Kebodohanku pernah bersikap sopan dan baik pada seseorang yang jiwa ini anggap pantas menerimanya, tapi kenyataan berkhianat. Kenedi yang akal pikiran ini hormati setengah mati karena statusnya sebagai ayah, tega menjual dan memerkosaku.
Aku sakit. Bertahun-tahun lamanya memendam penderitaan karena kenyataan, jiwa ini seolah memberontak, kemudian membentuk pertahanan refleks agar tak terluka lagi. Tak satu pun pula insan tahu kecuali psikiater yang akhir-akhir ini tak pernah kukunjungi karena keadaan. Lantas, apakah aku salah jika memilih tidak menghormati siapa pun jika pada akhirnya rasa hormat ternodai akibat ulah bejat manusia yang bertameng manusiawi?
Kaneena akan menjadi Kaneena. Ia tak akan tersentuh, menyedihkan, berlebih diinjak-injak oleh insan. Ia hidup dan membara, tak membiarkan jiwanya dilukai atau terluka.
Demi Tuhan, uangku menipis. Beberapa bulan lalu sisa dana di tabungan telah digunakan untuk berinvestasi. Nahas, perusahan tersebut bangkrut dan stakeholder terkena batunya. Aku telah berusaha membuka usaha, tapi tak juga membuahkan hasil. Bahkan, Willis pun ikut turun tangan, membantu berjualan batagor di Pasar Tanah Abang. Namun, media menggilas semuanya.
"Sialan." Jemariku memijat pangkal hidung, kemudian menyorot lampu jalanan Jakarta dari pembatas kamar dan udara.
Satu-satunya hartaku yang tersisa adalah mobil alphard putih, apartemen ini, dan asuransi pendidikan Kian. Namun, aku tak mungkin menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari meskipun ada secuil salah yang harus pemikiran pendek ini akui, yaitu tidak membangun rumah ketika masih kaya raya.
"Kondisi ibu masih membutuhkan pengobatan." Aku membuat lingkaran di permukaan meja dengan telunjuk sebelum menyorot wajah lesu Willis. "Kau memiliki ide lain?"
Pria itu mengembuskan napas frustrasi. "Membeli franchise tidak murah. Aku bertanya ke salah satu rekan bisnis. Mereka menjual franchise Roti Bilibili seharga 700 juta rupiah."
Mataku membola. Tak masalah harga selangit asalkan sepadan dengan keuntungan yang didapat. Namun, dengan sisa uang yang menipis, aku tidak terlalu berani mengambil risiko jika akhirnya merugi. Percayalah, Kaneena benar-benar dibenci. Bahkan, mereka pun tak segan mencaci di samping tak sudi membeli. Beberapa minggu lalu, outlet franchise senilai 250 juta pun tak membuahkan hasil.
"Cara lain?" Pria itu mengusap wajah.
Aku menautkan alis sebelum tersenyum menang. "Ah, aku akan mempromosikan cerita fiksi di f******k, i*******m, dan berbagai macam sosial media. Semoga membuahkan hasil."
Willis terdiam, menyorotku penuh tuntutan. Ketika wajah ini mengangguk pelan, ia tersenyum samar. "Kau menulis?"
Bahuku mengedik, tak ingin dianggap menakjubkan. "Ya, aku cukup berbakat di bidang seni, termasuk menulis. Kau lupa jika Kaneena adalah wanita cantik dengan segudang prestasi?" Punggung tangan ini mengibaskan rambut, membiarkan aura angkuh membara untuk sekadar memecah kesenduan Willis. "Meskipun ia dicampakkan, tapi karyanya tetap diakui."
Sialan. Willis tampak tersenyum remeh sebelum mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Kaneen, aku dengar-dengar, menulis dapat menghasilkan banyak uang."
Aku menjentikkan jari setuju dan agak senang karena Willis paham dengan apa yang bibir ini ucapkan. "Itu poinnya mengapa aku mencoba menulis. Tidak ada yang tahu perihal takdir, tapi apa salahnya melakukan sesuatu yang diri ini bisa?" Netraku berkedip genit.
Willis menyorot wajah ini semringah. Ia mengangkat telapak tangan, mengajak kami high five sebelum tertawa renyah.
