Kembali padaku, atau terima akibatnya. Aku tertawa sumbang karena mengingat ancaman Anggara ketika pria itu mengajak balikan setelah aku putuskan beberapa waktu lalu. Merasa memori tersebut tidak penting, netra ini kembali menerawang.
Tak jarang aku iri dengan pengusaha papan atas yang mampu menggunakan isi kepalanya untuk berbisnis. Kaum-kaum elit dapat melempar ide terkait perkembangan dunia. Belum lagi kopi mengepul peneman rapat di hadapan petinggi-petinggi usaha bersama monitor yang menyala-nyala. Namun, sayang sekali, aku tak memiliki apa yang mereka miliki. Menjadi orang kantoran rasanya amat mustahil di negeri ini karena Kaneena hanya lulusan Sekolah Dasar.
Setelah Kaneena kecil tumbuh menjadi gadis menawan, aku mengikuti ajang Gadis Sampul di usia lima belas tahun tepat ketika kami memisahkan diri dari Kenedi. Di sana keberanian ini mengasah akting, kemampuan berpose, serta tersenyum manis di hadapan kamera tanpa tekanan apa pun. Lambat laun, upaya menghasilkan buahnya. Namun, senikmat-nikmatnya menjadi diri sendiri, tak jarang aku berpikir, Jika aku menjadi mereka yang dapat melakukan apa pun tanpa pantauan kamera dan insan-insan sok atau ingin tahu, mungkin lebih menyenangkan.
Kaneena, anak tak tahu diri yang tega menelantarkan sang ayah.
Kaneena, artis papan atas bergelimang harta yang tega membiarkan sang ayah tinggal di lorong terpencil dan kumuh.
Kaneena, model ternama yang memiliki ayah seorang pemabuk, penjudi, dan pemain wanita.
Kaneena ....
Kaneena ....
Kaneena ....
Di samping Willis, aku menarik napas berkali-kali, berusaha mengontrol rasa agar tak tampak menyedihkan. Sesulit apa pun hidup ini, setidaknya tak satu pun insan boleh menatapku dengan sorot kasihan.
"Ini ulah Anggara." Aku memutar cincin mutiara yang melingkar indah di telunjuk. "Beberapa hari lalu, kami bertengkar hebat. Ia mengajak balikan, tapi aku tak sudi hingga keparat itu mengancam akan menghancurkan seorang Kaneena." Mungkin mata panda ini amat kentara karena tidak tidur semalaman sementara Willis melarangku menenggak obat penenang.
Kaneena, wanita memesona yang tak ber-attitude.
Membaca judul berita di televisi pagi ini, hatiku perih. Kematian Kenedi menggegerkan nyaris satu negara. Pasalnya, ia salah satu pelaku bunuh diri. Tadi pagi pun, aku dan Willis telah ke kantor polisi untuk melakukan pemeriksaan.
Aku hanya melirik Willis sekilas karena pria itu menerima telepon. Wajahnya tampak tegang, belum lagi napas yang ia embuskan berkali-kali.
"Ada apa, Will?" tanyaku, akibat penasaran tepat ketika ia menurunkan benda pipih dari telinga.
Tak segera menjawab, Willis mengusap wajah. Ia beranjak, kemudian melangkah menuju kaca yang menampilkan pekarangan apartemen. Ketika aku menyusulnya, pria itu lebih dulu berbalik dengan gurat putus asa. "Kaneena, sepertinya memang ada seseorang yang ingin menghancurkan karirmu."
Masih belum paham dengan ucapannya, aku fokus ke arah sorot Willis saat ini sebelum membeku karena menemukan lautan wartawan yang telah menunggu di halaman apartemen. "Sialan. Sebenarnya, apa yang mereka inginkan?" Aku mengusap wajah lelah, kemudian meniup-niup poni karena kesal.
"Apa lagi jika bukan klarifikasimu," telak Willis, yang mampu membuatku meneguk liur.
Bagiku, tak ada gunanya memberi mereka penjelasan jika hal tersebut belum tentu benar. Namun, insan terkadang amat kurang ajar dan kerap beropini sesukanya. Lantas, apakah aku harus menceritakan kejadian hidup kami dari awal hingga akhir yang menjadi alasan mengapa Kenedi tinggal di lorong kumuh itu?! Tuhan, tolong, aku tidak sudi dipandang rendah.
"Kaneena, kau harus mengklarifikasi ini." Willis tampak panik. Ketika menyorotku, wajahnya lebih dari lesu.
Entah mengapa, aku kurang setuju dengan ucapan Willis. "Apakah kau baru saja meminta penderita mental illness untuk speak up perihal masa lalu mereka?"
Willis bungkam.
