"Kamu bentar lagi gajihan, kan? Adek kamu mau lulus, Ibu minta uang ya buat bayar kelulusan sama buat bayar biaya pendaftaran."
Bunga menatap koper di depan lemari dengan senyum miris. Awalnya dia berencana untuk mengundurkan diri. Namun, mendengar keluh kesah ibunya dia jadi ragu apakah keluar dari pekerjaan ini keputusan yang tepat? Ya, Bunga memutuskan untuk berhenti karena melihat kondisinya sudah tidak aman. Majikannya itu sering kali bertengkar, entah apa penyebabnya. Itulah yang membuat Bunga tidak nyaman untuk melanjutkan bekerja di sini, karena menurut Bunga, mentalnya juga ikut-ikutan terganggu karena terlalu sering mendengar teriakan, umpatan kasar, dan juga barang pecah. Bisa-bisa nanti dirinya ikut terkena akibat dari pertengkaran sang majikan. "Kok diam? Kamu nggak mau bantu Ibu ya, Bunga?” Ibunya kembali berkata. “Terus kalau bukan kamu siapa lagi yang bakal Ibu andalkan? Ayah kamu baru aja dipecat. Katanya pengurangan karyawan karena bentar lagi proyeknya udah selesai. Ya gitu dah, namanya pekerjaan kuli bangunan pasti selalu aja kayak gitu." Bunga semakin sedih mendengarnya. "Berapa biayanya, Bu?" tanya Bunga dengan lirih pada akhirnya. "Enggak banyak kok, cuma tiga juta aja." Bunga menghela napas berat. Cuma tiga juta? Bahkan itu sudah hampir seluruh gaji yang dia dapatkan sekarang. "Bu, gaji aku cuma tiga juta dua ratus. Kalau aku kasih ke Ibu semua, terus di sini aku gimana? Aku juga punya kebutuhan, Bu." Bunga mencoba untuk bernegosiasi, siapa tahu ibunya tidak terlalu menekan dan mengerti posisi Bunga saat ini. "Maksud kamu apa? Kebutuhan kamu yang mana? Bukannya sekarang kamu tinggal sama majikan kamu? Otomatis makan juga ditanggung, kan?” balas sang ibu. “Ayolah, Bunga, pikirkan adik kamu. Masa kamu tega sama dia?" "Kebutuhan aku nggak cuma sekedar makan dan tempat tinggal, Bu," terang Bunga, berusaha sabar. "Keperluan aku yang lain juga ada. Tidak mungkin ditanggung majikanku semuanya.” “Ck. Lalu kamu nggak bakal kirim uang, begitu?” “Nggak, Bu. Nanti pasti bakal aku kirim, tapi nggak sebanyak yang Ibu minta, ya.” Bunga menghela napas pelan. Kali ini Bunga memberanikan diri untuk bersikap tegas pada ibunya. “Mungkin aku cuma bisa kasih setengahnya aja." "Itu kurang, Bunga. Astaga! Harus berapa kali sih Ibu bilang?" Bunga kembali menghela napas berat. Ibunya sangat keras kepala, dan ... sangat egois. “Kamu kan kerja di kota. Majikanmu pasti kaya, kan? Kalau memang gajimu nggak cukup sekarang, coba cari pinjaman saja.” Sebenarnya, memang kesepakatan awal ketika Bunga bekerja di rumah majikan, gajinya akan naik secara bertahap. Nyonya rumah ini, Sofia, mengatakan jika kinerja Bunga bagus, maka akan dinaikkan gajinya. Namun, Bunga baru-baru saja bekerja di sini. Belum ada satu bulan! Dan lagi, memangnya pantas Bunga meminta lebih? Apalagi pinjaman? Yang benar saja. Kepala Bunga mendadak pening memikirkannya. Akan tetapi, gadis itu tidak mampu menolak perintah ibunya. "Oke, nanti aku coba bilang ke Bu Sofia ya, Bu. Mudah-mudahan aja beliau mau kasih pinjaman,” ucap Bunga pada akhirnya. Menyerah. “Kalau udah aku kasih