Katanya, taraf ikhlas itu tergantung jarak kita pada Tuhan. Makin renggang hubungannya secara vertikal, maka ikhlas makin tak berwujud. Namun, satu yang membuatku tersadar bahwa Tuhan terkadang amat menyebalkan.
Mengapa Ia harus menciptakan larangan jika insan tak selalu mampu mengontrol keinginannya? Ini seputar surga dan neraka, tapi bagaimana dengan insan yang amat terluka akibat aturan-Nya?
Hal yang amat Kaneena benci dari Tuhan adalah, Ia tak menyelamatkanku ketika Kaneena diperkosa oleh sang ayah. Kepercayaan ini pada Tuhan tergerus karena sakit yang kuderita. Aku yakin bahwa luka ini tak akan sembuh.
Kibasan lembar putih membuatku tersadar dari lamunan. Setelah menyadari sesuatu, denyutan di kepala ini memekat.
Lorong kelam di hadapanku memberi pertunjukan. Di ujungnya amat menyilaukan, tapi mengapa pemilik bangunan mirip galeri foto kosong ini tak memberi lampu sebagai penghubung ruangan? Ia seolah tahu bahwa Kaneena tak memiliki rasa takut.
Tungkai ini terayun pelan, sedikit mengendap. Rasa penasaranku mendominasi ketika semilir angin memecah tatanan rapi rambutku hingga mulai tampak tak berbentuk, layaknya pemotretan di tepi pantai atau di dalam ruangan yang didukung oleh kipas berangin kencang.
Makin melangkah, aku makin ingin tahu apa saja yang ada di bangunan ini. Pasalnya, tak ada suara apa pun selain senyap yang setiap butir mengisi rasa penasaran dan mencampakkan ketakutan. Merasa telah berada di tengah perjalanan, aku menoleh ke belakang, hanya berisi tirai putih tadi yang rupanya tak lain dan tak bukan adalah penutup kaca raksasa. Di seberang kaca raksasa tersebut menampilkan padang ilalang yang telah mengering.
Tubuhku menggigil ketika nyanyian dingin makin menerpa kulit. Ngilu menembus ke sumsum tulang, belum lagi kibasan rambut yang menandakan bahwa siang ini cukup membuat bulu kuduk meremang meskipun terik di padang ilalang menampilkan kenyataan. Ketika menunduk, memperhatikan tubuh, alis ini bertaut. Rasa asing mulai merayap, mencabik sesuatu di dada yang mampu membuatku meringis pelan. Pasalnya, Kaneena tak pernah memiliki gaun seperti ini. Namun, atmosfer yang helainya hantarkan memberiku lagu luka.
Ini tempat apa, sih, sebenarnya? Tanpa sadar, hatiku mendumal sebelum terkesiap karena benturan kaca dan lantai amat memekakkan. Setelahnya, pekikan-pekikan nyaring seorang pria yang disanggah dengan isak tangis pilu menggetarkan jiwa dan ragaku. Tidak tahu pasti apa yang ada di ujung lorong sana, tapi mengapa aku gemetar dan ketakutan?
Cukup, Mas! Sampai kapan kau menyiksa kami? Suara itu berisi isak tangis, terdengar amat memilukan, penyebab dada ini berdenyut kesakitan.
Dahiku berkerut, merasa amat familier. Namun, Kaneena masih belum mampu mencerna selain raga yang telah bergetar hebat tanpa sebab. Langkah tungkaiku melemah. Tanpa sadar, pipi ini pun basah.
Mana anak haram itu?!
Jeritan wanita yang amat familier di telingaku makin pekat. Ia terisak di sela dentuman hebat pada tubuh. Aku ingin marah, mencaci, dan membunuh pria di siluet kelam yang kini mulai tampak, tapi mengapa raga seolah melemah?
Air mataku mengalir deras. Gigi ini beradu geram. Di sana, Kenedi tengah memukuli ibu dengan telapak tangannya sebelum mencambuk tubuh wanita itu menggunakan ikat pinggang. Luka pecutan di tubuh ibu menusuk jantungku. Pita suara ini hendak mencegah, tapi mengapa ia tak mampu mengeluarkan apa pun?
"Hentikan!" Akhirnya, suaraku lepas.
