Tadi malam, aku dan Baeck tiba di Singapura.Aku menolak untuk menemani pria itu, tapi Baeck kembali mengikat dengan tawarannya. Ia mengatakan akan menyewa seseorang untuk merawat ibu agar Kian bisa fokus mengurus beasiswa, dan tentu saja aku setuju.Pernahkah kau mendengar bahwa pelacur bahagia dengan profesinya meskipun mereka dapat membeli tas mahal? Sebenarnya, tidak. Ini yang kusebut sebagai keadaan. Toh, yang terpenting aku tidak menjual diri."Melamun, Buk?""Panggilan yang sangat menggelikan," sarkasku yang tiba-tiba merasa bahwa lalu-lalang lebih pantas dipandang daripada cengiran bodoh Baeck. Entah mengapa, pria itu tidak sekaku biasanya, tapi membuatku merasa agak aneh."Ingat, aku Baeck Rayen. Usiaku 33 tahun, memiliki balita laki-laki bernama Azillo, dan saat ini sibuk menata bisnis di Jakarta setelah beberapa waktu lalu mengundurkan diri menjadi dosen."Keterkejutanku menoleh ke arahnya. "Kau tidak menjadi ... kenapa?""Banyak hal yang tidak perlu kau ketahui." Ucapan pr
Kami menghabiskan waktu nyaris sebulan untuk mengurus kesehatan ibu di Negeri Singa sebelum kata "sah" dari para saksi pernikahan membuat tubuhku bergetar hebat. Netra Kian tampak berkaca-kaca sementara ibu yang tengah berbaring di ranjang kamar inap seolah tak mampu melepas senyum sukacita pada bibir pucatnya. Meskipun agak sulit meyakinkan mereka karena pernikahan kami amat tiba-tiba, tapi tak satu pun manusia akan menolak menantu sesempurna Baeck Rayen di luar sikap kurang ajarnya padaku.Seluruh insan di ruangan ini mengusap wajah penuh kelegaan, termasuk Baeck.Tak ada resepsi, gaun indah, ataupun gedung megah sebagai sarana pernikahan. Karena bagiku, "resmi menjadi suami istri di mata Tuhan" lebih cukup karena tak ada cinta di dalamnya. Kami pun hanya menikah siri.Setelah menarik napas panjang, aku mengecup punggung tangan Baeck. Pria itu pun memberi kecupan senada pada dahiku layaknya suami romantis. Padahal, kami hanya dua manusia gila yang berusaha memenuhi kebutuhan lawan s
Harus sabar bagaimana lagi yang aku besar-besarkan?Azillo memang tidak nakal, tapi ia sangat lincah seperti keledai. Satu hal lagi yang membuatku menarik napas berkali-kali, yaitu jika sangat menginginkan sesuatu, harus dituruti atau berujung histeris. Hari ini pun ia sangat tantrum."Mama, adek ingin makan udang!" Zillo merengek lagi dan lagi, padahal aku telah memberinya pengertian berulang kali bahwa ia tidak bisa makan udang karena alergi.Netraku terpejam geram, menahan amarah yang ingin meledak-ledak. Sedari pagi, ada saja yang ia inginkan. "Zillo alergi udang. Ayah berpesan bahwa Zillo tidak boleh makan itu."Anak itu berguling di lantai, bentuk rasa tidak terimanya karena dilarang. Aku mendekat, tapi ia makin histeris. Tadi pagi Zillo menumpahkan satu botol sabun di kamar mandi, sukses membuatku tergelincir. Beberapa jam kemudian, ia memecahkan piring dan melukai tangannya sendiri. Kosmetikku pun hancur berantakan di lantai kamar karena ulah lincahnya. Entah mengapa, hari ini
Aku menemukan kejanggalan, yaitu pernyataan Baeck yang berbeda dengan Bi Asih."Jadi, Inggit sempat merawat Azillo hingga besar, ya, Bi?" Alis ini bertaut karena penasaran. Seingatku, Baeck pernah mengatakan bahwa ia telah lama menjadi duda, bahkan sedari Zillo bayi.Bi Asih manggut-manggut, menampilkan ketegasan. "Iya, Bu. Bahkan, saya sendiri yang menjadi ART mereka saat itu." Wanita paruh baya itu mendekat. "Namun, ketika Bu Inggit mengandung anak kedua, sepertinya mereka pindah ke Jogja karena dulu 'kan bapak mengajar di sana."Lantas, mengapa Baeck harus berbohong padaku?"Apakah Bibi tahu ke mana Bu Inggit sekarang?" Aku ingin memastikan sesuatu karena pernyataan keduanya yang berbeda, sangat menimbulkan curiga.Alis Bi Asih bertaut. Wanita itu tampak bingung. "Sebenarnya, kehadiran Ibu di rumah ini membuat saya terkejut. Saya pikir, bapak kemari bersama Bu Inggit."Napasku berembus lelah. Sepertinya, Bi Asih berpikir bahwa aku adalah wanita simpanan Baeck atau perebut suami ora
