"Tyas?" Kening Reva mengerut, lantas mengingat senyum manis yang terlihat sempurna.
"Tyas Rosalina," ujar Reva kaku. Senyum itu memang khas, membuatnya tak terlalu lama mengingat."Iya, kamu masih ingat?" tanya gadis berambut sebahu di depannya, terlihat cantik menggunakan dress bermotif polkadot di atas lutut."Mana mungkin aku lupa dengan siswi populer di masanya." Reva terkekeh, meski tidak begitu dekat, beberapa kali Tyas pernah menegur saat berpapasan di sekolah. Apalagi keduanya sempat satu kelas."Boleh minta nomor ponselmu?" tutur Tyas secara mendadak."Dia tidak punya nomor untuk dibagikan denganmu." Tiba-tiba Lingga menarik Reva ke belakang punggung, menatap datar Tyas yang masih tersenyum ramah."Oh, sayang sekali," jawab Tyas kecewa, lalu kembali tersenyum. "Kalian dekat?" terlihat wajah Tyas begitu penasaran. Menggigit bibir, gadis tersebut melihat tangan Lingga yang menggenggam."Tidak," ujar Reva singkat, ia masih ingat bagaimana Tyas begitu memuja Lingga saat di sekolah.Reva Berusaha melepaskan jemari Lingga, tapi genggaman itu malah beralih kepundak, merangkul dengan hangat meski terasa mencengkram. Reva berusaha tersenyum, lebih terlihat meringis menahan sakit."Ya, dia kekasihku." Lingga mengalihkan fokus ke arah Reva, meski terkesan dingin terlihat lelaki tersebut begitu tulus.Reva menggigit bibir bawahnya kuat, merasa telah melukai perasaan Tyas. Meski begitu, kejadian tersebut sudah terlalu lama. Dia yakin, gadis secantik Tyas sudah move on dari Lingga."Begitu rupanya ...." Tyas mengangguk mengerti. "Aku duluan ya Rev," ucap gadis cantik tersebut ramah, menepuk bahu Reva dengan lembut lantas berlalu.Namun, saat Tyas menjauh, Reva tak sengaja melihat tespact menyembul di antara belanjaan lain."Apa dia sudah menikah?" gumam Reva."Apa?" Lingga yang mendengar dengan jelas ucapan Reva, mengerutkan kening."Apa!?" Reva melebarkan mata, kalau bukan di keramaian sudah pasti ia memukul dada bidang Lingga dengan kuat. "Jangan pura-pura bodoh! Dulu Tyas menyukaimu. Mengapa kamu malah mengatakan hubungan kita yang konyol ini?""Kau terlihat manis saat cemburu?" Lingga tersenyum setengah, terlihat tampan meski terkesan sinis."Huh! Untuk apa? Bahkan aku ingin memukulmu setiap kita berpapasan." Reva terus saja mengumpat, mengambil sayur dan bahan roti untuk mengisi waktu. Namun, Lingga seolah sibuk dengan pemikirannya sendiri, tanpa membantu membawa belanjaan sama sekali.Setelah usai dengan belanjaan yang cukup banyak. Reva terdiam, merasa aneh dengan sikap Lingga. Dengan penampilan dan pencapaian Lingga saat ini, tentu mudah untuk memiliki kekasih yang lebih dari dirinya."Mengapa kamu menjadikanku kekasihmu?" Teringat pengakuan Lingga yang terasa berlebihan di depan Tyas, Reva kembali penasaran dengan alasan Lingga.Lingga hanya diam, seolah tak mendengar apa yang dikatakan oleh gadis di sampingnya."Aku bicara denganmu!""Dan aku tak ingin bicara!" Lingga menjawab datar, menatap fokus dengan setir kemudi yang berada di depannya.Reva menutup mulut rapat, takut membuat lelaki di sampingnya marah. Kenyataan macam apa ini, hidupnya seperti terkekang meski sekedar mengungkap isi hati.Reva merasa ada sesuatu yang aneh pada Lingga, sejak pertemuannya dengan Tyas. Lingga jadi tak banyak berbicara, bahkan terkesan enggan berdebat meski ia terus mengoceh saat berbelanja.Di dapur apartemen, Reva sibuk memotong wortel, masih melihat Lingga yang duduk dengan laptop di depannya. Lelaki itu terlihat tenang, meski wajahnya tekesan dingin dan