Berhutang pada Lingga Bagaskara, teman semasa SMA sekaligus bos di tempat kerjanya adalah musibah bagi Revalina Arestya. Siapa sangka, lelaki tampan yang memiliki sikap angkuh dan tegas itu enggan menerima pembayaran hutang dengan cara apa pun, kecuali menjadikan Reva kekasihnya. Berada di persimpangan jalan, membuat Reva tak punya pilihan selain menerima. Sampai akhirnya, hubungan tersebut membuat keduanya saling terlibat pada permasalahan masing-masing. Bisakah Reva terbebas dari hubungan penuh obsesi, atau malah terjebak perasaannya sendiri?
View MoreReva yang sedang bersusah payah mencerna jawaban Lingga, lekas mendapat sentilan di dahi."Aku tidak mengerti," ucap Reva mengalihkan pandangan ke arah alas kaki."Apa yang bisa aku bantu?" Lingga berjalan di lorong apartemen lalu menekan sandi yang masih sama dengan kode ponsel Reva."Hutang Ayahku." Suara Reva tercekat. "Rumah kami disegel, jika dalam seminggu tidak melunasi hutang.""Disegel?" Lingga mengerutkan kening. Reva mengangguk lemah, ia merasa malu jika harus menceritakan lebih lanjut."Datanglah besok dan berhenti berpura-pura tidak tahu maksudku," ucap Lingga datar.Reva menunduk, menggigit bibir merasa harapannya akan sia-sia. Memberi hati pada Lingga, bukan sesuatu yang sulit, pria itu tampan, mapan dan terkadang baik. Hanya saja, perbedaan kasta mereka sulit ditembus terlebih Bu Reswari, tidak akan memudahkan hubungan mereka."Aku permisi, Lingga." Reva berbalik lantas berjalan meninggalkan Lingga.Pagi ini suasana begitu hangat, langit pun terlihat cerah biru. Tak ad
"Aldo, aku peringatkan padamu. Jangan dekati kekasihku."Reva menatap tajam ke arah Lingga. Betapa pintarnya lelaki tersebut berkata-kata. Seolah begitu memujanya, tapi sedetik kemudian menyia-nyiakan.Tanpa sepatah kata mutiara yang ditujukan pada Reva, Lingga mengalihkan pandangan ke arahnya."Turun!" Suara Lingga naik beberapa oktaf. Hingga Reva mulai terhipnotis untuk mengikuti, wajah Lingga memang biasa seram, tapi kali ini rasanya lebih seram beberapa kali lipat.Reva tak menjawab, langkahnya perlahan mendekat hingga sesuatu seperti menahan langkah. Aldo menahan pergelangan tangannya, Lingga bersedekap mengeraskan rahang seolah sedang menahan rasa ingin memukul Aldo."Aku masih berusaha sabar," ujar Lingga yang diiringi dengan tarikan kuat pada lengan Reva.Kini posisi Reva berada di antara Lingga dan Aldo, tatapan tajam yang saling menghunus melewati Reva."Hentikan!" Reva mengentakkan tangannya, entah mimpi apa ia jadi diperebutkan seperti ini."Aldo, aku minta maaf," ucap Rev
Reva mengusap-usap buku yang sudah usang, ingatannya tertarik ke puluhan tahun yang lalu. Saat ia masih duduk dibangku sekolah dasar, buku resep yang menjadi bonus majalah langganan tetangganya selalu dibersihkan saat hendak mendekati lebaran. Ia menjadi salah satu pesuruh yang diberi upah.Namun, sesuatu terjatuh saat ia mengusap-usap debu yang menempel di antara lembarannya.Sebuah foto usang yang memperlihatkah wajah anak lelaki dengan seorang gadis kecil di sebelahnya.Tiba-tiba saja, jantungnya berdetak tak karuan, ia mengingat lelaki seusianya duduk di akar pohon besar di antara jajaran pohon, memegang sebuah buku di tangan. Lelaki tersebut sempat bertemu pandang dengannya saat ia hendak masuk ke rumah sang Nenek."Mengapa, ada foto anak lelaki itu?" Terlihat tampan meski tak menampilkan senyuman. Reva kembali memasukkan foto yang ditemukan secara asal.Ia lekas keluar sebelum ada yang iseng, mengunci pintunya dari luar.***Sebuah buku diletakkan di atas meja dengan asal, Reva
