Aku pernah mengharapkan kematian Kenedi karena pria itu telah melukai kami. Ia menyiksa ibu, belum lagi Kaneena kecil—jiwa murni—yang tak seharusnya berada di lingkaran kekerasan rumah tangga. Namun, sejauh apa pun harap insan, aku tak pernah berpikir bahwa ia akan mati secepat ini.
Kenedi ditemukan membusuk di bangunan dua lantai—tempat yang aku dan Willis kunjungi beberapa waktu lalu. Setelah diautopsi, pihak rumah sakit mengatakan bahwa pria itu keracunan sianida. Ia bunuh diri. Terkejut, pasti. Namun, aku berpikir realistis. Daripada Kenedi menumpuk dosa di dunia, lebih baik Tuhan segera mencabut nyawanya.
Telapak tangan bergetarku mengusap bahu Kian yang naik turun karena isak tangis. Aku tahu saat itu ia masih terlalu dini untuk memahami kekerasan yang Kenedi lakukan pada ibu. Mungkin hal tersebut yang menjadi alasan hingga Kian amat terpuruk karena kepergian.
"Maaf." Berulang kali Kian mengucapkan maaf pada Kenedi sebelum beranjak, memelukku erat.
Kusesap feromon Kian. Kuusap pula rambutnya sebelum mendaratkan kecupan pada dahi pria itu. Andai ia tahu bahwa Kenedi adalah manusia terkeparat di hidup kami, mungkin Kian sama sepertiku—tak bersimpati meskipun Kenedi telah mati.
"Ayah sudah tenang di sana." Aku berucap demikian agar Kian tenang. Tak ingin munafik—meskipun hidupku tidak termasuk ke jajaran orang-orang suci—tapi aku berani bertaruh bahwa Kenedi akan menerima siksaan yang setimpal.
Adikku melepas peluknya, kemudian menyorot netra ini dalam. Ia seolah menuntut penjelasan yang kusembunyikan. "Beritahu aku banyak hal yang menjadi rahasiamu."
Aku menggeleng, kemudian tersenyum lembut ke arahnya. Kuperhatikan rambut Kian yang beterbangan akibat angin. Dari garis wajah, ia tampan. Namun, mengapa aku sesak ketika menyadari bahwa ketampanan Kian berasal dari Kenedi—pria yang kusumpahi mati?
"Kaneena ...." Ia memanggilku lembut.
Aku masih bisu. Hanya sorot ini yang makin pekat. Kenedi adalah durjana. Ia seorang pendusta, pelaku kekerasan, pemain wanita, pemabuk, dan ... penghancur mental Kaneena. Satu hal yang amat kubenci dan hingga detik ini tak pernah termaafkan adalah, pria itu pernah berupaya menjualku layaknya pelacur. "Yang aku tahu, ia pemabuk." Ragaku berbalik, menggenggam pergelangan tangan Kian, berusaha menyembunyikan luka yang terpancar di wajah ini. Ia pernah memerkosaku, Ki, putri kandungnya.
***
"Yaps, bagus, Kaneen! Posemu sangat natural."
Siapa yang mengatakan aku baik-baik saja setelah Kenedi ditemukan tewas bunuh diri? Banyak sekali paradoks yang menghantui rasa ini, kemudian memecah buihnya menjadi percikan luka. Namun, insan lain belum tentu tahu.
"Sedikit mendongak, Sayang!" Fotografer yang berusaha mengambil rupaku amat lihai dengan kameranya.
Melirik sekilas dengan wajah mendongak, aku menemukan Willis yang menyilangkan lengan di dada.
Kaki jenjang ini bersilang ke sana kemari, menampilkan aura seksi yang demi Tuhan masih dapat dimaafkan daripada model-model majalah dewasa.
"Kibaskan rambut panjangmu, Kaneen!"