menakutkan. Suara pisau dan talenan beradu di ruang sunyi tersebut, demi apapun Reva tak menyukai keadaan ini."Makanlah!" Reva meletakkan semangkuk mie rebus lengkap dengan wortel di atasnya.Senyum sinis tersungging di wajah tampan Lingga, Reva sudah bersiap dengan hinaan lelaki tersebut.Namun, lagi-lagi suasana ruang makan terasa hening. Lingga dengan tenang menyuapkan mie instan buatannya. Sementara ia terus menatap tanpa berkedip, mencari tahu mengapa Lingga tak mengomel sama sekali."Jangan menatapku seperti itu!" tutur Lingga meski tak melihat ke arah Reva."Di mana ponselku!" Reva membernaikan diri membuka percakapan. Bukan sekedar basa-basi, kenyataannya ia butuh berkomunikasi dengan adiknya meski sedikit tenang karena tak mendengar ocehan sang Ayah."Aku sudah menyiapkan untukmu, selesaikan saja makanmu," ucap Lingga dengan rahang mengeras.Reva melempar ponsel baru pemberian Lingga ke atas kasur, diiringi menjatuhkan tubuh. Hari ini terasa sangat melelahkan. Esok ia akan mulai bekerja seperti biasa. Menatap ke arah langit-langit kamar, matanya mulai terpejam merasa nyaman dengan aroma parfum kamar Lingga.***"Turunkan aku di depan sana!" Reva menunjuk perempatan jalan. Tak menjawab, Lingga menatap datar ke depan."Turun," ucap lelaki tersebut setelah menepikan kendaraan roda empatnya.Tak banyak drama, tapi entah mengapa Reva jadi merasa aneh dengan sikap Lingga. Gadis tersebut masih duduk dengan wajah kebingungan. Hingga sedetik kemudian, ia membuka pintu mobil, berjalan dengan tenang tanpa menoleh kebelakang.Berharap tak bertemu Lingga di toko, ia malah berpapasan dengan lelaki tersebut di lorong. Meski Reva menelisik wajahnya dengan terang-terangan. Lingga sama sekali tak terusik, malah berjalan angkuh seolah tak melihat Reva di sana."Ada apa dengan lelaki itu," gumamnya pada diri sendiri.Sementara di lorong ruang ganti, Reva dikejutkan oleh Adisti yang bersedekap."Kamu pindah, apa yang terjadi?" Sederet tanya yang jawabannya sama sekali belum terpikirkan di benak Reva.Reva menggigit bibir, merasa bersalah tidak bisa bercerita perihal apa yang ia alami. Selain takut pandangan buruk Adisti, ia juga takut ayahnya mengetahui ia tinggal dengan pria di sebuah apartemen."Ceritanya panjang, aku harus segera berganti seragam," ucap Reva menunjuk jam di pergelangan tangan.Seperti biasa, Reva melihat kode produksi dari ragi yang akan digunakan, memastikan semua aman untuk diolah.Hingga tiba jam makan siang, cuaca cukup terik saat Reva dan Adisti berada di warung makan langganan mereka."Rev, disuruh ke ruangan Pak Lingga." Adisti memperlihatkan layar ponsel yang masih menyala.Menghela napas kesal, Reva terlihat enggan. Telapak kakinya seperti sudah menyatu dan tidak bisa diangkat lagi. Percuma saja ia meninggalkan ponsel di loker, agar tak mendapat pesan dari Lingga. Lelaki tersebut tetap menghubunginya lewat Adisti."Buruan, nanti Pak Lingga marah." Adisti lekas membantu Reva berdiri."Aku belum makan, Dis." Reva menepis tangan sahabatnya lembut, lantas memberatkan diri di atas kursi."Nanti, kamu bisa makan di pantry." Adisti melihat detik jam yang terus berputar. Terlihat takut jika, pesan dari bosnya tak segera dilaksanakan.Dengan malas, Reva menuruti apa yang diperintahkan Adisti. Berjalan perlahan menguatkan diri. Pertemuan dua puluh empat jam sangat melelahkan untuknya dan kini ia harus kembali menyiapkan mental."Bapak panggil saya?" tanya Reva setelah ia mendapat ijin masuk ruangan.Lingga mengangguk, matanya terlihat fokus pada layar laptop yang menyala meski jelas sedang menahan amarah. Di depannya, Bu Rahma selaku kepala di ruang produksi menatap sinis."Ada apa Pak?" Reva berdiri dengan sopan, terlihat profesional mengingat saat ini keduanya berada di tempat kerja."Sebenarnya, kamu niat kerja tidak!" Lingga mengalihkan tatapannya pada Reva. Sementara yang ditatap, terlihat kebingungan."Wajah polos, tapi hatinya busuk," lirih Bu Rahma, saat Reva berada tepat di sampingnya."Anda tidak usah memperkeruh keadaan, silakan keluar!" Lingga menunjuk pintu, kali ini matanya tertuju pada wanita paruh baya yang berdiri di dekat Reva."Sebagai hukuman, jam pulang kerja silakan ke bagian gudang!" Sorot mata itu begitu tajam menghunus jantung, tak bisa dibantah meski Reva berusaha menjelaskan.Ratusan adonan yang sudah di profing, gagal karena ia memasukkan ragi yang sudah kadaluwarsa. Padahal, ia sudah mengecek tanggal sebelum mencampur bahan.Anehnya lagi, ragi yang ditemukan di meja kerjanya memang sudah kadaluwarsa.Beberapa pasang mata menatap tajam ke arahnya, bisik-bisik bernada sumbang terdengar. Namun, Reva tak begitu peduli."Dis, ini ragi aman kan?" Reva menyerahkan botol kecil dengan tutup berwarna kuning."Aman kok, cek aja," saran gadis dengan lesung di pipinya.Reva mengaktifkan ragi dengan air hangat yang dicampur sedikit gula, ia benar-benar tak enak hati pada Lingga. Sudah pasti kejadian tadi membuat kerugian pada usahanya."Duluan ya Rev," ucap Adisti saat jam pulang kerja mereka berakhir.Reva mengangguk sambil tersenyum, membersihkan peralatan yang telah digunakan.Suara detik jarum jam terdengar
Di sebuah kafe yang tak begitu jauh dari toko roti milik Lingga, lelaki tersebut mengeraskan rahang saat seorang gadis duduk di hadapan."Jangan mendekati masalah," ujarnya menahan amarah."Apakah salah, berteman dengan kawan lama?"Lingga berdecak dengan senyum sinis, menatap Tyas yang berpura-pura terlihat polos."Jangan salahkan aku jika nanti, kamu yang terbakar sendiri," ucap Lingga datar.Tyas nyaris saja tertawa kencang, tapi berusaha ia tahan."Terbakar sendiri? Semua ini karena kamu Lingga! Jika akhirnya aku terbakar maka kupastikan kamu menjadi abunya!" Melihat kedatangan Reva di kejauhan, suara Tyas terkesan berbisik."Apakah kalian sudah menunggu lama?" Tiba-tiba saja Reva duduk di antara Lingga dan Tyas. Melihat buku menu, gadis tersebut seolah tak menyadari ada kilat amarah yang terpancar dari sorot mata Lingga."Pesan apa saja yang kamu mau, aku yang traktir." Tyas tersenyum lembut, mengusap bahu Reva sedikit melirik ke arah Lingga. Seolah ia memperlihatkan kelebihannya
"Seperti apa?" tanya Lingga datar, ia masih sibuk mengunyah sarapan. Beberapa kali melihat ponsel yang ia letakkan di atas meja."Jangan mengirim uang keluargaku," ucap Reva tegas."Sebenarnya apa tujuanmu, mengambil ponselku." Reva terlihat kesal, ia tak ingin urusan keluarganya dicampuri."Aku hanya mencoba mendekatkan diri pada calon mertua," ucap Lingga tanpa beban. Namun, hal itu membuat Reva terbatuk. Ia mencoba menenangkan diri, setelah meneguk air putih di samping mangkuk.Apa yang Lingga bilang bukankah sangat keterlaluan? Bagaimana ia menyebut calon mertua, sementara hidup mereka bagai langit dan bumi."Hidupku sudah sulit Lingga," ucap Reva frustrasi. "Aku tidak ingin menambah masalah dengan menikah denganmu, cukup bertingkah konyol." Reva kehilangan napsu makan."Lantas apa tujuanku menjadikanmu kekasih?" Lingga malah membalikan pertanyaan yang seharusnya Reva tanyakan."Mengambil keuntungan dengan pengakuan status," tutur Reva menerka, ia juga tidak tahu mengapa pengakuan
