Mendengar penuturan Lingga, Reva membeku di tempatnya berdiri. Sampai lelaki bermata tajam tersebut, harus menjemput di depan pintu.
Seketika suasana menjadi hening, hingga gadis di sana bertanya dengan nada angkuh."Dia siapa?" ucapnya saat Lingga meletakkan kopi di atas meja. Lelaki itu dengan sigap menggantikan tugas Reva, memancing emosi gadis dengan dress merah tua."Tidak perlu canggung." Lingga berucap dengan datar. Sementara, ruangan ber-AC tersebut terasa menyesakkan bagi Reva, ia diapit dua sorot mata yang sama-sama memuakan."Jadi, dia ...?!" Isyarat mata gadis yang duduk di hadapan kursi kerja Lingga terlihat sombong, meski begitu, ia terlihat cantik dengan gincu berwarna pink alami.Reva yang merasa tak nyaman di tengah keduanya, teringat pada kopi yang ia buat. Sementara tamu Lingga mulai meraih cangkir di hadapan."Eh, jangan diminum?" Reva berusaha mencegah dengan menahan tangan.Namun, siapa sangka cairan hitam tersebut berpindah membasahi seragam Reva. Gadis dengan senyum sinis itu terlihat menakutkan saat tertawa dengan bangga.Wajah cantik Reva seketika berubah menahan amarah. Lingga sama sekali tak memperhitungkan kejadian tersebut."Lia! Apa yang kamu lakukan?!" Lingga seketika berdiri, meraih tangan Reva agar mendekat ke arahnya."Hanya sedikit memberi peringatan," ujar Lia dengan alis bertaut. Terlihat tenang tak ada gejolak rasa bersalah."Maaf," tutur Reva dengan tangan mengepal. Sorot mata gadis tersebut mengundang peperangan.***Usai kejadian memalukan yang tadi siang ia alami, Reva benar-benar tak memiliki semangat untuk bekerja."Rev, kamu belum menjelaskan perihal hutangmu pada Pak Lingga." Adisti saat ini sedang mengunjungi Reva di dalam kamar mess."Penjelasan apa?" Gadis berambut panjang tersebut, benar-benar tidak ingin membahasnya saat ini."Kamu bilang cuma hutang lima ratus ribu, kan. Jangan bilang, kamu bolak-balik ke ruangan Pak Lingga, hendak mencicil bukan membayar?" Mata Adisti membulat.Meski Bu Reswari baik hati, tapi ternyata sang putra tidak menuruni watak yang sama.Reva memijat kening yang terasa pusing, awalnya ia memang berbohong pada Adisti mengenai nominal hutang yang kini menjeratnya."Aku sedang tidak ingin membahas itu," jelasnya terlihat gelisah. Hingga ketukan pintu kamar terdengar lirih."Reva ada yang mencarimu," ucap salah satu teman mereka dari luar kamar.Reva dan Adisti saling berpandangan, keduanya sama-sama penasaran.Terlebih sebelumnya, tak ada yang mengunjungi Reva malam-malam seperti ini. Reva lekas mengambil jaket yang tergantung di balik pintu, meninggalkan Adisti begitu saja.Langkahnya berjalan perlahan, melewati beberapa kamar menuju pintu teras. Jarum dinding yang tergantung di dekat pintu ruang tamu, menunjuk angka tujuh malam. Membuat gadis tersebut kian penasaran pada siapa yang datang.Hingga langkah itu terhenti, tubuhnya seolah mematung, mendapati lelaki dengan kemeja kotak-kotak berdiri di dekat meja teras, terlihat menerawang menatap langit malam. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana."Aldo." Suara Reva terdengar kaku, seperti sudah asing dengan nama itu. Bagaimanapun dulu, ia begitu sering menyebut namanya dalam doa, hingga waktu tak kunjung membuat bersama.Berbalik dengan senyum canggung, Aldo sesekali mengusap hidung. Seperti kebiasaannya saat SMA, jika ia salah tingkah."Kamu tahu aku di sini?" tanya Reva terlihat begitu penasaran. Melirik ke sekitar, berharap tak ada Lingga yang mengantar. Embusan napas lembut terdengar lega, mendapati hanya ada Aldo di sana."Apa kabar?" Tak menjawab, Aldo malah balik bertanya dengan memaksa sebuah senyuman."Masih begini, belum bisa bahagia." Reva terkekeh, jawaban itu yang sering ia katakan pada Aldo di masa SMA."Kamu masih seperti yang dulu rupanya," tutur Aldo dengan senyum tipis. "Mau keluar bersamaku?"