Kuperhatikan netranya yang telah buram.
Kaneena, Kaneen, keluar! Tolong beri kami sedikit penjelasan!
Ya, Tuhan, sebaiknya kau diboikot dari stasiun televisi. Bahkan, binatang sekalipun, tahu caranya menyayangi sesama, berlebih itu ayahmu.
Apakah Kenedi bunuh diri karena keadaan yang melarat? Padahal, putrinya konglomerat.
Aku meraih jaket, kacamata, dan topi. "Will—"
"Kau akan ke mana, Kaneena?" Pria itu mencekal pergelangan tanganku. Sorotnya menyiratkan kekhawatiran.
"Aku akan turun dan mengatakan pada mereka bahwa rumor tersebut tidak benar." Napasku berembus lelah sembari berusaha meyakinkan Willis. Apa yang dapat dilakukan ketika salah satu petinggi agensiku pun menjatuhkan artisnya?
"Kau akan jujur?"
Tanpa menjawab pertanyaan Willis, aku berlalu.
***
Kilatan kamera seolah mengoyak-ngoyak pertahananku. Melalui bantuan satpam apartemen, akhirnya keadaan mulai kondusif meskipun pertanyaan-pertanyaan yang tak patut mereka lantunkan dengan kejinya, masih memekakkan telinga. Namun, jangan harap ia menemukan betapa hebat aku terpuruk. Itu sebabnya bibir ini tersenyum menawan, seolah skandal perihal kematian Kenedi adalah lagu lama yang tak perlu dianggap besar. Kini, Willis pun telah berada di sisi kiriku.
"Kaneena, apakah rumor yang beredar perihal kematian ayahmu itu benar?"
Aku tertawa sumbang, membenahi anak rambut yang menyentuh pipi akibat angin. "Maaf, rumor yang mana, ya? Karena terlampau banyak rumor, bisa sebutkan rincinya?" tanyaku, pura-pura ramah.
Rumor perihal kau yang menelantarkan sang ayah.
Rumor perihal Kaneena, putri tak ber-attitude.
Pantas saja ia menyembunyikan sang ayah dari publik. Jangan-jangan, sang ibu pun diperlakukan bagaikan babu. Anak tidak tahu diri!
Begitu nyanyian heroik mereka, penyebab gigiku beradu geram. Hati ini makin perih ketika spekulasi-spekulasi buruk makin merusak pertahanan.
"Seluruh isu mengenai Kaneena, tidak benar." Aku berdehem. "Kenedi memang ayahku, tapi ia sendiri yang memutuskan hidup di lorong kumuh itu." Jemari ini mulai bergetar, merayapkan dingin ketika dada menahan perih yang makin menjadi. "Aku memang tidak mengetahui kehidupan Kenedi secara rincinya karena orang tuaku telah bercerai sedari Kaneena kecil dan kebetulan aku tinggal bersama ibu."
Kilatan kamera makin tajam menusuk ragaku.
"Bagaimana perasaanmu setelah mengetahui bahwa Kenedi mati bunuh diri dengan cara menenggak sianida?"
Bibir ini tersenyum miris. Setidaknya, dari ratusan atau bahkan ribuan pertanyaan, pertanyaan ini lebih manusiawi. "Tentu saja aku sedih. Namun, apa boleh buat? Nasi telah menjadi bubur." Aku masih berusaha tenang. Telinga ini mendengar lautan manusia berbisik-bisik.
"Lantas, di mana ibumu sekarang? Apakah ia masih hidup?"
Aku meremas jari makin kuat. "Ibuku masih hidup."
Willis menarik tubuh ini untuk kembali memasuki apartemen setelah berbisik kepada satpam. Setelahnya, rasa letihku mendengar hujatan tak menyenangkan dari mereka. Dalam kacamata hitam, netraku telah buram. Nama ibu yang terseret dalam kasus ini adalah perih dan tak mampu kutahan lagi.
Tidakkah kau berpikir bahwa bisa saja Kaneena yang membunuh ayah kandungnya agar tidak merepotkan karir wanita itu? Namun, Kaneena salah melompat. Akhirnya, senjata makan tuan.
Aku mengembuskan napas sebelum merasakan telapak tangan Willis yang mengusap bahu ini lembut. "Jika kau belum pernah melihat kehidupan layaknya kematian, di dunia ini tempatnya, Will."
