Seseorang yang tumbuh menjadi pribadi keji, terkadang bukan karena mereka memang terlahir keji melainkan akibat dari bentuk pertahanan atas luka-luka lampau. Analogi sederhana, bagaimana cara kau bertahan di tengah terjangan kejahatan? Tentunya menjadi jahat lebih memabukkan daripada kau tertindas. Mungkin pemikiranku terdengar konyol. Namun, bukankah setiap insan berhak berkesimpulan?
Aku memiliki beberapa prinsip dalam hidup. Pertama, Kaneena tidak akan menikah. Kedua, Kaneena tak sudi memiliki anak. Ketiga, ia akan tetap membara dan tak akan diinjak oleh insan. Tiga aturan tersebut telah bulat, kutulis dalam setiap langkah perjalanan. Tidak muluk-muluk. Kuakui bahwa prinsip dapat tercipta sempurna setelah kepercayaan dicampakkan oleh cinta dan kebahagiaan.
Aku tertampar ketika Zillo mendongak. Tatapan polosnya seolah berkata, Bagaimana jika Tuhan berkata lain?
"Jangan menatapku begitu, bocah." Netra ini berputar malas sebelum fokus pada bianglala. Dalam hati, aku berdecak. Jika Tuhan berkata lain, itu urusan Tuhan, bukan urusanku. Bukankah manusia bebas berkehendak meskipun kehendaknya dibatasi oleh ketentuan takdir?
Setelah sadar, aku menggeleng. Membayangkan raga ini berada di salah satu kapsul bianglala, kepalaku berdenyut hebat, mengingat kejadian beberapa waktu lalu ketika Kaneena mengeluarkan isi perut setelah menaiki roller coaster. Aku menarik napas kuat sebelum mengusap dada dengan satu telapak tangan karena satu telapak tangan lain sibuk menggenggam tangan Zillo.
"Tante, itu tinggi." Kuperhatikan, anak itu tampak takjub. Telunjuknya fokus pada bianglala yang berputar.
Menemukan wajah polos Zillo, Entah mengapa, muncul ide gila di otakku. "Kau ingin naik itu?" Untuk merayunya, tentu saja ucapan ini harus manis. Kuusap rambut bocah itu pelan yang kini berkibar karena angin di sela seringaian.
Netra polosnya menatapku dan bianglala tersebut bergantian. "Illo boleh?"
Bahuku mengedik, menahan senyuman dalam hati. "Tentu. Siapa yang tidak mengizinkan?" Tak menunggu ucapan apa pun, aku menariknya untuk mendekati wahana. Namun, lautan manusia seolah menyorot kami dengan kebencian.
Siapa anak itu?
Apakah Kaneena telah memiliki anak?
Karena geram dengan ucapan mereka, aku pun menyorot penuh kebencian. "Heh, aku bukan artis lagi. Jadi, berhenti membicarakan apa pun tentang Kaneena!" Di sela protes, aku tersentak karena Zillo tiba-tiba histeris. "Diam, Zillo. Kau menangis di waktu yang tidak tepat," geramku dengan suara lirih.
Anak itu makin histeris, membuatku menyerah, memilih berbalik arah dengan langkah tergesa. Apakah Kaneena harus mengundurkan diri dari dunia hiburan di saat aku sendiri pun telah dicampakkan?
"Diam, bocah!"
Entah apa penyebabnya, tapi ketika menoleh ke belakang, lautan manusia seolah mengejar. Mereka tampak hendak memburu foto kami yang mungkin dapat dijadikan uang. Jika tahu begini, aku tak akan menuruti ucapan sialan Baeck yang mengatakan bahwa Zillo amat bahagia jika diajak ke pusat bermain.
Refleks, kudekap tubuh anak itu erat, seolah tak ingin wajahnya terpampang di berita sialan televisi. Sesuai praduga, Zillo kesulitan menahan tangis. Ia tampak ketakutan, menyebabkan kebodohanku berdesis geram setelah mengingat bahwa kami kemari dengan taksi, pertanda aku harus menyetop terlebih dahulu. Beruntung jika langsung dapat. Jika tidak, mereka akan menangkap dan menjadikan kami objek pemberitaan hari ini.