Akibat ucapan Lingga yang terasa amat tidak adil terhadapnya, membuat Reva kehilangan akal sehat. Ia benar-benar ingin terlepas dengan perjanjian konyol ini."Apakah status menjadi kekasihku begitu melukai harga dirimu?!" Lingga kini menatap Reva dengan nyalang, kilat amarah begitu terpancar. Tangannya mengepal berusaha tak mencengkeram."Aku sudah kehilangan harga diriku sejak menyetujui tawaranmu," ujar Reva menahan rasa sesak, ia mulai membuka satu persatu kancing seragam kerjanya.Lingga terpaku sesaat, ada rasa sakit yang tergores di dalam sana. Dia berusaha menahan pergerakan tangan Reva yang kini terhenti di kancing ketiga.Bukankah ini adalah ancaman yang selalu Lingga lakukan saat ia membuat kesalahan? Maka, hari ini ia akan melakukannya."Hentikan, bodoh!" Lingga berteriak di depan wajah Reva. Matanya memerah, sebagai seorang lelaki ia tak pernah berpikir akan melukai harga diri Reva sampai sejauh ini."Lalu harus apa agar kamu melepaskanku?" Reva mendongak, jarak wajah kedu
"Apa ada masalah?" Di sepanjang perjalanan, Reva terlihat murung. Hal itu memancing rasa penasaran di hati Aldo.Tanpa menjawab Reva menggeleng. "Maaf harus merepotkanmu." Lebih tepatnya, ia memancing Aldo untuk masuk ke dalam masalah."Tidak apa-apa, kapan pun aku selalu ada." Aldo tersenyum, mematikan mesin motornya tepat di depan toko Lingga."kapan pun," ucap Reva menirukan ucapan Aldo dengan senyum lembut."Tentu saja," tutur Aldo. Memandang Reva dengan jarak seperti ini membuatnya merasakan saat bersekolah dulu. Wajah itu tak banyak berubah, masih sama membuatnya jatuh hati."Aku masuk dulu," ujar Reva dengan senyum canggung.Aldo memgangguk, lantas menyalakan mesin motor sebelum melaju.Reva masih berdiri, memperhatikan Aldo hingga punggungnya menjauh di antara lalu lalang pengendara yang lain. Menghela napas, gadis tersebut berjalan memasuki pintu belakang.Bisik-bisik kecil terdengar di antara karyawan yang berpapasan dengannya. Di loker, seorang gadis dengan seragam kasir ti
Seorang wanita paruh baya, tapi masih terlihat muda berdiri menyambut kedatangan Reva. Sementara Lingga, lelaki tersebut tidak terlihat di ruangan.Meneguk ludah, Reva terpaku di tempatnya berdiri."Kamu tinggal di sini?" tanya beliau masih terlihat ramah.Jantung Reva sudah berdetak tak karuan, sejujurnya ia kebingungan harus menjawab apa."Duduk sini, Reva." Beliau mengarahkan pandangan ke arah sofa. Dengan langkah pelan, Reva menggenggam erat plastik putih transparan di tangan kanan.Suara ruangan begitu hening, hanya detik jarum jam yang memecah sunyi."Apakah kamu berhubungan dengan Lingga?" tanya beliau, tepat saat Reva duduk berhadapan dengannya.Reva menggigit bibir, menunduk seolah tak lagi memiliki harga diri. Bagaimana bisa, Bu Ratri memergokinya tinggal satu atap dengan sang putra."Saya bisa jelaskan, Bu.""Menjelaskan dengan apa? Baju-bajumu bahkan berada di sini," ucap beliau lembut, tapi sorot matanya terlihat mengintimidasi. Baru saja Reva memberanikan diri membuka mu
