Share

08. Ide Kurang Ajar Kian

Kebodohanku pernah bersikap sopan dan baik pada seseorang yang jiwa ini anggap pantas menerimanya, tapi kenyataan berkhianat. Kenedi yang akal pikiran ini hormati setengah mati karena statusnya sebagai ayah, tega menjual dan memerkosaku.

Aku sakit. Bertahun-tahun lamanya memendam penderitaan karena kenyataan, jiwa ini seolah memberontak, kemudian membentuk pertahanan refleks agar tak terluka lagi. Tak satu pun pula insan tahu kecuali psikiater yang akhir-akhir ini tak pernah kukunjungi karena keadaan. Lantas, apakah aku salah jika memilih tidak menghormati siapa pun jika pada akhirnya rasa hormat ternodai akibat ulah bejat manusia yang bertameng manusiawi?

Kaneena akan menjadi Kaneena. Ia tak akan tersentuh, menyedihkan, berlebih diinjak-injak oleh insan. Ia hidup dan membara, tak membiarkan jiwanya dilukai atau terluka.

Demi Tuhan, uangku menipis. Beberapa bulan lalu sisa dana di tabungan telah digunakan untuk berinvestasi. Nahas, perusahan tersebut bangkrut dan stakeholder terkena batunya. Aku telah berusaha membuka usaha, tapi tak juga membuahkan hasil. Bahkan, Willis pun ikut turun tangan, membantu berjualan batagor di Pasar Tanah Abang. Namun, media menggilas semuanya.

"Sialan." Jemariku memijat pangkal hidung, kemudian menyorot lampu jalanan Jakarta dari pembatas kamar dan udara.

Satu-satunya hartaku yang tersisa adalah mobil alphard putih, apartemen ini, dan asuransi pendidikan Kian. Namun, aku tak mungkin menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari meskipun ada secuil salah yang harus pemikiran pendek ini akui, yaitu tidak membangun rumah ketika masih kaya raya.

"Kondisi ibu masih membutuhkan pengobatan." Aku membuat lingkaran di permukaan meja dengan telunjuk sebelum menyorot wajah lesu Willis. "Kau memiliki ide lain?"

Pria itu mengembuskan napas frustrasi. "Membeli franchise tidak murah. Aku bertanya ke salah satu rekan bisnis. Mereka menjual franchise Roti Bilibili seharga 700 juta rupiah."

Mataku membola. Tak masalah harga selangit asalkan sepadan dengan keuntungan yang didapat. Namun, dengan sisa uang yang menipis, aku tidak terlalu berani mengambil risiko jika akhirnya merugi. Percayalah, Kaneena benar-benar dibenci. Bahkan, mereka pun tak segan mencaci di samping tak sudi membeli. Beberapa minggu lalu, outlet franchise senilai 250 juta pun tak membuahkan hasil.

"Cara lain?" Pria itu mengusap wajah.

Aku menautkan alis sebelum tersenyum menang. "Ah, aku akan mempromosikan cerita fiksi di f******k, i*******m, dan berbagai macam sosial media. Semoga membuahkan hasil."

Willis terdiam, menyorotku penuh tuntutan. Ketika wajah ini mengangguk pelan, ia tersenyum samar. "Kau menulis?"

Bahuku mengedik, tak ingin dianggap menakjubkan. "Ya, aku cukup berbakat di bidang seni, termasuk menulis. Kau lupa jika Kaneena adalah wanita cantik dengan segudang prestasi?" Punggung tangan ini mengibaskan rambut, membiarkan aura angkuh membara untuk sekadar memecah kesenduan Willis. "Meskipun ia dicampakkan, tapi karyanya tetap diakui."

Sialan. Willis tampak tersenyum remeh sebelum mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Kaneen, aku dengar-dengar, menulis dapat menghasilkan banyak uang."