uang, tolong diirit-irit ya, Bu.” Karena cari uang itu susah, lanjut Bunga dalam hati. "Nggak usah ngajarin Ibu begitu. Ibu juga udah berusaha buat irit-irit, tapi ya namanya apa-apa semakin mahal mau gimana lagi, Bunga.” Ibunya menggerutu. “Ya sudah. Tolong diusahakan ya, Ibu dikasih tenggat waktu katanya disuruh lunasin secepatnya." "Iya, Bu. Aku usahakan." *** Prang! Bunga berjengit kaget karena mendengar barang pecah dari dalam kamar majikannya. Wanita itu pun seketika memundurkan langkahnya dan mengurungkan niat untuk menemui Sofia. Tangan yang tadinya ingin mengetuk pintu kamar itu seketika terhenti di udara. "Kamu habis tidur sama siapa? Cepat jawab!" Langkah Bunga terhenti karena mendengar teriakan Gama, suami majikannya, tubuhnya mendadak terasa kaku. "Aku nggak ada tidur sama siapa pun!" "Menjijikkan! Sudah ada bukti tapi kamu masih bisa mengelak? Aku sungguh muak melihat wajahmu, Sofia! Secepatnya aku akan menceraikanmu!" pekik pria itu membuat Bunga menelan salivanya dengan susah payah. "Astaga! Jadi Bu Sofia selingkuh?” gumam Bunga lirih. “Apa sih yang kurang dari Pak Gama? Udah ganteng, tajir, apa lagi sih yang dicari?” Bunga menggeleng tanpa sadar dan merutuki kebodohannya karena sudah lancang menguping pembicaraan mereka. Tak tahan mendengar perdebatan mereka, Bunga pun memutuskan untuk menjauh, mungkin nanti saja dia bertemu dengan Sofia ketika mood wanita itu sudah membaik. Sayangnya dia terlambat pergi karena tiba-tiba saja Sofia keluar dari kamar dan melihat keberadaannya di depan pintu. "Bu," panggil Bunga pelan. "Nanti aja, aku harus pergi." Sofia langsung berucap. Padahal itu adalah kesempatan besar agar Bunga berbicara dengan Sofia, mengingat sulit sekali menemui majikannya itu. "Tapi, Bu ...." Ah, suara Bunga dianggap angin lalu oleh Sofia, wanita itu terus saja melangkah menghiraukan panggilan Bunga. Bunga menghela napas berat, dia pun memutuskan untuk kembali ke kamar. Namun, tanpa dia duga-duga tiba-tiba saja dia mendengar suara deheman seorang pria. "Sedang apa kamu di sini?" tanya pria itu dingin. Bunga menggeleng, dia ingin segera pergi namun sialnya tangan Bunga dicekal oleh Gama. Bunga pun langsung melepasnya. "Sa–saya–" "Siapa yang menyuruhmu datang ke sini? Lancang sekali.” Gama langsung menyela ucapan Bunga. Bunga kicep seketika, mulutnya gatal sekali ingin menyela, sialnya yang dikatakan Gama memang benar karena dia sudah lancang berdiri di kamar majikannya. "Saya minta maaf, Pak. Saya–” Namun, Gama tidak menunggu Bunga menyelesaikan ucapannya dan langsung pergi meninggalkan kamarnya. Keluar entah ke mana. Bunga menghela napas. Tidak berkomentar apa pun mengenai tingkah kedua majikannya, apalagi saat kepalanya penuh dengan pikiran mengenai uang yang harus ia kirim ke ibunya. Toh, konflik suami istri itu tidak ada hubungannya dengan Bunga. Bunga tidak menyangka, malam itu juga, Bunga mendapatkan pembuktian bahwa ia salah besar. "Pak, tolong ... jangan seperti ini ….” Tak pernah dia sangka, jika kedatangannya ke kamar ini malah membawa ke dalam petaka. Tadinya, Bunga hanya menolong majikannya untuk kembali ke kamar utama karena saat Gama, pria itu, datang, tubuhnya sempoyongan dan ia tidak bisa berjalan lurus. Kondisi Gama tampak mengenaskan. Penampilan pria itu yang tampak begitu acak-acakan. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pria itu akan melakukan hal seperti ini. "Temani aku malam ini," ujar pria itu, suaranya terdengar begitu lirih. Bunga menggeleng cepat. Mana mungkin dia berani melakukan seperti itu? Apalagi ini ada di dalam kamar! Bagaimana kalau sampai ketahuan oleh istri Gama? "Anda jangan bercanda, Pak,” ujar Bunga dengan suara tegas. “Mana mungkin saya akan melakukannya, dan perlu Anda ketahui, saya ini bukan istri Anda, saya ini pembantu Anda, pembantu!" Bunga pikir ketika dia menjelaskan semuanya, Gama akan dengan cepat melepaskannya. Namun, nyatanya? Pria itu malah memeluknya makin erat. Gama bahkan membawa wajahnya ke ceruk leher Bunga dan menarik napas di sana sebelum mulai menciumi kulitnya yang halus. Hal itu membuat Bunga begidik. “Pak, mohon hentikan–!” "Aku tidak membutuhkan siapa pun, yang aku butuhkan adalah kamu." Pria itu kembali berbisik. Bunga mencoba kembali berontak, tapi gagal. Air mata Bunga mengalir deras ketika Gama berhasil merenggut satu-satunya hal berharga yang dia jaga selama ini. Malam yang begitu memilukan untuk Bunga rasakan, malam terpahit yang Bunga alami sepanjang masa. Hancur sudah pernikahan impian yang selama ini dia idam-idamkan, karena nyatanya dia tidak bisa menjaga mahkotanya sendiri. Ketika akhirnya si majikan jatuh terlelap, Bunga memunguti kembali pakaiannya dan keluar setelah berpakaian. "Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Kenapa, Tuhan!" isak Bunga seraya memukul dadanya yang terasa begitu sesak.Di hari berikutnya, Bunga berusaha bekerja seperti biasanya. Ia sama sekali tidak mempertanyakan kenapa majikan wanitanya, Sofia, keluar dari kamar tidur tamu dan kapan wanita itu pulang semalam.Yang jelas, ia bersyukur Sofia tidak memergokinya keluar dari kamar utama. Mengingat kejadian semalam membuat hati Bunga kembali sakit. Apalagi pagi ini, ibunya kembali menelepon."Ya Tuhan! Aku belum ada uang, Bu. Nanti kalau udah gajian pasti aku bakal kasih uangnya ke Ibu."Bunga terdengar frustrasi karena didesak seperti ini. Seakan masalah ini datang padanya bertubi-tubi.Kemarin ibunya meminta uang tiga juta, yang mana adalah nominal hampir seluruh gajinya. Lalu, saat awal menelepon tadi, nominal uangnya mendadak bertambah menjadi lima juta.Makin lama bicara, nominal yang diminta sang ibu makin tidak masuk akal.Baru kemudian, ibu Bunga jujur kalau dia baru saja mendapatkan tagihan dari aplikasi pinjol dan memerlukan sepuluh juta."Ibu dari tadi diteror terus sama tukang panci itu, Bu
