Share

07. Mulai Berubahnya Gaya Hidup

Sialan. Rutinitas Kaneena membawa handbag ternama bersama Willis di sisi kirinya, kini tergantikan dengan seonggok daging bernyawa yang menjinjing tas laptop menuju perpustakaan kota. Demi rupiah yang dulu memenuhi ATM pribadiku, Kaneena tak pernah berpikir akan menghabiskan waktu di tempat ini untuk sekadar mencari informasi guna merangkai kata-kata menjadi kalimat.

Aku mengembuskan napas berkali-kali setelah menyadari bahwa perpustakaan ini amat luas. "Pertama kemari, aku menemani ...." Gumamanku tergantikan dengan putaran mata malas karena mengingat Anggara. "Kedua bersama Kian."

Ada beberapa teori filsafat yang aku cantumkan di kisah Ares dan Rhea, tentunya membutuhkan riset mendalam. Percayalah, meskipun cerita fiksi, tapi landasan yang terurai pun harus sangat jelas agar para pembaca tidak salah persepsi. Aku tahu. Selain manusia dewasa, tentunya banyak bocil-bocil nakal yang memiliki rasa penasaran setinggi langit. Tak menutup kemungkinan mereka akan menelan informasi secara mentah. Namun, apa boleh buat? Setidaknya, aku sebagai penulis telah berusaha semaksimal mungkin.

"Mana, sih?!" Aku menggeram malas sembari melirik jajaran buku yang tertata rapi pada rak. Nyaris satu jam mencari, tapi benda pipih itu tak kunjung menunjukkan wujudnya. "Kian sialan. Tahu begini, aku minta saja bocah tengil itu untuk mencarinya." Nahas, para pembacaku di platform kepenulisan telah seperti cacing kepanasan, tidak sabaran ingin tahu kisah Ares dan Rhea pada bab-bab berikutnya. Jika menunggu Kian ke Jakarta, akan memakan waktu sangat lama.

Netraku berputar malas, berniat istirahat karena tak kunjung menemukan apa yang otak ini cari. Namun, ketika mundur, aku tersentak karena menabrak punggung seseorang.

"Kau tidak memiliki mata?"

Sialan. Mengapa harus ia lagi, sih?! Netraku terpejam sejenak sebelum berbalik sembari berdecak malas. "Kau tidak melihat mataku ada dua? Lengkap dan indah!" Enggan berdebat panjang dengan Baeck, aku meninggalkannya. Namun, ketika hendak berbelok ke sisi lain labirin rak buku, lengan ini lebih dulu tersentak. "Ada apa? Ingin memintaku menjaga bocah cengeng itu?"

Mendengar aku mengolok-olok putranya, gurat pria itu tampak tak terima. Rahangnya mengeras. Genggaman Baeck pun mengetat, seolah hendak menghabisi. Namun, apakah aku akan takut? Tentu saja tidak. Ia hanya secuil manusia mengesalkan yang membuat Kaneena kerap naik pitam.

"Kau tahu, anakmu sangat menyukaiku." Aku tersenyum sinis. "Sayang sekali, aku sangat membencinya."

"Sejauh mana kau tahu perihal wanita yang putraku panggil 'bunda'?" Sorot pria itu menyala-nyala, seolah menyembunyikan sesuatu yang ingin sekali ia luapkan. "Apa yang Azillo katakan?"

Aku enggan menjawab, memilih memperhatikan kancing kemejanya dalam beku. Kemudian, pemikiran ini menerka. Entah takdir seperti apa yang membawa kami kerap bertemu. Aku tahu sang istri dirawat di Jakarta, tapi bukankah ia merupakan dosen di universitas ternama Yogyakarta? Aku pikir, pria itu tak akan kembali ke Jakarta setelah mengajar.

"Mengapa kau berada di sini?" Aku berucap spontan karena isi kepala sebelum mengutuk bibir sendiri ketika menemukan sorotnya yang penuh tanya dan masih tajam. "Kau menguntitku?" semburku lagi, agar ia tak terlalu percaya diri karena aku baru saja menanyakan perihal privasi.

