"Jadi pacarku!"
"Hah?""Atau bayar tiga juta, cash, sekarang!"Bagai disambar petir, jantung Reva berdetak tak terkendali. Bahunya memanas dengan kaki yang sudah mengakar di tempatnya berdiri."Tidak! Aku akan melunasinya!" Masih berusaha bernegosiasi, gadis dengan rambut dikuncir tinggi itu terlihat angkuh. Meski dalam hati kelimpungan sendiri. Bagaimana bisa, ia membayar tiga juta dalam waktu satu detik.Lingga berdiri dari tempatnya duduk, menatap Reva yang masih kuat dengan pendiriannya. Suara ketukan sepatu Lingga, terdengar memantul di seluruh ruang. Hingga seketika mengikis jarak keduanya.Embusan napas lelaki itu, mulai menyapu pori-pori kulit wajah. Jarum detik jam seolah berputar perlahan. Hingga kesadaran Reva berangsur kembali."Ba--ik, aku mau." Suara itu kentara menyembunyikan ketakutan. Bola mata yang sempat menatap Lingga dengan angkuh, seketika terpejam."Sepakat!" Lingga mengulurkan tangan, tersenyum penuh kemenangan.Reva tak menyambut baik, hanya menatap tangan Lingga dengan wajah penuh kekesalan."Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?"Seketika Reva tersadar, gadis tersebut lekas berlalu dengan bibir mengerucut.Membuka pintu bercat coklat tua yang terbuat dari kayu jati, ia melangkah ke ruang produksi, melewati lorong-lorong yang menyambungkannya ke beberapa bagian.Hingga langkahnya terhenti pada ruangan dengan pintu kaca.Suara bising serta lalu lalang karyawan yang sibuk dengan adonan roti di tangan terpampang.Gadis manis berlesung pipi yang berdiri di ujung ruangan, tersenyum."Gimana?" tanya Adisti. Dia sibuk memasukkan terigu, menepuk tangannya di atas apron hitam yang dipakai setelah seragam kerja."Tidak diterima lagi," jawab Reva malas. Kedua sahabat itu terlibat saling pandang, kemudian kembali sibuk setelah mendengar dehaman Bu Rahma.Jam kerja usai tepat pukul setengah delapan malam, para pekerja sibuk mengemasi bagian masing-masing, membereskan tumpahan terigu dan mencuci perkakas yang tadi digunakan."Reva, dipanggil Pak Lingga!" teriak salah satu karyawan di bagian kasir. Seketika itu, Reva menghela napas kesal."Aku tidak bisa hidup tenang rasanya," keluhnya pada Adisti."Udah, bagianmu aku beresin. Kamu cepetan temuin Pak Lingga.""Terima kasih ya, Dis." Reva mencubit pipi sahabatnya itu dengan gemas. Rasanya enggan, setelah melihat jam dinding yang menunjuk di angka setengah delapan malam.Meski sudah berlatih untuk bersikap tenang, tetap saja Reva tidak bisa. Mengingat kejadian terakhir saat Lingga hampir menyentuh bibir. Gadis itu lekas menggelengkan kepala, mengusir pikiran kotor yang tiba-tiba terlintas.Baru saja ia hendak mengetuk pintu, wajah Lingga sudah terpampang nyata. Menatap dengan ekspresi datar."Bapak manggil saya?" Reva berusaha tetap terlihat baik-baik saja di tengah hatinya yang mulai waspada."Kamu lupa status baru kita?" Tatapan itu terasa dingin."Hah?" Masih berusaha memahami maksud Lingga, gadis itu menggaruk rambutnya yang lepek. Seharian tadi, ia menggunakan penutup kepala selama proses produksi."Jangan menatapku seperti itu," ucap Lingga kesal."Sepertinya, kamu pura-pura lupa. Aku akan mengingatkannya untukmu."Menggigit bibir, Reva akhirnya berucap."Apa yang kamu mau?""Masuk ke