Helai rambut ibu yang menempel pada sisir dan sela-sela jemariku adalah tamparan hebat bahwa wanita itu telah bertahan hingga detik ini, melalui tahapan demi tahapan kemoterapi. Entah berapa banyak sel-sel baik di tubuhnya yang ikut terbunuh akibat pembasmian sel kanker.
Nona Kaneena harus bersabar karena untuk mendapatkan pendonor sumsum tulang belakang, tidak semudah mendapatkan donor darah. Keberhasilannya pun sangat tipis. Bisa satu banding satu juta orang yang berhasil jika pendonor tidak memiliki ikatan kekeluargaan dengan pasien. Namun, kami akan berusaha semaksimal mungkin.
Beberapa jam menemani ibu, aku undur diri karena ada keperluan hingga tungkai ini menggemakan langkah di tengah lorong rumah sakit bersama pikiran-pikiran. Namun, ketika berbelok, seolah ada ribuan batu yang memberatkan langkahku hingga melambat. Aku menemukan Baeck, penyebab emosi Kaneena tersulut karena mengingat ucapan pedasnya. Hendak melempar perseteruan, tapi urung karena gurat pria itu penuh kesenduan.
Kami saling tatap beberapa detik sebelum ia memutus kontak mata lebih dulu, beralih pada sang putra dan memasangkan sepatu mungil makhluk itu. Bodohnya, kehangatan mereka bagaikan magnet hingga aku enggan berpaling. Namun, langkah kaki memberat ini yang menyebabkan ragaku berlalu.
"Ayah, kapan bunda pulang?"
Dalam bungkam, ekor mataku menemukan usapan lembut Baeck pada sang putra. "Secepatnya, Sayang."
Ibu anak itu sakit, sama seperti ibuku.
***
"Temui aku di apartemen. Jika tidak, jangan salahkan Anggara jika foto bugilmu tersebar."
Anggara memang pria keparat!
"Kau mengedit fotoku, bajingan! Aku tidak pernah berfoto telanjang seperti ini!" Telapak tanganku mendarat pada pipi Anggara setibanya di sana. Namun, keparat itu hanya terkekeh samar, seolah ingin menaikkan gejolak amarahku.
Kuperhatikan, ia mengelus dagu santai. "Aku sedang memikirkan akan seheboh apa jagat maya jika foto palsu itu tersebar."
"Kau gila, Anggara!" Aku hendak menampar keparat itu lagi, tapi Anggara menahannya.
Desisan nyeriku tampak tak berarti apa pun bagi pria itu
"Kau tahu?" Satu alisnya terangkat angkuh. "Opini publik amat mengerikan, mampu merenggut nyawa seseorang." Anggara melangkah ke pintu, menguncinya sangat rapat. Aku pun takut jika lorong apartemen ini memiliki telinga. "Sepercik masalah, dapat menyala-nyala."
Pria itu berpaling lagi. Kali ini, aku berhasil menamparnya dengan luapan emosi yang memuncak. Gigiku beradu. Sudut kelopak ini telah penuh dengan air karena terlampau lama tak berkedip. "Katakan apa yang kau inginkan! Jangan mengganggu hidupku, keparat!" Aku memberontak ketika Anggara menyeret lengan ini kasar. "Lepas!"
Seringaian pria itu membuatku ingin menghabisi nyawanya. "Sepertinya, aku harus menghamilimu agar kita bisa kembali bersama."
Mendengar lelucon Anggara, aku berbalik, hendak keluar apartemen sebelum disentak. Bibir ini memekik nyaring ketika pria itu ingin menciumku. Ia pun berusaha mengoyak helai pada tubuh ini. "Berengsek!" Pria itu kuludahi hingga cekalannya terlepas.
Seringaiannya makin nyata, menyebabkan gigiku mengetat. "Kau tidak akan bisa keluar dari sini sebelum—"
"Aku akan melaporkanmu ke polisi!" Aku berlari sekencang mungkin, berusaha membuka pintu apartemen. Namun, nihil. Anggara lebih dulu tiba di belakang punggungku.
Pria itu berusaha membekap mulutku hingga sesak mulai menguasai dada. Netra ini pun telah berat. Namun, ketika mengingat sesuatu, aku menendang milik Anggara hingga pria itu mengaduh kesakitan. Satu hal yang ingin kulakukan dalam keadaan darurat seperti ini, yaitu menelepon Willis. Itu sebabnya rasa sakit Anggara menjadi kesempatan berharga.