Aku menjentikkan jari setuju dan agak senang karena Willis paham dengan apa yang bibir ini ucapkan. "Itu poinnya mengapa aku mencoba menulis. Tidak ada yang tahu perihal takdir, tapi apa salahnya melakukan sesuatu yang diri ini bisa?" Netraku berkedip genit.

Willis menyorot wajah ini semringah. Ia mengangkat telapak tangan, mengajak kami high five sebelum tertawa renyah.

***

Aku meregangkan otot-otot tubuh. Seharian penuh berkutat dengan laptop dan ponsel, mata ini perih. Punggung pun perlu diluruskan. Satu hal yang membuatku bersemangat, yaitu para pembaca—aku menyebutnya Daesyn—amat antusias. Mereka seperti tak habis-habisnya memuja karya Kaneena yang kini telah mencapai satu juta bintang.

Gila. Aku tidak pernah menemukan karya sebagus ini.

Author, karyamu luar biasa. Para tokoh dan kisahnya merasuk hingga sumsum tulang belakang.

Aku ingin bertemu penulisnya. Demi Tuhan, aku jatuh cinta dengan Ares dan Rhea.

Bibir ini hanya mampu mengembang ketika membaca pujian-pujian mereka. Semangat menulis Kaneena pun makin membara, seolah tiada hari esok untuk melanjutkan kisah. Namun, aku tetap harus istirahat.

Setelah membersihkan diri dari penat yang menempel di jiwa dan raga, netra ini terkatup. Namun, ketika mengingat sesuatu, aku kembali menyorot langit-langit kamar. Manusia, makhluk penghabis segalanya. Berapa banyak pun rupiah yang insan miliki, mereka akan tandas.

Memikirkan sesuatu yang erat kaitannya dengan kesehatan ibu, aku membuka i*******m, mencari informasi mengenai lowongan pekerjaan. Namun, ketika membaca kualifikasinya, tak satu pun sesuai dengan riwayat pendidikanku. Ada, tapi menjadi pengasuh bayi yang jelas bukan bakat Kaneena sama sekali.

Notifikasi yang masuk ke ponsel membuatku terdorong untuk memeriksanya.

From: Kian

Kaneen, Pak Rayen sedang mencari pengasuh pengganti untuk Zillo. Setidaknya, hingga pengasuh lama selesai cuti. Gajinya pun lumayan. Aku merekomendasikanmu.

Aku mengembuskan napas lelah. Ada geram di dada yang bergejolak karena penawaran pria itu hadir dalam keadaan Kaneena sedang butuh. Andai tidak, aku tak sudi menimang perihal tawaran Kian. Jiwa ini memang tak berbakat mengasuh anak kecil. Sayangnya, Zillo sangat menyukai Kaneena dan hal tersebut dijamin dapat mempermudah.

Bibir ini tersenyum menang.

Reply,

Wani piro?

Aku terkikik setelah membalas tawaran Kian menggunakan bahasa jawa.

From: Kian

Silakan berunding sendiri. Aku tak sudi menjadi perantara kalian!

***

"Bukankah kau sangat tahu aku amat membenci Azillo?" Aku menyilangkan kaki di depan Baeck yang menyorot rupa ini dengan ekspresi dingin.

Ia mengembuskan napas, kemudian menyilangkan lengan, seolah tak peduli dengan keberadaanku meskipun pria itu amat butuh. "Azillo menyukaimu. Aku hampir mati mencari pengasuh pengganti karena ia tidak ingin."

Keluhan pria itu membuatku tersenyum remeh. Bukankah Kaneena hebat? Dipuja-puja oleh anak kecil yang ia perlakukan dengan sangat buruk. "Kau tidak berpikir aku akan melukainya?" Senyuman sinis ini makin terangkat.

"Aku tahu kau butuh uang. Jadi, tak ada alasan kau menolak dan melukai jika aku berani membayar mahal." Sorotnya menusuk ekspresiku, angkuh dan penuh karisma. "200 sebulan, sebagai pengasuh pengganti."