***
Aku meregangkan otot-otot tubuh. Seharian penuh berkutat dengan laptop dan ponsel, mata ini perih. Punggung pun perlu diluruskan. Satu hal yang membuatku bersemangat, yaitu para pembaca—aku menyebutnya Daesyn—amat antusias. Mereka seperti tak habis-habisnya memuja karya Kaneena yang kini telah mencapai satu juta bintang.
Gila. Aku tidak pernah menemukan karya sebagus ini.
Author, karyamu luar biasa. Para tokoh dan kisahnya merasuk hingga sumsum tulang belakang.
Aku ingin bertemu penulisnya. Demi Tuhan, aku jatuh cinta dengan Ares dan Rhea.
Bibir ini hanya mampu mengembang ketika membaca pujian-pujian mereka. Semangat menulis Kaneena pun makin membara, seolah tiada hari esok untuk melanjutkan kisah. Namun, aku tetap harus istirahat.
Setelah membersihkan diri dari penat yang menempel di jiwa dan raga, netra ini terkatup. Namun, ketika mengingat sesuatu, aku kembali menyorot langit-langit kamar. Manusia, makhluk penghabis segalanya. Berapa banyak pun rupiah yang insan miliki, mereka akan tandas.
Memikirkan sesuatu yang erat kaitannya dengan kesehatan ibu, aku membuka i*******m, mencari informasi mengenai lowongan pekerjaan. Namun, ketika membaca kualifikasinya, tak satu pun sesuai dengan riwayat pendidikanku. Ada, tapi menjadi pengasuh bayi yang jelas bukan bakat Kaneena sama sekali.
Notifikasi yang masuk ke ponsel membuatku terdorong untuk memeriksanya.
From: Kian
Kaneen, Pak Rayen sedang mencari pengasuh pengganti untuk Zillo. Setidaknya, hingga pengasuh lama selesai cuti. Gajinya pun lumayan. Aku merekomendasikanmu.
Aku mengembuskan napas lelah. Ada geram di dada yang bergejolak karena penawaran pria itu hadir dalam keadaan Kaneena sedang butuh. Andai tidak, aku tak sudi menimang perihal tawaran Kian. Jiwa ini memang tak berbakat mengasuh anak kecil. Sayangnya, Zillo sangat menyukai Kaneena dan hal tersebut dijamin dapat mempermudah.
Bibir ini tersenyum menang.
Reply,
Wani piro?
Aku terkikik setelah membalas tawaran Kian menggunakan bahasa jawa.
From: Kian
Silakan berunding sendiri. Aku tak sudi menjadi perantara kalian!
***
"Bukankah kau sangat tahu aku amat membenci Azillo?" Aku menyilangkan kaki di depan Baeck yang menyorot rupa ini dengan ekspresi dingin.
Ia mengembuskan napas, kemudian menyilangkan lengan, seolah tak peduli dengan keberadaanku meskipun pria itu amat butuh. "Azillo menyukaimu. Aku hampir mati mencari pengasuh pengganti karena ia tidak ingin."
Keluhan pria itu membuatku tersenyum remeh. Bukankah Kaneena hebat? Dipuja-puja oleh anak kecil yang ia perlakukan dengan sangat buruk. "Kau tidak berpikir aku akan melukainya?" Senyuman sinis ini makin terangkat.
"Aku tahu kau butuh uang. Jadi, tak ada alasan kau menolak dan melukai jika aku berani membayar mahal." Sorotnya menusuk ekspresiku, angkuh dan penuh karisma. "200 sebulan, sebagai pengasuh pengganti."
Air mataku nyaris tumpah karena mendengar leluconnya. 200 sebulan? Bahkan, untuk sekadar membeli makanan kucing Kian pun rasanya tidak cukup. "Kau memang gila." Aku berdecak.
"Jangan berkesimpulan sebelum aku menyelesaikan percakapan ini." Gigi Baeck beradu. Ia tampak amat frustrasi dengan ulahku. Namun, apakah aku peduli?
Aku berdecih.
"200 juta selama sebulan."
Demi Tuhan, aku agak terkejut. Namun, ekspresi ini kusetel sedemikian rupa. Meskipun 200 juta tidak ada apa-apanya dibandingkan rupiah yang Kaneena dapat ketika menjadi artis, tapi untuk ukuran menjadi pengasuh, 200 juta adalah tarif tertinggi di dunia. Bodohnya, ego ini tidak percaya bahwa Baeck orang kaya.