Hari-hariku benar-benar sial. Sesuai perjanjian, aku akan mengasuh Zillo selama Baeck tidak ada. Keinginan ini berpikir bahwa pria itu akan pergi sesekali, tapi mengapa seminggu lamanya ia tak pulang-pulang seperi Lagu Bang .... Ah, entahlah.
"Kaneena!"
Suara itu ....
"Ayah!" Zillo memekik di sela isak tangisnya. Meskipun ia anak kecil, tapi dalam keadaan seperti ini aku sangat memercayai insting bocah itu.
Netra ini refleks menyorot sekitar, mencari-cari keberadaan Baeck sebelum tersenyum lega ketika pria itu berlari ke arah kami dengan lengannya yang melambai. Aku tak lagi memedulikan hiruk-pikuk selain fokus pada Baeck yang makin mendekat. Ketika nyaris sampai, pria itu meraih Zillo dari dekapanku, kemudian menarik pergelangan tangan ini untuk lari makin kencang. Kami bagaikan pemain drama india yang sibuk memecah taman bunga.
Apakah mereka berkencan?
Aku tidak percaya bahwa Kaneena telah memiliki anak.
Jangan-jangan, ia selingkuhan.
Dentuman pintu mobil yang tertutup membuatku mengembuskan napas lega karena praduga-praduga sialan dari bibir mereka tak lagi terdengar. Sementara Baeck masih beku. Ia tampak shock berat dengan kejadian beberapa menit lalu. Berbeda dengan Zillo yang kini histeris di dekapan sang ayah.
Untung kaca mobil ini berwarna gelap. Jadi, rayapan-rayapan mereka tampak dari dalam, tapi kekhawatiran kami sama sekali tak tertangkap dari luar. Yang membuatku jijik adalah, mereka bagaikan lintah yang lupa daratan. Mencaci, membenci, tapi mengapa masih membutuhkan informasi?
"Cepat lajukan mobilnya!" titahku sebelum terkesiap karena Baeck menyerahkan Zillo. Beberapa saat kemudian, tubuh kami melaju dalam kelegaan.
Netraku terkatup rapat, merasakan dengungan yang memecah atmosfer gundah di dada. Aku sama sekali tak berniat menenangkan Zillo yang histeris. Pasalnya, kepala ini amat berdenyut.
"Tidak ada apa-apa, Nak. Jangan takut, Sayang." Baeck berusaha menenangkan sang putra sebelum menyenggol lenganku. "Hug my son." Ia menyerahkan Zillo.
"What?!" Aku menyorot anak itu geli sebelum beralih pada Baeck. Demi Tuhan, memeluk anak kecil bukan tipe Kaneena sama sekali, berlebih memancarkan aura kasih sayang.
"Ini tugasmu. 500 juta tidak sedikit, Kaneen!"
Di sela mendengar protes Baeck, kami terhuyung ketika kuda besi ini berbelok. Karena enggan mendengar dumalan sialan itu terus menerus, kudekap Zillo dengan pergerakan ragu. Hebatnya, makhluk itu berhenti dari isak tangis.
"Tante ...." Ia merengek sangat manja, membuatku amat muak dan geli ketika wajah basahnya mendongak.
Bibir ini hanya bungkam. Sorotku masih fokus ke perjalanan. Dalam diam, aku bertanya, Sebenarnya, apa yang mereka inginkan?
"Pelukan Tante mirip dengan pelukan bunda."
Netraku membulat, terkejut. Karena Baeck pun tampak terkesiap, wajah ini beralih pada wajahnya hingga kami saling tatap cukup lama sebelum aku membuang muka.
"Illo suka."
Aku tak sudi menanggapi ucapan bocah sialan itu, memilih terpejam sebelum merasa ringan.
***
Baeck membanting pintu apartemen setibanya kami di sini. Ia tampak marah. Namun, apakah aku peduli? Dan, pria itu membawaku ke apartemen yang terletak di dekat Bundaran HI.
