Bibir ini tertawa nyaring dengan pipi basah yang dapat kurasakan asinnya.
Mengapa pengaduan pelecehan sialan itu makin menganga, seolah senjata makan tuan? Bukankah dalam kasus ini Anggara yang bersalah? Namun, aku yang dicaci!
Pertanyaan demikian berputar kusut di benakku bersama cairan penghapus dahaga luka. Berbotol-botol alkohol telah kerongkongan ini tenggak, tapi mengapa Kaneena masih mampu membaca judul-judul artikel tak berperi? "Mengapa hanya namaku saja yang dijatuhkan oleh mereka? Mengapa tidak ada nama Anggara?!" Suraiku terjambak kasar akibat sakit yang tak berujung. Ini tidak adil. Setidaknya, jika Kaneena hancur, penghancurnya pun sama. Bagiku, Anggara tak cukup hanya dengan dijebloskan ke penjara!
Hening .... Bahkan, dinding ruangan ini pun seolah tak sudi mendengar keluhku. Mereka beralih tertawa, mencemooh bahwa Kaneena berhak mendapatkan kehancuran.
"Bisa diam tidak, sih?!" geramku, pada mereka. "Ah, ya." Aku mengangguk dengan senyuman miring. "Aku lupa. Bukankah Kaneena artis papan atas yang sangat terkenal? Aku ...." Aku tak tertarik melanjutkan ucapan ketika menemukan Willis di depan wajah ini. Namun, mengapa tampak buram? Apakah ia hanya buah dari halusinasi akibat aku yang terlampau banyak minum? Menyadari ketololan, gelengan ini menunduk, meresapi sesak di dada.
"Kaneen ...."
Kini, aku beralih ke kaca raksasa, pembatas ruangan dan udara ngilu milik semesta. Suara Willis amat nyata, tapi aku tak sudi menyorotnya dengan keburaman. "Jika menjadi artis adalah nasibku, mengapa Tuhan menghancurkan semuanya?"
***
Aku membuang pandangan ke kiri, memperhatikan titik-titik air yang membasahi kaca mobil. Siang ini, Jakarta dibasuh oleh hujan. Polusi dan kerumunan menyingkir dari tengah jalan, memilih berteduh di depan ruko-ruko. Tak jarang mereka menepi untuk sekadar mengenakan jas hujan, atau menetap agak lama akibat lupa membawa perlengkapan.
Nyaris tiga minggu aku menjadi pengangguran. Apa yang dapat Kaneena lakukan jika seluruh kontrak dibatalkan dan tak satu pun agensi baru sudi menerima kami—aku dan Willis?
"Mereka takut merugi jika memiliki artis berskandal sepertiku." Aku terkekeh samar, kemudian menyorot Willis. "Apakah ini salahku?"
Pria itu menggeleng tegas.
"Mereka hanya iri padaku yang mampu mendapatkan segalanya." Aku berdecak kesal sembari menyilangkan lengan di dada. "Banyak artis lain yang terjerat skandal. Namun, hanya skandalku yang seolah dibesar-besarkan."
Tak menggeleng, Willis mengangguk. "Kau harus mengurangi sifat sok angkuhmu."
Kuselami netra pria itu dari kaca bagian langit-langit mobil. Seumur bersamanya, baru kali ini Willis berkomentar secara intens perihal watakku. "Aku hanya tak ingin dianggap remeh, berlebih tampak menyedihkan di mata mereka." Netraku berputar malas, mengingat kekejian di mana Kaneena dikasihani. "Aku mengaku cantik, bukankah aku memang cantik? Aku mengaku kaya, bukankah aku memang kaya?"
Willis tampak menarik napasnya berkali-kali. "Bukan begitu konsepnya, Kaneen."
Aku berdecak malas. "Sayang sekali, konsepmu dan konsepku tidak bertemu."
***
Kali ini, aku terpaksa mendekam di apartemen. Tak ada yang dapat bosanku lakukan selain menyaksikan drama sedih atas tragedi. Karena jika membuka i*******m, artikel, f******k, atau hal lain yang berbau dunia maya, hanya berisi cacian dan makian untuk seorang Kaneena.
Aku beranjak, meraih kutek sebelum mendarat di tempat semula sembari bersenandung pelan. "Persediaan stok untuk merawat diri masih selangit. Jadi, daripada sakit kepala, apa salahnya aku memanfaatkan mereka?" Ketika hendak bersantai, notifikasi pesan meluapkan rasa penasaranku untuk memeriksanya.