ruanganku," ucap Lingga. Lelaki itu membuka pintu sedikit lebih lebar, agar Reva lebih leluasa masuk.Ruangan bersuhu dingin itu tak mampu membuat Reva tenang, perasaannya terus ingin mengelak.Namun, ia tak memiliki kekuatan apa-apa selain mengikuti.Mengekori Lingga, Reva tetap berdiri mematung di dekat kursi tamu. Sementara Lingga sudah duduk manis di atas sofa."Kamu lebih suka berdiri?" Satu alisnya terangkat, mengisyaratkan pegawainya untuk duduk."Ini sudah jam pulang, aku tidak punya banyak waktu." Lebih tepatnya, Reva enggan berlama-lama di dekat lelaki itu."Sepertinya, kamu lebih sibuk dari pada aku." Tatapan Lingga seakan menghunus jantung, hanya sedikit gerakan dan lelaki itu kembali mengikis jarak.Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Lingga, lelaki tersebut berdecak kesal. Sementara Reva dengan sadar mengeluarkan umpatan."Sialan! Kamu pikir aku wanita seperti apa?"Lingga terkekeh, matanya terpejam merasakan rasa asin yang berasal dari sudut bibir."Kamu kira, kesepakatan kita sudah selesai?" Lingga mengusap bekas tamparan yang terasa perih."Sebagai hukumannya, kamu pulang bersamaku malam ini!" Lingga beranjak, menggenggam tangan Reva dengan kuat. Sementara Reva, berusaha memberontak sekuat tenaga."Lepas! Aku tidak mau! Dasar otak mesum!""Apa kamu bilang?" Meski sudah merasa kesal tak terkira, nada suara Lingga masih dalam taraf tenang."Otak mesum!"Lingga menatap Reva dengan wajah sinis, kembali mendekat seolah memancing gadis itu untuk memukulnya lagi.Benar saja, tangan Reva sudah kembali hendak melayangkan tamparan pada Lingga. Sayang, lelaki itu lebih sigap menahan, mencengkeram pergelangan tangan Reva dan mendekatkan wajahnya pada gadis tersebut.Mata tajam bak pedang itu menatap lekat, sekujur tubuh Reva tiba-tiba mematung tak bisa bergerak. Satu kecupan bibir mendarat dengan lembut."Satu tingkah bar-bar, satu kecupan," ucap Lingga tanpa dosa. Bagai tersihir, Reva hanya bisa mematung. Benar-benar syok dengan apa yang barusan terjadi."Sial ...." Ucapan itu terhenti, saat wajah Lingga kembali mendekat."Maaf, apa yang mau kamu bicarakan?" Reva menghela napas, mengatur irama jantung yang luar biasa kencang."Karena statusmu sudah berganti menjadi kekasihku, kamu tahu apa yang harus dilakukan?"Merasa terlalu membuang waktu, Reva menggeleng."Langsung pada intinya," jawabnya singkat."Setiap pagi, buatkan aku kopi dan ....""Ada Mbak Wati," sela gadis berseragam merah bata itu."Jangan membantah!" Lingga mulai terpancing emosi. Seketika membuat Reva terdiam kembali."Buatkan aku sarapan, apa saja asal dari tanganmu. Besok ada tamu, bersikaplah selayaknya orang berpacaran pada umumnya. Kamu mengerti?"Reva hanya mengangguk, meski hatinya mulai gundah dengan aturan yang diajukan Lingga."Sekarang silakan pulang."Percakapan itu terhenti, setelah Reva menyetujui apa yang diperintahkan oleh Lingga.