"500 juta." Tentunya aku hanya membual, menguji kesabarannya yang tampak hendak meledak.
"Deal!"
Ia sama sekali tak tampak keberatan, berbeda dengan ekspresiku yang tak terelakkan. Netra ini nyaris melompat dari kerangkanya, berlebih ketika Baeck menyodorkan secarik kertas untuk mencairkan dana. "Tolong asuh Azillo selama aku tidak ada." Ia memijat pelipis. "Selain bibi yang cuti, ia amat menyukaimu. Aku percaya kau tak akan macam-macam jika masih menyayangi kehidupan."
Aku geram. "Ma-maksudmu?!"
"Nasib Kian ada di tanganku." Pria itu berlalu, membiarkan punggungnya mengolok-olok bahwa aku adalah wanita menyedihkan yang jatuh miskin dan membutuhkan uang.
Ketika Baeck benar-benar tenggelam di balik pintu, aku menjambak rambut kasar di sela umpatan. Aku tidak berpikir akan menjadi pengasuh bocah jika saja gaji yang Baeck tawarkan tak membuat jiwa butuh ini tertarik.
***
Siapa Ares sebenarnya? Pria itu amat misterius.
Komentar salah satu pembaca mampu membuat jiwaku bergejolak. Pertanyaannya menandakan bahwa Kaneena berhasil menciptakan karakter seorang Ares yang amat misterius. Demi Tuhan, jemari ini pun gatal ingin segera membalas pesan.
Hayo—
"Tante, adek ingin eek."
Kelopakku menyatu geram. "Poop saja sendiri! Kau tidak memiliki tangan?"
"Tante, adek ingin diteman ...."
Ucapan menggantung bocah itu sukses membuatku menatapnya. Setelah beralih pada Zillo, raga ini memaku. Perasaanku meluapkan kekesalan dan amarah karena lantai telah penuh dengan kotorannya. Tuhan, apakah semua anak kecil semerepotkan ini?
Aku mengusap wajah, berusaha melarutkan kesal, tapi hasilnya sama saja. "Zillo! Bukankah aku telah mengatakan untuk tidak poop sembarangan?! Kau tuli?!" Rasa kesal ini menyeretnya ke kamar mandi sembari menghentikan pernapasan agar tak mencium aroma tidak sedap. Seumur hidup, baru kali ini aku membersihkan kotoran makhluk menyebalkan bernama balita.
Bodohnya, bocah itu hanya menyorot datar, seolah ia tak bersalah. Bukan salahku. Salahkan Tuhan yang menciptakan makhluk lemah dan merepotkan. Mengasuh Zillo, membuatku makin membenci anak kecil.
"Sialan, sialan, sialan. Andai bukan karena uang 500 juta pemberian ayahmu, kau telah habis kubunuh." Aku membaringkan bocah itu dikasur dengan pergerakan agak kasar karena geram, kemudian membersihkan kotoran Zillo yang bercecer di lantai, amat menjijikan. "Lain kali, jika ingin poop, langsung lari ke kamar mandi dan buka celana sendiri! Jangan sampai kamarku ini menjadi kandang hewan yang berbau kotoran!"
Bocah sialan itu menyorotku dari kasur. "Ayah dan bunda selalu menemani Illo ketika Illo poop."
"Itu ayah dan bundamu, bukan aku, setan!"
Zillo hanya bisu. Ia meremas jemari sebelum beralih ke kanan, meraih ponselku. Namun, ketika Zillo hendak menggeser-geser layar, aku merampasnya.
"Jangan sentuh apa pun yang bukan milikmu!"
"Adek ingin bobok dan mendengarkan lagu Korea." Ia menumpu pipi pada punggung tangan, tampak sangat lesu. Namun, drama bocah itu membuatku makin kesal.
"Aku tidak memi—"
"Zillo, paman datang!"
Suara Kian membuatku menoleh ke arah pintu. Ia membawa beberapa bingkisan berisi bakpia khas Jogja. Dengan kekuatan tinggi, kutendang bokongnya. "Paman pantatmu."
"Pantatku memang seksi, melebihi tubuhmu."