Meskipun telah menghabiskan beberapa botol infus, tapi tubuh ini masih terasa lemas. Mungkin, yang kubutuhkan hanya satu, yaitu istirahat."Kau tidak hamil, 'kan?"Aku menyorot Baeck refleks. Ucapan pria itu benar-benar sialan. "Kau gila?!""Syukurlah ...." Baeck mengembuskan napas lega."Ingat, aku sangat tidak menginginkannya." Pria itu berucap penuh penekanan, seolah aku buta dan tuli dengan perjanjian kami.Bibir ini terkekeh bodoh. "Apakah temanmu mengatakan aku hamil?" Aku melempar sarkas. "Kau pikir, aku hamil anak setan?"Baeck menyorotku santai di sela seringaiannya, berbeda dengan emosi ini yang telah melambung tinggi. Persetan dengan perjanjian sialan itu yang menuntut bahwa aku harus bersikap baik padanya. Lantas, apakah Kaneena akan diam jika ia tertindas?"Dari seki ... an banyak keburukanmu, hanya berita kehamilan yang paling tidak ingin kudengar meskipun hal tersebut sebenarnya kabar baik." Pria itu membantuku untuk duduk ketika tubuh ini berusaha beranjak."Mungkin, k
Hanya satu keuntunganmu ketika menjadi anak kecil, yaitu kau bebas menolak ataupun melepas diri dari sesuatu yang tidak kau sukai dengan cara menangis. Kau pasti kerap mendengar, "Jangan nakal lagi, ya, Nak?" Si Kecil berkata "iya" sebagai ikrar, kemudian esoknya ia kembali bersikap menyebalkan. Bahkan, berguling di tanah jika tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan.Menoleh ke kiri, aku hanya menemukan keramaian lalu-lalang yang terlihat menyebalkan. Ketika menunduk, hanya rambut lembut Zillo yang tampak, penyebab napas ini terembus frustrasi. Bocah itu tengah terlelap sangat damai. Padahal, ia yang sangat bersemangat untuk makan di luar."Ingin makan apa?"Mendengar suara sialan Baeck, alih-alih menyorotnya, wajah ini berpaling ke kiri lagi. Aku manusia biasa dan sangat manusiawi jika menyimpan sakit hati karena ucapan kasarnya seminggu lalu. Katakan Kaneena adalah pendendam, tapi ia memang tidak sebaik itu untuk sekadar meminta maaf meskipun aku telah berkali-kali menemani nafsu
Aku memuntahkan seluruh isi perut karena rasa cemas yang muncul tanpa sebab sepulangnya kami dari puncak. Pertemuan Baeck dengan seseorang bernama Dalena pun membuatku sakit kepala. Mengingat betapa lembut ia berbicara, betapa panik wajah pria itu ketika menyadari sesuatu—mungkin kehamilan Dalena, dan betapa kacau gurat Baeck di sepanjang perjalanan menimbulkan rasa aneh pada jiwa ini. Bahkan, ia tak membantu menggendong Zillo setibanya di rumah, padahal lenganku amat ngilu.Sekeluarnya dari kamar mandi, aku kembali menemukan Baeck yang kacau. Ia ke sana kemari sembari menempelkan ponsel pada telinga dengan ekspresi panik yang seolah mengharapkan sesuatu."Hallo, Dalen .... Tolong, beritahu di mana Dalen tinggal sekarang."Mendengar nama itu, aku mengembuskan napas pelan. Jawaban seseorang dari ujung telepon tak terdengar oleh telinga ini, tapi ekspresi lega Baeck mampu menjelaskan bahwa ia telah mendapatkan alamatnya. Seolah tak peduli, aku mendarat di tepi ranjang sembari memainkan
"Dalena pernah bekerja freelance, sebagai asisten risetku."Bibir ini masih bungkam, sama sekali tak berniat memotong cerita Baeck di sepanjang perjalanan kami menuju rumah Dalena. Hanya satu pertanyaan yang terlontar dari bibirku perihal, "Bagaimana bisa?", tapi mungkin ia akan menjelaskannya panjang lebar."Karena satu dan lain hal, aku bekerja sama dengan Nikolas sehingga bajingan itu menjebak kami."Fokusku yang sedari tadi jatuh pada kaca mobil berembun, refleks beralih pada wajah Baeck. Ia tampak jauh lebih segar dibandingkan tadi malam, tapi guratnya tetap menyiratkan kesal setelah mengucapkan nama "Nikolas"."Temanmu yang kita temui di Singapura?" Sebelah alisku terangkat.Baeck mengangguk. "Kami memang sempat mengungkapkan perasaan satu sama lain," ia menarik napas, "tapi aku memutuskan untuk tidak egois karena Dalena terlalu suci untuk masuk ke kehidupan seorang Baeck Rayen yang sesungguhnya."Ya, aku telah mendengar seluruh alasan pria itu untuk tidak memilih Dalena."Kau c