***Pagi ini Reva menuruti nasihat Adisti, memasakkan makanan untuk sarapan Lingga, tidak lupa secangkir kopi dengan takaran sesuai petunjuk Mbak Wati.Berlatih tersenyum semalaman membohongi hati, hingga dapat mengganti uang tiga juta pada Lingga dengan cara menyisihkan setiap bulan.Untuk sementara waktu, jangan sampai kedekatannya dengan Lingga tercium publik.Begitulah solusi yang Adisti berikan pada Reva, tak terlalu membantu karena menyisihkan di kantong sendiri begitu berat, terlebih kebutuhan dadakan akan terus ada.Namun, itu satu-satunya cara dapat membayar Lingga secara cash."Selamat pagi, ini kopinya, Pak," ucap Reva seraya meletakkan secangkir kopi di hadapan."Ini sarapannya," lanjutnya."Terima kasih," jawab Lingga dengan senyum hambar.Merasa tak ada yang perlu diucapkan lagi, Reva memilih melangkah pergi, hingga suara berat Lingga menahan langkah."Siapa yang menyuruhmu pergi?" tanya Lingga dingin. Reva memutar bola matanya malas, sungguh tak ingin membuat mood paginya menjadi buruk."Mengenai hutang, aku akan berusaha melunasi." Setidaknya jangan membuatku tertekan di tempat kerja, begitulah isi hati Reva. Meski tak benar-benar ia ucapkan di depan Lingga."Lewat dari perjanjian waktu itu, pembayaran hutangmu aku tolak!""Tolong beri aku tambahan waktu!" Reva berucap tegas.Segaris senyum sinis terbit, Lingga berdiri mendekat, mau tak mau membuat Reva mundur perlahan. Sepasang mata tajam menyorot wajah Reva tanpa memberi jeda."Siapa yang menyuruhmu pergi?" tanya Lingga dengan senyuman mengejek.Reva berdecih menatap Lingga sinis. "Maksudmu apa?""Tak usah berlagak polos, gadis murahan!" Lingga menghentikan langkah, tangannya menjalar menyibak rambut yang menutup dahi.Mata Reva membulat lebar demi mendengar penuturan Lingga, lelaki itu terkesan merendahkan tanpa Reva tahu maksudnya.Tak kuat menahan gejolak amarah, Reva melayangkan tangannya dengan kuat, tapi Lingga lebih sigap. Mata itu memandang Reva dingin, ada sejuta kata umpatan yang sepertinya ditahan."Keluar!" teriak Lingga memekakkan telinga. Air mata Reva nyaris lolos, gadis itu lekas menerobos dari kungkungan tubuh Lingga, berlari keluar dengan terisak.Sementara Lingga, berusaha menahan gejolak emosi yang sulit untuk diluapkan di depan Reva. Sejak kapan ia takut melukai perasaan seorang gadis?"Sialan!" Lingga memukul tembok, hingga buku-buku jarinya terluka.Reva menatap wajahnya di balik pantulan cermin kamar mandi. Tak bisa ia tahan lagi, rasa sakit akibat ucapan Lingga membuat Reva menekan dada."Atas dasar apa dia mengataiku gadis murahan?" Reva seolah bertanya pada pantulan dirinya sendiri. Mengusap air mata yang terus berdesakan keluar tanpa bisa di tahan. Meski berusaha tetap tersenyum, air matanya enggan berhenti.Menghapus air mata, Reva membuka pintu kamar mandi. Matanya membulat menatap lelaki yang paling ia benci membelakangi."Ikut aku!" Lingga menekan lengan Reva dengan kasar, membuat gadis tersebut terseret hingga pintu keluar yang dikhususkan untuk karyawan."Lepas!" Reva memekik hingga tangan Lingga terpaksa menutup mulutnya."Diam dan ikuti aku! Jangan