Jangan! Ayah tidak boleh memerkosa Kaneena!
Saat itu, Kenedi melucuti seluruh helai di tubuhku hingga tercabik-cabik tanpa belas kasihan. Di sorotnya pun tak lepas dari kekejian. Jika benci dan dendam padanya adalah dosa paling besar, jangan pernah tunjukkan aku surga keabadian.
Ketika uang mudah sekali kudapat hanya dengan berlenggak-lenggok atau berpose layaknya wanita tercantik di dunia, tapi Tuhan memberi hidup ini kecacatan keluarga.
"Kapan tua bangka itu mati?" celetukku sebelum dipukul oleh Willis yang baru saja menurunkan sandal rumahan, pengganti stiletto karena tungkai ini nyaris tergelincir. Aku memicing sengit. "Sakit! Jika bahuku memar karena pukulanmu, pemotretan berbaju seksi, kau yang akan menggantikannya!"
Memasuki lorong-lorong sempit untuk sekadar mencari tua bangka sialan itu, membuat darahku naik hingga ubun-ubun. Tidak adakah hal lain yang pria itu lakukan selain meminta uang, berjudi, mabuk-mabukan, dan bermain dengan para jalang? Andai ia tak mengancam akan mengganggu Kian—adik laki-lakiku—rasanya tungkai ini lebih baik diluruskan, menyimpan energi untuk aktivitas yang menghasilkan uang.
Entah berapa panjang lorong dan berapa lama tungkai ini melangkah, tapi kami yang berbalut penyamaran seolah sudi menghirup aroma pekat dari tanah basah. Ancaman pria itu membuatku memutar ulang masa lalu perihal betapa hebat ia menampar dan mencaci ibu sebelum melenggang dengan para jalang. Belum lagi bibir berbisanya yang mengataiku anak haram.
Aku dan Willis terkesiap, bahkan pria itu tak sempat melajukan protesnya ketika tungkai kami tanpa sadar telah tiba di ujung lorong. Ada rumah dua lantai yang berdiri kukuh dengan pelataran tak terurus. Seperti pradugaku, tua bangka itu telah menunggu di teras rumah dan baru saja membanting pintu pagar. Tanpa basa-basi, aku mengambil beberapa gepok uang dari ransel Willis, kemudian melemparnya ke arah Kenedi. "Buatlah ATM! Jangan merepotkan orang lain demi kesenangan sialanmu itu!"
Pria itu terkekeh, khas usia senjanya. Ketika ia hendak menyentuh pipiku, tangan ini menepisnya kasar.
Kenedi berdecih. "Anak durhaka. Tidak takut masuk neraka?" Ia beralih pada bergepok-gepok uang yang kuberi, menghitungnya bagaikan saudagar kaya. "Berapa ini?"
"One hundred million ." Aku membalas singkat sebelum menyilangkan lengan di dada. Muak.
"Thank you, Kaneen. Aku sangat mencintai kalian." Ia memelukku erat, membiarkan aroma alkohol mengaliri hidung kami.
Netraku berputar malas. Muak.
Pria itu berdehem, sekilas melirik Willis yang tampak kaku karena permusuhanku dengan Kenedi. Ia saksi bisu betapa hebat Kaneena terluka dan membenci. "Aku sengaja tidak membuat ATM." Kenedi terkekeh jenaka. "Bukankah Kaneena adalah artis papan atas? Dengan cara seperti apa lagi ayah miskinnya dapat bertemu selain dengan cara seperti ini?"
Mendengar ucapannya, bibir ini tersungging miris. Sudah tahu miskin, tapi masih saja membuat masalah. "Kau mengganggu waktu istirahatku!" Netraku berputar malas. Gigi ini beradu. Telunjukku pun melampiaskan emosi ke arah wajahnya setelah mengingat Kian. "Aku telah memberimu uang, tapi ingat, jangan usik Kian yang harus fokus kuliah!"
Pria itu manggut-manggut, seolah paham.
"Jika tidak, tahu sendiri akibatnya!" Tak segan, aku mengancam. Refleksku menepis usapan Willis pada bahu ini. Pria itu seolah menyadari betapa hebat emosionalku beradu. "Jika uang yang kau inginkan, aku tak peduli." Telunjukku masih mengacung ke arahnya. "Namun, jangan pernah usik hidup kami! Penderitaan ibu di masa lalu, lebih dari cukup." Aku menggeram marah.