Namun, dua manusia yang tengah baku hantam seolah tak menyadari kehadiran ini. Di sana Kenedi makin keras menyiksa ibu, padahal tubuh wanita itu telah membalu. Menemukan ulah sadisnya yang amat tak berperi, amarahku meluap hebat. Namun, tubuh ini tak mampu melakukan apa pun. Tuhan, tolong! Tak satu pun anak sudi menerima sang ibu yang disiksa nyaris sekarat. Ini luka dan menyakitkan!
Aku terduduk lemas sebelum terisak pilu karena merasa tak mampu melakukan apa pun di tengah ketidakberdayaan ibu. Pukulan demi pukulan yang pria itu layangkan adalah luka. Tidak sanggup dengan pertengkaran mereka, rasa takut ini meringkuk sembari memeluk lutut.
Tulangku makin bergetar. Namun, isak tangis ini berubah menjadi keterkejutan hebat ketika seseorang menarikku paksa. Ia berjubah hitam, tapi tak satu pun makhluk mampu membuatku ketakutan. Hanya masa lalu yang dapat menyebabkan Kaneena lemah lunglai. Hendak melawan, tapi sendi ini tak dapat dilemaskan.
Pria itu menyeretku, melewati lorong-lorong kelam di sela rasa takut yang mulai menggerogoti karena mungkin saja aku akan diberi pertunjukan lebih hebat dari sebelumnya.
"Berhenti!" Itu suaraku, amat nyaring. Namun, mengapa ia tuli?
Seolah tak peduli, pria itu melemparku ke ruangan yang sama, tapi kali ini pencahayaan amat redup. Kosong. Namun, baru hendak menarik napas, anggapanku lebur, dan pria itu menjadi gumpalan asap kelam. Aku kembali fokus pada sekeliling sebelum memaku dengan tubuh bergetar ketika siluet Kaneena kecil tengah histeris.
Napasku tersengal, sesak. Kehidupan seolah merampas nyawa. Bayangan itu ... bayangan yang amat aku benci, di mana Kenedi mencoba melucuti helai sang putri.
Ketakutan Kaneena kecil mulai mengaliri jiwaku. Tungkai ini berusaha beranjak, meninggalkan ruangan. Namun, ia seolah tertancap pada ubin. Lututku pun mulai bergetar.
Jangan! Jangan, Ayah! Itu suara nyaring masa kecilku yang menyimpan ribuan kenangan pahit.
Aku menggeleng. "Berhenti," gumanku yang masih dipenuhi rasa lemas. Pertunjukan demikian benar-benar merenggut keberanianku, memecah kepingannya menjadi butiran rasa takut.
Ayah, jangan lukai Kaneena .... Suara kecil itu masih menggema di tengah pekatnya rasa takutku yang menjadi.
Tenang, Sayang. Ayah tidak akan melukai Kaneena. Pria itu menyeringai, makin dalam membuatku muak.
Ketakutan ini menggeleng pelan. Siluet tajam kekejian makin mengentak jiwa insan ketika punggung Kaneena kecil membentur dinding karena pertahanannya. Mengapa pria itu masih menyisakan luka? Bahkan, Tuhan telah menghukumnya dengan kematian.
Tapi Ayah membuka baju Kaneena. Kaneena malu!
Aku menjerit dengan sisa tenaga pada raga. Sakit. Sakit. Rasanya kematian seolah menjemput. "Tolong, henti—"
Kaneena!
Panggilan itu membuatku tersadar. Kupeluk Kian erat di sela isak tangis ketika wujudnya tampak nyata.
"Kau mimpi buruk, Kaneen?"
Aku menggeleng. Tidak tahu. Namun, siluet menyakitkan itu kerap datang, merusak kepingan-kepingan sembuh. Menyadari sesuatu, aku berdehem, kemudian melepas pelukan Kian sebelum mengusap wajah yang telah basah. "Ah, aku mimpi terbentur tiang listrik dan itu amat menyakitkan, Ki."
Pertama, Kaneena tak sudi terlihat menyedihkan di hadapan insan kecuali diri sendiri. Kedua, Kian tidak tahu apa pun perihal traumaku. Ketiga, ia tak pernah tahu pula seberapa bejatnya seorang Kenedi.