From: Willis
Kaneena, coba lihat acara gosip sore ini. Penting!
Dengan pergerakan malas, aku mengganti siaran televisi setelah mencomot cookies.
Petisi boikot Kaneena dari dunia hiburan mencapai satu juta dalam dua jam.
Jantungku merosot hingga perut bersama senyuman miris. "Aku baik-baik saja, bahkan jika tidak menjadi artis sekalipun!"
***
Karena tak banyak aktivitas yang dapat dilakukan, aku kerap menghabiskan waktu untuk menemani ibu. Namun, ketenangan kami terganggu karena mendengar tangisan anak kecil dari depan kamar. Aku keluar sebelum mendekat. "Mengapa menangis, hei?!" Tubuh ini berjongkok, berusaha memperhatikan wajahnya lamat. Namun, bocah itu masih bisu. "Kau bisu?!" Aku menggeram sebelum memutar mata malas. Jika diperkenankan jujur, aku sangat membenci makhluk cengeng yang kerap menyusahkan sekitar seperti ini.
"Bola adek hilang." Akhirnya, makhluk sialan itu berbicara juga. Sesuai pradugaku, menikah dan memiliki anak amat merepotkan.
Entah mengapa, beberapa tahun terakhir, aku tak menyukai anak kecil. Pertama, mereka terlampau bodoh dan polos, sama sekali tidak memahami sekitar. Kedua, mereka tak mampu memberikan perlawanan, bahkan jika hendak dibunuh sekalipun. Ketiga, mereka tak peduli jika aku kata-katai.
"Jika bolanya hilang, dicari, bukan malah menangis." Aku mengembuskan napas kasar berkali-kali, berusaha memupuk kesabaran. Jika bocah ini adikku, telah sedari tadi kumaki hingga ia beranjak dewasa—seusia Kian.
Tak kunjung diam, bocah cengeng itu makin histeris.
"Diam tidak?!" Emosi ini telah meninggi dan hendak berlalu sebelum membeku karena bocah itu memeluk pahaku.
"Bantu adek mencali bola. Ayah tidak ada." Ia makin mengetatkan dekapan.
Aku lelah, banyak pikiran, dan malas memerankan drama hari ini. Namun, ketika hendak melepas dekapan bocah sialan itu, aku berbalik. "Beli yang baru saja!"
Balita itu mencebik sedih, kemudian menggeleng. "Tidak. Bola itu pembelian bunda. Adek tidak ingin membeli yang balu ...."
Tuhan, aku ingin segera memasukkan anak ini ke sungai agar ia diam untuk selamanya. Aku memutar mata kesal. "Ya, sudah, pergi sana! Aku sibuk dan banyak urusan!"
"Tante, bantu adek mencali bola!" Kini, ia menarik-narik ujung bajuku.
Aku meringis ngeri. "Aku bukan tantemu!"
"Adek tidak memiliki teman selain ayah, tapi ayah sedang pelgi." Balita tiga tahunan itu makin merengek. "Tante ...."
Dengan perasaan gondok, aku mendarat pada bangku panjang di depan ruangan ibu. Kemudian, memainkan ponsel dan membiarkan bocah sialan itu terdiam sembari bersandar di lengan kiriku. "Lebih baik kau mati saja daripada merepotkan orang lain seperti ini! Dasar anak setan," gumamku, yang mendapatkan sorot polos dari netranya. Seperti perkiraan, ia tak peduli meskipun aku kata-katai.
Agak lama kami membeku di tempat semula.
"Ucapanmu sangat tidak pantas untuk putraku. Kau tidak diajarkan caranya bersosialisasi dengan manusia? Atau kau memang bukan manusia?"
Keterkejutanku mendongak. Nada ucapan pria itu datar, tapi isinya amat menusuk. Bibir ini beku karena kesal setelah menyadari bahwa sosok yang berdiri di hadapan kami adalah Dosen Pembimbing Akademik Kian dan ... aku melirik balita laki-laki yang telah mendengkur halus di lengan ngilu ini. "Jadi, ia anakmu?" Aku melempar senyuman sinis. Tuhan, mengapa aku baru menyadari jika bocah sialan itu adalah anak pria berkemeja merah hati? "Ajarkan anakmu untuk tidak merepotkan orang lain!"
***
Sialan. Bocah mengesalkan itu bahkan telah kusumpahi mati, tapi mengapa ia malah mengajak makan es krim bersama sang ayah di kafe tertutup seperti ini? Jika kenakalannya tidak histeris di depan ruangan ibu, demi Tuhan, aku lebih baik terkunci di kamar mandi daripada seruangan tertutup dengan mereka. Sayangnya, kami seolah berjodoh dan kerap bertemu.
"Ayah, ini tante yang menemukan bola adek dulu." Netra bocah itu berbinar terang sementara sosok yang ia panggil "ayah" hanya menyorotnya datar.
Aku berdehem karena canggung, kemudian menyuap bersendok-sendok es krim agar partikel dingin itu segera tandas.
"Tante, telima kasih. Adek senang." Gigi mungilnya seolah melambai.
Aku mengedikkan bahu sebelum terkesiap karena anak itu memeluk lengan ini, akibat posisi kami yang bersebelahan. "Aku bukan tantemu." Bukankah aku telah mengatakan tidak menyukai anak kecil?!
Makhluk sialan itu seolah tak memedulikan ucapanku. "Bunda sedang sakit dan seling tidul. Jadi, adek tidak memiliki teman selain bibi. Saat ini, bibi sedang pulang kampung kalena anaknya sakit. Tante mau, 'kan, menjadi teman adek?" Netranya berkedip sangat polos.
Aku hanya beku. Makhluk mungil ini adalah definisi bebal yang sesungguhnya.
"Tante ...."
"Kau tuli?" Pria itu berdehem, hingga sorotku jatuh pada wajahnya.
Setelah menyadari satu hal, netra ini berputar malas dengan napas terhela. Aku mendekatkan wajah, mengabaikan gurat kakunya. "Katakan pada anakmu bahwa aku tidak menyukai dan tidak ingin menjadi temannya. Paham?" Raga ini beranjak setelah meraih tas selempang di punggung kursi. "Terima kasih es krimnya. Lain kali, jika memiliki anak ... dijaga. Jangan dibiarkan melanglang buana dan mengusik ketenangan orang lain!"
Pria itu menyorotku tajam. Giginya beradu dengan wajah memerah, seolah menahan amarah. Namun, apa peduliku?
"Tante akan ke mana?" Seolah tak memedulikan ucapanku, bocah setan itu kembali memeluk lengan ini sebelum kusentak hingga tangannya terayun di udara.
Aku memutar mata malas. "Pulang. Bukankah ayahmu sudah ada? Jadi, sana pulang! Aku sibuk!" Aku mengenakan kacamata dan topi, meninggalkan isak histeris makhluk cengeng yang tak ingin ditinggal itu.
***
Entah mengapa, semenjak aku menemukan bola milik bocah sialan itu, ia kerap berkunjung ke depan kamar inap ibu. Ah, namanya Azillo. Terkadang ia memanggil dengan suara mungilnya, tak jarang mengetuk pintu kamar sebelum suara lembut yang menyebalkan itu menghilang. Karena tak sudi, tentu saja aku abai. Banyak permasalahan hidup yang harus Kaneena pikirkan daripada bermain bersamanya! Tuhan, tolong. Jangankan bermain, bertemu saja emosi ini mendidih.
Ketika mendengar langkah mungil itu, aku memutar mata malas. Sebentar lagi .... "Satu ... dua ... ti—"
"Tante, adek datang. Tante masih tidak ingin belmain belsama adek?"
Aku mengembuskan napas gondok, kemudian melirik ibu yang sedang terlelap damai.
"Tante, adek ingin main!" Kali ini, bocah itu meninggikan suaranya.
Rasa kesalku meluap, membawa tungkai ini untuk melangkah tergesa, kemudian mendelik geram setibanya di depan pintu kamar. "Heh! Bisa diam tidak? Ibuku sedang tidur!" Aku beralih pada pria yang tiba di sisinya.
Pria itu berjongkok sebelum mengusap wajah sang putra. "Adek, bukankah Adek telah berjanji untuk tidak bermain selain di depan kamar?"
Bocah sialan itu melirikku dan sang ayah bergantian.
Pria itu mengangkat sang putra ke gendongan. Tanpa kata, berlebih melirik sedikit pun, ia berlalu hingga dada ini makin gondok. Sehari saja makhluk sialan itu tak mengunjungiku, pasti hidup ini akan lebih tenang.
Aku mengembuskan napas lega semendaratnya di sofa kamar rawat inap ibu sebelum kembali terkesiap karena histeris yang amat familier memekakkan telinga. Histeris pilu itu bercampur dengan panggilan-panggilan untuk sang bunda. Perlahan, rasa penasaran ini mengintip dari celah pintu, menemukan makhluk sialan itu yang tengah memberontak. Ia mengejar brankar berisi wanita muda yang ... aku tak mampu melihat lebih jelas karena ditutupi oleh tubuh beberapa perawat.
"Ayah, mengapa bunda tidak bangun-bangun?! Mengapa tubuh bunda ditutup kain?" Wajah dengan isak tangisnya mendongak setelah tertangkap oleh pelukan sang ayah. "Bukankah tadi pagi bunda masih belmain belsama adek?"
Aku tak menemukan jawaban pria itu selain sorot sendu dengan wajahnya yang memerah.
Dulu, Kaneena merasa aman dengan apa yang ia miliki hingga tak berpikir bahwa hari jatuh akan tiba. Aku berpikir akan menjadi artis selamanya, tapi Tuhan mencabut seluruh yang hidup ini miliki hanya dengan sekedipan mata. Ya, sedikit manusia yang berpikir panjang. Namun, mulai detik ini, aku akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran. Percayalah, denda yang harus dibayarkan ke agensi akibat cinta buta kami bukan miliaran melainkan triliunan.Dulu, ibu mendoktrin Kaneena untuk menjadi artis dan mengatakan bahwa kami akan kaya raya, kemudian hidup bahagia hingga mimpiku menjadi seorang dosen harus pupus. Tak apa asalkan mereka bahagia, tentunya. Namun, ketika aku menjadi artis—mengikuti doktrin ibu, bahkan hidup dengan harta melimpah sekalipun—percayalah, hati ini hampa. Tidak ada kebahagiaan selain ambisi untuk mencapai kesenangan fisik, bukan jiwa. Dari sana aku belajar satu inti kehidupan, yaitu jangan pernah mendoktrin orang lain untuk mengikuti keinginanmu, bahkan darah dagingmu s
Sialan. Rutinitas Kaneena membawa handbag ternama bersama Willis di sisi kirinya, kini tergantikan dengan seonggok daging bernyawa yang menjinjing tas laptop menuju perpustakaan kota. Demi rupiah yang dulu memenuhi ATM pribadiku, Kaneena tak pernah berpikir akan menghabiskan waktu di tempat ini untuk sekadar mencari informasi guna merangkai kata-kata menjadi kalimat.Aku mengembuskan napas berkali-kali setelah menyadari bahwa perpustakaan ini amat luas. "Pertama kemari, aku menemani ...." Gumamanku tergantikan dengan putaran mata malas karena mengingat Anggara. "Kedua bersama Kian."Ada beberapa teori filsafat yang aku cantumkan di kisah Ares dan Rhea, tentunya membutuhkan riset mendalam. Percayalah, meskipun cerita fiksi, tapi landasan yang terurai pun harus sangat jelas agar para pembaca tidak salah persepsi. Aku tahu. Selain manusia dewasa, tentunya banyak bocil-bocil nakal yang memiliki rasa penasaran setinggi langit. Tak menutup kemungkinan mereka akan menelan informasi secara me
Kebodohanku pernah bersikap sopan dan baik pada seseorang yang jiwa ini anggap pantas menerimanya, tapi kenyataan berkhianat. Kenedi yang akal pikiran ini hormati setengah mati karena statusnya sebagai ayah, tega menjual dan memerkosaku.Aku sakit. Bertahun-tahun lamanya memendam penderitaan karena kenyataan, jiwa ini seolah memberontak, kemudian membentuk pertahanan refleks agar tak terluka lagi. Tak satu pun pula insan tahu kecuali psikiater yang akhir-akhir ini tak pernah kukunjungi karena keadaan. Lantas, apakah aku salah jika memilih tidak menghormati siapa pun jika pada akhirnya rasa hormat ternodai akibat ulah bejat manusia yang bertameng manusiawi?Kaneena akan menjadi Kaneena. Ia tak akan tersentuh, menyedihkan, berlebih diinjak-injak oleh insan. Ia hidup dan membara, tak membiarkan jiwanya dilukai atau terluka.Demi Tuhan, uangku menipis. Beberapa bulan lalu sisa dana di tabungan telah digunakan untuk berinvestasi. Nahas, perusahan tersebut bangkrut dan stakeholder terkena b