Ucapan Gama mengejutkan Bunga. Mata wanita itu membola tidak percaya.Apakah pemikiran orang kaya memang seperti ini? Tidak bisa diprediksi, egois, dan menyakitkan hati?Bunga tidak langsung menjawab. Ia kembali menunduk, lalu dengan suara pelan berucap, “Mohon maaf, Tuan. Saya harus membersihkan kamar tamu sesuai instruksi Nyonya Sofia tadi. Permisi.”Bohong. Ia sudah melakukan tugas itu tadi. Namun, Bunga memang harus pergi dari hadapan Gama secepatnya sebelum ia menangis di tempat.***"Maaf, bukannya aku nggak mau bantu kamu, tapi kamu tahu sendiri perjanjian sebelum kerja di sini, kan?”Bunga menunduk dalam-dalam saat Sofia berkata demikian. Ia baru saja memberanikan diri dan menyempatkan untuk berbicara dengan Sofia soal pinjaman gaji, lantaran ibunya terus menerus menelepon dan mengiriminya pesan.Oleh karena itu, saat sekiranya suasana hati Sofia tampak cukup baik, Bunga mengutarakan maksudnya.Hanya untuk mendapatkan penolakan. “Aku sudah bilang di awal kalau aku akan menaik
"Mu--mungkin Anda salah paham, Pak.” Bunga buru-buru berkata. Suaranya pelan. “Maksud saya, bukankah waktu itu Anda menawarkan sejumlah uang sebagai bentuk tanggung jawab? Saya mengiakan tentang itu, bukan yang lain." Gama tertawa pelan, membuat Bunga langsung mendongak."Justru kamulah yang salah paham, Bunga.” Pria itu berujar. “Dari awal aku memang menawarkan jadi simpananku. Mungkin kamu sedang banyak pikiran, makanya tidak fokus. Bukan, begitu?"Bunga menggeleng. Tidak. Ia memang sedang banyak pikiran, tapi tidak mungkin Bunga salah paham soal ini."Kalau begitu, saya menolak, Pak.” Bunga berusaha berkata dengan tegas, sekalipun ia terintimidasi oleh majikannya. “Bukannya Anda sudah punya istri? Kenapa harus menawarkan hal gila pada saya? Apa satu perempuan tidak cukup untuk Anda?"Hening. Baru kemudian Bunga menyadari kalau dia kelepasan bicara.Ekspresi Gama tampak gelap saat ia berkata, "Kalau kamu tidak tahu tentang kehidupanku, sebaiknya kamu tutup mulut."Bunga langsung m
"Kenapa wajahmu tampak pucat begitu, Bunga? Apa terjadi sesuatu?" tanya Sofia penasaran."E--enggak kok, Bu. Enggak ada.""Memangnya pesan dari siapa?"Baru kali ini Sofia kepo dengan permasalahan orang lain. Biasanya dia tampak cuek. Terlalu malas ikut campur kehidupan orang. Namun, untuk kali ini berbeda, apalagi melihat wajah Bunga yang tampak syok. Jiwa penasaran Sofia meronta-ronta.'Dari suami Anda yang gila itu.' Bunga hanya berani menjawab dalam hati."Biasa, Bu. Pesan dari Ibu saya."Sofia tampak manggut-manggut. "Dia minta uang lagi ke kamu?"Bunga terkejut, mengapa Sofia bisa tahu kalau akhir-akhir ini dirinya selalu didesak perihal uang?"Aku tahu, kemarin kamu nekat pinjam uang juga pasti karena ibumu, kan?"Bunga tanpa sadar mengangguk. "Benar, Bu."Sofia menghela napas berat. "Jadi ini yang membuatmu berdiri di depan kamarku? Kamu ingin membahas ini lagi?"Bunga menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa. Kalau tadi dia begitu menggebu-gebu ingin mengatakan ya
"Aku menerimanya.""Bagus. Itulah jawaban yang aku inginkan."Tak lama setelah itu panggilan terputus. Bunga menghela napas, entah jawaban itu benar atau tidak menurutnya."Maaf, Bu. Aku cari uang dengan cara yang seperti ini. Aku tidak menyalahkanmu, tapi kondisilah yang membuatku seperti ini. Menjadi orang ketiga di pernikahan orang lain."Keesokan harinya Bunga meminta izin untuk keluar rumah oleh Sofia, dengan dalih ingin bertemu teman, padahal itu adalah suruhan Gama.Ya, Gama menginginkan mereka bertemu untuk