Perlahan, aku menyentuh tengkuk, kemudian menyibak surai penuh goda, membiarkan kilatan kamera menerpa kulit. Ini hidupku, mata pencaharianku, meskipun tak sepenuhnya memberi Kaneena kebahagiaan.
Willis berlari ke arahku dengan bathrobe putih di lengan ketika pemotretan telah usai. Benda itu ia sampirkan pada tubuh seksi ini—berbalut lingerie yang tak terlalu transparan—kemudian memberi satu cup Teh Thailand. "Kerja bagus, Kaneena." Pria itu bertepuk tangan di depan wajahku, mampu menghibur sebelum mendapat decakan lidah ini.
"Jika tidak bagus, bagaimana mungkin aku dapat menggajimu?" ucapku sebelum berlalu, meluruskan tubuh di kursi santai sembari mengalirkan cairan pelepas dahaga. Mengingat sesuatu, aku mengacungkan telapak tangan setelah meletakkan cup di meja.
Seolah paham, Willis memberiku kacamata hitam.
Aku bersandar santai di kursi, merasakan silau yang perlahan menusuk kulit.
Hidup ini melelahkan, tapi akan lebih melelahkan jika kau hanya duduk manis dan menerima penderitaan. Setidaknya, berusaha bangkit untuk meraih kesuksesan dan menghapus bayangan luka terkesan lebih masuk akal.
Dulu, ketika aku berusia empat belas tahun, Kenedi menjual Kaneena kecil ke pria hidung belang. Namun, Tuhan memberi jalan hingga gadis sepolos usianya dapat melarikan diri.
Dulu aku masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Sepulangnya dari les tambahan, betapa terkejutnya jiwa murni ini ketika menemukan ibu dipukuli oleh Kenedi yang tak berperi. Setelahnya, ia membuat madu dengan seorang jalang di hadapan kami.
Kenedi merampas seluruh harta ibu, kemudian pergi begitu saja. Sekali kembali, ia nyaris menjual sang putri. Gagal, tapi keparat itu berhasil merenggut harga diriku. Kaneena yang masih dini meminta ibu menceraikannya hingga kami memisahkan diri. Tak ada saudara yang memayungi karena terkadang, keluarga tak lebih baik daripada orang asing. Lantas, apakah aku masih berdosa jika membenci Kenedi?!
"Kaneena!"
Aku tersentak sebelum mengedipkan mata berkali-kali. Ingat, Kaneena tak akan menangis di depan orang lain. Jika pun aku menangis, hal tersebut menandakan bahwa perih ini tak tertahankan lagi.
Penuh keterkejutan, aku menemukan Kian. "Kian, bukankah kau telah kembali ...." Ucapanku menggantung, menyelisik pria di sisi kirinya. Wajah itu amat familier, tapi di mana aku pernah bertemu dengannya? "Mengapa menemuiku di lokasi pemotretan? Tidak bisa nanti saja?"
Kian berdecak kesal. Ia membenahi bathrobe-ku yang sempat menampilkan vulgar.
"Aku sedang ada urusan di Jakarta. Ketika menelepon Willis, kebetulan lokasi ini dekat dengan kami." Kian tersenyum, beralih pada pria di sampingnya. "Pak, perkenalkan, ini Kaneena, kakak perempuan saya."
Aku berkedip bingung, kemudian mengacungkan telapak tangan ketika Kian menyenggol bahu ini. "Saya Kaneena. Kaneena Azzura, kakak dari Kian Azzura."
Pria itu berdehem sebelum membalas uluran tanganku. "Saya Dosen Pembimbing Akademik Kian."
Memutar memori lampau, aku mengangguk semringah. "Bapak yang merekomendasikan Kian untuk mengikuti beasiswa ke Amerika?!" Aku kembali menarik tangannya akibat refleks sebelum tersentak karena pria itu melepas cekalan ini kasar. "Ah, maaf, saya terlampau senang. Jadi—"
"Kian, saya masih memiliki urusan yang lebih penting dari ini. Sebaiknya, kita segera pergi dari sini." Pria itu berucap sangat ketus dengan wajah santai.