Air mataku nyaris tumpah karena mendengar leluconnya. 200 sebulan? Bahkan, untuk sekadar membeli makanan kucing Kian pun rasanya tidak cukup. "Kau memang gila." Aku berdecak.

"Jangan berkesimpulan sebelum aku menyelesaikan percakapan ini." Gigi Baeck beradu. Ia tampak amat frustrasi dengan ulahku. Namun, apakah aku peduli?

Aku berdecih.

"200 juta selama sebulan."

Demi Tuhan, aku agak terkejut. Namun, ekspresi ini kusetel sedemikian rupa. Meskipun 200 juta tidak ada apa-apanya dibandingkan rupiah yang Kaneena dapat ketika menjadi artis, tapi untuk ukuran menjadi pengasuh, 200 juta adalah tarif tertinggi di dunia. Bodohnya, ego ini tidak percaya bahwa Baeck orang kaya.

"500 juta." Tentunya aku hanya membual, menguji kesabarannya yang tampak hendak meledak.

"Deal!"

Ia sama sekali tak tampak keberatan, berbeda dengan ekspresiku yang tak terelakkan. Netra ini nyaris melompat dari kerangkanya, berlebih ketika Baeck menyodorkan secarik kertas untuk mencairkan dana. "Tolong asuh Azillo selama aku tidak ada." Ia memijat pelipis. "Selain bibi yang cuti, ia amat menyukaimu. Aku percaya kau tak akan macam-macam jika masih menyayangi kehidupan."

Aku geram. "Ma-maksudmu?!"

"Nasib Kian ada di tanganku." Pria itu berlalu, membiarkan punggungnya mengolok-olok bahwa aku adalah wanita menyedihkan yang jatuh miskin dan membutuhkan uang.

Ketika Baeck benar-benar tenggelam di balik pintu, aku menjambak rambut kasar di sela umpatan. Aku tidak berpikir akan menjadi pengasuh bocah jika saja gaji yang Baeck tawarkan tak membuat jiwa butuh ini tertarik.

***

Siapa Ares sebenarnyaPria itu amat misterius.

Komentar salah satu pembaca mampu membuat jiwaku bergejolak. Pertanyaannya menandakan bahwa Kaneena berhasil menciptakan karakter seorang Ares yang amat misterius. Demi Tuhan, jemari ini pun gatal ingin segera membalas pesan.

Hayo—

"Tante, adek ingin eek."

Kelopakku menyatu geram. "Poop saja sendiri! Kau tidak memiliki tangan?"

"Tante, adek ingin diteman ...."

Ucapan menggantung bocah itu sukses membuatku menatapnya. Setelah beralih pada Zillo, raga ini memaku. Perasaanku meluapkan kekesalan dan amarah karena lantai telah penuh dengan kotorannya. Tuhan, apakah semua anak kecil semerepotkan ini?

Aku mengusap wajah, berusaha melarutkan kesal, tapi hasilnya sama saja. "Zillo! Bukankah aku telah mengatakan untuk tidak poop sembarangan?! Kau tuli?!" Rasa kesal ini menyeretnya ke kamar mandi sembari menghentikan pernapasan agar tak mencium aroma tidak sedap. Seumur hidup, baru kali ini aku membersihkan kotoran makhluk menyebalkan bernama balita.

Bodohnya, bocah itu hanya menyorot datar, seolah ia tak bersalah. Bukan salahku. Salahkan Tuhan yang menciptakan makhluk lemah dan merepotkan. Mengasuh Zillo, membuatku makin membenci anak kecil.

"Sialan, sialan, sialan. Andai bukan karena uang 500 juta pemberian ayahmu, kau telah habis kubunuh." Aku membaringkan bocah itu dikasur dengan pergerakan agak kasar karena geram, kemudian membersihkan kotoran Zillo yang bercecer di lantai, amat menjijikan. "Lain kali, jika ingin poop, langsung lari ke kamar mandi dan buka celana sendiri! Jangan sampai kamarku ini menjadi kandang hewan yang berbau kotoran!"