Aku terkesiap ketika seseorang berdehem dari arah lain. Ketika menoleh, netra ini membola. Ada rasa tidak terima bercampur malu. "Hei, mengapa kau ada di sini?!" sambarku ketus.
Baeck meletakkan sang putra yang telah terlelap di pangkuannya ke sofa ruangan ini, kemudian menjatuhkan selimut di atas tubuh anak sialan itu.
"Pathetic." Lembut dan lirih, tapi aku mampu mendengar ucapannya dengan jelas.
Demi Tuhan, pria itu ingin sekali kusumpahi mati. "Heh, jaga bicaramu. Yang menyedihkan itu kau!" Telunjukku mengacung geram sebelum berdecih. Usapan Kian yang seolah meminta sang kakak untuk tenang bagaikan angin lalu. "Kau ayah menyedihkan yang harus mengurus sang putra karena istrimu sakit keras." Dada ini bersorak senang ketika wajah Baeck tampak pucat sebelum berubah menjadi kepingan amarah.
Kian menyentuh pundakku. "Sudah, Kaneen. Kau ini mengap—"
Secepat emosiku yang meluap, sorot ini beralih pada Kian. "Kau tidak dengar? Dosenmu baru saja mengatakan aku menyedihkan, Ki? Kau pikir, aku akan menerima itu semua?!" Gigiku beradu geram.
"Ada trauma hebat di hidupmu."
Mendengar suara pria sialan itu, aku beralih cepat ke arahnya.
"Sepertinya, kau butuh psikiater. Demi Tuhan, kau adalah wanita paling menyedihkan—"
"Hentikan, bajingan!" Telunjukku mengacung geram. Raga ini hendak beranjak, menamparnya menjadi kepingan pria malang. Namun, Kian menarikku. Rasa lemas ini pun mulai merasuk. "Pria sepertimu tidak pantas memiliki istri. Kau tidak tahu caranya memperlakukan wanita!"
Baeck mendekati ranjangku. Seringaiannya adalah rasa geram di jiwa ini yang makin menjadi. Netra pria itu memerah penuh amarah. Telapak tangannya tergenggam hingga putih. "Kaneena!"
"Hentikan!"
Kami berdua menoleh ke arah Kian. Pria itu telah tersengal, mungkin akibat menahan kesal.
"Pria itu—"
"Kaneen," ia menyorotku tajam, "bersikap dewasa sedikit." Pria itu beralih pada Baeck yang berkali-kali mengusap wajah. "Pak, silakan Bapak keluar. Biarkan Zillo di sini. Saya yang akan mengantarnya pulang. Jika kalian berdua disatukan, isinya hanya pertengkaran."
Tanpa kata, Baeck berlalu yang kuperhatikan dalam bungkam. Pasalnya, kepala ini makin berdenyut, membuatku memilih berbaring. "Kau tidak takut didepak olehnya? Kau mengusir pria sialan itu."
Kian mengedikkan bahu. Bibirnya mengerucut. Tampak menggemaskan, tapi aku tahu ia sedang marah.
"Ki—"
"Aku tidak salah apa pun. Usiran tadi hanya upaya untuk melerai." Ia meninggalkanku, kemudian berbaring di sisi Zillo. "Pak Rayen pun cukup dewasa untuk paham."
Entah mengapa, ucapannya membuatku berkecil hati. Alis ini bertaut. "Apakah kau pikir aku tidak dewasa?"
Kian menyorotku aneh setelah berbalik. Ada sesuatu di tengah netranya, tapi entah apa. "Apakah aku mengatakan kau kekanakan? Sudah, Kaneen. Sebaiknya kau tidur. Sembuhkan jiwa dan ragamu." Ia mengusap lengan Zillo karena bocah itu mulai gelisah. "Kau masih memiliki tanggungan beberapa minggu ke depan. Pak Rayen telah mengirimkan setengahnya ke rekeningmu."
Mengingatnya, napasku berembus lelah. Sialan!
***
Aku membuang muka ketika Baeck memasuki kamar ini. Untuk apa pria itu menampilkan batang hidungnya?