Kenedi tampak tak peduli dengan ucapanku. Bahkan, ia seolah mengira bahwa luka jiwa ini adalah lelucon yang tak pantas dianggap nyata. Namun, tidak tahukah pria sialan itu jika tamparan dan pukulannya pada fisik ibu membuatku cacat mental? Belum lagi .... Aku menggeleng, berusaha mengatur napas dan melupakan masa kelam yang hingga detik ini tak bertuan.
Kaneena—artis papan atas—adalah kerusakan berbalut kulit emas.
Aku berbalik ketika siluet menyakitkan masa lalu mencabik-cabik raga letih ini hingga terasa makin tak berdaya. Rasa gengsi pun berharap kucuran air mata pada pipiku tak tampak di sorot Willis karena minimnya pencahayaan.
"Kaneen ...."
Tungkaiku yang telah melangkah keluar teras refleks terhenti karena Kenedi memanggil.
"Aku ingin jujur bahwa kau tumbuh dengan baik. Kau cantik dan cerdas. Terima kasih untuk itu."
Aku terkekeh jenaka, tak sudi menyorotnya. "Apakah kau berpikir aku akan cacat jika hidup tanpa seorang ayah? Lebih baik tidak memilikinya daripada kami terluka!" Rampung menguraikan kalimat, aku menepis cekalan Willis pada pergelangan tangan ini. Tak akan kubiarkan pria itu merasakan betapa hebat Kaneena bergetar karena luka akibat cacatnya keluarga.
"Apakah kau akan kemari lagi?" Kenedi berdehem, seolah memecah liur di tenggorokannya.
"Mungkin nanti, jika kau mati!" geramku sebelum berlalu.
***
Apakah menjadi artis itu enak? Sepertinya, sempurna sekali menjadi Kaneena Azzura.
Aku tersenyum sinis setelah membaca komentar para pemuja musiman, kemudian meredupkan cahaya pada layar ponsel. "Sangat sempurna," gumanku.
"Apa yang ayah katakan padamu?"
Lamunanku tersentak, kemudian menoleh ke arah Kian sebelum menyelami sorotnya. Tercetak binar di netra adikku. Ego ini tahu ia merindukan Kenedi, berharap pertemuan aku dan sang ayah tadi malam akan berbuah manis. Namun, bukankah lukanya pun tak kalah perih? Seharusnya, ia tak memerlukan klarifikasi perihal apa yang terjadi denganku dan tua bangka sialan itu. "Biasa. Ia hanya menginginkan uang." Netra buramku berkedip cepat, kemudian memberinya senyuman termanis. "Jangan memikirkan apa pun selain kuliahmu. Bagaimanapun caranya, aku akan memberimu yang terbaik."
Kian beranjak. Sesak ini merasakan usapan lembut pria itu pada pundak. Aku berkesimpulan bahwa Kaneena tidak sesantai Kian dalam menghadapi keberengsekan Kenedi di masa lampau meskipun kami memiliki pertalian darah yang amat kental.
"Pak Rayen merekomendasikanku untuk mengikuti beasiswa ke Amerika." Ia melepas napas yang absrak kumaknai. "Pria itu bersedia membantuku mengurus segalanya. Pak Rayen mengatakan, aku berpotensi."
Netraku membola, menguapkan senang dan takjub, sangat penuh binar. "Kau serius?" Bibir ini bergetar, menguarkan tanda tanya. Kian memang patut diberi penghargaan karena ia selalu membuatku bangga. "Bagaimana bisa?"
Kian mengedikkan bahu. "Ia Dosen Pembimbing Akademikku yang baru. Pak Rayen mengatakan bahwa aku benar-benar berpotensi." Adik kebanggaanku itu menjelaskan dengan ekspresi santai, mempertampan wajahnya. "Bahasa Inggris-ku pun tidak terlalu buruk. Bagaimana?"
Senyumku mengembang lagi ketika Kian menaik-naikkan alisnya. "Apa pun itu, aku setuju. Silakan ke Amerika, raih mimpimu, dan hidup bahagia." Netra ini berkedip haru ketika Kian menarik raga kami agar berdekapan. Rasa bangga hingga semangatku makin hebat karena Kaneena adalah wanita cerdas yang sayangnya hanya lulusan Sekolah Dasar. Andai Tuhan tidak memberi kesempurnaan raga, ia tidak akan kaya raya. Jadi, harapanku hanya terletak pada Kian.