Bocah sialan itu menyorotku dari kasur. "Ayah dan bunda selalu menemani Illo ketika Illo poop."

"Itu ayah dan bundamu, bukan aku, setan!"

Zillo hanya bisu. Ia meremas jemari sebelum beralih ke kanan, meraih ponselku. Namun, ketika Zillo hendak menggeser-geser layar, aku merampasnya.

"Jangan sentuh apa pun yang bukan milikmu!"

"Adek ingin bobok dan mendengarkan lagu Korea." Ia menumpu pipi pada punggung tangan, tampak sangat lesu. Namun, drama bocah itu membuatku makin kesal.

"Aku tidak memi—"

"Zillo, paman datang!"

Suara Kian membuatku menoleh ke arah pintu. Ia membawa beberapa bingkisan berisi bakpia khas Jogja. Dengan kekuatan tinggi, kutendang bokongnya. "Paman pantatmu."

"Pantatku memang seksi, melebihi tubuhmu."

"Keparat! Berani-beraninya anak itu menggodaku." Jika Kian membiarkan Zillo memanggilnya paman, pertanda aku pun akan menjadi bibi. Buruknya, jika aku sampai menjadi istri si gila Baeck Rayen. Aku melempar selimut ke arah Kian. "Urus anak ini!"

"Ini tugasmu, Kaneen!" Kian seolah tak terima ketika tubuhku nyaris menyentuh lantai luar.

"Kau bodoh? Bukankah uang yang aku cari juga untuk memenuhi kebutuhanmu?" Punggungku jatuh pada punggung sofa. "Aku lelah mengurusnya seharian. Ia tidak nakal, tapi menyusahkan! Aku harap, anak itu mati saja!"

"Jaga bicaramu, Kaneen! Kau itu manusia atau bukan?!" geram Kian lirih, tapi masih mampu kudengar.

"Diam! Aku ingin tidur hingga pukul tiga. Tolong ajak anak setan itu bermain." Netraku terkatup rapat, melerai letih dalam jiwa dan raga.

Dalam kelam, aku membayangkan pangeran turun dari langit bersama sebongkah berlian. Ia melamar Kaneena, dan berharap kami hidup bahagia selamanya. Namun, aku sadar, ini adalah imaji di tengah peralihan antara sadar dan tidak sadar.

***

Tubuhku lemas. Seluruh tulang pun terasa amat ngilu. Hari ini, aku belum membuka platform menulis sama sekali, berlebih mengetik kata menjadi paragraf panjang.

"Tante, sakit, ya?"

Mendengar pertanyaan polos Zillo, aku memutar mata malas sebelum memunggunginya. Sakitku adalah buah dari bocah sialan itu yang mengajak berendam pukul sembilan malam.

"Tante ...." Lengannya melingkar pada setengah perutku. Melalui peka, aku mampu merasakan wajah Zillo pun menempel pada punggung ini.

"Ini salahmu." Netraku terkatup rapat, kemudian membiarkan bocah itu tetap memeluk. Pasalnya, tenggorokan ini terlampau perih untuk meracau.

Seumur hidup, baru kali ini aku panas tinggi hingga berhalusinasi Baeck tiba di hadapan kami. Kini, posisi aku dan Azillo tidak lagi menyamping melainkan sejajar.

"Ayah, tante demam." Bayangan makhluk mungil itu pun seolah beranjak, tapi aku masih enggan terjaga. Beberapa menit setelahnya, dahi ini mendingin karena sentuhan seseorang yang sontak menyebabkan halusinasiku tersadar. Rupanya, yang terlintas memang kenyataan.

"Baru mengurus anak dua hari, sudah jatuh sakit. Manusia lemah." Pria itu menyorotku remeh.

Gigi ini beradu. Kutepis kasar sentuhan Baeck sebelum memunggungi pria itu. Isi kepalaku telah merancang berbagai macam rencana, termasuk mencabik-cabik wujudnya ketika sembuh nanti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status