Tubuh bergetarku agak kesulitan menekan huruf pada layar hingga satu kali deringan .... "Will, tolong aku!" Aku melempar ponsel ke sofa, tak sempat berucap apa pun lagi karena Anggara kembali menarik raga ini.
"Sialan, Kaneena! Kau benar-benar harus dihukum!" Netra Anggara menyala-nyala.
Aku makin bergetar. Masa lalu perih kembali terulang, memutar adegan di mana Kenedi melucuti seluruh helai pada raga ini. Tak terbendung lagi akibat perih jiwa dan raga, netraku mengucurkan airnya.
"Kau menangis, Sayang?" Anggara menyorotku remeh. Di dalam lemas raga ini, pria itu mencengkeram daguku.
"Bukankah kau yang mengkhianati komitmen kita?" Aku tergelak penuh luka. "Bahkan, kau mengganti sandi apartemen ini dengan tanggal lahir Victoria!" Berharap Willis mendengar, aku sengaja mengeraskan suara.
Bukankah seharusnya Anggara sadar diri? Aku mencintai pria itu tulus, tapi mengapa ia berkhianat? Bahkan, Victoria tak sebanding denganku!
Letih mulai menguasai jiwaku. Kenangan buruk kembali berputar, seolah hendak mengambil alih ingatan. Aku menjerit ketika Anggara mengempas raga ini ke kasur. Namun, mengapa tulangku seolah beku?
Netra ini memberat. Ada sakit di sekujur tubuh. Ada luka di sekujur jiwa. Tetesan-tetesan perih menguasai pipi ketika ia melucuti raga kami hingga tak berhelai. Aku dilecehkan, bahkan nyaris diperkosa. Namun, mengapa kenangan pahit masa lalu menyebabkan tubuhku makin lemas, sedikit pun tak mampu melawan? "Please, Nggara ...."
Pria itu tertawa nyaring. "Kau harus dihukum agar tidak pernah meninggalkanku, Kaneena!"
Kelopakku nyaris tertutup. Bahkan, keparat itu telah berada di atas tubuh ini. Namun, seperti ada dorongan hebat yang menyebabkan kelemahanku beralih kuat. Aku mendorong pria itu, tapi ia mengeraskan otot. Dengan kekuatan penuh, kepalan ini memukul wajahnya hingga keparat itu kesakitan. Aku menggulingkan Anggara sekuat tenaga dengan emosi menyala-nyala, menghantam wajahnya berkali-kali hingga hidung pria itu mengucurkan banyak darah. Keparat seperti Anggara pantas mati!
"Kaneena!"
Aku menoleh ke sumber suara, menemukan Willis dan beberapa aparat keamanan. Senyuman ini mengembang sebelum luntur ketika mereka menyorot kami aneh.
"Ka-Kanee ...." Willis tergagap, tampak khawatir dan bingung.
"Syukurlah, kau datang, Will." Wajah penuh peluhku kembali tersenyum samar. Pria itu selalu ada untukku dalam keadaan apa pun.
Anggara terbatuk-batuk, penyebabku mulai tersenyum menang. "Tolong .... Tolong aku. Wanita ini ingin memerkosaku."
Cairan di pipiku mengucur deras dengan mata membola, menerima kehancuran. Baru kali ini aku bertemu dengan seseorang sebejat Anggara.
Beberapa pasang mata yang sama sekali tak kukenal, tiba di belakang punggung Willis, entah dari mana.
"Wanita ini hendak memerkosaku ...."
Aku menggeleng cepat dengan netra membola. "Bohong! Keparat ini yang hendak memerkosaku! Aku hanya melakukan perlawanan sebagai wanita!"
Bukankah Kaneena artis tak tahu malu? Bahkan, ia hendak memerkosa seorang pria!
Siapa pria itu? Bukankah—
Itu Anggara—produsernya. Kaneena benar-benar gila. Apakah ia berusaha menggoda sang produser karena skandal-skandal beberapa waktu lalu agar nama wanita itu tetap melejit?
Begitu nyanyian penghakiman mereka.
***
Tak peduli berapa juta kali mereka menusukkan kilatan kamera ke wajahku karena Kaneena akan tetap menjadi Kaneena.