***"Reva, dipanggil Pak Lingga," ucap Adisti salah satu teman dekat Reva di ruang produksi. Reva yang sedang sibuk hendak membuat adonan roti, dengan terpaksa menyuruh Tama menggantikan pekerjaannya.Menghela napas, gadis itu berusaha menetralkan detak jantung yang kian tak terkendali."Mau bertemu pacar, kok seperti mau berperang?" gumamnya tak tenang. Berjalan menyusuri lorong panjang, membuat Reva menyapa saat berpapasan dengan beberapa karyawan lain.Hingga tiba-tiba, bayangan Lingga yang dengan tidak sopan mencuri ciuman pertamanya berkelebat.Rasa ingin mengumpat, tapi pintu ruangan kerja Lingga sudah terpampang di depan sana.Tangan itu gemetar karena menahan gejolak emosi yang tiba-tiba muncul, sengaja pagi ini ia tak menepati janji yang sudah disepakati semalam.Sengaja menyepelekan, membuat Lingga kesal dan melepasnya begitu saja. Meskipun hanya sekedar harapan tanpa kepastian."Bapak panggil saya?" Reva memang lupa dengan ucapan Lingga, tentang tamu yang akan datang, masih bersikap formal layaknya atasan dan bawahan.Lingga terlihat berbicara dengan seseorang sebelum akhirnya beralih menatap ke arahnya."Reva?" Lelaki yang semula duduk membelakanginya segera berdiri, sepasang mata itu sama terkejutnya dengan Reva yang mematung di ambang pintu."Sayang, kenapa berdiri di situ?" Lingga sudah berdiri, menyambut kedatangan Reva yang masuk tanpa mengikuti aturan.Sementara gadis yang disambut malah menengok sekeliling, mencari tahu siapa yang dipanggil dengan sebutan sayang.Lingga lekas menutup pintu ruang kerja, menarik Reva ke dalam rengkuhan. Hanya bisa pasrah, ia menatap lengan kokoh itu dengan wajah cemberut."Dia yang aku ceritakan padamu," ucap Lingga bangga. Lelaki dengan jas rapi di depan sana terkejut mendapati Reva, ia hanya tersenyum canggung."Jadi, benar kalian cinta lama bersemi kembali?""Hah?" Dengan tampang bingung, Reva menatap Lingga penuh tanya."Aku tidak pernah bohong, Do," ucap Lingga dengan senyum kemenangan."Kenapa waktu itu, kamu tidak jujur saja, Rev?" Aldo masih tersenyum, meski terlihat ada kekecewaan dari sorot matanya.Reva yang mulai mengerti arah pembicaraan mereka, hanya mengikuti alur permainan Lingga."Dulu aku malu mengakuinya," ucap Reva disertai tawa yang terdengar dibuat-buat.Seingatny
Mendengar penuturan Lingga, Reva membeku di tempatnya berdiri. Sampai lelaki bermata tajam tersebut, harus menjemput di depan pintu.Seketika suasana menjadi hening, hingga gadis di sana bertanya dengan nada angkuh."Dia siapa?" ucapnya saat Lingga meletakkan kopi di atas meja. Lelaki itu dengan sigap menggantikan tugas Reva, memancing emosi gadis dengan dress merah tua."Tidak perlu canggung." Lingga berucap dengan datar. Sementara, ruangan ber-AC tersebut terasa menyesakkan bagi Reva, ia diapit dua sorot mata yang sama-sama memuakan."Jadi, dia ...?!" Isyarat mata gadis yang duduk di hadapan kursi kerja Lingga terlihat sombong, meski begitu, ia terlihat cantik dengan gincu berwarna pink alami.Reva yang merasa tak nyaman di tengah keduanya, teringat pada kopi yang ia buat. Sementara tamu Lingga mulai meraih cangkir di hadapan."Eh, jangan diminum?" Reva berusaha mencegah dengan menahan tangan.Namun, siapa sangka cairan hitam tersebut berpindah membasahi seragam Reva. Gadis dengan s