membahas tentang pekerjaan yang akan Bunga lakukan. Walaupun sebenarnya Bunga sudah tahu."Pergilah, tapi aku minta jangan lama-lama. Selain tugasmu untuk bersih-bersih, kamu juga harus jaga rumah. Nggak lupa, kan, kemarin aku menyuruhmu apa? Awasi suamiku! Siapa tahu kalau aku pergi dia akan membawa wanita lain pulang."Kepala Bunga tertunduk, setiap kali Sofia membahas tentang 'wanita itu' dia menjadi bersalah. Bagaimana mungkin Sofia mempercayakannya sedangkan sebenarnya
"Bunga!"Kepala Bunga tertoleh ke belakang, dia mengerutkan kening karena ada seseorang yang melambaikan tangannya.Seorang wanita dengan pakaian seksi. Apakah Bunga mengenalnya?'Siapa ya?'"Astaga! Jadi ini beneran kamu, aku pikir tadi salah orang."Bunga masih terdiam, mengingat-ingat siapa sosok di depannya ini."Maaf, kalau boleh tahu kamu siapa ya? Apa kita saling mengenal?" tanyanya hati-hati.Wanita itu menepuk pundak Bunga seraya histeris. "Serius kamu nggak kenal aku? Ini aku Ayu, Bunga. Teman kamu! Astaga, kenapa cepat sekali lupa sama aku." Wanita itu menggerutu."Ayu?" Bunga menatap penampilan temannya dari atas sampai bawah.Cara berpakaiannya ... sangat beda sekali. Waktu di desa, Ayu selalu berpakaian dengan sopan, bahkan Bunga tak pernah sekali pun melihat Ayu berpakaian pendek. Tapi sekarang apa yang dia lihat? Kenapa Ayu berbeda, seperti yang bukan Bunga kenal."Ini beneran kamu?" tanyanya sekali lagi."Iya, ini aku. Kenapa kamu kaget gitu, ada yang salah?"'Apa dia
"Kenapa, Bunga?"Bunga yang tadinya berniat pulang, harus dia urungkan karena terus didesak oleh Ayu.Dan di sinilah mereka berada di sebuah kafe tak jauh dari hotel yang sempat mereka singgahi untuk melakukan sesuatu."Kenapa apanya?" tanya Bunga pura-pura tak paham."Ayolah, dari tadi aku tanya kamu, kamunya selalu aja diam terus. Kenapa? Kamu malu sama aku?"Bunga menggeleng. "Nggak tuh, aku cuma bingung aja jelasinnya ke kamu, takutnya kamu salah paham. Tapi kalau dilihat dari raut wajah kamu memang salah paham beneran ya," lirihnya."Maksudnya?""Pasti kamu mikir yang nggak-nggak, kan?" tanya Bunga.Ayu menatap Bunga heran. "Loh, gimana nggak? Posisinya ada laki-laki yang keluar dari kamar terus disusul sama kamu, gimana nggak mikir aneh? Malah kayaknya tebakanku benar.""Ini bukan seperti yang kamu bayangkan, Ayu."'Pokoknya Ayu nggak boleh tahu pekerjaan aku yang sesungguhnya. Jangan sampai dia cerita masalah ini di desa.'Ayu dan Bunga memang berteman cukup lama, tapi untuk ha
Tok ... Tok ... Tok ...Bunga mengernyit heran, tengah malam begini siapa yang mengetuk pintu kamarnya?Karena orang itu tak bersuara, akhirnya Bunga memutuskan tidak membuka pintu. Takut saja siapa tahu itu maling, misalnya?"Buka pintunya, cepat!"Bunga tersentak, dia yakin suara itu suara Gama. Tapi ... untuk apa pria itu malam-malam datang ke kamarnya?"Iya sebentar!" Gegas Bunga turun dari ranjang.Bunga terkesiap, usai dia membuka pintu, tiba-tiba saja Gama mendorong tubuhnya ke dinding. Tak lupa juga pria itu menutup pintu lalu menguncinya."Ada ap--""Sssttt! Diamlah, di luar ada Sofia yang tengah mencariku," bisiknya di telinga Bunga, membuat wanita itu meremang.Baru saja Gama selesai berbicara, tiba-tiba suara Sofia terdengar."Mas, kamu di mana?"Baik Bunga maupun Gama sama-sama terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain. Lagi, suara Sofia kembali menggema, membuat Gama mendengkus keras."Sekarang kamu keluar, berpura-pura menanyakan pada Sofia apa yang terjadi," titah