"Keparat! Berani-beraninya anak itu menggodaku." Jika Kian membiarkan Zillo memanggilnya paman, pertanda aku pun akan menjadi bibi. Buruknya, jika aku sampai menjadi istri si gila Baeck Rayen. Aku melempar selimut ke arah Kian. "Urus anak ini!"
"Ini tugasmu, Kaneen!" Kian seolah tak terima ketika tubuhku nyaris menyentuh lantai luar.
"Kau bodoh? Bukankah uang yang aku cari juga untuk memenuhi kebutuhanmu?" Punggungku jatuh pada punggung sofa. "Aku lelah mengurusnya seharian. Ia tidak nakal, tapi menyusahkan! Aku harap, anak itu mati saja!"
"Jaga bicaramu, Kaneen! Kau itu manusia atau bukan?!" geram Kian lirih, tapi masih mampu kudengar.
"Diam! Aku ingin tidur hingga pukul tiga. Tolong ajak anak setan itu bermain." Netraku terkatup rapat, melerai letih dalam jiwa dan raga.
Dalam kelam, aku membayangkan pangeran turun dari langit bersama sebongkah berlian. Ia melamar Kaneena, dan berharap kami hidup bahagia selamanya. Namun, aku sadar, ini adalah imaji di tengah peralihan antara sadar dan tidak sadar.
***
Tubuhku lemas. Seluruh tulang pun terasa amat ngilu. Hari ini, aku belum membuka platform menulis sama sekali, berlebih mengetik kata menjadi paragraf panjang.
"Tante, sakit, ya?"
Mendengar pertanyaan polos Zillo, aku memutar mata malas sebelum memunggunginya. Sakitku adalah buah dari bocah sialan itu yang mengajak berendam pukul sembilan malam.
"Tante ...." Lengannya melingkar pada setengah perutku. Melalui peka, aku mampu merasakan wajah Zillo pun menempel pada punggung ini.
"Ini salahmu." Netraku terkatup rapat, kemudian membiarkan bocah itu tetap memeluk. Pasalnya, tenggorokan ini terlampau perih untuk meracau.
Seumur hidup, baru kali ini aku panas tinggi hingga berhalusinasi Baeck tiba di hadapan kami. Kini, posisi aku dan Azillo tidak lagi menyamping melainkan sejajar.
"Ayah, tante demam." Bayangan makhluk mungil itu pun seolah beranjak, tapi aku masih enggan terjaga. Beberapa menit setelahnya, dahi ini mendingin karena sentuhan seseorang yang sontak menyebabkan halusinasiku tersadar. Rupanya, yang terlintas memang kenyataan.
"Baru mengurus anak dua hari, sudah jatuh sakit. Manusia lemah." Pria itu menyorotku remeh.
Gigi ini beradu. Kutepis kasar sentuhan Baeck sebelum memunggungi pria itu. Isi kepalaku telah merancang berbagai macam rencana, termasuk mencabik-cabik wujudnya ketika sembuh nanti.
Katanya, taraf ikhlas itu tergantung jarak kita pada Tuhan. Makin renggang hubungannya secara vertikal, maka ikhlas makin tak berwujud. Namun, satu yang membuatku tersadar bahwa Tuhan terkadang amat menyebalkan.Mengapa Ia harus menciptakan larangan jika insan tak selalu mampu mengontrol keinginannya? Ini seputar surga dan neraka, tapi bagaimana dengan insan yang amat terluka akibat aturan-Nya?Hal yang amat Kaneena benci dari Tuhan adalah, Ia tak menyelamatkanku ketika Kaneena diperkosa oleh sang ayah. Kepercayaan ini pada Tuhan tergerus karena sakit yang kuderita. Aku yakin bahwa luka ini tak akan sembuh.Kibasan lembar putih membuatku tersadar dari lamunan. Setelah menyadari sesuatu, denyutan di kepala ini memekat.Lorong kelam di hadapanku memberi pertunjukan. Di ujungnya amat menyilaukan, tapi mengapa pemilik bangunan mirip galeri foto kosong ini tak memberi lampu sebagai penghubung ruangan? Ia seolah tahu bahwa Kaneena tak memiliki rasa takut.Tungkai ini terayun pelan, sedikit