Ketika Anggara hendak memerkosaku, tak satu pun insan otak ini pikirkan selain Kenedi. Tragedi beberapa tahun silam amat mengerikan bagi Kaneena remaja dan detik itu seolah berputar acak, mendorongku untuk melawan sehingga Anggara mengalami kerusakan parah pada wajahnya.
Di pengadilan, Kaneena terbukti tidak bersalah karena ketika pihak kepolisian melakukan beberapa pemeriksaan mental, sedikit banyak mengarah pada keadaanku yang agak kurang sehat. Rekaman panggilan antara aku dan Willis pun mampu menjadi barang bukti bahwa Kaneena adalah korban, bukan tersangka. Kemudian, Anggara dijebloskan ke penjara atas percobaan pemerkosaan dan pencemaran nama baik. Kemarin adalah sidang terakhir kasus kami.
Skandal hebat ini tentunya tersebar ke penjuru Indonesia, termasuk penikmat drama, film, dan iklan-iklan dari produk yang kupromosikan. Sesuai risiko, aku dan Anggara didepak dari agensi. Belum lagi denda yang harus kami tanggung.
Ah, sayang sekali wanita cantik seperti Kaneena memiliki gangguan mental.
Aku tersentak ketika lagu penghinaan tak henti menggema, menampar kesadaran ini.
Kena batunya. Sudah tahu dilarang menjalin hubungan satu agensi, tapi mereka seolah tak peduli dan lebih mengagungkan status budak cinta.
Kaneena ditendang dari agensi dan didenda miliaran.
Di sisi lain halaman gedung ini, aku menemukan kumpulan manusia yang mengibarkan banner bertuliskan, "Boikot Kaneena dari Dunia Hiburan". Ya, mereka tengah demo di depan gedung agensi terbesar negeri ini. Namun, yang paling tidak aku sukai adalah para penyorot dengan gurat sendu, tentunya menganggapku kasihan. Aku tak sudi dipandang menyedihkan.
"Kaneena, tolong ucapkan beberapa patah kata!" Pria bertubuh gempal dan kulit putih itu menghampiriku sebelum tertelan lautan manusia karena Willis menahannya. Namun, ketika netra ini menyorot Willis, raga kami berhenti dan wartawan tadi bebas mendekati, kemudian disusul dengan wartawan lainnya.
"Aku baik-baik saja." Aku mengembangkan senyuman penuh pesona, seolah tak memiliki masalah apa pun.
"Apakah benar kau dan produsermu didepak dari agensi?!"
Aku mengangguk santai, tak akan menutupi apa pun kecuali luka ini. "Benar." Pasalnya, nasi telah menjadi bubur.
"Lantas, apa rencanamu ke depannya?"
Netra ini kembali menyorot lautan manusia, kemudian tersenyum penuh drama. "Banyak hal yang dapat aku lakukan." Setelahnya, tubuhku membelah keramaian.
Panggilan-panggilan mereka adalah rasa muakku. Insan membenci, tapi mengapa mereka peduli dan sangat ingin tahu perihal Kaneena? Bukankah terkadang manusia amat munafik? Mereka seolah memakan sesuatu yang telah diludahi.
