Aku menikmati setiap detik pergerakan lift yang melaju turun, menuju lantai satu perpustakaan kota. Beberapa menit lalu bertemu Baeck, semangat yang tadinya membara tiba-tiba menciut entah karena apa. Setibanya di lobi, netra ini menemukan jingga yang menandakan bahwa sebentar lagi malam akan meninggi.Ponselku berdering."Hallo, Mbak .... Mbak Kaneen, di mana?""Ada apa, Dalen?" tanyaku penuh kekhawatiran karena takut terjadi sesuatu padanya. "Dalen baik-baik saja, 'kan?""Baik-baik saja, Mbak. Justru, Dalen yang mengkhawatirkan Mbak Kaneen." Gadis itu terdengar mengembuskan napasnya. "Tadi tubuh Mbak Kaneen panas. Dalen takut terjadi apa-apa sama Mbak, apalagi Mbak tidak pulang-pulang."Bibir ini refleks mengembang. "Aku ada urusan di perpustakaan kota. Biasa, mencari bacaan." Aku memperhatikan jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul setengah enam. "Bi Asih masih di sana, 'kan, Dalen?""Masih, Mbak. Pulangnya hati-hati, ya, Mbak ....""Ya, sudah, aku tutup, ya ...." Aku men
Ayah dari janin di perutku jelas Baeck Rayen. Aku bersuami dan wajar mengandung jauh beberapa bulan setelah pernikahan kami. Namun, tidak semudah itu!Aku meraih ponsel karena Kian menelepon, kemudian menarik napas, berusaha menghilangkan parau."Kaneena!"Benda pipih itu kujauhkan dari telinga karena berdenging akibat panggilan lantang Kian. "Ada apa?""Kakakku sedang sakit? Suaramu sengau.""Hanya demam. Ada apa? Kau tidak tahu kalau panggilan lintas negara itu mahal?" Jemariku meremas ujung bantal, menahan isak tangis."Aku bingung harus memanggilnya 'pak', atau 'mas'. Yang jelas, suamimu itu uangnya sangat banyak."Kekehanku menggema. "Lantas? Kau mengganggu waktu istirahatku, Kian. Aku sedang—""Kaneen, ia baru saja membelikan aku BMW!""Apa?!" Netraku membola bercampur bingung, menerka apakah Kian sedang tidak membual."Jadi istri yang baik, ya, karena sebenarnya Pak Rayen itu memang sangat baik. Tapi jika macam-macam .... Ya, minimal seperti ingkar janji, bisa habis riwayatmu."
Terkadang, karena terlampau banyak menderita, kau akan terlihat biasa-biasa saja, bahkan ketika mengambil keputusan mengenai hal paling fatal dalam hidup.Setelah dinyatakan positif hamil, malam-malam panjang selalu kutemani bersama renungan dan kesendirian. Bahkan, tak sedikit waktu berlalu tanpa air mata dan jerit tangis. Namun, dari sekian banyak pilihan yang dapat hidup ini pilih, yaitu aku akan tetap melakukan aborsi atau ibu akan mati, dan Kian kehilangan mimpi.Aku percaya bahwa kematian ada di tangan Tuhan. Namun, apakah Ia pernah memberitahu insan kapan ibuku akan berpulang? Dan sebagai anak, apa yang dapat aku lakukan selain mempertahankan hidup dan memperjuangkan kesembuhannya? Ya, meskipun harus terjebak dalam pernikahan yang mengharamkan kehadiran buah hati.Seorang Baeck Rayen, benar-benar menghancurkan kodratku sebagai wanita yang berpeluang besar menjadi sempurna.Kacamata hitam di rambut ini kuturunkan setibanya di bandara negara yang melegalkan aborsi. Semoga, aku ta
Jangan! Ayah tidak boleh memerkosa Kaneena!Saat itu, Kenedi melucuti seluruh helai di tubuhku hingga tercabik-cabik tanpa belas kasihan. Di sorotnya pun tak lepas dari kekejian. Jika benci dan dendam padanya adalah dosa paling besar, jangan pernah tunjukkan aku surga keabadian.Ketika uang mudah sekali kudapat hanya dengan berlenggak-lenggok atau berpose layaknya wanita tercantik di dunia, tapi Tuhan memberi hidup ini kecacatan keluarga."Kapan tua bangka itu mati?" celetukku sebelum dipukul oleh Willis yang baru saja menurunkan sandal rumahan, pengganti stiletto karena tungkai ini nyaris tergelincir. Aku memicing sengit. "Sakit! Jika bahuku memar karena pukulanmu, pemotretan berbaju seksi, kau yang akan menggantikannya!"Memasuki lorong-lorong sempit untuk sekadar mencari tua bangka sialan itu, membuat darahku naik hingga ubun-ubun. Tidak adakah hal lain yang pria itu lakukan selain meminta uang, berjudi, mabuk-mabukan, dan bermain dengan para jalang? Andai ia tak mengancam akan men
Aku pernah mengharapkan kematian Kenedi karena pria itu telah melukai kami. Ia menyiksa ibu, belum lagi Kaneena kecil—jiwa murni—yang tak seharusnya berada di lingkaran kekerasan rumah tangga. Namun, sejauh apa pun harap insan, aku tak pernah berpikir bahwa ia akan mati secepat ini.Kenedi ditemukan membusuk di bangunan dua lantai—tempat yang aku dan Willis kunjungi beberapa waktu lalu. Setelah diautopsi, pihak rumah sakit mengatakan bahwa pria itu keracunan sianida. Ia bunuh diri. Terkejut, pasti. Namun, aku berpikir realistis. Daripada Kenedi menumpuk dosa di dunia, lebih baik Tuhan segera mencabut nyawanya.Telapak tangan bergetarku mengusap bahu Kian yang naik turun karena isak tangis. Aku tahu saat itu ia masih terlalu dini untuk memahami kekerasan yang Kenedi lakukan pada ibu. Mungkin hal tersebut yang menjadi alasan hingga Kian amat terpuruk karena kepergian."Maaf." Berulang kali Kian mengucapkan maaf pada Kenedi sebelum beranjak, memelukku erat.Kusesap feromon Kian. Kuusap p
Kembali padaku, atau terima akibatnya. Aku tertawa sumbang karena mengingat ancaman Anggara ketika pria itu mengajak balikan setelah aku putuskan beberapa waktu lalu. Merasa memori tersebut tidak penting, netra ini kembali menerawang.Tak jarang aku iri dengan pengusaha papan atas yang mampu menggunakan isi kepalanya untuk berbisnis. Kaum-kaum elit dapat melempar ide terkait perkembangan dunia. Belum lagi kopi mengepul peneman rapat di hadapan petinggi-petinggi usaha bersama monitor yang menyala-nyala. Namun, sayang sekali, aku tak memiliki apa yang mereka miliki. Menjadi orang kantoran rasanya amat mustahil di negeri ini karena Kaneena hanya lulusan Sekolah Dasar.Setelah Kaneena kecil tumbuh menjadi gadis menawan, aku mengikuti ajang Gadis Sampul di usia lima belas tahun tepat ketika kami memisahkan diri dari Kenedi. Di sana keberanian ini mengasah akting, kemampuan berpose, serta tersenyum manis di hadapan kamera tanpa tekanan apa pun. Lambat laun, upaya menghasilkan buahnya. Namun
Helai rambut ibu yang menempel pada sisir dan sela-sela jemariku adalah tamparan hebat bahwa wanita itu telah bertahan hingga detik ini, melalui tahapan demi tahapan kemoterapi. Entah berapa banyak sel-sel baik di tubuhnya yang ikut terbunuh akibat pembasmian sel kanker.Nona Kaneena harus bersabar karena untuk mendapatkan pendonor sumsum tulang belakang, tidak semudah mendapatkan donor darah. Keberhasilannya pun sangat tipis. Bisa satu banding satu juta orang yang berhasil jika pendonor tidak memiliki ikatan kekeluargaan dengan pasien. Namun, kami akan berusaha semaksimal mungkin.Beberapa jam menemani ibu, aku undur diri karena ada keperluan hingga tungkai ini menggemakan langkah di tengah lorong rumah sakit bersama pikiran-pikiran. Namun, ketika berbelok, seolah ada ribuan batu yang memberatkan langkahku hingga melambat. Aku menemukan Baeck, penyebab emosi Kaneena tersulut karena mengingat ucapan pedasnya. Hendak melempar perseteruan, tapi urung karena gurat pria itu penuh kesendua
Bibir ini tertawa nyaring dengan pipi basah yang dapat kurasakan asinnya.Mengapa pengaduan pelecehan sialan itu makin menganga, seolah senjata makan tuan? Bukankah dalam kasus ini Anggara yang bersalah? Namun, aku yang dicaci!Pertanyaan demikian berputar kusut di benakku bersama cairan penghapus dahaga luka. Berbotol-botol alkohol telah kerongkongan ini tenggak, tapi mengapa Kaneena masih mampu membaca judul-judul artikel tak berperi? "Mengapa hanya namaku saja yang dijatuhkan oleh mereka? Mengapa tidak ada nama Anggara?!" Suraiku terjambak kasar akibat sakit yang tak berujung. Ini tidak adil. Setidaknya, jika Kaneena hancur, penghancurnya pun sama. Bagiku, Anggara tak cukup hanya dengan dijebloskan ke penjara!Hening .... Bahkan, dinding ruangan ini pun seolah tak sudi mendengar keluhku. Mereka beralih tertawa, mencemooh bahwa Kaneena berhak mendapatkan kehancuran."Bisa diam tidak, sih?!" geramku, pada mereka. "Ah, ya." Aku mengangguk dengan senyuman miring. "Aku lupa. Bukankah Ka