Seseorang yang tumbuh menjadi pribadi keji, terkadang bukan karena mereka memang terlahir keji melainkan akibat dari bentuk pertahanan atas luka-luka lampau. Analogi sederhana, bagaimana cara kau bertahan di tengah terjangan kejahatan? Tentunya menjadi jahat lebih memabukkan daripada kau tertindas. Mungkin pemikiranku terdengar konyol. Namun, bukankah setiap insan berhak berkesimpulan?Aku memiliki beberapa prinsip dalam hidup. Pertama, Kaneena tidak akan menikah. Kedua, Kaneena tak sudi memiliki anak. Ketiga, ia akan tetap membara dan tak akan diinjak oleh insan. Tiga aturan tersebut telah bulat, kutulis dalam setiap langkah perjalanan. Tidak muluk-muluk. Kuakui bahwa prinsip dapat tercipta sempurna setelah kepercayaan dicampakkan oleh cinta dan kebahagiaan.Aku tertampar ketika Zillo mendongak. Tatapan polosnya seolah berkata, Bagaimana jika Tuhan berkata lain?"Jangan menatapku begitu, bocah." Netra ini berputar malas sebelum fokus pada bianglala. Dalam hati, aku berdecak. Jika Tuh
Aku tidak mengenal pasti sosok yang kerap Azillo agung-agungkan dan bocah itu panggil sebagai 'bunda'. Namun, dari bibir mungilnya melukiskan bahwa sang ibu amat sempurna. Belum lagi sorot Baeck di detik-detik Azillo sesenggukan karena menginginkan kasih sayang.Napas ini berembus tenang, menyorot kosong ke depan. Baiknya, pria itu tidak murka karena aku agak lancang mengubrak-abrik kamar bayinya. Entah mengapa, aku masih amat penasaran dengan ruangan yang berada di ujung kamar kecil tersebut. Pasalnya, aku tak menemukan kamar Baeck dan sang istri di apartemen ini. Mungkinkah .....Hal yang mampu membuatku jatuh bosan adalah selalu berakhir di rumah sakit. Entah apa yang Zillo lakukan hingga kepala anak itu membentur pinggiran lemari tajam di sisi kanan ranjang. Alhasil, kepala bocah sialan itu bocor dan mendapatkan beberapa jahitan.Baeck yang tampak kesal dan marah masih mengabaikanku. Pria itu yang sibuk ke sana kemari, mengurus administrasi sang putra sebelum terduduk lemas di sis
Aku tersadar ketika selendang hitam di kepala ini merosot hingga bahu. Gemeresik dedaunan mendukung aroma duka yang masih tersisa, tapi mengapa jiwaku seolah tak peduli berlebih merasakan sakitnya kehilangan?Lutut ini terlipat, bersimpuh di sisi kiri pusara Kenedi. Karena Azillo dan sang ayah pergi tanpa kabar sepulangnya aku dari menjenguk ibu yang menyisakan hampa di apartemen mereka, tungkai ini memutuskan berziarah ke makam seseorang yang sedari dulu Kaneena sumpahi mati. Jika bukan Kian, demi Tuhan aku tidak akan menyentuh tanah lembap pusara pria sialan itu.Kuletakkan setangkai bunga mawar agar tampak seperti anak yang baik sebelum beranjak dan tersenyum penuh kehampaan. Setibanya di mobil, napas ini terembus lelah, kemudian memutuskan menghubungi Baeck karena aku merasa bertanggung jawab untuk uang lima ratus juta yang pria itu lunasi beberapa hari lalu."Ke mana saja? Aku tidak menemukan siapa pun di apartemen." Pertanyaanku mungkin terdengar ketus di telinganya, tapi Kaneen
Beberapa minggu ini, Zillo tak secerah biasa berlebih sekembalinya ia dari Yogyakarta. Namun, anak kecil itu makin lengket, tapi sang ayah makin hari makin kurang ajar padaku. Kini, Baeck hanya berlalu dengan makan siangnya tanpa memedulikan kami sama sekali. Ia pikir, aku sudi membuatkan makan siang untuk anaknya?"Tante ...."Rahangku yang tanpa sadar mengetat, refleks kendur perlahan ketika menunduk karena panggilannya. Bibir ini hanya berdehem ketus. "Omong-omong, mengapa kalian tiba-tiba ke Jogja?" Netra bundarku berputar malas. "Kau tahu, karena kepergian kalian, aku jadi hutang budi. Seharusnya, Kaneena bisa bebas hari ini."Anak itu seperti tak pernah memedulikan betapa ketus seseorang bersikap padanya. "Bunda dan—""Illo, tolong ambilkan ponsel ayah di meja depan, Sayang!" titah Baeck dari dalam kamar.Azillo beranjak dari duduknya, kemudian berlari kecil menuju ruang tamu sebelum tenggelam dalam kamar. Memperhatikan langkah renyah bocah itu, bibir ini tersungging miris. Jika