"Aku diminta Kian menggantikannya untuk menjagamu selama ia tidak ada." Pria itu jelas tahu isi kepalaku. Mungkin tatapan dan pergerakan memunggunginya telah cukup membuat Baeck berkesimpulan.
"Lantas, kau sudi?" Aku masih tak sudi menoleh, tapi helaan napas pria itu masih mampu telinga ini dengar.
"Seburuk-buruknya kau, aku tetap berterima kasih karena telah sudi merawat Zillo." Baeck menarik bahuku keras hingga raga ini berhasil telentang. Ia memaksaku mengunyah apel dengan ekspresi datar.
Keengganan ini menolak, tapi nihil.
"Kau sakit begini pun—"
"Karenanya!" Kuperjelas agar pria itu makin paham.
Percayalah, mengurus balita seusia Zillo tidak mudah. Jujur, ia tidak nakal, tapi amat menyusahkan karena tidak dapat melakukan apa pun seorang diri. Jika permintaan manusia menyebalkan itu tidak dituruti, tak jarang ia histeris. Malam itu, terpaksa pula aku menurut ketika Zillo ingin kami berendam di tengah busa. Bukankah anak itu amat kurang ajar?
"Asam lambungmu naik."
Kutantang sorotnya, masih tidak bersahabat dan tidak akan pernah. "Dari mana kau tahu?" Alis ini terangkat sebelah.
Setelah terjaga, tiba-tiba aku berada di rumah sakit. Bahkan, hingga detik ini, Kaneena tak ingin tahu apa penyebab ia tampak menyedihkan.
"Kau pikir, siapa yang menjadi walimu?" Ia berdecak malas, penyebabku makin kesal. "Pikirkan juga siapa yang membiayai rumah sakit ini."
Aku berusaha duduk sebelum memegang kepala karena denyutan di dalamnya. Kuraih apel yang telah pria itu kupas dengan sentakan kasar. "Oke, thanks. Di mana ia?" Enggan ribut, aku berusaha mengalihkan topik. Pasalnya, netra ini tak menemukan Zillo sedari kemarin.
"Siapa?"
"Bocah kecil yang amat menyusahkan itu." Aku memutar mata sangat malas.
"Tante ...."
Mataku memicing sejenak sebelum menyorot Baeck dengan tatapan kesal. Namun, entah mengapa pria itu menerbitkan senyum penuh makna.
"Illo, tante mencari Illo." Pria itu mengedikkan dagu ke arahku. "Tante baru saja mengatakan bahwa ia sangat merindukan Illo." Baeck beranjak, memberi space untuk sang buah hati, sama sekali tak mengghiraukan ekspresi dendamku.
Napas ini tertarik kesal ketika lengan mungil bocah sialan itu melingkar pada tubuh.
"Ibu Peli, jangan sakit. Illo sedih."
Gigiku beradu geram, menyorot Baeck yang tersenyum menang. Hentikan drama sialan ini!
Seseorang yang tumbuh menjadi pribadi keji, terkadang bukan karena mereka memang terlahir keji melainkan akibat dari bentuk pertahanan atas luka-luka lampau. Analogi sederhana, bagaimana cara kau bertahan di tengah terjangan kejahatan? Tentunya menjadi jahat lebih memabukkan daripada kau tertindas. Mungkin pemikiranku terdengar konyol. Namun, bukankah setiap insan berhak berkesimpulan?Aku memiliki beberapa prinsip dalam hidup. Pertama, Kaneena tidak akan menikah. Kedua, Kaneena tak sudi memiliki anak. Ketiga, ia akan tetap membara dan tak akan diinjak oleh insan. Tiga aturan tersebut telah bulat, kutulis dalam setiap langkah perjalanan. Tidak muluk-muluk. Kuakui bahwa prinsip dapat tercipta sempurna setelah kepercayaan dicampakkan oleh cinta dan kebahagiaan.Aku tertampar ketika Zillo mendongak. Tatapan polosnya seolah berkata, Bagaimana jika Tuhan berkata lain?"Jangan menatapku begitu, bocah." Netra ini berputar malas sebelum fokus pada bianglala. Dalam hati, aku berdecak. Jika Tuh
