Share

Terjebak di Ranjang Panas Tuan Gama
Terjebak di Ranjang Panas Tuan Gama
Penulis: Nona Ekha

Malam Memilukan

"Kamu bentar lagi gajihan, kan? Adek kamu mau lulus, Ibu minta uang ya buat bayar kelulusan sama buat bayar biaya pendaftaran."

Bunga menatap koper di depan lemari dengan senyum miris. Awalnya dia berencana untuk mengundurkan diri. Namun, mendengar keluh kesah ibunya dia jadi ragu apakah keluar dari pekerjaan ini keputusan yang tepat?

Ya, Bunga memutuskan untuk berhenti karena melihat kondisinya sudah tidak aman. Majikannya itu sering kali bertengkar, entah apa penyebabnya. Itulah yang membuat Bunga tidak nyaman untuk melanjutkan bekerja di sini, karena menurut Bunga, mentalnya juga ikut-ikutan terganggu karena terlalu sering mendengar teriakan, umpatan kasar, dan juga barang pecah.

Bisa-bisa nanti dirinya ikut terkena akibat dari pertengkaran sang majikan.

"Kok diam? Kamu nggak mau bantu Ibu ya, Bunga?” Ibunya kembali berkata. “Terus kalau bukan kamu siapa lagi yang bakal Ibu andalkan? Ayah kamu baru aja dipecat. Katanya pengurangan karyawan karena bentar lagi proyeknya udah selesai. Ya gitu dah, namanya pekerjaan kuli bangunan pasti selalu aja kayak gitu."

Bunga semakin sedih mendengarnya.

"Berapa biayanya, Bu?" tanya Bunga dengan lirih pada akhirnya.

"Enggak banyak kok, cuma tiga juta aja."

Bunga menghela napas berat. Cuma tiga juta? Bahkan itu sudah hampir seluruh gaji yang dia dapatkan sekarang.

"Bu, gaji aku cuma tiga juta dua ratus. Kalau aku kasih ke Ibu semua, terus di sini aku gimana? Aku juga punya kebutuhan, Bu." Bunga mencoba untuk bernegosiasi, siapa tahu ibunya tidak terlalu menekan dan mengerti posisi Bunga saat ini.

"Maksud kamu apa? Kebutuhan kamu yang mana? Bukannya sekarang kamu tinggal sama majikan kamu? Otomatis makan juga ditanggung, kan?” balas sang ibu. “Ayolah, Bunga, pikirkan adik kamu. Masa kamu tega sama dia?"

"Kebutuhan aku nggak cuma sekedar makan dan tempat tinggal, Bu," terang Bunga, berusaha sabar. "Keperluan aku yang lain juga ada. Tidak mungkin ditanggung majikanku semuanya.”

“Ck. Lalu kamu nggak bakal kirim uang, begitu?”

“Nggak, Bu. Nanti pasti bakal aku kirim, tapi nggak sebanyak yang Ibu minta, ya.” Bunga menghela napas pelan. Kali ini Bunga memberanikan diri untuk bersikap tegas pada ibunya. “Mungkin aku cuma bisa kasih setengahnya aja."

"Itu kurang, Bunga. Astaga! Harus berapa kali sih Ibu bilang?"

Bunga kembali menghela napas berat. Ibunya sangat keras kepala, dan ... sangat egois.

“Kamu kan kerja di kota. Majikanmu pasti kaya, kan? Kalau memang gajimu nggak cukup sekarang, coba cari pinjaman saja.”

Sebenarnya, memang kesepakatan awal ketika Bunga bekerja di rumah majikan, gajinya akan naik secara bertahap. Nyonya rumah ini, Sofia, mengatakan jika kinerja Bunga bagus, maka akan dinaikkan gajinya.

Namun, Bunga baru-baru saja bekerja di sini. Belum ada satu bulan!

Dan lagi, memangnya pantas Bunga meminta lebih? Apalagi pinjaman? Yang benar saja.

Kepala Bunga mendadak pening memikirkannya.

Akan tetapi, gadis itu tidak mampu menolak perintah ibunya.

"Oke, nanti aku coba bilang ke Bu Sofia ya, Bu. Mudah-mudahan aja beliau mau kasih pinjaman,” ucap Bunga pada akhirnya. Menyerah. “Kalau udah aku kasih uang, tolong diirit-irit ya, Bu.”

Karena cari uang itu susah, lanjut Bunga dalam hati.

"Nggak usah ngajarin Ibu begitu. Ibu juga udah berusaha buat irit-irit, tapi ya namanya apa-apa semakin mahal mau gimana lagi, Bunga.” Ibunya menggerutu. “Ya sudah. Tolong diusahakan ya, Ibu dikasih tenggat waktu katanya disuruh lunasin secepatnya."

"Iya, Bu. Aku usahakan."

***

Prang!

Bunga berjengit kaget karena mendengar barang pecah dari dalam kamar majikannya. Wanita itu pun seketika memundurkan langkahnya dan mengurungkan niat untuk menemui Sofia. Tangan yang tadinya ingin mengetuk pintu kamar itu seketika terhenti di udara.

"Kamu habis tidur sama siapa? Cepat jawab!"