"Mulai saat ini, kau tidak usah keluar. Tinggal di apartemenku dan urus Zillo." Dengan wajah kesal, pria itu menggulung lengan kemeja hingga siku sebelum melepas kancingnya yang tampak amat mencekik. Kemudian, Baeck mengempaskan tubuh di sofa.
Tungkaiku nyaris memasuki ruang tamu, tempat di mana pria itu berada. Refleks, kuselisik wajahnya dengan alis menyatu sebelum mengetatkan gigi karena geram. "Kau pikir, aku buronan?"
Baeck melempar ponselnya asal, mengabaikan ekspresi kesalku.
"Di mana aku harus meletakkan anak ini?" Demi Tuhan, aku benar-benar menahan geram. Seharusnya pria itu yang menggendong Zillo, bukan aku!
"Kamar." Dagunya mengedik ke pintu yang terbuka beberapa senti.
Sesuai arahan, aku meletakkan Zillo di ranjang dengan perasaan gondok sebelum menghampiri Baeck yang tampak masih betah berada di tempat semula.
"Jika kau berkeliaran, Zillo harus ikut. Namun, aku sebagai ayahnya, tak ingin kejadian tadi terulang." Ia menyorotku tajam, berusaha meremas keberanian Kaneena. Namun, satu hal yang tidak pernah Baeck ketahui, yaitu aku tidak memiliki rasa takut.
"Kau egois!" Aku berdiri di hadapannya dengan tangan bersilang, mengabaikan Zillo yang mungkin saja akan terjaga. Refleks, telunjuk ini mengacung geram. "Aku ini memiliki kehidupan dan kau tidak berhak mengekang!" Kutantang sorotnya ketika beranjak.
Pria itu mendekat ke arahku dengan wajah merah padam. "Aku berhak karena Zillo bersamamu! Ia putraku! Aku telah membayarmu sangat mahal!"
Demi Tuhan, karena makhluk sialan itu, aku jadi terikat dan dikekang. "Terserah!" Aku memasuki kamar setelah membanting pintu yang entah milik siapa.
***
Rasa bosanku melirik Zillo yang sedari tadi terlelap. Napas bocah itu teratur, senada dengan gerak dadanya yang kembang kempis. Aku beralih ke penjuru sebelum beranjak dengan helaan napas. Baeck entah pergi ke mana, menyisakan kami yang bagaikan burung di sangkar emas.
Waktu luang aku gunakan untuk membuka platform kepenulisan. Ketika menemukan banyak sekali komentar dari para pembaca, hati ini bersorak senang.
Seharusnya, cerita sememukau ini dijadikan film layar lebar.
Demi Tuhan, aku ingin sekali menjadi pemerannya jika cerita ini naik layar.
Sayang sekali, Ares terlalu berengsek.
Tiba-tiba, aku mengingat Ares dan agak meringis bersalah setelah menyadari bahwa nama pria itu abadi di cerita Kaneena.
Demi Tuhan, aku menjadikan Ares dan sang istri tokoh dalam novel bukan tanpa alasan. Mereka memiliki karakter pekat yang mampu mengembangkan imaji ini. Ares, pria keparat. Rhea, istri berkarakter kuat.
Nyaris dua jam aku membalas komentar mereka satu per satu. Tak jarang netra ini melirik Zillo yang masih terlelap damai. Namun, rasa bosan tak mampu terobati. Itu sebabnya aku beranjak, menyusuri sudut ruangan perlahan.
Entah mengapa, aku berharap menemukan sesuatu di apartemen ini. Tak ingin tahu, tapi aku pun tak dapat berbohong bahwa ada sepercik rasa penasaran dalam dada Kaneena perihal siapa wanita yang Zillo panggil sebagai bunda. Setidaknya, mengapa sang istri dirawat di rumah sakit atau minimal foto pernikahan mereka. Namun, sepertinya mimpi Kaneena hanya akan sia-sia.
Aku mengelilingi ruangan. Furniture apartemen ini gaya minimalis, khas pria itu sekali. Selain garang dan mengesalkan, Baeck adalah tipikal seseorang yang menyukai hal-hal simple. Kian mengatakan demikian.
Lidah ini berdecak malas. "Mengapa aku harus peduli, sih?" Namun, tungkaiku masih melangkah.