Bibir ini tertawa nyaring dengan pipi basah yang dapat kurasakan asinnya.Mengapa pengaduan pelecehan sialan itu makin menganga, seolah senjata makan tuan? Bukankah dalam kasus ini Anggara yang bersalah? Namun, aku yang dicaci!Pertanyaan demikian berputar kusut di benakku bersama cairan penghapus dahaga luka. Berbotol-botol alkohol telah kerongkongan ini tenggak, tapi mengapa Kaneena masih mampu membaca judul-judul artikel tak berperi? "Mengapa hanya namaku saja yang dijatuhkan oleh mereka? Mengapa tidak ada nama Anggara?!" Suraiku terjambak kasar akibat sakit yang tak berujung. Ini tidak adil. Setidaknya, jika Kaneena hancur, penghancurnya pun sama. Bagiku, Anggara tak cukup hanya dengan dijebloskan ke penjara!Hening .... Bahkan, dinding ruangan ini pun seolah tak sudi mendengar keluhku. Mereka beralih tertawa, mencemooh bahwa Kaneena berhak mendapatkan kehancuran."Bisa diam tidak, sih?!" geramku, pada mereka. "Ah, ya." Aku mengangguk dengan senyuman miring. "Aku lupa. Bukankah Ka
Dulu, Kaneena merasa aman dengan apa yang ia miliki hingga tak berpikir bahwa hari jatuh akan tiba. Aku berpikir akan menjadi artis selamanya, tapi Tuhan mencabut seluruh yang hidup ini miliki hanya dengan sekedipan mata. Ya, sedikit manusia yang berpikir panjang. Namun, mulai detik ini, aku akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran. Percayalah, denda yang harus dibayarkan ke agensi akibat cinta buta kami bukan miliaran melainkan triliunan.Dulu, ibu mendoktrin Kaneena untuk menjadi artis dan mengatakan bahwa kami akan kaya raya, kemudian hidup bahagia hingga mimpiku menjadi seorang dosen harus pupus. Tak apa asalkan mereka bahagia, tentunya. Namun, ketika aku menjadi artis—mengikuti doktrin ibu, bahkan hidup dengan harta melimpah sekalipun—percayalah, hati ini hampa. Tidak ada kebahagiaan selain ambisi untuk mencapai kesenangan fisik, bukan jiwa. Dari sana aku belajar satu inti kehidupan, yaitu jangan pernah mendoktrin orang lain untuk mengikuti keinginanmu, bahkan darah dagingmu s
Sialan. Rutinitas Kaneena membawa handbag ternama bersama Willis di sisi kirinya, kini tergantikan dengan seonggok daging bernyawa yang menjinjing tas laptop menuju perpustakaan kota. Demi rupiah yang dulu memenuhi ATM pribadiku, Kaneena tak pernah berpikir akan menghabiskan waktu di tempat ini untuk sekadar mencari informasi guna merangkai kata-kata menjadi kalimat.Aku mengembuskan napas berkali-kali setelah menyadari bahwa perpustakaan ini amat luas. "Pertama kemari, aku menemani ...." Gumamanku tergantikan dengan putaran mata malas karena mengingat Anggara. "Kedua bersama Kian."Ada beberapa teori filsafat yang aku cantumkan di kisah Ares dan Rhea, tentunya membutuhkan riset mendalam. Percayalah, meskipun cerita fiksi, tapi landasan yang terurai pun harus sangat jelas agar para pembaca tidak salah persepsi. Aku tahu. Selain manusia dewasa, tentunya banyak bocil-bocil nakal yang memiliki rasa penasaran setinggi langit. Tak menutup kemungkinan mereka akan menelan informasi secara me
Kebodohanku pernah bersikap sopan dan baik pada seseorang yang jiwa ini anggap pantas menerimanya, tapi kenyataan berkhianat. Kenedi yang akal pikiran ini hormati setengah mati karena statusnya sebagai ayah, tega menjual dan memerkosaku.Aku sakit. Bertahun-tahun lamanya memendam penderitaan karena kenyataan, jiwa ini seolah memberontak, kemudian membentuk pertahanan refleks agar tak terluka lagi. Tak satu pun pula insan tahu kecuali psikiater yang akhir-akhir ini tak pernah kukunjungi karena keadaan. Lantas, apakah aku salah jika memilih tidak menghormati siapa pun jika pada akhirnya rasa hormat ternodai akibat ulah bejat manusia yang bertameng manusiawi?Kaneena akan menjadi Kaneena. Ia tak akan tersentuh, menyedihkan, berlebih diinjak-injak oleh insan. Ia hidup dan membara, tak membiarkan jiwanya dilukai atau terluka.Demi Tuhan, uangku menipis. Beberapa bulan lalu sisa dana di tabungan telah digunakan untuk berinvestasi. Nahas, perusahan tersebut bangkrut dan stakeholder terkena b