"Kamu nuduh di antara kami? CK! Yang benar aja, Sofia."Sedari tadi Sofia terus saja menyolot jika di antara Dona dan Sasya adalah salah satu selingkuhan Gama."Papasan sama dia aja nggak pernah, boro-boro mau selingkuh," keluh Dona, menimpali."Mas Gama bilang orang itu ada di antara kami, orang terdekat kami. Sedangkan orang-orang terdekatku itu ya cuma kalian," katanya frustrasi."Ya tapi nggak kami juga, kami ini udah punya suami masing-masing. Meskipun suami kamu lebih tajir, tapi ya masa iya kita ngerebut punya sahabat sendiri. Nggak masuk akal." Sasya masih betah mengoceh, karena tak terima terus saja dituduh. "Bisa aja kalau itu cuma alibi suami kamu aja, kan, biar kamu terkecoh?"Sofia masih menatap kedua temannya curiga. Apa iya Gama membohonginya?"Coba deh sesekali kamu selidiki suami kamu. Cari tahu kebenarannya," usul Dona lagi."Udah berkali-kali, hasilnya nihil. Aku nggak nemuin hal aneh dia.""Mungkin kamu nyuruh orang yang benar-benar nggak bisa. Coba deh suruh detek
Gama mendengkus keras ketika melihat kedatangan istri. Pikirannya sedang runyam, dan ini menjadi lebih rumit lagi karena dengan lancangnya Sofia datang ke kantornya."Apa yang membawamu sampai kamu ada di sini?" tanya pria itu dingin."Kamu nggak pernah pulang, jadi wajar aja kalau aku cari-cari kamu," sahut Sofia jutek."Selama ini aku nggak pernah ganggu kehidupan kamu, Sofia, dan kali ini kamu sudah mengganggu privasiku. Datang ke kantorku? Apa sebenarnya tujuan kamu?" Terlihat Gama begitu menahan emosi."Aku mau kamu pulang!""Pulang?" Gama mengernyit heran, tak lama setelah itu dia tertawa terbahak-bahak. "Sejak kapan kamu mengatur-atur hidupku, huh? Selama ini kita tak pernah saling memperhatikan satu sama lain, itu perjanjian sebelum kita menikah, dan sekarang kamu mau melanggarnya?""Aku ...." Sofia mengepalkan tangannya, kalau bukan karena ancaman mertuanya, dia tidak akan senekat ini untuk datang ke kantor Gama. Dia tahu kalau kelancangannya ini pasti tidak akan ditolerir ol
Gama pulang dengan wajah yang sangat kusut, obrolannya tadi dengan Gunadi sangatlah menguras emosinya.Gama sama sekali tidak takut dengan ancaman Gunadi, sayangnya pria itu menggunakan taktik lain, yaitu mengancam orang terdekatnya, Bunga.Baru kali ini Gama takut melebihi apapun. Dia takut kalau Bunga akan diapa-apakan oleh keluarganya."Brengsek!" Gama kembali mengumpat, seraya meninju dinding dengan keras, akibatnya darah mengucur agak deras, sayang sekali tak berasa bagi Gama.Usai memencet tombol bel rumah, pintu langsung terbuka, pandangan Gama langsung menuju pada sosok di depannya.Wajah polos, bibir mungil, dan mata yang sangat teduh itu memandang Gama."Udah pulang?" tanyanya lirih.Ini yang Gama suka, inilah yang dianggap pernikahan yang sesungguhnya.Ketika pulang kerja ada yang sambut, ketika mau mandi dan mau makan ada yang siapin. Pokoknya sempurna. Kenapa tidak Bunga saja yang dipilih oleh keluarga Gama? Kenapa harus Sofia yang jelas-jelas bukan wanita baik-baik?"Hmm