"Aku bisa jelaskan Kak," ucap gadis cantik dengan jaket kebesaran di tubuhnya. Sudah bisa dipastikan jaket itu milik lelaki yang duduk di sampingnya."Apa peringatan Kakak tidak berguna?" Lingga bersedekap menatap dengan mata datarnya."Lelaki brengsek! Berapa kali aku peringatkan padamu jangan dekati Lia lagi!" Lingga sudah maju selangkah mendekati lelaki yang semula berada di samping Lia. Hendak mencengkeram kerahnya, Lingga nyaris saja memukul jika Lia tidak berdiri merentangkan tangan di depan Regra.Di kejauhan, Reva mengeratkan genggamannya pada ubi hangat yang masih ia pegang. Gadis tersebut mengatupkan mulut dengan rapat, secara tiba-tiba rasa ingin mengunyah makanan menguap begitu saja. Berbalik ia berlari meninggalkan tempat tersebut.Di matanya, Lingga seperti sedang merebutkan seorang gadis, jika Reva tak salah ingat, ia pernah melihat di toko roti Lingga. Ingatannya berputar pada tragedi kopi, apa gadis yang dilihatnya orang yang dijodohkan dengan Lingga?"Tragedi gadis k
Reva terpukau melihat aneka jajanan di pinggir jalan, ia bahkan tak sungkan menarik tangan Lingga menuju salah satu gerobak yang menjual takoyaki.Makanan asal jepang yang sering ia tonton di televisi, kini terlihat di depan mata."Saya pesan dua porsi," ucap Reva antusias. Sementara Lingga hanya tertegun mendapati tangannya masih berada di genggaman Reva.Aroma harum gurih dari bola-bola berisi potongan gurita menyeruak. Membuat Reva ingin segera menimangnya, kalau boleh jujur, ini kali pertama Reva akan menyantap makanan berbentuk bulat dengan ukuran sekitar lima centimeter.Cup mika di dalam plastik putih Lingga tenteng di tangan kanan, lelaki itu masih sibuk menatap senyuman Reva yang tidak pernah pudar setiap melihat jajaran makanan."Kamu suka?" tanya Lingga setelah keduanya memutuskan duduk di bangku taman berbahan besi.Reva mengangguk, hanya saja senyumnya memudar setelah kebisingan lalu lalang jalan memudar."Dulu, teman kecilku pernah bilang di keramaian, kalau aku suka dat
Reva terbatuk-batuk, entah kenapa tenggorokannya terasa kering."Mau mampir dulu?" tanya Lingga saat keduanya berada di tengah keramaian jalan."Tidak, ini sudah terlalu malam." Reva segera mengelak. Ia melirik ke arah ponsel di genggaman tangan, tertera angka sebelas malam, tentu saja ia tidak enak hati dengan tetangga sekitar.Secepat kilat, Reva segera membuka pintu mobil saat rodanya mulai berhenti, ia tergesa keluar. Lingga ikut menyusul, tapi Reva lekas mencegah."Pulanglah, aku tidak mau jadi gosip tetangga." Reva menghela napas, dengan pulang malam seperti ini, ia sudah pasti di cap gadis tidak benar."Baru pulang?" Adisti memicingkan mata, sambil melirik ke arah jam dinding, matanya mengerjap-ngerjap khas orang yang sudah tertidur.Lebih dari satu jam, Reva harus mengetuk pintu sekaligus menghubungi nomor Adisti. Ya, saat ini Adisti menginap di kontrakan Reva.Mengetahui Reva sudah masuk ke dalam kontrakannya, Lingga lekas melajukan mobil menjauh.Di perjalanan pulang, Lingga
Lampu-lampu kota, tampak berkilau jika di lihat dari tempat ini. Seperti bintang-bintang yang berkelip di atas langit. Terlihat setitik kecil cahaya, tapi begitu menakjubkan.Lingga menepikan mobil di jalan datar, setelah melewati jalanan menanjak, bisa dipastikan saat ini mereka berada di dataran yang lebih tinggi dari tempat tinggal keduanya."Di sini, kamu masih bisa melihat pepohonan yang rindang. Seperti hutan." Lingga memecah hening. Sementara Reva, mengamati keindahannya dari kejauhan. Dulu, Reva sering melihat pemandangan ini, saat pulang dari rumah mendiang Neneknya di perkampungan terpencil."Aku tidak tahu, kamu mengenal jalanan ini." Reva tersenyum tipis. Kalau dipikir-pikir, Lingga tidak sejahat yang ia kira."Dulu, saat Nenekku masih hidup, aku sering kemari." Lingga menghela napas."Oh, ya?" Reva mulai tertarik dengan percakapan mereka kali ini. Apakah nenek mereka satu kampung? Namun, pertanyaan itu hanya ia simpan di kepala."Kami tidak terlahir dengan hidup berkecukup