Lingga mengeraskan rahang saat melihat kamar yang di tempati Reva sudah kosong. Gadis tersebut benar-benar membuktikan ucapannya dengan menentang apa yang ia perintahkan.Ini kali pertama Lingga dibantah dan merasa ditolak tanpa basa-basi. Baru saja ia hendak keluar mencari Reva, seseorang sudah menghalangi langkah tepat saat pintu terbuka."Apa kabar Lingga?" Senyum sinis terukir. "Mencari gadis murahan itu?"Tangan Lingga mengepal menahan emosi yang nyatanya tak bisa ia tahan, buku-buku tangan menyentuh permukaan pintu dengan kasar. Meninggalkan suara keras yang lumayan membuat Tyas terkejut."Apa kamu benar-benar gila karena gadis itu? Bagaimana ... sudahkah kamu hancur?" Tyas bersedekap, lantas terkekeh mendapati kemeja Lingga yang terlihat lusuh."Apa urusanmu terhadapku?" tanya Lingga muak."Tentu saja kehancuranku menjadi kehancuranmu, bukan begitu?""Aku tidak punya waktu," ujar Lingga datar. Lelaki dengan mata tajam tersebut memilih tak peduli. Menutup pintu apartemen, lantas
Hujan malam ini melengkapi dinginnya hati Aldo. Reva duduk di hadapan, meneliti sorot mata Aldo serta alasan lelaki tersebut mengajaknya bertemu."Kenapa? Apa Lingga melakukan sesuatu yang buruk," ucap Reva cemas. Ia meneliti setiap inci wajah lelaki di depannya."Aku tidak apa-apa, justru aku khawatir denganmu.""Kenapa?" tanya Reva setelah duduk di hadapan Aldo."Lingga tahu kalau kamu tinggal di kos milik Tante Rani?"Dengan berat hati, Reva mengangguk."Apa kalian bertengkar?""Ti--dak," ucap Reva dengan suara terbata. Sesuai syarat dari Lingga. Ia harus tetap berpura-pura menjadi kekasihnya dengan hubungan yang baik-baik saja. Tersenyum muak, Reva kembali berucap. "Hubungan kami sudah baik-baik saja."Aldo menghela napas, lagi-lagi kenyataan tak berpihak padanya. Apa ini? Apakah ia berharap Lingga dan Reva bertengkar?"Syukurlah, aku takut kalian bertengkar karena aku."Reva menunduk merasa bersalah saat mendapati luka memar di pipi kiri Aldo."Maaf ... apa Lingga yang melakuka
Reva yang sedang bersusah payah mencerna jawaban Lingga, lekas mendapat sentilan di dahi."Aku tidak mengerti," ucap Reva mengalihkan pandangan ke arah alas kaki."Apa yang bisa aku bantu?" Lingga berjalan di lorong apartemen lalu menekan sandi yang masih sama dengan kode ponsel Reva."Hutang Ayahku." Suara Reva tercekat. "Rumah kami disegel, jika dalam seminggu tidak melunasi hutang.""Disegel?" Lingga mengerutkan kening. Reva mengangguk lemah, ia merasa malu jika harus menceritakan lebih lanjut."Datanglah besok dan berhenti berpura-pura tidak tahu maksudku," ucap Lingga datar.Reva menunduk, menggigit bibir merasa harapannya akan sia-sia. Memberi hati pada Lingga, bukan sesuatu yang sulit, pria itu tampan, mapan dan terkadang baik. Hanya saja, perbedaan kasta mereka sulit ditembus terlebih Bu Reswari, tidak akan memudahkan hubungan mereka."Aku permisi, Lingga." Reva berbalik lantas berjalan meninggalkan Lingga.Pagi ini suasana begitu hangat, langit pun terlihat cerah biru. Tak ad
"Aldo, aku peringatkan padamu. Jangan dekati kekasihku."Reva menatap tajam ke arah Lingga. Betapa pintarnya lelaki tersebut berkata-kata. Seolah begitu memujanya, tapi sedetik kemudian menyia-nyiakan.Tanpa sepatah kata mutiara yang ditujukan pada Reva, Lingga mengalihkan pandangan ke arahnya."Turun!" Suara Lingga naik beberapa oktaf. Hingga Reva mulai terhipnotis untuk mengikuti, wajah Lingga memang biasa seram, tapi kali ini rasanya lebih seram beberapa kali lipat.Reva tak menjawab, langkahnya perlahan mendekat hingga sesuatu seperti menahan langkah. Aldo menahan pergelangan tangannya, Lingga bersedekap mengeraskan rahang seolah sedang menahan rasa ingin memukul Aldo."Aku masih berusaha sabar," ujar Lingga yang diiringi dengan tarikan kuat pada lengan Reva.Kini posisi Reva berada di antara Lingga dan Aldo, tatapan tajam yang saling menghunus melewati Reva."Hentikan!" Reva mengentakkan tangannya, entah mimpi apa ia jadi diperebutkan seperti ini."Aldo, aku minta maaf," ucap Rev