Helai rambut ibu yang menempel pada sisir dan sela-sela jemariku adalah tamparan hebat bahwa wanita itu telah bertahan hingga detik ini, melalui tahapan demi tahapan kemoterapi. Entah berapa banyak sel-sel baik di tubuhnya yang ikut terbunuh akibat pembasmian sel kanker.Nona Kaneena harus bersabar karena untuk mendapatkan pendonor sumsum tulang belakang, tidak semudah mendapatkan donor darah. Keberhasilannya pun sangat tipis. Bisa satu banding satu juta orang yang berhasil jika pendonor tidak memiliki ikatan kekeluargaan dengan pasien. Namun, kami akan berusaha semaksimal mungkin.Beberapa jam menemani ibu, aku undur diri karena ada keperluan hingga tungkai ini menggemakan langkah di tengah lorong rumah sakit bersama pikiran-pikiran. Namun, ketika berbelok, seolah ada ribuan batu yang memberatkan langkahku hingga melambat. Aku menemukan Baeck, penyebab emosi Kaneena tersulut karena mengingat ucapan pedasnya. Hendak melempar perseteruan, tapi urung karena gurat pria itu penuh kesendua
Bibir ini tertawa nyaring dengan pipi basah yang dapat kurasakan asinnya.Mengapa pengaduan pelecehan sialan itu makin menganga, seolah senjata makan tuan? Bukankah dalam kasus ini Anggara yang bersalah? Namun, aku yang dicaci!Pertanyaan demikian berputar kusut di benakku bersama cairan penghapus dahaga luka. Berbotol-botol alkohol telah kerongkongan ini tenggak, tapi mengapa Kaneena masih mampu membaca judul-judul artikel tak berperi? "Mengapa hanya namaku saja yang dijatuhkan oleh mereka? Mengapa tidak ada nama Anggara?!" Suraiku terjambak kasar akibat sakit yang tak berujung. Ini tidak adil. Setidaknya, jika Kaneena hancur, penghancurnya pun sama. Bagiku, Anggara tak cukup hanya dengan dijebloskan ke penjara!Hening .... Bahkan, dinding ruangan ini pun seolah tak sudi mendengar keluhku. Mereka beralih tertawa, mencemooh bahwa Kaneena berhak mendapatkan kehancuran."Bisa diam tidak, sih?!" geramku, pada mereka. "Ah, ya." Aku mengangguk dengan senyuman miring. "Aku lupa. Bukankah Ka
Dulu, Kaneena merasa aman dengan apa yang ia miliki hingga tak berpikir bahwa hari jatuh akan tiba. Aku berpikir akan menjadi artis selamanya, tapi Tuhan mencabut seluruh yang hidup ini miliki hanya dengan sekedipan mata. Ya, sedikit manusia yang berpikir panjang. Namun, mulai detik ini, aku akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran. Percayalah, denda yang harus dibayarkan ke agensi akibat cinta buta kami bukan miliaran melainkan triliunan.Dulu, ibu mendoktrin Kaneena untuk menjadi artis dan mengatakan bahwa kami akan kaya raya, kemudian hidup bahagia hingga mimpiku menjadi seorang dosen harus pupus. Tak apa asalkan mereka bahagia, tentunya. Namun, ketika aku menjadi artis—mengikuti doktrin ibu, bahkan hidup dengan harta melimpah sekalipun—percayalah, hati ini hampa. Tidak ada kebahagiaan selain ambisi untuk mencapai kesenangan fisik, bukan jiwa. Dari sana aku belajar satu inti kehidupan, yaitu jangan pernah mendoktrin orang lain untuk mengikuti keinginanmu, bahkan darah dagingmu s
Sialan. Rutinitas Kaneena membawa handbag ternama bersama Willis di sisi kirinya, kini tergantikan dengan seonggok daging bernyawa yang menjinjing tas laptop menuju perpustakaan kota. Demi rupiah yang dulu memenuhi ATM pribadiku, Kaneena tak pernah berpikir akan menghabiskan waktu di tempat ini untuk sekadar mencari informasi guna merangkai kata-kata menjadi kalimat.Aku mengembuskan napas berkali-kali setelah menyadari bahwa perpustakaan ini amat luas. "Pertama kemari, aku menemani ...." Gumamanku tergantikan dengan putaran mata malas karena mengingat Anggara. "Kedua bersama Kian."Ada beberapa teori filsafat yang aku cantumkan di kisah Ares dan Rhea, tentunya membutuhkan riset mendalam. Percayalah, meskipun cerita fiksi, tapi landasan yang terurai pun harus sangat jelas agar para pembaca tidak salah persepsi. Aku tahu. Selain manusia dewasa, tentunya banyak bocil-bocil nakal yang memiliki rasa penasaran setinggi langit. Tak menutup kemungkinan mereka akan menelan informasi secara me