Katanya, taraf ikhlas itu tergantung jarak kita pada Tuhan. Makin renggang hubungannya secara vertikal, maka ikhlas makin tak berwujud. Namun, satu yang membuatku tersadar bahwa Tuhan terkadang amat menyebalkan.Mengapa Ia harus menciptakan larangan jika insan tak selalu mampu mengontrol keinginannya? Ini seputar surga dan neraka, tapi bagaimana dengan insan yang amat terluka akibat aturan-Nya?Hal yang amat Kaneena benci dari Tuhan adalah, Ia tak menyelamatkanku ketika Kaneena diperkosa oleh sang ayah. Kepercayaan ini pada Tuhan tergerus karena sakit yang kuderita. Aku yakin bahwa luka ini tak akan sembuh.Kibasan lembar putih membuatku tersadar dari lamunan. Setelah menyadari sesuatu, denyutan di kepala ini memekat.Lorong kelam di hadapanku memberi pertunjukan. Di ujungnya amat menyilaukan, tapi mengapa pemilik bangunan mirip galeri foto kosong ini tak memberi lampu sebagai penghubung ruangan? Ia seolah tahu bahwa Kaneena tak memiliki rasa takut.Tungkai ini terayun pelan, sedikit
Seseorang yang tumbuh menjadi pribadi keji, terkadang bukan karena mereka memang terlahir keji melainkan akibat dari bentuk pertahanan atas luka-luka lampau. Analogi sederhana, bagaimana cara kau bertahan di tengah terjangan kejahatan? Tentunya menjadi jahat lebih memabukkan daripada kau tertindas. Mungkin pemikiranku terdengar konyol. Namun, bukankah setiap insan berhak berkesimpulan?Aku memiliki beberapa prinsip dalam hidup. Pertama, Kaneena tidak akan menikah. Kedua, Kaneena tak sudi memiliki anak. Ketiga, ia akan tetap membara dan tak akan diinjak oleh insan. Tiga aturan tersebut telah bulat, kutulis dalam setiap langkah perjalanan. Tidak muluk-muluk. Kuakui bahwa prinsip dapat tercipta sempurna setelah kepercayaan dicampakkan oleh cinta dan kebahagiaan.Aku tertampar ketika Zillo mendongak. Tatapan polosnya seolah berkata, Bagaimana jika Tuhan berkata lain?"Jangan menatapku begitu, bocah." Netra ini berputar malas sebelum fokus pada bianglala. Dalam hati, aku berdecak. Jika Tuh
Aku tidak mengenal pasti sosok yang kerap Azillo agung-agungkan dan bocah itu panggil sebagai 'bunda'. Namun, dari bibir mungilnya melukiskan bahwa sang ibu amat sempurna. Belum lagi sorot Baeck di detik-detik Azillo sesenggukan karena menginginkan kasih sayang.Napas ini berembus tenang, menyorot kosong ke depan. Baiknya, pria itu tidak murka karena aku agak lancang mengubrak-abrik kamar bayinya. Entah mengapa, aku masih amat penasaran dengan ruangan yang berada di ujung kamar kecil tersebut. Pasalnya, aku tak menemukan kamar Baeck dan sang istri di apartemen ini. Mungkinkah .....Hal yang mampu membuatku jatuh bosan adalah selalu berakhir di rumah sakit. Entah apa yang Zillo lakukan hingga kepala anak itu membentur pinggiran lemari tajam di sisi kanan ranjang. Alhasil, kepala bocah sialan itu bocor dan mendapatkan beberapa jahitan.Baeck yang tampak kesal dan marah masih mengabaikanku. Pria itu yang sibuk ke sana kemari, mengurus administrasi sang putra sebelum terduduk lemas di sis