Kulepas pelukannya karena Kian tiba-tiba gelisah.
"Bagaimana dengan ibu jika aku—"
Aku menggeleng kuat. "Aku yang akan mengurus ibu. Kau hanya perlu belajar, belajar, dan membanggakan kami." Kuusap rambut legamnya. "Ingin ponsel keluaran terbaru? Ingin mobil?" Demi Tuhan, aku ingin sekali memberinya penghargaan.
"I don't need them!" Kian memutar mata malas. "Privilage yang aku ambil darimu hanya di bidang pendidikan. Selebihnya, biarkan aku berusaha sendiri, Kaneen." Pria itu mengedipkan sebelah matanya, menyebabkan dada ini makin menjerit bangga.
"Drama di pagi hari menjelang siang yang amat mengharukan."
Kami menoleh ke sumber suara, menemukan Willis yang melangkah terseok karena membawa banyak perlengkapan pemotretanku. "Sekarang?" Dahi ini berkerut, tidak tega meninggalkan Kian yang baru tiba dari Jogja.
"Tahun depan jika kau ingin jatuh miskin."
***
"Kondisi ibu memburuk."
"Serahkan saja kepada Tuhan. Jika itu milikmu, akan tetap menjadi milikmu." Itu yang Willis ucapkan sekeluarnya aku dari ruang dokter ketika menemukan wajah lesu ini. "Jangan sedih begitu. Aura cantikmu hilang."
Aku berdecih. "Aku? Sedih?" Tawa ini menggema, berusaha merampas praduganya dengan sebelah alis yang meninggi. "Tidak ada kesedihan di kamus Kaneena."
"Gengsimu setinggi langit." Willis mendengus, berusaha merangkul pundakku, bagaikan teman yang seolah mampu memberi ketenangan.
"Pukul berapa talkshow di Stasiun Televisi Garuda dimulai?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Tiga sore. Jadi, kau masih memiliki waktu tiga jam untuk istirahat." Willis melirik arloji pada pergelangan tangannya. "Aku akan bertemu dengan Anggara—"
Alisku bertaut, kembali mengingat Anggara. "Aku yang akan berkencan dengan Anggara sebelum talkshow
sore ini. Jika urusanmu dengannya tidak terlalu penting ...."Willis mengedikkan bahu, penyebab ucapanku menggantung. "Hanya obrolan sederhana. Silakan jika kalian—"
"Bola," gumamku ketika benda bulat tiba-tiba menggelinding di ujung kaki ini. Menyorot arahnya berasal, aku tak menemukan siapa pun. "Duluan saja, Will." Aku meraih benda itu cepat.
Sibuk dengan ponselnya, pria itu berlalu setelah mengangguk. Namun, ia kembali menoleh ke arahku.
Aku mengembuskan napas frustrasi. "Jangan khawatir. Rumah sakit ini hanya berisi orang sakit. Tidak ada yang peduli dengan kehidupan orang lain."
Mendengar ucapanku, Willis mengangguk sebelum benar-benar berlalu.
Aku kembali fokus pada ujung lorong. Mungkin bola ini milik balita yang dirawat, anak dari pasien, atau salah satu penjenguk orang sakit. Egoku tak berpikir akan mengembalikannya. Namun, bagaimana jika sang empunya merupakan orang yang serba kekurangan?
Napas ini berembus lelah setibanya di sana. Tidak ada siapa pun hingga aku memutuskan meletakkan bola tersebut di bangku panjang yang berada di depan salah satu ruang rawat inap. Namun, benda yang sama nyaris menyentuh ujung kakiku lagi. Ketika rasa penasaran ini mendongak, ada bayangan balita berusia tiga tahunan yang digandong oleh pria matang berkemeja merah hati.
"Bola adek." Balita laki-laki itu mengacungkan lengan, seolah meminta sesuatu yang berada pada kedua genggamanku. Ucapannya membuat penasaran ini mengangguk paham.
Tanpa pikir panjang, aku mengembalikan bolanya. Sorot ini beralih pada pria yang sedari tadi hanya beku. Ketika bibirku tersungging pun, ia masih dingin tanpa kata hingga dengusan hati ini terurai menjadi senyuman miris. Dilihat dari penampilan, mereka tampak seperti orang kaya. Jika tahu demikian, aku pun tak sudi mengembalikan bola milik sang putra. Belum lagi perilaku pria itu yang menurutku tidak sesuai. Bukan mendambakan ucapan terima kasih. Namun, setidaknya, jangan terlalu dingin pada seseorang yang berusaha berbuat baik.
Kaneena! Kaneena! Itu Kaneena!
Mendengar pekikan yang amat familier, aku terpejam geram sebelum berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke sumber suara.
Kaneena, apa yang kau lakukan di rumah sakit ini?! Apakah kau menderita penyakit serius?! Apakah kau mengunjungi keluarga yang sakit?! Pertanyaan sialan itu menggema di lorong-lorong rumah sakit sebelum raga ini tenggelam dalam lift.
Hal yang amat tidak kusukai ketika menjadi artis, yaitu tidak seluruh insan memahami makna dari privasi. Aku pun tipikal seseorang yang amat tertutup perihal masalah pribadi karena entah sedari kapan Kaneena benci dipandang dan dianggap menyedihkan.
"Kaneena, fotomu di rumah sakit baru saja muncul di peringkat teratas pencarian internet." Willis mendengus dari seberang telepon. "Berita lainnya, kau diisukan melakukan aborsi karena ke rumah sakit dengan pakaian agak mengembang pada bagian perut. Pria berkemeja merah hati itu pun mereka pikir kekasihmu."
Aku mematikan telepon, kemudian menggigit bibir kuat sebelum memekik kesal. "Sialan!"
***
Permasalahan hidup tak hentinya membuat sakit kepala. Lelah ini membutuhkan Anggara untuk berbagi, tapi ia sulit dihubungi sehingga aku memutuskan untuk menemuinya. Namun, beberapa kali menekan sandi apartemen pria itu, hasilnya nihil. Pintu tak kunjung terbuka dan Anggara pun seolah enggan menampilkan batang hidungnya. Berulang kali menelepon, tapi nirbalasan.
Kelopak mata ini menyatu. "Pria itu mengganti sandi apartemennya?" Bibirku bergumam dalam kelamnya netra sebelum mengingat sesuatu. Ketika berusaha menekan digit angka lagi—tanggal lahir idolanya—pintu membuka. "Dasar budak cinta. Memiliki kekasih artis, tapi sandi apartemenmu adalah tanggal lahir artis lain." Aku mendumal karena kesal.
Kutemukan ruangan yang tampak redup, bagaikan tak berpenghuni. Belum lagi botol-botol soda yang berantakan di meja tamu, penyebab napas ini terembus lelah. Ketika hendak membuka pintu kamar, dadaku berdesir karena celah kecil memberi pertunjukan. Nyanyian sakit seolah menghantam dada ini bahwa insan adalah pengkhianat nomor satu yang tak berperi.
Aku berusaha tenang dan tak peduli. Namun, genangan di kelopak ini menjadi bukti bahwa Anggara sangat keterlaluan. Ia mengkhianati komitmen kami yang sebentar lagi ke jenjang pernikahan.
Tanpa sadar, pipiku basah. Namun, karena penasaran siapa yang tengah membuat madu bersamanya, aku membuka pintu kamar makin lebar. Wanita itu Victoria—artis blasteran—salah satu pemain sinetron yang diproduseri oleh Anggara.
Bibirku tersenyum miris. Kisah kami berakhir. "Sialan!" Aku menggeram marah, penuh kekecewaan.
Aku pernah mengharapkan kematian Kenedi karena pria itu telah melukai kami. Ia menyiksa ibu, belum lagi Kaneena kecil—jiwa murni—yang tak seharusnya berada di lingkaran kekerasan rumah tangga. Namun, sejauh apa pun harap insan, aku tak pernah berpikir bahwa ia akan mati secepat ini.Kenedi ditemukan membusuk di bangunan dua lantai—tempat yang aku dan Willis kunjungi beberapa waktu lalu. Setelah diautopsi, pihak rumah sakit mengatakan bahwa pria itu keracunan sianida. Ia bunuh diri. Terkejut, pasti. Namun, aku berpikir realistis. Daripada Kenedi menumpuk dosa di dunia, lebih baik Tuhan segera mencabut nyawanya.Telapak tangan bergetarku mengusap bahu Kian yang naik turun karena isak tangis. Aku tahu saat itu ia masih terlalu dini untuk memahami kekerasan yang Kenedi lakukan pada ibu. Mungkin hal tersebut yang menjadi alasan hingga Kian amat terpuruk karena kepergian."Maaf." Berulang kali Kian mengucapkan maaf pada Kenedi sebelum beranjak, memelukku erat.Kusesap feromon Kian. Kuusap p
Kembali padaku, atau terima akibatnya. Aku tertawa sumbang karena mengingat ancaman Anggara ketika pria itu mengajak balikan setelah aku putuskan beberapa waktu lalu. Merasa memori tersebut tidak penting, netra ini kembali menerawang.Tak jarang aku iri dengan pengusaha papan atas yang mampu menggunakan isi kepalanya untuk berbisnis. Kaum-kaum elit dapat melempar ide terkait perkembangan dunia. Belum lagi kopi mengepul peneman rapat di hadapan petinggi-petinggi usaha bersama monitor yang menyala-nyala. Namun, sayang sekali, aku tak memiliki apa yang mereka miliki. Menjadi orang kantoran rasanya amat mustahil di negeri ini karena Kaneena hanya lulusan Sekolah Dasar.Setelah Kaneena kecil tumbuh menjadi gadis menawan, aku mengikuti ajang Gadis Sampul di usia lima belas tahun tepat ketika kami memisahkan diri dari Kenedi. Di sana keberanian ini mengasah akting, kemampuan berpose, serta tersenyum manis di hadapan kamera tanpa tekanan apa pun. Lambat laun, upaya menghasilkan buahnya. Namun
Helai rambut ibu yang menempel pada sisir dan sela-sela jemariku adalah tamparan hebat bahwa wanita itu telah bertahan hingga detik ini, melalui tahapan demi tahapan kemoterapi. Entah berapa banyak sel-sel baik di tubuhnya yang ikut terbunuh akibat pembasmian sel kanker.Nona Kaneena harus bersabar karena untuk mendapatkan pendonor sumsum tulang belakang, tidak semudah mendapatkan donor darah. Keberhasilannya pun sangat tipis. Bisa satu banding satu juta orang yang berhasil jika pendonor tidak memiliki ikatan kekeluargaan dengan pasien. Namun, kami akan berusaha semaksimal mungkin.Beberapa jam menemani ibu, aku undur diri karena ada keperluan hingga tungkai ini menggemakan langkah di tengah lorong rumah sakit bersama pikiran-pikiran. Namun, ketika berbelok, seolah ada ribuan batu yang memberatkan langkahku hingga melambat. Aku menemukan Baeck, penyebab emosi Kaneena tersulut karena mengingat ucapan pedasnya. Hendak melempar perseteruan, tapi urung karena gurat pria itu penuh kesendua
Bibir ini tertawa nyaring dengan pipi basah yang dapat kurasakan asinnya.Mengapa pengaduan pelecehan sialan itu makin menganga, seolah senjata makan tuan? Bukankah dalam kasus ini Anggara yang bersalah? Namun, aku yang dicaci!Pertanyaan demikian berputar kusut di benakku bersama cairan penghapus dahaga luka. Berbotol-botol alkohol telah kerongkongan ini tenggak, tapi mengapa Kaneena masih mampu membaca judul-judul artikel tak berperi? "Mengapa hanya namaku saja yang dijatuhkan oleh mereka? Mengapa tidak ada nama Anggara?!" Suraiku terjambak kasar akibat sakit yang tak berujung. Ini tidak adil. Setidaknya, jika Kaneena hancur, penghancurnya pun sama. Bagiku, Anggara tak cukup hanya dengan dijebloskan ke penjara!Hening .... Bahkan, dinding ruangan ini pun seolah tak sudi mendengar keluhku. Mereka beralih tertawa, mencemooh bahwa Kaneena berhak mendapatkan kehancuran."Bisa diam tidak, sih?!" geramku, pada mereka. "Ah, ya." Aku mengangguk dengan senyuman miring. "Aku lupa. Bukankah Ka
Dulu, Kaneena merasa aman dengan apa yang ia miliki hingga tak berpikir bahwa hari jatuh akan tiba. Aku berpikir akan menjadi artis selamanya, tapi Tuhan mencabut seluruh yang hidup ini miliki hanya dengan sekedipan mata. Ya, sedikit manusia yang berpikir panjang. Namun, mulai detik ini, aku akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran. Percayalah, denda yang harus dibayarkan ke agensi akibat cinta buta kami bukan miliaran melainkan triliunan.Dulu, ibu mendoktrin Kaneena untuk menjadi artis dan mengatakan bahwa kami akan kaya raya, kemudian hidup bahagia hingga mimpiku menjadi seorang dosen harus pupus. Tak apa asalkan mereka bahagia, tentunya. Namun, ketika aku menjadi artis—mengikuti doktrin ibu, bahkan hidup dengan harta melimpah sekalipun—percayalah, hati ini hampa. Tidak ada kebahagiaan selain ambisi untuk mencapai kesenangan fisik, bukan jiwa. Dari sana aku belajar satu inti kehidupan, yaitu jangan pernah mendoktrin orang lain untuk mengikuti keinginanmu, bahkan darah dagingmu s
Sialan. Rutinitas Kaneena membawa handbag ternama bersama Willis di sisi kirinya, kini tergantikan dengan seonggok daging bernyawa yang menjinjing tas laptop menuju perpustakaan kota. Demi rupiah yang dulu memenuhi ATM pribadiku, Kaneena tak pernah berpikir akan menghabiskan waktu di tempat ini untuk sekadar mencari informasi guna merangkai kata-kata menjadi kalimat.Aku mengembuskan napas berkali-kali setelah menyadari bahwa perpustakaan ini amat luas. "Pertama kemari, aku menemani ...." Gumamanku tergantikan dengan putaran mata malas karena mengingat Anggara. "Kedua bersama Kian."Ada beberapa teori filsafat yang aku cantumkan di kisah Ares dan Rhea, tentunya membutuhkan riset mendalam. Percayalah, meskipun cerita fiksi, tapi landasan yang terurai pun harus sangat jelas agar para pembaca tidak salah persepsi. Aku tahu. Selain manusia dewasa, tentunya banyak bocil-bocil nakal yang memiliki rasa penasaran setinggi langit. Tak menutup kemungkinan mereka akan menelan informasi secara me
Kebodohanku pernah bersikap sopan dan baik pada seseorang yang jiwa ini anggap pantas menerimanya, tapi kenyataan berkhianat. Kenedi yang akal pikiran ini hormati setengah mati karena statusnya sebagai ayah, tega menjual dan memerkosaku.Aku sakit. Bertahun-tahun lamanya memendam penderitaan karena kenyataan, jiwa ini seolah memberontak, kemudian membentuk pertahanan refleks agar tak terluka lagi. Tak satu pun pula insan tahu kecuali psikiater yang akhir-akhir ini tak pernah kukunjungi karena keadaan. Lantas, apakah aku salah jika memilih tidak menghormati siapa pun jika pada akhirnya rasa hormat ternodai akibat ulah bejat manusia yang bertameng manusiawi?Kaneena akan menjadi Kaneena. Ia tak akan tersentuh, menyedihkan, berlebih diinjak-injak oleh insan. Ia hidup dan membara, tak membiarkan jiwanya dilukai atau terluka.Demi Tuhan, uangku menipis. Beberapa bulan lalu sisa dana di tabungan telah digunakan untuk berinvestasi. Nahas, perusahan tersebut bangkrut dan stakeholder terkena b
Katanya, taraf ikhlas itu tergantung jarak kita pada Tuhan. Makin renggang hubungannya secara vertikal, maka ikhlas makin tak berwujud. Namun, satu yang membuatku tersadar bahwa Tuhan terkadang amat menyebalkan.Mengapa Ia harus menciptakan larangan jika insan tak selalu mampu mengontrol keinginannya? Ini seputar surga dan neraka, tapi bagaimana dengan insan yang amat terluka akibat aturan-Nya?Hal yang amat Kaneena benci dari Tuhan adalah, Ia tak menyelamatkanku ketika Kaneena diperkosa oleh sang ayah. Kepercayaan ini pada Tuhan tergerus karena sakit yang kuderita. Aku yakin bahwa luka ini tak akan sembuh.Kibasan lembar putih membuatku tersadar dari lamunan. Setelah menyadari sesuatu, denyutan di kepala ini memekat.Lorong kelam di hadapanku memberi pertunjukan. Di ujungnya amat menyilaukan, tapi mengapa pemilik bangunan mirip galeri foto kosong ini tak memberi lampu sebagai penghubung ruangan? Ia seolah tahu bahwa Kaneena tak memiliki rasa takut.Tungkai ini terayun pelan, sedikit