Mataku membola setelah mendengar untaian kalimat angkuhnya. Berbeda dengan Kian yang menggaruk tengkuk, aku memilih menyilangkan lengan di dada. Rasa kesal ini menggunung setelah menyadari bahwa ia adalah pria yang mengenakan kemeja merah hati, penggendong balita tiga tahunan di lorong rumah sakit.
Tanpa kata, Kian dan pria sialan itu meninggalkanku.
"Permisi!"
Sesuai harapku, mereka menoleh ke arahku.
"Pak Rayen—"
"Untuk usiamu, cukup panggil aku dengan sebutan, 'Baeck'." Ucapannya amat dingin, mampu membekukan seluruh sarafku hingga membentuk gumpalan gondok.
"Ah, ya, apa pun itu." Aku membalas dengan nada kesal. "Bukankah kau pria berkemeja merah hati yang kutemui di rumah sakit?" Stilettoku mendekatinya. Setelah beralih dari Kian yang menautkan alis bingung, Baeck masih tampak santai.
"Ah, benar." Ia manggut-manggut. "Bukankah kau artis papan atas tak tahu diri yang membiarkan kepopulerannya mengusik ketenteraman orang lain ketika di rumah sakit?" Pria itu berbalik setelah melempar sarkas, mendahului Kian yang melepas napas frustrasi.
Memperhatikan punggung Baeck, darahku naik hingga ubun-ubun. "Jika aku adalah artis tak tahu diri, kau adalah pria tak tahu terima kasih!"
Seolah tak mendengarku, pria itu melangkah makin jauh. Sungguh, aku tidak percaya bahwa dosen yang merekomendasikan Kian untuk mendapatkan beasiswa adalah Baeck. Aku pikir ia malaikat, tapi tak lebih baik dari setan.
Kembali padaku, atau terima akibatnya. Aku tertawa sumbang karena mengingat ancaman Anggara ketika pria itu mengajak balikan setelah aku putuskan beberapa waktu lalu. Merasa memori tersebut tidak penting, netra ini kembali menerawang.Tak jarang aku iri dengan pengusaha papan atas yang mampu menggunakan isi kepalanya untuk berbisnis. Kaum-kaum elit dapat melempar ide terkait perkembangan dunia. Belum lagi kopi mengepul peneman rapat di hadapan petinggi-petinggi usaha bersama monitor yang menyala-nyala. Namun, sayang sekali, aku tak memiliki apa yang mereka miliki. Menjadi orang kantoran rasanya amat mustahil di negeri ini karena Kaneena hanya lulusan Sekolah Dasar.Setelah Kaneena kecil tumbuh menjadi gadis menawan, aku mengikuti ajang Gadis Sampul di usia lima belas tahun tepat ketika kami memisahkan diri dari Kenedi. Di sana keberanian ini mengasah akting, kemampuan berpose, serta tersenyum manis di hadapan kamera tanpa tekanan apa pun. Lambat laun, upaya menghasilkan buahnya. Namun
Helai rambut ibu yang menempel pada sisir dan sela-sela jemariku adalah tamparan hebat bahwa wanita itu telah bertahan hingga detik ini, melalui tahapan demi tahapan kemoterapi. Entah berapa banyak sel-sel baik di tubuhnya yang ikut terbunuh akibat pembasmian sel kanker.Nona Kaneena harus bersabar karena untuk mendapatkan pendonor sumsum tulang belakang, tidak semudah mendapatkan donor darah. Keberhasilannya pun sangat tipis. Bisa satu banding satu juta orang yang berhasil jika pendonor tidak memiliki ikatan kekeluargaan dengan pasien. Namun, kami akan berusaha semaksimal mungkin.Beberapa jam menemani ibu, aku undur diri karena ada keperluan hingga tungkai ini menggemakan langkah di tengah lorong rumah sakit bersama pikiran-pikiran. Namun, ketika berbelok, seolah ada ribuan batu yang memberatkan langkahku hingga melambat. Aku menemukan Baeck, penyebab emosi Kaneena tersulut karena mengingat ucapan pedasnya. Hendak melempar perseteruan, tapi urung karena gurat pria itu penuh kesendua