Amarah Baeck rupanya tidak pria itu sampaikan. Terbukti, ia berlalu, penyebab dada ini mengutuk ciptaan Tuhan. Pasalnya, makhluk sialan itu amat aneh dan mengesalkan.

Aku pun hendak berbalik setelah terdiam, memperhatikan punggungnya yang berlalu. Namun, ketika menemukan sesuatu, dada ini bersorak girang. Semangatku membara hebat, penyebab rasa lega ini berlari sekuat tenaga, menyusuri rak-rak berisi buku. Sialnya, Baeck telah berbelok hingga Kaneena kehilangan jejak. Sesuai insting, aku melangkah ke kanan. Tepat sasaran, pria itu masih melenggang santai. Setelah tiba di belakang punggung Baeck, aku merampas buku pada jepitan jarinya.

Napas ini terengah. Netraku pun mungkin telah berbinar, menyorot penemuan dengan bahagia. Berjam-jam mencari buku ini, akhirnya aku menemukannya juga. "Dapat!" Aku hendak berbalik, tapi raga ini lebih dulu tersentak ke sudut ruangan buntu.

Pria itu hendak merebut buku di dekapan dadaku sebelum gagal karena gesit ini lebih dulu bergerak.

"Ini milikku!" Aku mengelak lagi, memunculkan aksi saling rebut. Namun, karena aku meletakkannya di depan dada, Baeck tak akan berani bergerak jauh.

Pria itu menggeram dengan netra terpejam. Wajahnya telah merah, penyebab nyali ini sempat menciut. "Itu, mi-lik-ku! Berhenti menjadi orang bodoh."

Aku berdecih, menyorotnya dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan kesal bercampur jijik. "Ini milik perpustakaan kota, bukan milikmu!" Netra ini berputar malas. Memangnya, pria itu sekaya apa hingga berani mengklaim tak tahu diri? "Apakah kau pintar?"

Pria itu menyilangkan lengan sebelum memijat pangkal hidungnya. "Aku yang pertama kali menemukannya! Kau memang tidak diajarkan sopan santun."

Emosiku mendidih setelah mendengar kata "sopan santun". Namun, karena masih waras untuk tidak mencacinya di sini meskipun perpustakaan tergolong sepi, aku hanya mengembuskan napas lelah.

"Aku setuju dengan berita yang beredar bahwa kau tidak ber-attitude," telaknya.

Bukankah seharusnya aku baik-baik saja, berlebih tak peduli? Tapi mengapa dada ini kesakitan ketika insan mengataiku tidak ber-attitude? Ya, mereka tidak tahu perjalanan yang pernah Kaneena hadapi hingga membenci "sopan dan santun"!

"Kau tidak tahu apa pun perihal kepribadianku." Aku menggeram penuh emosi.

Pria itu menunjuk wajahku dengan sorot menusuk. "Kau, wanita matang yang kekanakan, angkuh, tempramen, dan tidak memiliki sopan santun." Giginya beradu, senada dengan geraman pada jiwaku.

"Kau bukan siapa pun yang berhak memvonis hidupku!" Kulempar buku sialan ini hingga mengenai wajah dan dadanya. Tanpa pikir panjang, tungkai ini melangkah tergesa, meninggalkan hari sial di mana Kaneena bertemu dengan keparat Baeck.

***

Pertemuanku dengan Baeck di perpustakaan kota benar-benar memperburuk isi hati. Aku tak masalah jika ia memaki, asalkan jangan pernah membawa perihal attitude yang tidak pria itu ketahui. Ia terlampau asing untuk menyimpulkan watak Kaneena.

Sialan kau, Ares. Pria otak selakangan.

Istri secantik Rhea disia-siakan, apa kabar aku yang skincare-an masih menggunakan air tajin?

Sebenarnya apa, sih, Kak, yang Ares inginkan?

Apakah benci bilang cinta adalah definisi dari hubungan mereka?

Gua kalau jadi Rhea, udah gua tinggalin, tuh, bajak laut keparat!