"Dasar anak sialan! Percuma saja kamu aku besarkan, nyatanya hanya jadi beban! Mati saja kamu!"Seorang anak kecil berdiri dipojok pintu, menatap sang Kakak yang terus mendapat pukulan. Rasa takutnya kian memuncak, kala ujaran kebencian terus diutarakan."Ampun, Ayah sakit!" Suara lemah terdengar pilu, meringis pertanda tubuhnya tidak bisa menoleransi rasa sakit di tubuh kecilnya.Seperti tidak mendengar, sang Ayah terus memukul bertubi-tubi. Rambutnya di tarik ke atas, hingga kaki bocah berusia delapan tahun tersebut tak menapak lantai.Tangisan seperti tak lagi berguna, hanya menahan sesak yang kian memuncak."Kakak baik-baik saja?" Suara gadis kecil terdengar gemetar, ketakutan dan kecemasan kian kentara. Mata polosnya tak dapat menyembunyikan beban yang tidak harus dipikul bocah seusianya."Tidak apa-apa," tutur sang Kakak lembut. Dia berucap dengan tegar, meski ada kebencian di dalam sorot matanya.Reva tiba-tiba teringat masa lalunya yang begitu kelam. Hingga suara Adisti menar
Hujan malam ini melengkapi dinginnya hati Aldo. Reva duduk di hadapan, meneliti sorot mata Aldo serta alasan lelaki tersebut mengajaknya bertemu."Kenapa? Apa Lingga melakukan sesuatu yang buruk," ucap Reva cemas. Ia meneliti setiap inci wajah lelaki di depannya."Aku tidak apa-apa, justru aku khawatir denganmu.""Kenapa?" tanya Reva setelah duduk di hadapan Aldo."Lingga tahu kalau kamu tinggal di kos milik Tante Rani?"Dengan berat hati, Reva mengangguk."Apa kalian bertengkar?""Ti--dak," ucap Reva dengan suara terbata. Sesuai syarat dari Lingga. Ia harus tetap berpura-pura menjadi kekasihnya dengan hubungan yang baik-baik saja. Tersenyum muak, Reva kembali berucap. "Hubungan kami sudah baik-baik saja."Aldo menghela napas, lagi-lagi kenyataan tak berpihak padanya. Apa ini? Apakah ia berharap Lingga dan Reva bertengkar?"Syukurlah, aku takut kalian bertengkar karena aku."Reva menunduk merasa bersalah saat mendapati luka memar di pipi kiri Aldo."Maaf ... apa Lingga yang melakuka
"Jadi pacarku!""Hah?""Atau bayar tiga juta, cash, sekarang!"Bagai disambar petir, jantung Reva berdetak tak terkendali. Bahunya memanas dengan kaki yang sudah mengakar di tempatnya berdiri."Tidak! Aku akan melunasinya!" Masih berusaha bernegosiasi, gadis dengan rambut dikuncir tinggi itu terlihat angkuh. Meski dalam hati kelimpungan sendiri. Bagaimana bisa, ia membayar tiga juta dalam waktu satu detik.Lingga berdiri dari tempatnya duduk, menatap Reva yang masih kuat dengan pendiriannya. Suara ketukan sepatu Lingga, terdengar memantul di seluruh ruang. Hingga seketika mengikis jarak keduanya.Embusan napas lelaki itu, mulai menyapu pori-pori kulit wajah. Jarum detik jam seolah berputar perlahan. Hingga kesadaran Reva berangsur kembali."Ba--ik, aku mau." Suara itu kentara menyembunyikan ketakutan. Bola mata yang sempat menatap Lingga dengan angkuh, seketika terpejam."Sepakat!" Lingga mengulurkan tangan, tersenyum penuh kemenangan.Reva tak menyambut baik, hanya menatap tangan Li
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments