatmu,'"Sa--saya--""Sudahlah, kamu boleh pergi, Bunga," usir Sofia dengan ketus."Aku minta bikinkan kopi," sela Gama."Biar aku aja yang buatkan, sebaiknya kamu pergi ke kamarmu, Bunga." Lagi-lagi Sofia mengusir."Memangnya kamu bisa?" tanya Gama remeh. "Masuk ke dapur aja mana pernah," sindirnya pedas.Sofia mengepalkan tangan, tatapannya begitu tajam ke arah Bunga. Bunga yang menyadari pun langsung memutuskan pergi tanpa pamit."Sejak kapan kamu bela dia, Mas?"Gama menyenderkan tubuhnya di meja, tangannya ditaruh di saku celana, menatap So
"Lepas, Dra. Aku harus pergi sekarang!" geram Sofia."Aku akan antar kamu, sampai depan pintu."Sofia menghela napas berat. "Oke." Dia pun akhirnya pasrah.Baru saja tangan Nendra menyentuh kenop pintu, Sofia langsung menginterupsi. "Udah, sampai sini aja, udah cukup. Aku akan keluar sendiri."Nendra terdiam beberapa saat setelah itu dia mengangkat kedua tangan dan mengangguk pasrah. Sepertinya usahanya gagal untuk menahan Sofia lebih lama di sini."Oke, terserah kamu," katanya kemudian."Nggak biasanya kamu kayak gini, kayak anak kecil yang lagi manja," ejek Sofia.Nendra tak menjawab, dia membiarkan Sofia membuka pintu, setelah hilang dari pandangan dia menghela napas berat.Berbeda dengan Sofia yang berada di balik pintu, matanya melotot ketika melihat seseorang yang dia kenali sedang menyenderkan tubuhnya di dekat pintu hotel yang baru saja dia tutup."Udah selesai?" Nada bicara pria itu tampak berat."M--Mas, ngapain kamu ada di sini?" tanya Sofia gugup."Ngapain ya? Entah, aku j