Membaca komentar para pembaca kisah Ares dan Rhea, membuatku tersenyum samar. Jiwa sakit ini seolah terkelupas perlahan meskipun tidak utuh. Mereka berhasil mengghibur kemalangan Kaneena.

"Anak ibu cantik sekali jika tersenyum."

Mendengar suara lembut itu, aku mendongak. "Memangnya, jika tidak tersenyum tidak cantik?" Netra ini berputar malas. "Aku memang cantik sedari lahir, Bu, bahkan sedang menangis sekalipun."

Wanita itu tertawa lembut, menyorotku dengan kelucuan.

Dalam diam, bibir ini terangkat sebelah. Sebagian beban hidupku seolah beranjak dari kubangannya.

"Ibu lihat, kau jarang menghabiskan waktu bersama Willis untuk mengurus pekerjaan."

Dada ini tersentak hebat mendengar pernyataan ibu yang menyiratkan pertanyaan. Dalam bungkam, aku menggigit bibir. Anyir, tapi hanya dengan cara seperti itu Kaneena mampu menahan sakit.

"Sayang ...."

"Ah, itu .... Willis sedang berlibur." Bahuku mengedik, seolah tak acuh. "Karena ia telah menemani Kaneena dari nol, aku memberinya kesempatan. Akhirnya, kami berdua memutuskan cuti." Tubuh ini yang sedari tadi tengkurap beralih duduk, memasang semringah palsu agar ibu tak mencium gelagat aneh Kaneena. "Aku memilih menemani ibu, dan Willis pergi entah ke mana."

Ibu menautkan alis. "Mengapa putri ibu tidak ikut, Sayang?"

Senyumanku mengembang. Yang terpenting saat ini adalah biaya rumah sakit. "Aku sibuk menulis." Bahuku mengedik lagi. "Bukankah hebat jika Kaneena memiliki bakat baru selain berlenggak lenggok di tengah pemotretan?" Enggan berbincang dengan ibu karena hati ini bak teriris, aku kembali pada laptop, menuliskan beberapa kalimat berisi pengumuman bahwa kisah Ares dan Rhea akan update setiap malam.

Pucuk dicinta, pembaca pun ceria.

Woah, aku tidak percaya jika author memang pengertian!

Asik. Malam-malam, jiwa jomloku tidak lagi kelabu.

Gila. Bisa-bisa kekasihku ingin putus karena aku lebih bahagia dengan kisah mereka daripada kisah kami.

Terima kasih, Kakak Author yang cantik!

Senyuman ini lagi-lagi mengembang. Bahkan, mereka tidak tahu siapa penulis kisah Ares dan Rhea sesungguhnya. Bagaimana mungkin aku dikatakan cantik? Namun, tak masalah. Aku bahagia meskipun tidak utuh. Jika tahu komentar mereka dapat menghapus luka, mengapa tidak sedari dulu Kaneena menulis? Ya, meskipun tulisan ini tak serapi penulis terkenal, tapi aku akan berusaha menjadikannya bernilai jual.

Beberapa tahun lalu, aku membuat akun di platform ini hanya untuk membaca di waktu senggang ketika masih sibuk dengan pemotretan. Namun, saat ini, aku akan memanfaatkannya sebagai penyalur imaji. Kaneena akan fokus menulis. Aku dengar-dengar, ada penulis terkenal yang mampu membeli alphard dari hasil menulisnya. Aku yakin, suatu saat nanti, usaha akan membuahkan hasil.

"Not bad ...," gumamku, kemudian terpejam sejenak, merangkai pemikiran.

"Tante ...."

Gigiku beradu, menggeram lelah. "Aku tidak sudi bermain denganmu!" Aku memekik dari dalam, berharap bocah sialan itu segera pergi.

Ibu menyorotku bingung. "Kaneen—"

"Tante, ayo main ...."

Aku menutup telinga dengan bantal, berharap suara sialan itu tak terdengar. Namun, makin menutupnya, makin keras ia memanggil. Hingga geram ini beralih benci, aku memutuskan untuk melangkah ke depan. "Bocah!" Aku menggeram kesal, menunjuk wajah polosnya. "Pergi!"