mengundang banyak perhatian."Secara kebetulan, lorong menuju pintu keluar khusus karyawan terlihat sepi, Reva terseok-seok mengikuti langkah lebar lelaki di depannya saat ini.Seolah tak memberi ruang untuk melarikan diri, Lingga mencengkeram lengan Reva tanpa jeda hingga gadis itu benar-benar masuk ke dalam mobil.Sebuah kamar bernuansa abu-abu terpampang saat Lingga membuka pintu, tubuh kecil Reva diseret lantas dijatuhkan dengan kasar hingga rambutnya menutup sebagian wajah."Jangan mendekat!" Sorot mata Reva terlihat menahan amarah, melirik sekitar ia mencoba mencari sesuatu sebagai senjata. Tangannya meraih-raih apa saja yang bisa ditemukan, sayangnya nihil ia tak mendapati apa pun.Sementara ucapannya hanya sebuah angin lalu di telinga Lingga. Lelaki tersebut terus mendekat meski Reva kian menghindar.Hingga akhirnya, Lingga berhasil menindih tubuh kecil Reva dengan kasar, membuka satu persatu kancingnya secara perlahan, memperlihatkan warna dalaman yang dikenakan gadis tersebut.Reva menjerit histeris, berusaha memberontak, tapi tenaganya terlalu lemah. Terlebih satu tangan Lingga menekan kedua tangannya yang di tarik ke atas kepala."Laki-laki sialan!" Merasa terpojok, Reva meludah tepat mengenai wajah Lingga. Mendapat perlakuan demikian, pergerakan lelaki tersebut semakin beringas bagai
Di tempat kerja, seorang gadis tiba-tiba menerobos masuk. Sepasang mata terlihat penuh kilatan emosi menatap wajah datar Lingga."Apa karena gadis kampungan itu!" teriak gadis berambut sebahu dengan wajah cantik meski tanpa riasan."Apa maksudmu?" Lingga masih tetap tenang, menatap layar laptop yang menyala, tak terusik meski wanita di depannya saat ini sudah maju mendekat."Karena dia, kamu mengakhiri hubungan kita?""Jangan membawa orang lain, Tyas! Hubungan kita sudah berakhir ada ataupun tidak ada dia!"Senyum kesal tersungging, hatinya kian tercabik-cabik, serasa dibuang dan dicampakkan dengan kejam. Mendengar penjelasan mantan kekasih yang masih sangat ia cintai, jelas memang ada orang lain di antara keduanya."Tidak! Kamu tidak akan bisa bersama siapa pun!" Tyas menggebrak meja, menatap nyalang ke arah laptop yang masih setia menjadi perhatian Lingga."Aku di sini brengsek!" Tyas meraih benda kotak persegi tersebut, nyaris melayangkan ke lantai.Namun, Lingga berhasil menghentik
"Tyas?" Kening Reva mengerut, lantas mengingat senyum manis yang terlihat sempurna."Tyas Rosalina," ujar Reva kaku. Senyum itu memang khas, membuatnya tak terlalu lama mengingat."Iya, kamu masih ingat?" tanya gadis berambut sebahu di depannya, terlihat cantik menggunakan dress bermotif polkadot di atas lutut."Mana mungkin aku lupa dengan siswi populer di masanya." Reva terkekeh, meski tidak begitu dekat, beberapa kali Tyas pernah menegur saat berpapasan di sekolah. Apalagi keduanya sempat satu kelas."Boleh minta nomor ponselmu?" tutur Tyas secara mendadak."Dia tidak punya nomor untuk dibagikan denganmu." Tiba-tiba Lingga menarik Reva ke belakang punggung, menatap datar Tyas yang masih tersenyum ramah."Oh, sayang sekali," jawab Tyas kecewa, lalu kembali tersenyum. "Kalian dekat?" terlihat wajah Tyas begitu penasaran. Menggigit bibir, gadis tersebut melihat tangan Lingga yang menggenggam."Tidak," ujar Reva singkat, ia masih ingat bagaimana Tyas begitu memuja Lingga saat di sekolah