Aku tersadar ketika selendang hitam di kepala ini merosot hingga bahu. Gemeresik dedaunan mendukung aroma duka yang masih tersisa, tapi mengapa jiwaku seolah tak peduli berlebih merasakan sakitnya kehilangan?Lutut ini terlipat, bersimpuh di sisi kiri pusara Kenedi. Karena Azillo dan sang ayah pergi tanpa kabar sepulangnya aku dari menjenguk ibu yang menyisakan hampa di apartemen mereka, tungkai ini memutuskan berziarah ke makam seseorang yang sedari dulu Kaneena sumpahi mati. Jika bukan Kian, demi Tuhan aku tidak akan menyentuh tanah lembap pusara pria sialan itu.Kuletakkan setangkai bunga mawar agar tampak seperti anak yang baik sebelum beranjak dan tersenyum penuh kehampaan. Setibanya di mobil, napas ini terembus lelah, kemudian memutuskan menghubungi Baeck karena aku merasa bertanggung jawab untuk uang lima ratus juta yang pria itu lunasi beberapa hari lalu."Ke mana saja? Aku tidak menemukan siapa pun di apartemen." Pertanyaanku mungkin terdengar ketus di telinganya, tapi Kaneen
Beberapa minggu ini, Zillo tak secerah biasa berlebih sekembalinya ia dari Yogyakarta. Namun, anak kecil itu makin lengket, tapi sang ayah makin hari makin kurang ajar padaku. Kini, Baeck hanya berlalu dengan makan siangnya tanpa memedulikan kami sama sekali. Ia pikir, aku sudi membuatkan makan siang untuk anaknya?"Tante ...."Rahangku yang tanpa sadar mengetat, refleks kendur perlahan ketika menunduk karena panggilannya. Bibir ini hanya berdehem ketus. "Omong-omong, mengapa kalian tiba-tiba ke Jogja?" Netra bundarku berputar malas. "Kau tahu, karena kepergian kalian, aku jadi hutang budi. Seharusnya, Kaneena bisa bebas hari ini."Anak itu seperti tak pernah memedulikan betapa ketus seseorang bersikap padanya. "Bunda dan—""Illo, tolong ambilkan ponsel ayah di meja depan, Sayang!" titah Baeck dari dalam kamar.Azillo beranjak dari duduknya, kemudian berlari kecil menuju ruang tamu sebelum tenggelam dalam kamar. Memperhatikan langkah renyah bocah itu, bibir ini tersungging miris. Jika
Terkadang, karena terlampau banyak menderita, kau akan terlihat biasa-biasa saja, bahkan ketika mengambil keputusan mengenai hal paling fatal dalam hidup.Setelah dinyatakan positif hamil, malam-malam panjang selalu kutemani bersama renungan dan kesendirian. Bahkan, tak sedikit waktu berlalu tanpa air mata dan jerit tangis. Namun, dari sekian banyak pilihan yang dapat hidup ini pilih, yaitu aku akan tetap melakukan aborsi atau ibu akan mati, dan Kian kehilangan mimpi.Aku percaya bahwa kematian ada di tangan Tuhan. Namun, apakah Ia pernah memberitahu insan kapan ibuku akan berpulang? Dan sebagai anak, apa yang dapat aku lakukan selain mempertahankan hidup dan memperjuangkan kesembuhannya? Ya, meskipun harus terjebak dalam pernikahan yang mengharamkan kehadiran buah hati.Seorang Baeck Rayen, benar-benar menghancurkan kodratku sebagai wanita yang berpeluang besar menjadi sempurna.Kacamata hitam di rambut ini kuturunkan setibanya di bandara negara yang melegalkan aborsi. Semoga, aku ta
Ayah dari janin di perutku jelas Baeck Rayen. Aku bersuami dan wajar mengandung jauh beberapa bulan setelah pernikahan kami. Namun, tidak semudah itu!Aku meraih ponsel karena Kian menelepon, kemudian menarik napas, berusaha menghilangkan parau."Kaneena!"Benda pipih itu kujauhkan dari telinga karena berdenging akibat panggilan lantang Kian. "Ada apa?""Kakakku sedang sakit? Suaramu sengau.""Hanya demam. Ada apa? Kau tidak tahu kalau panggilan lintas negara itu mahal?" Jemariku meremas ujung bantal, menahan isak tangis."Aku bingung harus memanggilnya 'pak', atau 'mas'. Yang jelas, suamimu itu uangnya sangat banyak."Kekehanku menggema. "Lantas? Kau mengganggu waktu istirahatku, Kian. Aku sedang—""Kaneen, ia baru saja membelikan aku BMW!""Apa?!" Netraku membola bercampur bingung, menerka apakah Kian sedang tidak membual."Jadi istri yang baik, ya, karena sebenarnya Pak Rayen itu memang sangat baik. Tapi jika macam-macam .... Ya, minimal seperti ingkar janji, bisa habis riwayatmu."