Aku masih menoleransi apa pun itu selain menjual diri, termasuk menemani Baeck Rayen minum malam ini. Entah apa penyebab pria itu hingga sudi memohon padaku."Aku ingin tahu satu hal darimu." Aku membenahi tas lengan sebelum mendarat pada sofa di hadapan pria itu."Katakan," balas Baeck dengan nada dingin sembari menata beberapa botol minuman yang mungkin akan memabukkan kami. Pria itu berani mambayarku sangat mahal untuk sekadar menemaninya melepas penat dengan cara menenggak dosa.Cih, mengapa aku jadi seperti pelacur? Aku menggeleng cepat, kemudian mengembuskan napas setelah menyorot Baeck. "Mengapa kau tidak menyewa jalang saja? Mereka akan dengan senang hati memberimu pelayanan terbaik selain menemani minum."Pria itu tiba-tiba tertawa sembari bertepuk tangan seolah ucapanku adalah lelucon murahan malam ini. Ia mendengus bodoh. "Kau pikir, aku semurahan itu?" Sebelah alisnya terangkat sinis. "Aku hanya ingin ditemani minum, bukan ingin—""Aku tidak percaya kau setertutup itu." Ak
Entah pria itu memang dikirimkan Tuhan untuk membantu Kaneena, atau hanya kebetulan saja. Pasalnya, Baeck selalu tiba di detik-detik aku membutuhkan uang. Beberapa hari lalu ibu kritis dan harus di rujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Besoknya, ia menawarkanku pekerjaan yang dapat dikatakan lebih berat, yaitu menjadi ART di apartemen pria itu.Lama sekali aku tidak mendapatkan notif hebat dari cerita Rhea dan Ares.Apakah kau sesibuk itu sehingga tidak sempat menulis lagi?Aku mengembuskan napas, sesekali mengusap pelipis yang penuh keringat dengan lengan basah bercampur busa. "Tidak sempat. Realita lebih menyibukkan. Aku butuh uang cepat." Bibir ini bergumam setelah membaca berbagai macam komentar dari kisah Ares dan Rhea.Napas ini berembus lelah.Azillo telah damai dalam mimpinya, menandakan bahwa aku harus membereskan apartemen ini karena telah dibayar mahal sang ayah. Sudi tidak sudi aku pun harus mencuci baju mereka sebagai pekerjaan terakhir karena aktivitas ini yang paling m
Tadi malam, aku dan Baeck tiba di Singapura.Aku menolak untuk menemani pria itu, tapi Baeck kembali mengikat dengan tawarannya. Ia mengatakan akan menyewa seseorang untuk merawat ibu agar Kian bisa fokus mengurus beasiswa, dan tentu saja aku setuju.Pernahkah kau mendengar bahwa pelacur bahagia dengan profesinya meskipun mereka dapat membeli tas mahal? Sebenarnya, tidak. Ini yang kusebut sebagai keadaan. Toh, yang terpenting aku tidak menjual diri."Melamun, Buk?""Panggilan yang sangat menggelikan," sarkasku yang tiba-tiba merasa bahwa lalu-lalang lebih pantas dipandang daripada cengiran bodoh Baeck. Entah mengapa, pria itu tidak sekaku biasanya, tapi membuatku merasa agak aneh."Ingat, aku Baeck Rayen. Usiaku 33 tahun, memiliki balita laki-laki bernama Azillo, dan saat ini sibuk menata bisnis di Jakarta setelah beberapa waktu lalu mengundurkan diri menjadi dosen."Keterkejutanku menoleh ke arahnya. "Kau tidak menjadi ... kenapa?""Banyak hal yang tidak perlu kau ketahui." Ucapan pr