"Sebagai hukuman, jam pulang kerja silakan ke bagian gudang!" Sorot mata itu begitu tajam menghunus jantung, tak bisa dibantah meski Reva berusaha menjelaskan.Ratusan adonan yang sudah di profing, gagal karena ia memasukkan ragi yang sudah kadaluwarsa. Padahal, ia sudah mengecek tanggal sebelum mencampur bahan.Anehnya lagi, ragi yang ditemukan di meja kerjanya memang sudah kadaluwarsa.Beberapa pasang mata menatap tajam ke arahnya, bisik-bisik bernada sumbang terdengar. Namun, Reva tak begitu peduli."Dis, ini ragi aman kan?" Reva menyerahkan botol kecil dengan tutup berwarna kuning."Aman kok, cek aja," saran gadis dengan lesung di pipinya.Reva mengaktifkan ragi dengan air hangat yang dicampur sedikit gula, ia benar-benar tak enak hati pada Lingga. Sudah pasti kejadian tadi membuat kerugian pada usahanya."Duluan ya Rev," ucap Adisti saat jam pulang kerja mereka berakhir.Reva mengangguk sambil tersenyum, membersihkan peralatan yang telah digunakan.Suara detik jarum jam terdengar
Di sebuah kafe yang tak begitu jauh dari toko roti milik Lingga, lelaki tersebut mengeraskan rahang saat seorang gadis duduk di hadapan."Jangan mendekati masalah," ujarnya menahan amarah."Apakah salah, berteman dengan kawan lama?"Lingga berdecak dengan senyum sinis, menatap Tyas yang berpura-pura terlihat polos."Jangan salahkan aku jika nanti, kamu yang terbakar sendiri," ucap Lingga datar.Tyas nyaris saja tertawa kencang, tapi berusaha ia tahan."Terbakar sendiri? Semua ini karena kamu Lingga! Jika akhirnya aku terbakar maka kupastikan kamu menjadi abunya!" Melihat kedatangan Reva di kejauhan, suara Tyas terkesan berbisik."Apakah kalian sudah menunggu lama?" Tiba-tiba saja Reva duduk di antara Lingga dan Tyas. Melihat buku menu, gadis tersebut seolah tak menyadari ada kilat amarah yang terpancar dari sorot mata Lingga."Pesan apa saja yang kamu mau, aku yang traktir." Tyas tersenyum lembut, mengusap bahu Reva sedikit melirik ke arah Lingga. Seolah ia memperlihatkan kelebihannya
"Seperti apa?" tanya Lingga datar, ia masih sibuk mengunyah sarapan. Beberapa kali melihat ponsel yang ia letakkan di atas meja."Jangan mengirim uang keluargaku," ucap Reva tegas."Sebenarnya apa tujuanmu, mengambil ponselku." Reva terlihat kesal, ia tak ingin urusan keluarganya dicampuri."Aku hanya mencoba mendekatkan diri pada calon mertua," ucap Lingga tanpa beban. Namun, hal itu membuat Reva terbatuk. Ia mencoba menenangkan diri, setelah meneguk air putih di samping mangkuk.Apa yang Lingga bilang bukankah sangat keterlaluan? Bagaimana ia menyebut calon mertua, sementara hidup mereka bagai langit dan bumi."Hidupku sudah sulit Lingga," ucap Reva frustrasi. "Aku tidak ingin menambah masalah dengan menikah denganmu, cukup bertingkah konyol." Reva kehilangan napsu makan."Lantas apa tujuanku menjadikanmu kekasih?" Lingga malah membalikan pertanyaan yang seharusnya Reva tanyakan."Mengambil keuntungan dengan pengakuan status," tutur Reva menerka, ia juga tidak tahu mengapa pengakuan
Akibat ucapan Lingga yang terasa amat tidak adil terhadapnya, membuat Reva kehilangan akal sehat. Ia benar-benar ingin terlepas dengan perjanjian konyol ini."Apakah status menjadi kekasihku begitu melukai harga dirimu?!" Lingga kini menatap Reva dengan nyalang, kilat amarah begitu terpancar. Tangannya mengepal berusaha tak mencengkeram."Aku sudah kehilangan harga diriku sejak menyetujui tawaranmu," ujar Reva menahan rasa sesak, ia mulai membuka satu persatu kancing seragam kerjanya.Lingga terpaku sesaat, ada rasa sakit yang tergores di dalam sana. Dia berusaha menahan pergerakan tangan Reva yang kini terhenti di kancing ketiga.Bukankah ini adalah ancaman yang selalu Lingga lakukan saat ia membuat kesalahan? Maka, hari ini ia akan melakukannya."Hentikan, bodoh!" Lingga berteriak di depan wajah Reva. Matanya memerah, sebagai seorang lelaki ia tak pernah berpikir akan melukai harga diri Reva sampai sejauh ini."Lalu harus apa agar kamu melepaskanku?" Reva mendongak, jarak wajah kedu