Kebodohanku pernah bersikap sopan dan baik pada seseorang yang jiwa ini anggap pantas menerimanya, tapi kenyataan berkhianat. Kenedi yang akal pikiran ini hormati setengah mati karena statusnya sebagai ayah, tega menjual dan memerkosaku.Aku sakit. Bertahun-tahun lamanya memendam penderitaan karena kenyataan, jiwa ini seolah memberontak, kemudian membentuk pertahanan refleks agar tak terluka lagi. Tak satu pun pula insan tahu kecuali psikiater yang akhir-akhir ini tak pernah kukunjungi karena keadaan. Lantas, apakah aku salah jika memilih tidak menghormati siapa pun jika pada akhirnya rasa hormat ternodai akibat ulah bejat manusia yang bertameng manusiawi?Kaneena akan menjadi Kaneena. Ia tak akan tersentuh, menyedihkan, berlebih diinjak-injak oleh insan. Ia hidup dan membara, tak membiarkan jiwanya dilukai atau terluka.Demi Tuhan, uangku menipis. Beberapa bulan lalu sisa dana di tabungan telah digunakan untuk berinvestasi. Nahas, perusahan tersebut bangkrut dan stakeholder terkena b
Katanya, taraf ikhlas itu tergantung jarak kita pada Tuhan. Makin renggang hubungannya secara vertikal, maka ikhlas makin tak berwujud. Namun, satu yang membuatku tersadar bahwa Tuhan terkadang amat menyebalkan.Mengapa Ia harus menciptakan larangan jika insan tak selalu mampu mengontrol keinginannya? Ini seputar surga dan neraka, tapi bagaimana dengan insan yang amat terluka akibat aturan-Nya?Hal yang amat Kaneena benci dari Tuhan adalah, Ia tak menyelamatkanku ketika Kaneena diperkosa oleh sang ayah. Kepercayaan ini pada Tuhan tergerus karena sakit yang kuderita. Aku yakin bahwa luka ini tak akan sembuh.Kibasan lembar putih membuatku tersadar dari lamunan. Setelah menyadari sesuatu, denyutan di kepala ini memekat.Lorong kelam di hadapanku memberi pertunjukan. Di ujungnya amat menyilaukan, tapi mengapa pemilik bangunan mirip galeri foto kosong ini tak memberi lampu sebagai penghubung ruangan? Ia seolah tahu bahwa Kaneena tak memiliki rasa takut.Tungkai ini terayun pelan, sedikit
Seseorang yang tumbuh menjadi pribadi keji, terkadang bukan karena mereka memang terlahir keji melainkan akibat dari bentuk pertahanan atas luka-luka lampau. Analogi sederhana, bagaimana cara kau bertahan di tengah terjangan kejahatan? Tentunya menjadi jahat lebih memabukkan daripada kau tertindas. Mungkin pemikiranku terdengar konyol. Namun, bukankah setiap insan berhak berkesimpulan?Aku memiliki beberapa prinsip dalam hidup. Pertama, Kaneena tidak akan menikah. Kedua, Kaneena tak sudi memiliki anak. Ketiga, ia akan tetap membara dan tak akan diinjak oleh insan. Tiga aturan tersebut telah bulat, kutulis dalam setiap langkah perjalanan. Tidak muluk-muluk. Kuakui bahwa prinsip dapat tercipta sempurna setelah kepercayaan dicampakkan oleh cinta dan kebahagiaan.Aku tertampar ketika Zillo mendongak. Tatapan polosnya seolah berkata, Bagaimana jika Tuhan berkata lain?"Jangan menatapku begitu, bocah." Netra ini berputar malas sebelum fokus pada bianglala. Dalam hati, aku berdecak. Jika Tuh
Aku tidak mengenal pasti sosok yang kerap Azillo agung-agungkan dan bocah itu panggil sebagai 'bunda'. Namun, dari bibir mungilnya melukiskan bahwa sang ibu amat sempurna. Belum lagi sorot Baeck di detik-detik Azillo sesenggukan karena menginginkan kasih sayang.Napas ini berembus tenang, menyorot kosong ke depan. Baiknya, pria itu tidak murka karena aku agak lancang mengubrak-abrik kamar bayinya. Entah mengapa, aku masih amat penasaran dengan ruangan yang berada di ujung kamar kecil tersebut. Pasalnya, aku tak menemukan kamar Baeck dan sang istri di apartemen ini. Mungkinkah .....Hal yang mampu membuatku jatuh bosan adalah selalu berakhir di rumah sakit. Entah apa yang Zillo lakukan hingga kepala anak itu membentur pinggiran lemari tajam di sisi kanan ranjang. Alhasil, kepala bocah sialan itu bocor dan mendapatkan beberapa jahitan.Baeck yang tampak kesal dan marah masih mengabaikanku. Pria itu yang sibuk ke sana kemari, mengurus administrasi sang putra sebelum terduduk lemas di sis