Aku menikmati setiap detik pergerakan lift yang melaju turun, menuju lantai satu perpustakaan kota. Beberapa menit lalu bertemu Baeck, semangat yang tadinya membara tiba-tiba menciut entah karena apa. Setibanya di lobi, netra ini menemukan jingga yang menandakan bahwa sebentar lagi malam akan meninggi.Ponselku berdering."Hallo, Mbak .... Mbak Kaneen, di mana?""Ada apa, Dalen?" tanyaku penuh kekhawatiran karena takut terjadi sesuatu padanya. "Dalen baik-baik saja, 'kan?""Baik-baik saja, Mbak. Justru, Dalen yang mengkhawatirkan Mbak Kaneen." Gadis itu terdengar mengembuskan napasnya. "Tadi tubuh Mbak Kaneen panas. Dalen takut terjadi apa-apa sama Mbak, apalagi Mbak tidak pulang-pulang."Bibir ini refleks mengembang. "Aku ada urusan di perpustakaan kota. Biasa, mencari bacaan." Aku memperhatikan jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul setengah enam. "Bi Asih masih di sana, 'kan, Dalen?""Masih, Mbak. Pulangnya hati-hati, ya, Mbak ....""Ya, sudah, aku tutup, ya ...." Aku men
Meskipun tak lagi mengajar, rupanya Baeck Rayen adalah owner dari beberapa outlet makanan dan minuman ternama di Jakarta. Dalena pun memberitahu bahwa pria itu memiliki saham di perusahaan pertambangan yang ada di Riau. Pantas saja ia kaya tujuh turunan.Napas ini berembus karena mengingat sesuatu.Kapan hatiku berlabuh pada kebahagiaan yang hakiki? Tentu saja setelah dipeluk oleh Tuhan. Karena hingga detik ini, aku tak tahu sampai kapan pernikahan di atas kertas kami berakhir, atau setidaknya disudahi dengan tujuan yang lebih manusiawi.Senyuman mirisku mengembang sebelum semilir angin mengempas rambut tergerai ini sehingga menempel di bibir. Aku terkesiap dan tanpa sengaja menyentuh bahu Dalena."Tangan Mbak Kaneen panas." Itu yang pertama kali keluar dari bibirnya sebelum mendongak, menyorot wajahku dengan senyuman.Memperhatikan tubuh lemah wanita itu, aku tersenyum, kemudian turun ke perut buncitnya. Usia kandungan Dalena enam bulan, pertanda bahwa tiga bulan lagi, wanita itu aka
Pelajaran yang dapat diambil dari sebuah kegilaan duniawi adalah betapa beruntungnya kita karena masih hidup hingga detik ini. Namun, dari miliaran masalah yang pernah dialami, kemudian dibandingkan dengan apa yang insan dapat dan miliki, apakah kita bahagia?Jika dihitung, mungkin nyaris dua puluh empat kali aku melirik jam dinding. Namun, mereka belum menampakkan batang hidung sama sekali meskipun kini nyaris tengah malam. Ketika menghubungi Bi Asih, wanita itu mengatakan bahwa Azillo masih di sana dan saat ini telah terlelap damai. Berakhir, aku yang minta maaf karena tidak ingin bocah itu pulang sebelum Baeck datang.Ponselku tiba-tiba berdering, menampilkan nama Willis. Layaknya cinderella yang baru saja menemukan kembali sepatu kacanya, aku menggeser tombol hijau."Kaneena, apa kabar? Lama tidak berkomunikasi. Kau tahu, semenjak nenekku meninggal, aku benar-benar sibuk."Suara khas Willis adalah satu-satunya alunan yang amat telinga ini rindukan. Namun, integritasku tak mampu me