"Apa ada masalah?" Di sepanjang perjalanan, Reva terlihat murung. Hal itu memancing rasa penasaran di hati Aldo.Tanpa menjawab Reva menggeleng. "Maaf harus merepotkanmu." Lebih tepatnya, ia memancing Aldo untuk masuk ke dalam masalah."Tidak apa-apa, kapan pun aku selalu ada." Aldo tersenyum, mematikan mesin motornya tepat di depan toko Lingga."kapan pun," ucap Reva menirukan ucapan Aldo dengan senyum lembut."Tentu saja," tutur Aldo. Memandang Reva dengan jarak seperti ini membuatnya merasakan saat bersekolah dulu. Wajah itu tak banyak berubah, masih sama membuatnya jatuh hati."Aku masuk dulu," ujar Reva dengan senyum canggung.Aldo memgangguk, lantas menyalakan mesin motor sebelum melaju.Reva masih berdiri, memperhatikan Aldo hingga punggungnya menjauh di antara lalu lalang pengendara yang lain. Menghela napas, gadis tersebut berjalan memasuki pintu belakang.Bisik-bisik kecil terdengar di antara karyawan yang berpapasan dengannya. Di loker, seorang gadis dengan seragam kasir ti
Reva yang sedang bersusah payah mencerna jawaban Lingga, lekas mendapat sentilan di dahi."Aku tidak mengerti," ucap Reva mengalihkan pandangan ke arah alas kaki."Apa yang bisa aku bantu?" Lingga berjalan di lorong apartemen lalu menekan sandi yang masih sama dengan kode ponsel Reva."Hutang Ayahku." Suara Reva tercekat. "Rumah kami disegel, jika dalam seminggu tidak melunasi hutang.""Disegel?" Lingga mengerutkan kening. Reva mengangguk lemah, ia merasa malu jika harus menceritakan lebih lanjut."Datanglah besok dan berhenti berpura-pura tidak tahu maksudku," ucap Lingga datar.Reva menunduk, menggigit bibir merasa harapannya akan sia-sia. Memberi hati pada Lingga, bukan sesuatu yang sulit, pria itu tampan, mapan dan terkadang baik. Hanya saja, perbedaan kasta mereka sulit ditembus terlebih Bu Reswari, tidak akan memudahkan hubungan mereka."Aku permisi, Lingga." Reva berbalik lantas berjalan meninggalkan Lingga.Pagi ini suasana begitu hangat, langit pun terlihat cerah biru. Tak ad
"Aldo, aku peringatkan padamu. Jangan dekati kekasihku."Reva menatap tajam ke arah Lingga. Betapa pintarnya lelaki tersebut berkata-kata. Seolah begitu memujanya, tapi sedetik kemudian menyia-nyiakan.Tanpa sepatah kata mutiara yang ditujukan pada Reva, Lingga mengalihkan pandangan ke arahnya."Turun!" Suara Lingga naik beberapa oktaf. Hingga Reva mulai terhipnotis untuk mengikuti, wajah Lingga memang biasa seram, tapi kali ini rasanya lebih seram beberapa kali lipat.Reva tak menjawab, langkahnya perlahan mendekat hingga sesuatu seperti menahan langkah. Aldo menahan pergelangan tangannya, Lingga bersedekap mengeraskan rahang seolah sedang menahan rasa ingin memukul Aldo."Aku masih berusaha sabar," ujar Lingga yang diiringi dengan tarikan kuat pada lengan Reva.Kini posisi Reva berada di antara Lingga dan Aldo, tatapan tajam yang saling menghunus melewati Reva."Hentikan!" Reva mengentakkan tangannya, entah mimpi apa ia jadi diperebutkan seperti ini."Aldo, aku minta maaf," ucap Rev