"Nanti malam datang ke rumah."Gama terdiam cukup lama seraya mengetuk-ngetuk jari di dagu, tumben-tumbenan mamanya menghubungi dan memintanya untuk pulang. Biasanya kalau keluarga sudah seperti itu, pasti ada masalah serius."Aku lagi sibuk, Ma," kata pria itu pelan."Mama disuruh sama papa. Katanya dia merindukanmu."Gama mendengkus keras. Rindu? Cih! Mustahil pria bernama Gunadi itu merindukan anak laki-lakinya."Aku--""Nggak ada alasan, Gama!" sela wanita itu, Lala, mama Gama. "Selama kamu nikah, kamu nggak pernah pulang ke rumah. Jadi Mama mohon nanti malam kamu ke sini ya. Nggak sama Sofia juga nggak apa-apa, yang penting kamu ke sini."Gama menghela napas berat, kalau mamanya sudah merengek, mana bisa dia menolak."Oke," jawabnya kemudian.Setelah panggilan terputus, Gama kembali termenung. Teringat dengan kata-kata Lala, tidak mengajak Sofia juga tidak apa-apa? Gama sudah menduga pasti ada yang tidak beres.**"Bagaimana kerjaanmu?"Saat ini hanya mereka berdua saja, Gunadi d
"Kalau aku ya, punya suami setampan dan setajir kayak Gama, nggak bakal deh aku nyeleweng," celetuk Dona."Betul," timpal Sasya. "Apa sih yang kamu cari lagi, hidup kamu itu udah sempurna banget loh, Sofia."Sofia tersenyum miris. "Kalian nggak bakal paham sama apa yang aku rasakan."Baik Dona dan Sasya menatap temannya heran. Kemarin mereka mempergok Sofia keluar dari hotel, dan setelah mereka desak, akhirnya Sofia mengakui kesalahannya, habis tidur dengan pria lain."Kesalahan apa yang Gama lakukan sampai-sampai kamu kayak gini?" tanya Dona penuh selidik.Sasya menepuk pelan lengan Dona, kemudian menggeleng pelan. "Kita nggak berhak ikut campur rumah tangga mereka, yang menjalani itu mereka berdua."Dona menghela napas gusar. "Emang iya sih, ini rumah tangga mereka."Sofia yang menjadi bahan perbincangan pun hanya bisa tersenyum, rasanya dia masih belum siap untuk mengatakan yang sejujurnya."Ngomong-ngomong kamu jadi pecat pembantu itu?"Sofia mengerutkan keningnya heran. Bukankah
"Aku curiga kalau Gama menyembunyikan sesuatu.""Kenapa tiba-tiba membicarakan tentangnya?" tanya Nendra heran.Sofia menatap pria yang baru saja berbagi kehangatan dengannya dengan sorot mata tajam. "Dia itu suamiku, wajar kalau aku bahas dia," katanya sewot."Hmm, dia memang suami kamu, tapi nggak pernah bisa puasin kamu. Suami macam apa kayak gitu?"Sofia mengepalkan tangannya. "Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi, memangnya kamu lupa selama ini uang yang aku kasih ke kamu itu dari siapa? Jangan berlagak lupa ingatan ya, tanpa uang darinya hidup kamu bakal luntang-lantung."Nendra mengepalkan tangannya, dari awal yang dia butuhkan bukan uang Gama, melainkan tubuh Sofia.Meskipun dia tidak setajir Gama, tapi dia tetap memiliki pekerjaan. Selama ini setiap mereka sehabis 'main' Sofia selalu memberikan tips, awalnya Nendra menolak, tapi karena Sofia terus saja mendesak, maka mau tidak mau Nendra menerima uang itu."Berhenti mengagungkan nama pria itu, buktinya pernikahan kalian ngga