Satu per satu pintu ruangan kumasuki karena seluruhnya sengaja dibuka oleh Baeck sebelum pria itu pergi. Mungkin agar tidak pengap atau pria itu tengah berusaha membunuh kebosananku karena ia tahu bahwa Kaneena memiliki tingkat penasaran yang tinggi.
Tak menemukan apa pun, aku memutuskan kembali ke kamar untuk memeriksa Zillo. Namun, kesadaran ini menemukan satu kejanggalan, yaitu pintu berwarna pastel, tidak senada dengan warna pintu lainnya—cokelat.
Rasa penasaranku membawa tubuh ini tiba di depannya. Di permukaan pintu tersebut bertuliskan sesuatu. Namun, aku tak mampu membacanya karena bukan Bahasa Indonesia yang tertera di sana. Refleks, jemari ini memutar kenop. Gagal. Pintu terkunci. Menyerah, aku hendak berbalik, tapi sudut netra ini tanpa sengaja menemukan besi yang menyembul di atas lemari sepinggul tepat di bawah buku bacaan anak-anak.
Alisku makin menyatu. "Mungkin itu kuncinya," gumanku. Tanpa rasa takut, aku membuka pintu kamar misterius itu perlahan. Sesuai praduga, pintu terbuka.
Ruangan ini gelap. Namun, tak mampu menyulut rasa takutku. Dengan langkah mengendap, aku berusaha mencari sakelar lampu sebelum sinar menyala terang. Netraku terpanah. Untuk ukuran Kaneena yang membenci makhluk kecil bernama bayi, pertunjukan saat ini lumayan hebat karena sukses membuatku terperangah. Kamar mungil ini amat cantik dan memukau, penuh dengan warna pastel yang disempurnakan oleh aroma bayi.
Aku melangkah perlahan sebelum membeku ketika menemukan foto Baeck, satu wanita cantik, dan satu bayi mungil yang kupastikan adalah Zillo. Kuselisik dua dimensi tersebut dengan alis bertaut. Pasalnya, kamar ini amat mencurigakan. Namun, rasa takutku sungguhan tak bersisa hingga memutuskan untuk melangkah lebih dalam ke pintu yang terletak di ujung kamar sebelum terkesiap ketika pekikan nyaring Zillo mengentak pendengaran.
Aku berlari ke sumber suara sebelum terperangah ketika menemukan Zillo yang telah dipenuhi darah pada bagian kepalanya dan yang terparah adalah sorot tajam Baeck. Ia seolah hendak membunuh dengan cara mengulitiku.
Aku tidak mengenal pasti sosok yang kerap Azillo agung-agungkan dan bocah itu panggil sebagai 'bunda'. Namun, dari bibir mungilnya melukiskan bahwa sang ibu amat sempurna. Belum lagi sorot Baeck di detik-detik Azillo sesenggukan karena menginginkan kasih sayang.Napas ini berembus tenang, menyorot kosong ke depan. Baiknya, pria itu tidak murka karena aku agak lancang mengubrak-abrik kamar bayinya. Entah mengapa, aku masih amat penasaran dengan ruangan yang berada di ujung kamar kecil tersebut. Pasalnya, aku tak menemukan kamar Baeck dan sang istri di apartemen ini. Mungkinkah .....Hal yang mampu membuatku jatuh bosan adalah selalu berakhir di rumah sakit. Entah apa yang Zillo lakukan hingga kepala anak itu membentur pinggiran lemari tajam di sisi kanan ranjang. Alhasil, kepala bocah sialan itu bocor dan mendapatkan beberapa jahitan.Baeck yang tampak kesal dan marah masih mengabaikanku. Pria itu yang sibuk ke sana kemari, mengurus administrasi sang putra sebelum terduduk lemas di sis