Reva mengusap-usap buku yang sudah usang, ingatannya tertarik ke puluhan tahun yang lalu. Saat ia masih duduk dibangku sekolah dasar, buku resep yang menjadi bonus majalah langganan tetangganya selalu dibersihkan saat hendak mendekati lebaran. Ia menjadi salah satu pesuruh yang diberi upah.Namun, sesuatu terjatuh saat ia mengusap-usap debu yang menempel di antara lembarannya.Sebuah foto usang yang memperlihatkah wajah anak lelaki dengan seorang gadis kecil di sebelahnya.Tiba-tiba saja, jantungnya berdetak tak karuan, ia mengingat lelaki seusianya duduk di akar pohon besar di antara jajaran pohon, memegang sebuah buku di tangan. Lelaki tersebut sempat bertemu pandang dengannya saat ia hendak masuk ke rumah sang Nenek."Mengapa, ada foto anak lelaki itu?" Terlihat tampan meski tak menampilkan senyuman. Reva kembali memasukkan foto yang ditemukan secara asal.Ia lekas keluar sebelum ada yang iseng, mengunci pintunya dari luar.***Sebuah buku diletakkan di atas meja dengan asal, Reva
"Aku bisa jelaskan Kak," ucap gadis cantik dengan jaket kebesaran di tubuhnya. Sudah bisa dipastikan jaket itu milik lelaki yang duduk di sampingnya."Apa peringatan Kakak tidak berguna?" Lingga bersedekap menatap dengan mata datarnya."Lelaki brengsek! Berapa kali aku peringatkan padamu jangan dekati Lia lagi!" Lingga sudah maju selangkah mendekati lelaki yang semula berada di samping Lia. Hendak mencengkeram kerahnya, Lingga nyaris saja memukul jika Lia tidak berdiri merentangkan tangan di depan Regra.Di kejauhan, Reva mengeratkan genggamannya pada ubi hangat yang masih ia pegang. Gadis tersebut mengatupkan mulut dengan rapat, secara tiba-tiba rasa ingin mengunyah makanan menguap begitu saja. Berbalik ia berlari meninggalkan tempat tersebut.Di matanya, Lingga seperti sedang merebutkan seorang gadis, jika Reva tak salah ingat, ia pernah melihat di toko roti Lingga. Ingatannya berputar pada tragedi kopi, apa gadis yang dilihatnya orang yang dijodohkan dengan Lingga?"Tragedi gadis k
Reva terpukau melihat aneka jajanan di pinggir jalan, ia bahkan tak sungkan menarik tangan Lingga menuju salah satu gerobak yang menjual takoyaki.Makanan asal jepang yang sering ia tonton di televisi, kini terlihat di depan mata."Saya pesan dua porsi," ucap Reva antusias. Sementara Lingga hanya tertegun mendapati tangannya masih berada di genggaman Reva.Aroma harum gurih dari bola-bola berisi potongan gurita menyeruak. Membuat Reva ingin segera menimangnya, kalau boleh jujur, ini kali pertama Reva akan menyantap makanan berbentuk bulat dengan ukuran sekitar lima centimeter.Cup mika di dalam plastik putih Lingga tenteng di tangan kanan, lelaki itu masih sibuk menatap senyuman Reva yang tidak pernah pudar setiap melihat jajaran makanan."Kamu suka?" tanya Lingga setelah keduanya memutuskan duduk di bangku taman berbahan besi.Reva mengangguk, hanya saja senyumnya memudar setelah kebisingan lalu lalang jalan memudar."Dulu, teman kecilku pernah bilang di keramaian, kalau aku suka dat
Reva terbatuk-batuk, entah kenapa tenggorokannya terasa kering."Mau mampir dulu?" tanya Lingga saat keduanya berada di tengah keramaian jalan."Tidak, ini sudah terlalu malam." Reva segera mengelak. Ia melirik ke arah ponsel di genggaman tangan, tertera angka sebelas malam, tentu saja ia tidak enak hati dengan tetangga sekitar.Secepat kilat, Reva segera membuka pintu mobil saat rodanya mulai berhenti, ia tergesa keluar. Lingga ikut menyusul, tapi Reva lekas mencegah."Pulanglah, aku tidak mau jadi gosip tetangga." Reva menghela napas, dengan pulang malam seperti ini, ia sudah pasti di cap gadis tidak benar."Baru pulang?" Adisti memicingkan mata, sambil melirik ke arah jam dinding, matanya mengerjap-ngerjap khas orang yang sudah tertidur.Lebih dari satu jam, Reva harus mengetuk pintu sekaligus menghubungi nomor Adisti. Ya, saat ini Adisti menginap di kontrakan Reva.Mengetahui Reva sudah masuk ke dalam kontrakannya, Lingga lekas melajukan mobil menjauh.Di perjalanan pulang, Lingga