Bibir ini tertawa nyaring dengan pipi basah yang dapat kurasakan asinnya.Mengapa pengaduan pelecehan sialan itu makin menganga, seolah senjata makan tuan? Bukankah dalam kasus ini Anggara yang bersalah? Namun, aku yang dicaci!Pertanyaan demikian berputar kusut di benakku bersama cairan penghapus dahaga luka. Berbotol-botol alkohol telah kerongkongan ini tenggak, tapi mengapa Kaneena masih mampu membaca judul-judul artikel tak berperi? "Mengapa hanya namaku saja yang dijatuhkan oleh mereka? Mengapa tidak ada nama Anggara?!" Suraiku terjambak kasar akibat sakit yang tak berujung. Ini tidak adil. Setidaknya, jika Kaneena hancur, penghancurnya pun sama. Bagiku, Anggara tak cukup hanya dengan dijebloskan ke penjara!Hening .... Bahkan, dinding ruangan ini pun seolah tak sudi mendengar keluhku. Mereka beralih tertawa, mencemooh bahwa Kaneena berhak mendapatkan kehancuran."Bisa diam tidak, sih?!" geramku, pada mereka. "Ah, ya." Aku mengangguk dengan senyuman miring. "Aku lupa. Bukankah Ka
Dulu, Kaneena merasa aman dengan apa yang ia miliki hingga tak berpikir bahwa hari jatuh akan tiba. Aku berpikir akan menjadi artis selamanya, tapi Tuhan mencabut seluruh yang hidup ini miliki hanya dengan sekedipan mata. Ya, sedikit manusia yang berpikir panjang. Namun, mulai detik ini, aku akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran. Percayalah, denda yang harus dibayarkan ke agensi akibat cinta buta kami bukan miliaran melainkan triliunan.Dulu, ibu mendoktrin Kaneena untuk menjadi artis dan mengatakan bahwa kami akan kaya raya, kemudian hidup bahagia hingga mimpiku menjadi seorang dosen harus pupus. Tak apa asalkan mereka bahagia, tentunya. Namun, ketika aku menjadi artis—mengikuti doktrin ibu, bahkan hidup dengan harta melimpah sekalipun—percayalah, hati ini hampa. Tidak ada kebahagiaan selain ambisi untuk mencapai kesenangan fisik, bukan jiwa. Dari sana aku belajar satu inti kehidupan, yaitu jangan pernah mendoktrin orang lain untuk mengikuti keinginanmu, bahkan darah dagingmu s
Sialan. Rutinitas Kaneena membawa handbag ternama bersama Willis di sisi kirinya, kini tergantikan dengan seonggok daging bernyawa yang menjinjing tas laptop menuju perpustakaan kota. Demi rupiah yang dulu memenuhi ATM pribadiku, Kaneena tak pernah berpikir akan menghabiskan waktu di tempat ini untuk sekadar mencari informasi guna merangkai kata-kata menjadi kalimat.Aku mengembuskan napas berkali-kali setelah menyadari bahwa perpustakaan ini amat luas. "Pertama kemari, aku menemani ...." Gumamanku tergantikan dengan putaran mata malas karena mengingat Anggara. "Kedua bersama Kian."Ada beberapa teori filsafat yang aku cantumkan di kisah Ares dan Rhea, tentunya membutuhkan riset mendalam. Percayalah, meskipun cerita fiksi, tapi landasan yang terurai pun harus sangat jelas agar para pembaca tidak salah persepsi. Aku tahu. Selain manusia dewasa, tentunya banyak bocil-bocil nakal yang memiliki rasa penasaran setinggi langit. Tak menutup kemungkinan mereka akan menelan informasi secara me