Reva mengusap-usap buku yang sudah usang, ingatannya tertarik ke puluhan tahun yang lalu. Saat ia masih duduk dibangku sekolah dasar, buku resep yang menjadi bonus majalah langganan tetangganya selalu dibersihkan saat hendak mendekati lebaran. Ia menjadi salah satu pesuruh yang diberi upah.Namun, sesuatu terjatuh saat ia mengusap-usap debu yang menempel di antara lembarannya.Sebuah foto usang yang memperlihatkah wajah anak lelaki dengan seorang gadis kecil di sebelahnya.Tiba-tiba saja, jantungnya berdetak tak karuan, ia mengingat lelaki seusianya duduk di akar pohon besar di antara jajaran pohon, memegang sebuah buku di tangan. Lelaki tersebut sempat bertemu pandang dengannya saat ia hendak masuk ke rumah sang Nenek."Mengapa, ada foto anak lelaki itu?" Terlihat tampan meski tak menampilkan senyuman. Reva kembali memasukkan foto yang ditemukan secara asal.Ia lekas keluar sebelum ada yang iseng, mengunci pintunya dari luar.***Sebuah buku diletakkan di atas meja dengan asal, Reva
"Aku bisa jelaskan Kak," ucap gadis cantik dengan jaket kebesaran di tubuhnya. Sudah bisa dipastikan jaket itu milik lelaki yang duduk di sampingnya."Apa peringatan Kakak tidak berguna?" Lingga bersedekap menatap dengan mata datarnya."Lelaki brengsek! Berapa kali aku peringatkan padamu jangan dekati Lia lagi!" Lingga sudah maju selangkah mendekati lelaki yang semula berada di samping Lia. Hendak mencengkeram kerahnya, Lingga nyaris saja memukul jika Lia tidak berdiri merentangkan tangan di depan Regra.Di kejauhan, Reva mengeratkan genggamannya pada ubi hangat yang masih ia pegang. Gadis tersebut mengatupkan mulut dengan rapat, secara tiba-tiba rasa ingin mengunyah makanan menguap begitu saja. Berbalik ia berlari meninggalkan tempat tersebut.Di matanya, Lingga seperti sedang merebutkan seorang gadis, jika Reva tak salah ingat, ia pernah melihat di toko roti Lingga. Ingatannya berputar pada tragedi kopi, apa gadis yang dilihatnya orang yang dijodohkan dengan Lingga?"Tragedi gadis k
Reva terpukau melihat aneka jajanan di pinggir jalan, ia bahkan tak sungkan menarik tangan Lingga menuju salah satu gerobak yang menjual takoyaki.Makanan asal jepang yang sering ia tonton di televisi, kini terlihat di depan mata."Saya pesan dua porsi," ucap Reva antusias. Sementara Lingga hanya tertegun mendapati tangannya masih berada di genggaman Reva.Aroma harum gurih dari bola-bola berisi potongan gurita menyeruak. Membuat Reva ingin segera menimangnya, kalau boleh jujur, ini kali pertama Reva akan menyantap makanan berbentuk bulat dengan ukuran sekitar lima centimeter.Cup mika di dalam plastik putih Lingga tenteng di tangan kanan, lelaki itu masih sibuk menatap senyuman Reva yang tidak pernah pudar setiap melihat jajaran makanan."Kamu suka?" tanya Lingga setelah keduanya memutuskan duduk di bangku taman berbahan besi.Reva mengangguk, hanya saja senyumnya memudar setelah kebisingan lalu lalang jalan memudar."Dulu, teman kecilku pernah bilang di keramaian, kalau aku suka dat