Katanya, taraf ikhlas itu tergantung jarak kita pada Tuhan. Makin renggang hubungannya secara vertikal, maka ikhlas makin tak berwujud. Namun, satu yang membuatku tersadar bahwa Tuhan terkadang amat menyebalkan.Mengapa Ia harus menciptakan larangan jika insan tak selalu mampu mengontrol keinginannya? Ini seputar surga dan neraka, tapi bagaimana dengan insan yang amat terluka akibat aturan-Nya?Hal yang amat Kaneena benci dari Tuhan adalah, Ia tak menyelamatkanku ketika Kaneena diperkosa oleh sang ayah. Kepercayaan ini pada Tuhan tergerus karena sakit yang kuderita. Aku yakin bahwa luka ini tak akan sembuh.Kibasan lembar putih membuatku tersadar dari lamunan. Setelah menyadari sesuatu, denyutan di kepala ini memekat.Lorong kelam di hadapanku memberi pertunjukan. Di ujungnya amat menyilaukan, tapi mengapa pemilik bangunan mirip galeri foto kosong ini tak memberi lampu sebagai penghubung ruangan? Ia seolah tahu bahwa Kaneena tak memiliki rasa takut.Tungkai ini terayun pelan, sedikit
Seseorang yang tumbuh menjadi pribadi keji, terkadang bukan karena mereka memang terlahir keji melainkan akibat dari bentuk pertahanan atas luka-luka lampau. Analogi sederhana, bagaimana cara kau bertahan di tengah terjangan kejahatan? Tentunya menjadi jahat lebih memabukkan daripada kau tertindas. Mungkin pemikiranku terdengar konyol. Namun, bukankah setiap insan berhak berkesimpulan?Aku memiliki beberapa prinsip dalam hidup. Pertama, Kaneena tidak akan menikah. Kedua, Kaneena tak sudi memiliki anak. Ketiga, ia akan tetap membara dan tak akan diinjak oleh insan. Tiga aturan tersebut telah bulat, kutulis dalam setiap langkah perjalanan. Tidak muluk-muluk. Kuakui bahwa prinsip dapat tercipta sempurna setelah kepercayaan dicampakkan oleh cinta dan kebahagiaan.Aku tertampar ketika Zillo mendongak. Tatapan polosnya seolah berkata, Bagaimana jika Tuhan berkata lain?"Jangan menatapku begitu, bocah." Netra ini berputar malas sebelum fokus pada bianglala. Dalam hati, aku berdecak. Jika Tuh
Aku tidak mengenal pasti sosok yang kerap Azillo agung-agungkan dan bocah itu panggil sebagai 'bunda'. Namun, dari bibir mungilnya melukiskan bahwa sang ibu amat sempurna. Belum lagi sorot Baeck di detik-detik Azillo sesenggukan karena menginginkan kasih sayang.Napas ini berembus tenang, menyorot kosong ke depan. Baiknya, pria itu tidak murka karena aku agak lancang mengubrak-abrik kamar bayinya. Entah mengapa, aku masih amat penasaran dengan ruangan yang berada di ujung kamar kecil tersebut. Pasalnya, aku tak menemukan kamar Baeck dan sang istri di apartemen ini. Mungkinkah .....Hal yang mampu membuatku jatuh bosan adalah selalu berakhir di rumah sakit. Entah apa yang Zillo lakukan hingga kepala anak itu membentur pinggiran lemari tajam di sisi kanan ranjang. Alhasil, kepala bocah sialan itu bocor dan mendapatkan beberapa jahitan.Baeck yang tampak kesal dan marah masih mengabaikanku. Pria itu yang sibuk ke sana kemari, mengurus administrasi sang putra sebelum terduduk lemas di sis
Aku tersadar ketika selendang hitam di kepala ini merosot hingga bahu. Gemeresik dedaunan mendukung aroma duka yang masih tersisa, tapi mengapa jiwaku seolah tak peduli berlebih merasakan sakitnya kehilangan?Lutut ini terlipat, bersimpuh di sisi kiri pusara Kenedi. Karena Azillo dan sang ayah pergi tanpa kabar sepulangnya aku dari menjenguk ibu yang menyisakan hampa di apartemen mereka, tungkai ini memutuskan berziarah ke makam seseorang yang sedari dulu Kaneena sumpahi mati. Jika bukan Kian, demi Tuhan aku tidak akan menyentuh tanah lembap pusara pria sialan itu.Kuletakkan setangkai bunga mawar agar tampak seperti anak yang baik sebelum beranjak dan tersenyum penuh kehampaan. Setibanya di mobil, napas ini terembus lelah, kemudian memutuskan menghubungi Baeck karena aku merasa bertanggung jawab untuk uang lima ratus juta yang pria itu lunasi beberapa hari lalu."Ke mana saja? Aku tidak menemukan siapa pun di apartemen." Pertanyaanku mungkin terdengar ketus di telinganya, tapi Kaneen