Aku tersadar ketika selendang hitam di kepala ini merosot hingga bahu. Gemeresik dedaunan mendukung aroma duka yang masih tersisa, tapi mengapa jiwaku seolah tak peduli berlebih merasakan sakitnya kehilangan?Lutut ini terlipat, bersimpuh di sisi kiri pusara Kenedi. Karena Azillo dan sang ayah pergi tanpa kabar sepulangnya aku dari menjenguk ibu yang menyisakan hampa di apartemen mereka, tungkai ini memutuskan berziarah ke makam seseorang yang sedari dulu Kaneena sumpahi mati. Jika bukan Kian, demi Tuhan aku tidak akan menyentuh tanah lembap pusara pria sialan itu.Kuletakkan setangkai bunga mawar agar tampak seperti anak yang baik sebelum beranjak dan tersenyum penuh kehampaan. Setibanya di mobil, napas ini terembus lelah, kemudian memutuskan menghubungi Baeck karena aku merasa bertanggung jawab untuk uang lima ratus juta yang pria itu lunasi beberapa hari lalu."Ke mana saja? Aku tidak menemukan siapa pun di apartemen." Pertanyaanku mungkin terdengar ketus di telinganya, tapi Kaneen
Beberapa minggu ini, Zillo tak secerah biasa berlebih sekembalinya ia dari Yogyakarta. Namun, anak kecil itu makin lengket, tapi sang ayah makin hari makin kurang ajar padaku. Kini, Baeck hanya berlalu dengan makan siangnya tanpa memedulikan kami sama sekali. Ia pikir, aku sudi membuatkan makan siang untuk anaknya?"Tante ...."Rahangku yang tanpa sadar mengetat, refleks kendur perlahan ketika menunduk karena panggilannya. Bibir ini hanya berdehem ketus. "Omong-omong, mengapa kalian tiba-tiba ke Jogja?" Netra bundarku berputar malas. "Kau tahu, karena kepergian kalian, aku jadi hutang budi. Seharusnya, Kaneena bisa bebas hari ini."Anak itu seperti tak pernah memedulikan betapa ketus seseorang bersikap padanya. "Bunda dan—""Illo, tolong ambilkan ponsel ayah di meja depan, Sayang!" titah Baeck dari dalam kamar.Azillo beranjak dari duduknya, kemudian berlari kecil menuju ruang tamu sebelum tenggelam dalam kamar. Memperhatikan langkah renyah bocah itu, bibir ini tersungging miris. Jika
Aku masih menoleransi apa pun itu selain menjual diri, termasuk menemani Baeck Rayen minum malam ini. Entah apa penyebab pria itu hingga sudi memohon padaku."Aku ingin tahu satu hal darimu." Aku membenahi tas lengan sebelum mendarat pada sofa di hadapan pria itu."Katakan," balas Baeck dengan nada dingin sembari menata beberapa botol minuman yang mungkin akan memabukkan kami. Pria itu berani mambayarku sangat mahal untuk sekadar menemaninya melepas penat dengan cara menenggak dosa.Cih, mengapa aku jadi seperti pelacur? Aku menggeleng cepat, kemudian mengembuskan napas setelah menyorot Baeck. "Mengapa kau tidak menyewa jalang saja? Mereka akan dengan senang hati memberimu pelayanan terbaik selain menemani minum."Pria itu tiba-tiba tertawa sembari bertepuk tangan seolah ucapanku adalah lelucon murahan malam ini. Ia mendengus bodoh. "Kau pikir, aku semurahan itu?" Sebelah alisnya terangkat sinis. "Aku hanya ingin ditemani minum, bukan ingin—""Aku tidak percaya kau setertutup itu." Ak
Entah pria itu memang dikirimkan Tuhan untuk membantu Kaneena, atau hanya kebetulan saja. Pasalnya, Baeck selalu tiba di detik-detik aku membutuhkan uang. Beberapa hari lalu ibu kritis dan harus di rujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Besoknya, ia menawarkanku pekerjaan yang dapat dikatakan lebih berat, yaitu menjadi ART di apartemen pria itu.Lama sekali aku tidak mendapatkan notif hebat dari cerita Rhea dan Ares.Apakah kau sesibuk itu sehingga tidak sempat menulis lagi?Aku mengembuskan napas, sesekali mengusap pelipis yang penuh keringat dengan lengan basah bercampur busa. "Tidak sempat. Realita lebih menyibukkan. Aku butuh uang cepat." Bibir ini bergumam setelah membaca berbagai macam komentar dari kisah Ares dan Rhea.Napas ini berembus lelah.Azillo telah damai dalam mimpinya, menandakan bahwa aku harus membereskan apartemen ini karena telah dibayar mahal sang ayah. Sudi tidak sudi aku pun harus mencuci baju mereka sebagai pekerjaan terakhir karena aktivitas ini yang paling m