"Sudah kukatakan, kalau tidak ada izin dariku jangan pernah keluar rumah!" Gama berkacak pinggang."Aku udah minta izin sama kamu, aku ... Udah coba chat dan juga nelpon kamu, tapi kamu nggak angkat dan nggak balas pesanku," ujar Bunga membela diri."Itu artinya apa, huh? Pasti kamu Udah paham maksudku, kan? Kalau aku sampai tidak membalas, itu artinya aku nggak kasih izin.""Aku sama sekali nggak tahu," jujur Bunga. "Aku nggak bisa memahami isi hati orang, dan aku nggak bisa baca pikiran.""Sekali lagi aku tekankan, jangan pernah keluar rumah tanpa seizinku!""Aku bosan di rumah! Memangnya kenapa kalau aku pergi? Aku juga nggak bakal terang-terangan mengatakan kalau aku istri simpanan mu, kenapa kamu setakut itu?""Bagaimana kalau Sofia tahu?"Bunga mengernyit heran, mengapa tiba-tiba membahas mantan majikannya?"Kenapa dengan dia?" tanya Bunga penasaran."Bagaimana kalau nanti dia curiga?" Ucapan Gama sungguh ambigu."Kamu takut kalau pernikahan ini ketahuan sama Bu Sofia?" tanya B
Seminggu kemudian.Kali ini status Bunga sudah bukan pembantu lagi, tetapi istri simpanan Gama. Kendati demikian, meskipun dia menjadi istri dari seorang konglomerat, nyatanya Bunga tak sebebas seperti dulu. Pernikahan mereka dirahasiakan karena perintah Gama.Lantas Bunga bisa apa? Bahkan ingin keluar rumah pun dia selalu dibatasi.Bunga menatap sekeliling rumah itu dengan hampa. Saat ini dia memang serba cukup, tapi entah mengapa Bunga merasa ada yang hilang.Dia sangat merindukan kebebasannya dulu. Wanita itu selalu berandai-andai, kalau saja dia tidak pernah memutuskan untuk datang ke kota, pasti nasibnya tidak akan seperti ini."Huft." Bunga menghela napas berat. Mengambil ponsel yang dia taruh di meja.Dia terus menggulir media sosialnya sampai bosan, sungguh tidak ada yang menarik.[Jalan yuk.]Melihat notifikasi chat, Bunga langsung mengkliknya, ternyata pesan itu dari Ayu.[Nggak bisa ya? Kayaknya sih iya, kamu kan sibuk sama kerjaan.]Bunga menggigit kukunya, dia ingin sekal
"Aku nggak tahu kamu ngadu apa ke Mas Gama, Bunga."Bunga mendongak, dia tercenung beberapa saat."Maksud Anda apa ya, Bu?" tanya Bunga tak paham."Nggak usah pura-pura polos deh sekarang. Aku yakin kamu kan yang ngerayu Mas Gama supaya aku mau nurut sama dia?"Kening Bunga semakin mengkerut, semakin tak paham."Kamu kemarin bilang mau berhenti kerja, nggak kukasih izin bukannya nurut malah ngadu yang nggak-nggak ke suamiku."Barulah Bunga paham.'Hah? Secepat itu. Memangnya dia ngomong apa sih, kok Bu Sofia sampai semarah ini?'"Saya tidak mengadu apa-apa ke beliau, Bu. Tapi saya memang meminta bantuan ke Pak Gama, karena saya memang harus berhenti bekerja, orang tua saya--""Lama-lama kok aku yakin ya kalau kamu sekarang pintar cari alasan?" sinis Sofia.Bunga menggeleng, tangannya gemetar. Jelas saja dia ketakutan karena apa yang diucapkan Sofia memang benar."Saya memang ingin berhenti, Bu. Tolong jangan tahan saya," lirih Bunga."Beruntung sekali ya hidupmu. Cari pembelaan sana-s