Aku tidak mengenal pasti sosok yang kerap Azillo agung-agungkan dan bocah itu panggil sebagai 'bunda'. Namun, dari bibir mungilnya melukiskan bahwa sang ibu amat sempurna. Belum lagi sorot Baeck di detik-detik Azillo sesenggukan karena menginginkan kasih sayang.Napas ini berembus tenang, menyorot kosong ke depan. Baiknya, pria itu tidak murka karena aku agak lancang mengubrak-abrik kamar bayinya. Entah mengapa, aku masih amat penasaran dengan ruangan yang berada di ujung kamar kecil tersebut. Pasalnya, aku tak menemukan kamar Baeck dan sang istri di apartemen ini. Mungkinkah .....Hal yang mampu membuatku jatuh bosan adalah selalu berakhir di rumah sakit. Entah apa yang Zillo lakukan hingga kepala anak itu membentur pinggiran lemari tajam di sisi kanan ranjang. Alhasil, kepala bocah sialan itu bocor dan mendapatkan beberapa jahitan.Baeck yang tampak kesal dan marah masih mengabaikanku. Pria itu yang sibuk ke sana kemari, mengurus administrasi sang putra sebelum terduduk lemas di sis
Aku tersadar ketika selendang hitam di kepala ini merosot hingga bahu. Gemeresik dedaunan mendukung aroma duka yang masih tersisa, tapi mengapa jiwaku seolah tak peduli berlebih merasakan sakitnya kehilangan?Lutut ini terlipat, bersimpuh di sisi kiri pusara Kenedi. Karena Azillo dan sang ayah pergi tanpa kabar sepulangnya aku dari menjenguk ibu yang menyisakan hampa di apartemen mereka, tungkai ini memutuskan berziarah ke makam seseorang yang sedari dulu Kaneena sumpahi mati. Jika bukan Kian, demi Tuhan aku tidak akan menyentuh tanah lembap pusara pria sialan itu.Kuletakkan setangkai bunga mawar agar tampak seperti anak yang baik sebelum beranjak dan tersenyum penuh kehampaan. Setibanya di mobil, napas ini terembus lelah, kemudian memutuskan menghubungi Baeck karena aku merasa bertanggung jawab untuk uang lima ratus juta yang pria itu lunasi beberapa hari lalu."Ke mana saja? Aku tidak menemukan siapa pun di apartemen." Pertanyaanku mungkin terdengar ketus di telinganya, tapi Kaneen
Beberapa minggu ini, Zillo tak secerah biasa berlebih sekembalinya ia dari Yogyakarta. Namun, anak kecil itu makin lengket, tapi sang ayah makin hari makin kurang ajar padaku. Kini, Baeck hanya berlalu dengan makan siangnya tanpa memedulikan kami sama sekali. Ia pikir, aku sudi membuatkan makan siang untuk anaknya?"Tante ...."Rahangku yang tanpa sadar mengetat, refleks kendur perlahan ketika menunduk karena panggilannya. Bibir ini hanya berdehem ketus. "Omong-omong, mengapa kalian tiba-tiba ke Jogja?" Netra bundarku berputar malas. "Kau tahu, karena kepergian kalian, aku jadi hutang budi. Seharusnya, Kaneena bisa bebas hari ini."Anak itu seperti tak pernah memedulikan betapa ketus seseorang bersikap padanya. "Bunda dan—""Illo, tolong ambilkan ponsel ayah di meja depan, Sayang!" titah Baeck dari dalam kamar.Azillo beranjak dari duduknya, kemudian berlari kecil menuju ruang tamu sebelum tenggelam dalam kamar. Memperhatikan langkah renyah bocah itu, bibir ini tersungging miris. Jika
Aku masih menoleransi apa pun itu selain menjual diri, termasuk menemani Baeck Rayen minum malam ini. Entah apa penyebab pria itu hingga sudi memohon padaku."Aku ingin tahu satu hal darimu." Aku membenahi tas lengan sebelum mendarat pada sofa di hadapan pria itu."Katakan," balas Baeck dengan nada dingin sembari menata beberapa botol minuman yang mungkin akan memabukkan kami. Pria itu berani mambayarku sangat mahal untuk sekadar menemaninya melepas penat dengan cara menenggak dosa.Cih, mengapa aku jadi seperti pelacur? Aku menggeleng cepat, kemudian mengembuskan napas setelah menyorot Baeck. "Mengapa kau tidak menyewa jalang saja? Mereka akan dengan senang hati memberimu pelayanan terbaik selain menemani minum."Pria itu tiba-tiba tertawa sembari bertepuk tangan seolah ucapanku adalah lelucon murahan malam ini. Ia mendengus bodoh. "Kau pikir, aku semurahan itu?" Sebelah alisnya terangkat sinis. "Aku hanya ingin ditemani minum, bukan ingin—""Aku tidak percaya kau setertutup itu." Ak