Tadi malam, aku dan Baeck tiba di Singapura.Aku menolak untuk menemani pria itu, tapi Baeck kembali mengikat dengan tawarannya. Ia mengatakan akan menyewa seseorang untuk merawat ibu agar Kian bisa fokus mengurus beasiswa, dan tentu saja aku setuju.Pernahkah kau mendengar bahwa pelacur bahagia dengan profesinya meskipun mereka dapat membeli tas mahal? Sebenarnya, tidak. Ini yang kusebut sebagai keadaan. Toh, yang terpenting aku tidak menjual diri."Melamun, Buk?""Panggilan yang sangat menggelikan," sarkasku yang tiba-tiba merasa bahwa lalu-lalang lebih pantas dipandang daripada cengiran bodoh Baeck. Entah mengapa, pria itu tidak sekaku biasanya, tapi membuatku merasa agak aneh."Ingat, aku Baeck Rayen. Usiaku 33 tahun, memiliki balita laki-laki bernama Azillo, dan saat ini sibuk menata bisnis di Jakarta setelah beberapa waktu lalu mengundurkan diri menjadi dosen."Keterkejutanku menoleh ke arahnya. "Kau tidak menjadi ... kenapa?""Banyak hal yang tidak perlu kau ketahui." Ucapan pr
Kami menghabiskan waktu nyaris sebulan untuk mengurus kesehatan ibu di Negeri Singa sebelum kata "sah" dari para saksi pernikahan membuat tubuhku bergetar hebat. Netra Kian tampak berkaca-kaca sementara ibu yang tengah berbaring di ranjang kamar inap seolah tak mampu melepas senyum sukacita pada bibir pucatnya. Meskipun agak sulit meyakinkan mereka karena pernikahan kami amat tiba-tiba, tapi tak satu pun manusia akan menolak menantu sesempurna Baeck Rayen di luar sikap kurang ajarnya padaku.Seluruh insan di ruangan ini mengusap wajah penuh kelegaan, termasuk Baeck.Tak ada resepsi, gaun indah, ataupun gedung megah sebagai sarana pernikahan. Karena bagiku, "resmi menjadi suami istri di mata Tuhan" lebih cukup karena tak ada cinta di dalamnya. Kami pun hanya menikah siri.Setelah menarik napas panjang, aku mengecup punggung tangan Baeck. Pria itu pun memberi kecupan senada pada dahiku layaknya suami romantis. Padahal, kami hanya dua manusia gila yang berusaha memenuhi kebutuhan lawan s
Harus sabar bagaimana lagi yang aku besar-besarkan?Azillo memang tidak nakal, tapi ia sangat lincah seperti keledai. Satu hal lagi yang membuatku menarik napas berkali-kali, yaitu jika sangat menginginkan sesuatu, harus dituruti atau berujung histeris. Hari ini pun ia sangat tantrum."Mama, adek ingin makan udang!" Zillo merengek lagi dan lagi, padahal aku telah memberinya pengertian berulang kali bahwa ia tidak bisa makan udang karena alergi.Netraku terpejam geram, menahan amarah yang ingin meledak-ledak. Sedari pagi, ada saja yang ia inginkan. "Zillo alergi udang. Ayah berpesan bahwa Zillo tidak boleh makan itu."Anak itu berguling di lantai, bentuk rasa tidak terimanya karena dilarang. Aku mendekat, tapi ia makin histeris. Tadi pagi Zillo menumpahkan satu botol sabun di kamar mandi, sukses membuatku tergelincir. Beberapa jam kemudian, ia memecahkan piring dan melukai tangannya sendiri. Kosmetikku pun hancur berantakan di lantai kamar karena ulah lincahnya. Entah mengapa, hari ini