Langkah Bunga terhenti karena mendengar teriakan Gama, suami majikannya, tubuhnya mendadak terasa kaku.

"Aku nggak ada tidur sama siapa pun!"

"Menjijikkan! Sudah ada bukti tapi kamu masih bisa mengelak? Aku sungguh muak melihat wajahmu, Sofia! Secepatnya aku akan menceraikanmu!" pekik pria itu membuat Bunga menelan salivanya dengan susah payah.

"Astaga! Jadi Bu Sofia selingkuh?” gumam Bunga lirih. “Apa sih yang kurang dari Pak Gama? Udah ganteng, tajir, apa lagi sih yang dicari?”

Bunga menggeleng tanpa sadar dan merutuki kebodohannya karena sudah lancang menguping pembicaraan mereka.

Tak tahan mendengar perdebatan mereka, Bunga pun memutuskan untuk menjauh, mungkin nanti saja dia bertemu dengan Sofia ketika mood wanita itu sudah membaik.

Sayangnya dia terlambat pergi karena tiba-tiba saja Sofia keluar dari kamar dan melihat keberadaannya di depan pintu.

"Bu," panggil Bunga pelan.

"Nanti aja, aku harus pergi." Sofia langsung berucap.

Padahal itu adalah kesempatan besar agar Bunga berbicara dengan Sofia, mengingat sulit sekali menemui majikannya itu.

"Tapi, Bu ...."

Ah, suara Bunga dianggap angin lalu oleh Sofia, wanita itu terus saja melangkah menghiraukan panggilan Bunga.

Bunga menghela napas berat, dia pun memutuskan untuk kembali ke kamar. Namun, tanpa dia duga-duga tiba-tiba saja dia mendengar suara deheman seorang pria.

"Sedang apa kamu di sini?" tanya pria itu dingin.

Bunga menggeleng, dia ingin segera pergi namun sialnya tangan Bunga dicekal oleh Gama. Bunga pun langsung melepasnya.

"Sa–saya–"

"Siapa yang menyuruhmu datang ke sini? Lancang sekali.” Gama langsung menyela ucapan Bunga.

Bunga kicep seketika, mulutnya gatal sekali ingin menyela, sialnya yang dikatakan Gama memang benar karena dia sudah lancang berdiri di kamar majikannya.

"Saya minta maaf, Pak. Saya–”

Namun, Gama tidak menunggu Bunga menyelesaikan ucapannya dan langsung pergi meninggalkan kamarnya. Keluar entah ke mana.

Bunga menghela napas. Tidak berkomentar apa pun mengenai tingkah kedua majikannya, apalagi saat kepalanya penuh dengan pikiran mengenai uang yang harus ia kirim ke ibunya.

Toh, konflik suami istri itu tidak ada hubungannya dengan Bunga.

Bunga tidak menyangka, malam itu juga, Bunga mendapatkan pembuktian bahwa ia salah besar.

"Pak, tolong ... jangan seperti ini ….”

Tak pernah dia sangka, jika kedatangannya ke kamar ini malah membawa ke dalam petaka.

Tadinya, Bunga hanya menolong majikannya untuk kembali ke kamar utama karena saat Gama, pria itu, datang, tubuhnya sempoyongan dan ia tidak bisa berjalan lurus. Kondisi Gama tampak mengenaskan. Penampilan pria itu yang tampak begitu acak-acakan.

Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pria itu akan melakukan hal seperti ini.

"Temani aku malam ini," ujar pria itu, suaranya terdengar begitu lirih.

Bunga menggeleng cepat.

Mana mungkin dia berani melakukan seperti itu? Apalagi ini ada di dalam kamar! Bagaimana kalau sampai ketahuan oleh istri Gama?

"Anda jangan bercanda, Pak,” ujar Bunga dengan suara tegas. “Mana mungkin saya akan melakukannya, dan perlu Anda ketahui, saya ini bukan istri Anda, saya ini pembantu Anda, pembantu!"

Bunga pikir ketika dia menjelaskan semuanya, Gama akan dengan cepat melepaskannya.

Namun, nyatanya? Pria itu malah memeluknya makin erat. Gama bahkan membawa wajahnya ke ceruk leher Bunga dan menarik napas di sana sebelum mulai menciumi kulitnya yang halus.

Hal itu membuat Bunga begidik.

“Pak, mohon hentikan–!”

"Aku tidak membutuhkan siapa pun, yang aku butuhkan adalah kamu." Pria itu kembali berbisik.

Bunga mencoba kembali berontak, tapi gagal. Air mata Bunga mengalir deras ketika Gama berhasil merenggut satu-satunya hal berharga yang dia jaga selama ini.

Malam yang begitu memilukan untuk Bunga rasakan, malam terpahit yang Bunga alami sepanjang masa.

Hancur sudah pernikahan impian yang selama ini dia idam-idamkan, karena nyatanya dia tidak bisa menjaga mahkotanya sendiri.

Ketika akhirnya si majikan jatuh terlelap, Bunga memunguti kembali pakaiannya dan keluar setelah berpakaian.

"Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Kenapa, Tuhan!" isak Bunga seraya memukul dadanya yang terasa begitu sesak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status