Reva terbatuk-batuk, entah kenapa tenggorokannya terasa kering."Mau mampir dulu?" tanya Lingga saat keduanya berada di tengah keramaian jalan."Tidak, ini sudah terlalu malam." Reva segera mengelak. Ia melirik ke arah ponsel di genggaman tangan, tertera angka sebelas malam, tentu saja ia tidak enak hati dengan tetangga sekitar.Secepat kilat, Reva segera membuka pintu mobil saat rodanya mulai berhenti, ia tergesa keluar. Lingga ikut menyusul, tapi Reva lekas mencegah."Pulanglah, aku tidak mau jadi gosip tetangga." Reva menghela napas, dengan pulang malam seperti ini, ia sudah pasti di cap gadis tidak benar."Baru pulang?" Adisti memicingkan mata, sambil melirik ke arah jam dinding, matanya mengerjap-ngerjap khas orang yang sudah tertidur.Lebih dari satu jam, Reva harus mengetuk pintu sekaligus menghubungi nomor Adisti. Ya, saat ini Adisti menginap di kontrakan Reva.Mengetahui Reva sudah masuk ke dalam kontrakannya, Lingga lekas melajukan mobil menjauh.Di perjalanan pulang, Lingga
Lampu-lampu kota, tampak berkilau jika di lihat dari tempat ini. Seperti bintang-bintang yang berkelip di atas langit. Terlihat setitik kecil cahaya, tapi begitu menakjubkan.Lingga menepikan mobil di jalan datar, setelah melewati jalanan menanjak, bisa dipastikan saat ini mereka berada di dataran yang lebih tinggi dari tempat tinggal keduanya."Di sini, kamu masih bisa melihat pepohonan yang rindang. Seperti hutan." Lingga memecah hening. Sementara Reva, mengamati keindahannya dari kejauhan. Dulu, Reva sering melihat pemandangan ini, saat pulang dari rumah mendiang Neneknya di perkampungan terpencil."Aku tidak tahu, kamu mengenal jalanan ini." Reva tersenyum tipis. Kalau dipikir-pikir, Lingga tidak sejahat yang ia kira."Dulu, saat Nenekku masih hidup, aku sering kemari." Lingga menghela napas."Oh, ya?" Reva mulai tertarik dengan percakapan mereka kali ini. Apakah nenek mereka satu kampung? Namun, pertanyaan itu hanya ia simpan di kepala."Kami tidak terlahir dengan hidup berkecukup
"Dasar anak sialan! Percuma saja kamu aku besarkan, nyatanya hanya jadi beban! Mati saja kamu!"Seorang anak kecil berdiri dipojok pintu, menatap sang Kakak yang terus mendapat pukulan. Rasa takutnya kian memuncak, kala ujaran kebencian terus diutarakan."Ampun, Ayah sakit!" Suara lemah terdengar pilu, meringis pertanda tubuhnya tidak bisa menoleransi rasa sakit di tubuh kecilnya.Seperti tidak mendengar, sang Ayah terus memukul bertubi-tubi. Rambutnya di tarik ke atas, hingga kaki bocah berusia delapan tahun tersebut tak menapak lantai.Tangisan seperti tak lagi berguna, hanya menahan sesak yang kian memuncak."Kakak baik-baik saja?" Suara gadis kecil terdengar gemetar, ketakutan dan kecemasan kian kentara. Mata polosnya tak dapat menyembunyikan beban yang tidak harus dipikul bocah seusianya."Tidak apa-apa," tutur sang Kakak lembut. Dia berucap dengan tegar, meski ada kebencian di dalam sorot matanya.Reva tiba-tiba teringat masa lalunya yang begitu kelam. Hingga suara Adisti menar
Hujan malam ini melengkapi dinginnya hati Aldo. Reva duduk di hadapan, meneliti sorot mata Aldo serta alasan lelaki tersebut mengajaknya bertemu."Kenapa? Apa Lingga melakukan sesuatu yang buruk," ucap Reva cemas. Ia meneliti setiap inci wajah lelaki di depannya."Aku tidak apa-apa, justru aku khawatir denganmu.""Kenapa?" tanya Reva setelah duduk di hadapan Aldo."Lingga tahu kalau kamu tinggal di kos milik Tante Rani?"Dengan berat hati, Reva mengangguk."Apa kalian bertengkar?""Ti--dak," ucap Reva dengan suara terbata. Sesuai syarat dari Lingga. Ia harus tetap berpura-pura menjadi kekasihnya dengan hubungan yang baik-baik saja. Tersenyum muak, Reva kembali berucap. "Hubungan kami sudah baik-baik saja."Aldo menghela napas, lagi-lagi kenyataan tak berpihak padanya. Apa ini? Apakah ia berharap Lingga dan Reva bertengkar?"Syukurlah, aku takut kalian bertengkar karena aku."Reva menunduk merasa bersalah saat mendapati luka memar di pipi kiri Aldo."Maaf ... apa Lingga yang melakuka