Kebodohanku pernah bersikap sopan dan baik pada seseorang yang jiwa ini anggap pantas menerimanya, tapi kenyataan berkhianat. Kenedi yang akal pikiran ini hormati setengah mati karena statusnya sebagai ayah, tega menjual dan memerkosaku.Aku sakit. Bertahun-tahun lamanya memendam penderitaan karena kenyataan, jiwa ini seolah memberontak, kemudian membentuk pertahanan refleks agar tak terluka lagi. Tak satu pun pula insan tahu kecuali psikiater yang akhir-akhir ini tak pernah kukunjungi karena keadaan. Lantas, apakah aku salah jika memilih tidak menghormati siapa pun jika pada akhirnya rasa hormat ternodai akibat ulah bejat manusia yang bertameng manusiawi?Kaneena akan menjadi Kaneena. Ia tak akan tersentuh, menyedihkan, berlebih diinjak-injak oleh insan. Ia hidup dan membara, tak membiarkan jiwanya dilukai atau terluka.Demi Tuhan, uangku menipis. Beberapa bulan lalu sisa dana di tabungan telah digunakan untuk berinvestasi. Nahas, perusahan tersebut bangkrut dan stakeholder terkena b
Katanya, taraf ikhlas itu tergantung jarak kita pada Tuhan. Makin renggang hubungannya secara vertikal, maka ikhlas makin tak berwujud. Namun, satu yang membuatku tersadar bahwa Tuhan terkadang amat menyebalkan.Mengapa Ia harus menciptakan larangan jika insan tak selalu mampu mengontrol keinginannya? Ini seputar surga dan neraka, tapi bagaimana dengan insan yang amat terluka akibat aturan-Nya?Hal yang amat Kaneena benci dari Tuhan adalah, Ia tak menyelamatkanku ketika Kaneena diperkosa oleh sang ayah. Kepercayaan ini pada Tuhan tergerus karena sakit yang kuderita. Aku yakin bahwa luka ini tak akan sembuh.Kibasan lembar putih membuatku tersadar dari lamunan. Setelah menyadari sesuatu, denyutan di kepala ini memekat.Lorong kelam di hadapanku memberi pertunjukan. Di ujungnya amat menyilaukan, tapi mengapa pemilik bangunan mirip galeri foto kosong ini tak memberi lampu sebagai penghubung ruangan? Ia seolah tahu bahwa Kaneena tak memiliki rasa takut.Tungkai ini terayun pelan, sedikit
Seseorang yang tumbuh menjadi pribadi keji, terkadang bukan karena mereka memang terlahir keji melainkan akibat dari bentuk pertahanan atas luka-luka lampau. Analogi sederhana, bagaimana cara kau bertahan di tengah terjangan kejahatan? Tentunya menjadi jahat lebih memabukkan daripada kau tertindas. Mungkin pemikiranku terdengar konyol. Namun, bukankah setiap insan berhak berkesimpulan?Aku memiliki beberapa prinsip dalam hidup. Pertama, Kaneena tidak akan menikah. Kedua, Kaneena tak sudi memiliki anak. Ketiga, ia akan tetap membara dan tak akan diinjak oleh insan. Tiga aturan tersebut telah bulat, kutulis dalam setiap langkah perjalanan. Tidak muluk-muluk. Kuakui bahwa prinsip dapat tercipta sempurna setelah kepercayaan dicampakkan oleh cinta dan kebahagiaan.Aku tertampar ketika Zillo mendongak. Tatapan polosnya seolah berkata, Bagaimana jika Tuhan berkata lain?"Jangan menatapku begitu, bocah." Netra ini berputar malas sebelum fokus pada bianglala. Dalam hati, aku berdecak. Jika Tuh