Entah pria itu memang dikirimkan Tuhan untuk membantu Kaneena, atau hanya kebetulan saja. Pasalnya, Baeck selalu tiba di detik-detik aku membutuhkan uang. Beberapa hari lalu ibu kritis dan harus di rujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Besoknya, ia menawarkanku pekerjaan yang dapat dikatakan lebih berat, yaitu menjadi ART di apartemen pria itu.Lama sekali aku tidak mendapatkan notif hebat dari cerita Rhea dan Ares.Apakah kau sesibuk itu sehingga tidak sempat menulis lagi?Aku mengembuskan napas, sesekali mengusap pelipis yang penuh keringat dengan lengan basah bercampur busa. "Tidak sempat. Realita lebih menyibukkan. Aku butuh uang cepat." Bibir ini bergumam setelah membaca berbagai macam komentar dari kisah Ares dan Rhea.Napas ini berembus lelah.Azillo telah damai dalam mimpinya, menandakan bahwa aku harus membereskan apartemen ini karena telah dibayar mahal sang ayah. Sudi tidak sudi aku pun harus mencuci baju mereka sebagai pekerjaan terakhir karena aktivitas ini yang paling m
Tadi malam, aku dan Baeck tiba di Singapura.Aku menolak untuk menemani pria itu, tapi Baeck kembali mengikat dengan tawarannya. Ia mengatakan akan menyewa seseorang untuk merawat ibu agar Kian bisa fokus mengurus beasiswa, dan tentu saja aku setuju.Pernahkah kau mendengar bahwa pelacur bahagia dengan profesinya meskipun mereka dapat membeli tas mahal? Sebenarnya, tidak. Ini yang kusebut sebagai keadaan. Toh, yang terpenting aku tidak menjual diri."Melamun, Buk?""Panggilan yang sangat menggelikan," sarkasku yang tiba-tiba merasa bahwa lalu-lalang lebih pantas dipandang daripada cengiran bodoh Baeck. Entah mengapa, pria itu tidak sekaku biasanya, tapi membuatku merasa agak aneh."Ingat, aku Baeck Rayen. Usiaku 33 tahun, memiliki balita laki-laki bernama Azillo, dan saat ini sibuk menata bisnis di Jakarta setelah beberapa waktu lalu mengundurkan diri menjadi dosen."Keterkejutanku menoleh ke arahnya. "Kau tidak menjadi ... kenapa?""Banyak hal yang tidak perlu kau ketahui." Ucapan pr
Kami menghabiskan waktu nyaris sebulan untuk mengurus kesehatan ibu di Negeri Singa sebelum kata "sah" dari para saksi pernikahan membuat tubuhku bergetar hebat. Netra Kian tampak berkaca-kaca sementara ibu yang tengah berbaring di ranjang kamar inap seolah tak mampu melepas senyum sukacita pada bibir pucatnya. Meskipun agak sulit meyakinkan mereka karena pernikahan kami amat tiba-tiba, tapi tak satu pun manusia akan menolak menantu sesempurna Baeck Rayen di luar sikap kurang ajarnya padaku.Seluruh insan di ruangan ini mengusap wajah penuh kelegaan, termasuk Baeck.Tak ada resepsi, gaun indah, ataupun gedung megah sebagai sarana pernikahan. Karena bagiku, "resmi menjadi suami istri di mata Tuhan" lebih cukup karena tak ada cinta di dalamnya. Kami pun hanya menikah siri.Setelah menarik napas panjang, aku mengecup punggung tangan Baeck. Pria itu pun memberi kecupan senada pada dahiku layaknya suami romantis. Padahal, kami hanya dua manusia gila yang berusaha memenuhi kebutuhan lawan s