Pernahkah kau merasa kerdil karena tak lagi memiliki harga diri akibat dari sebuah transaksi? Pria itu membeli nyaris sembilan puluh persen dari hidup ini dan aku mendapatkan imbalan berupa pelunasan atas tuntutan duniawi. Entah sampai kapan seluruh kegilaan tak lagi kami lakukan, tapi aku tak pernah berani membayangkan sebuah akhir yang bahagia. Karena, luka seseorang terletak pada sejauh mana ia berekspektasi. "Kaneen ...." Panggilan itu adalah panggilan yang sama seperti tempo hari. Namun, entah mengapa aku merasakan warna suara yang berbeda. Kali ini lebih berat, parau, dan mungkin ... memabukkan, penyebab bibirku lebih memilih memperhatikan wajahnya dibandingkan menjawab. "Aku menginginkan satu hal darimu." Pria itu membenahi anak rambutku yang menempel pada dahi karena keringat. "Aku tidak suka basa-basi," sarkasku. "Katakan apa pun itu atau kesempatanmu akan gugur." Entah ancaman macam apa yang baru saja kulayangkan, tapi helaan napas Baeck cukup memberitahu bahwa pria itu
"Apa pun yang Dalena ingin, tolong beritahu mas atau Kaneen. Mas akan berusaha untuk mendapatkannya, oke?" Suara lembut Baeck membuatku menyorot ke arah mereka.Dalena mengangguk dengan kelopak menyatu ketika Baeck menariknya ke dekapan. Wajah wanita itu masih pucat. Namun, hati ini jauh lebih lega dibandingkan tadi karena ia tak lagi sesenggukan."Siapa yang membelikan keinginan Dalen sebelum ada mas?" Pria itu membenahi rambut Dalena yang menutupi dahi."Mang Aji," balas Dalen, masih dengan kelopak menyatu.Mendengar percakapan mereka, wajah ini menunduk sebelum menyelisik keduanya dengan sorot nanar.Si jahat pernah menjadi baik. Wanita itu percaya bahwa Tuhan akan memberi cahaya untuk setiap langkahnya yang terasa amat gulita. Namun, Ia memberi penerangan dengan cara merenggut sesuatu yang si jahat anggap sebagai cahaya paling terang setelah ia melahirkan.Ya, setelah tragedi keji—yang menyebabkan benci ini tak pernah surut meskipun Kenedi telah mati—Kaneena remaja hamil dan baru
Tadi pagi, aku dan Dalena sempat berbincang agak dalam sebelum menyimpulkan banyak hal.Pertama, Dalena mengerti bahwa Baeck tidak akan mampu menerimanya karena pria itu hanya mencintai Inggit. Hubungan yang sempat terjalin pun hanya buah dari rasa suka biasa karena kerap bersama.Kedua, ia tidak tahu bahwa pernikahan kami pun hanya bermodalkan kebutuhan. Oleh karena itu, Dalena berpikir bahwa kami saling mencintai dan ia tak ingin merusak apa pun yang telah terbangun hingga detik ini.Ketiga, yang Dalena ketahui dariku adalah, Kaneena seorang pengasuh bayaran Azillo sebelum akhirnya terjebak cinta lokasi.Keempat, wanita itu terlahir dari keluarga kaya yang sangat open minded sehingga tidak pernah menuntut Baeck atas kecelakaan beberapa waktu lalu.Kelima, ia berusia jauh di bawah kami.Dan poin terakhir yang membuatku benar-benar sakit kepala. Jika dibanding usia Baeck yang jauh lebih tua, dapat dikatakan bahwa pria itu telah menodai anak di bawah umur. Namun, entah mengapa, Dalena
"Dalena pernah bekerja freelance, sebagai asisten risetku."Bibir ini masih bungkam, sama sekali tak berniat memotong cerita Baeck di sepanjang perjalanan kami menuju rumah Dalena. Hanya satu pertanyaan yang terlontar dari bibirku perihal, "Bagaimana bisa?", tapi mungkin ia akan menjelaskannya panjang lebar."Karena satu dan lain hal, aku bekerja sama dengan Nikolas sehingga bajingan itu menjebak kami."Fokusku yang sedari tadi jatuh pada kaca mobil berembun, refleks beralih pada wajah Baeck. Ia tampak jauh lebih segar dibandingkan tadi malam, tapi guratnya tetap menyiratkan kesal setelah mengucapkan nama "Nikolas"."Temanmu yang kita temui di Singapura?" Sebelah alisku terangkat.Baeck mengangguk. "Kami memang sempat mengungkapkan perasaan satu sama lain," ia menarik napas, "tapi aku memutuskan untuk tidak egois karena Dalena terlalu suci untuk masuk ke kehidupan seorang Baeck Rayen yang sesungguhnya."Ya, aku telah mendengar seluruh alasan pria itu untuk tidak memilih Dalena."Kau c