Tidak seperti biasa yang memilih diam dan tak peduli ketika aku bernada tinggi, bocah sialan itu histeris.

Tak peduli, aku menutup pintu. "Berisik!"

***

Aku terkejut karena hari ini Kian membawa Zillo pada pertemuan kami. Seperti dugaan, bocah itu langsung berlari, kemudian memeluk lenganku. Netra ini berputar malas. "Lepas!"

"Tante, adek lindu."

Netraku membola ketika menemukan wajah sendunya. Aku benar-benar geli dengan drama kehidupan. "Bukankah telah kukatakan bahwa aku bukan tantemu?!" Aku beralih pada Kian yang mengembuskan napas lelah.

"Kaneen, lembut sedikit dengan anak kecil. Suatu saat nanti, kau akan menjadi ibu." Ia menarik Zillo dari lenganku, tapi bocah sialan itu menolak.

"Kau tahu, aku tidak akan memiliki anak." Aku berdecih malas, kemudian mendarat di kursi kafe yang tergolong privat ini. "Saat ini, bagiku, tak menikah tak masalah, berlebih memiliki anak yang amat merepotkan."

Aku tahu Kian amat tidak setuju dengan prinsip sang kakak. Namun, hidup adalah hidupku. Kaneena yang menjalani, maka Kaneena pula yang berpeluang terluka. Jiwa ini enggan memperumit hidup jika harus terikat dengan pria, kemudian berkutat pada rasa sialan bernama cinta. Belum lagi .... Aku menutup wajah ketika membayangkan makhluk mungil menyusu.

"Ibu akan sedih jika tahu prinsip gilamu." Ia bersarkas, tampak lesu.

Aku mengembuskan napas, kemudian mengacungkan telunjuk ke bibirnya. "Hal itu tidak akan terjadi jika kau sudi tutup mulut."

"Apakah kau berharap ibu cepat mati?" Wajah Kian masih tampak kecewa.

Ada tusukan kecil yang mampu mempernyeri dadaku. "Jaga bicaramu, Ki!" Aku menggeram. "Jika begitu, mengapa tidak sedari dulu saja aku menjadi miskin agar tak mampu membiayai pengobatannya?" Sialan. Hari ini Kian benar-benar membuatku kesal.

Setelahnya, hening. Sorot kesal Kian amat kentara. Itu sebabnya ia pun seolah mendiamiku. Sementara Zillo hanya melirik wajah ini penuh damba.

"Ibu Peli, adek ingin disuapi."

What the hell?! Ibu peri?! "Makan saja sendiri!" Aku mengabaikannya, berbeda dengan Kian yang menyorot wajah ini kesal, kemudian menyuapi Zillo bak ayah dambaan si kecil.

"Sialan. Kau sangat kasar, Kaneen." Kian menggeram.

"Kau berani mengutukku, Ki?" Aku memutar mata malas di sela kesal. "Lagi pula, mengapa bocah ini harus dibawa? Sudah tahu—"

"Aku lumayan dekat dengan Zillo. Pak Rayen sedang ada keperluan. Jadi, ia menitipkannya setalah tahu aku di Jakarta." Ia masih menyuapi Zillo perlahan sementara bibir mungil anak itu menganga penuh semangat hingga aku geli memperhatikannya.

"Bodohnya, kau mengajakku bertemu. Bukankah telah kukatakan aku amat membenci bocah sialan ini?"

Kian terdiam. Ia benar-benar tampak marah. Namun, apa peduliku?

"Bukankah kau tahu aku tidak menyukai anak kecil, berlebih anak pria sialan itu?!" Aku tersentak ketika Zillo mengguncang lengan ini cukup keras.

"Tante, itu ayah!"

Aku mengikuti arah telunjuknya sembari mengunyah kentang di meja. "Bukan, itu setan."

"Iya, itu ayah setan."

Liur ini terteguk ketika rahang Baeck mengeras, disusul dengan ekspresi terkejut Kian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status