Lampu-lampu kota, tampak berkilau jika di lihat dari tempat ini. Seperti bintang-bintang yang berkelip di atas langit. Terlihat setitik kecil cahaya, tapi begitu menakjubkan.Lingga menepikan mobil di jalan datar, setelah melewati jalanan menanjak, bisa dipastikan saat ini mereka berada di dataran yang lebih tinggi dari tempat tinggal keduanya."Di sini, kamu masih bisa melihat pepohonan yang rindang. Seperti hutan." Lingga memecah hening. Sementara Reva, mengamati keindahannya dari kejauhan. Dulu, Reva sering melihat pemandangan ini, saat pulang dari rumah mendiang Neneknya di perkampungan terpencil."Aku tidak tahu, kamu mengenal jalanan ini." Reva tersenyum tipis. Kalau dipikir-pikir, Lingga tidak sejahat yang ia kira."Dulu, saat Nenekku masih hidup, aku sering kemari." Lingga menghela napas."Oh, ya?" Reva mulai tertarik dengan percakapan mereka kali ini. Apakah nenek mereka satu kampung? Namun, pertanyaan itu hanya ia simpan di kepala."Kami tidak terlahir dengan hidup berkecukup
"Dasar anak sialan! Percuma saja kamu aku besarkan, nyatanya hanya jadi beban! Mati saja kamu!"Seorang anak kecil berdiri dipojok pintu, menatap sang Kakak yang terus mendapat pukulan. Rasa takutnya kian memuncak, kala ujaran kebencian terus diutarakan."Ampun, Ayah sakit!" Suara lemah terdengar pilu, meringis pertanda tubuhnya tidak bisa menoleransi rasa sakit di tubuh kecilnya.Seperti tidak mendengar, sang Ayah terus memukul bertubi-tubi. Rambutnya di tarik ke atas, hingga kaki bocah berusia delapan tahun tersebut tak menapak lantai.Tangisan seperti tak lagi berguna, hanya menahan sesak yang kian memuncak."Kakak baik-baik saja?" Suara gadis kecil terdengar gemetar, ketakutan dan kecemasan kian kentara. Mata polosnya tak dapat menyembunyikan beban yang tidak harus dipikul bocah seusianya."Tidak apa-apa," tutur sang Kakak lembut. Dia berucap dengan tegar, meski ada kebencian di dalam sorot matanya.Reva tiba-tiba teringat masa lalunya yang begitu kelam. Hingga suara Adisti menar
Hujan malam ini melengkapi dinginnya hati Aldo. Reva duduk di hadapan, meneliti sorot mata Aldo serta alasan lelaki tersebut mengajaknya bertemu."Kenapa? Apa Lingga melakukan sesuatu yang buruk," ucap Reva cemas. Ia meneliti setiap inci wajah lelaki di depannya."Aku tidak apa-apa, justru aku khawatir denganmu.""Kenapa?" tanya Reva setelah duduk di hadapan Aldo."Lingga tahu kalau kamu tinggal di kos milik Tante Rani?"Dengan berat hati, Reva mengangguk."Apa kalian bertengkar?""Ti--dak," ucap Reva dengan suara terbata. Sesuai syarat dari Lingga. Ia harus tetap berpura-pura menjadi kekasihnya dengan hubungan yang baik-baik saja. Tersenyum muak, Reva kembali berucap. "Hubungan kami sudah baik-baik saja."Aldo menghela napas, lagi-lagi kenyataan tak berpihak padanya. Apa ini? Apakah ia berharap Lingga dan Reva bertengkar?"Syukurlah, aku takut kalian bertengkar karena aku."Reva menunduk merasa bersalah saat mendapati luka memar di pipi kiri Aldo."Maaf ... apa Lingga yang melakuka