Sebuah kamar bernuansa abu-abu terpampang saat Lingga membuka pintu, tubuh kecil Reva diseret lantas dijatuhkan dengan kasar hingga rambutnya menutup sebagian wajah."Jangan mendekat!" Sorot mata Reva terlihat menahan amarah, melirik sekitar ia mencoba mencari sesuatu sebagai senjata. Tangannya meraih-raih apa saja yang bisa ditemukan, sayangnya nihil ia tak mendapati apa pun.Sementara ucapannya hanya sebuah angin lalu di telinga Lingga. Lelaki tersebut terus mendekat meski Reva kian menghindar.Hingga akhirnya, Lingga berhasil menindih tubuh kecil Reva dengan kasar, membuka satu persatu kancingnya secara perlahan, memperlihatkan warna dalaman yang dikenakan gadis tersebut.Reva menjerit histeris, berusaha memberontak, tapi tenaganya terlalu lemah. Terlebih satu tangan Lingga menekan kedua tangannya yang di tarik ke atas kepala."Laki-laki sialan!" Merasa terpojok, Reva meludah tepat mengenai wajah Lingga. Mendapat perlakuan demikian, pergerakan lelaki tersebut semakin beringas bagai
Di tempat kerja, seorang gadis tiba-tiba menerobos masuk. Sepasang mata terlihat penuh kilatan emosi menatap wajah datar Lingga."Apa karena gadis kampungan itu!" teriak gadis berambut sebahu dengan wajah cantik meski tanpa riasan."Apa maksudmu?" Lingga masih tetap tenang, menatap layar laptop yang menyala, tak terusik meski wanita di depannya saat ini sudah maju mendekat."Karena dia, kamu mengakhiri hubungan kita?""Jangan membawa orang lain, Tyas! Hubungan kita sudah berakhir ada ataupun tidak ada dia!"Senyum kesal tersungging, hatinya kian tercabik-cabik, serasa dibuang dan dicampakkan dengan kejam. Mendengar penjelasan mantan kekasih yang masih sangat ia cintai, jelas memang ada orang lain di antara keduanya."Tidak! Kamu tidak akan bisa bersama siapa pun!" Tyas menggebrak meja, menatap nyalang ke arah laptop yang masih setia menjadi perhatian Lingga."Aku di sini brengsek!" Tyas meraih benda kotak persegi tersebut, nyaris melayangkan ke lantai.Namun, Lingga berhasil menghentik
"Tyas?" Kening Reva mengerut, lantas mengingat senyum manis yang terlihat sempurna."Tyas Rosalina," ujar Reva kaku. Senyum itu memang khas, membuatnya tak terlalu lama mengingat."Iya, kamu masih ingat?" tanya gadis berambut sebahu di depannya, terlihat cantik menggunakan dress bermotif polkadot di atas lutut."Mana mungkin aku lupa dengan siswi populer di masanya." Reva terkekeh, meski tidak begitu dekat, beberapa kali Tyas pernah menegur saat berpapasan di sekolah. Apalagi keduanya sempat satu kelas."Boleh minta nomor ponselmu?" tutur Tyas secara mendadak."Dia tidak punya nomor untuk dibagikan denganmu." Tiba-tiba Lingga menarik Reva ke belakang punggung, menatap datar Tyas yang masih tersenyum ramah."Oh, sayang sekali," jawab Tyas kecewa, lalu kembali tersenyum. "Kalian dekat?" terlihat wajah Tyas begitu penasaran. Menggigit bibir, gadis tersebut melihat tangan Lingga yang menggenggam."Tidak," ujar Reva singkat, ia masih ingat bagaimana Tyas begitu memuja Lingga saat di sekolah
"Sebagai hukuman, jam pulang kerja silakan ke bagian gudang!" Sorot mata itu begitu tajam menghunus jantung, tak bisa dibantah meski Reva berusaha menjelaskan.Ratusan adonan yang sudah di profing, gagal karena ia memasukkan ragi yang sudah kadaluwarsa. Padahal, ia sudah mengecek tanggal sebelum mencampur bahan.Anehnya lagi, ragi yang ditemukan di meja kerjanya memang sudah kadaluwarsa.Beberapa pasang mata menatap tajam ke arahnya, bisik-bisik bernada sumbang terdengar. Namun, Reva tak begitu peduli."Dis, ini ragi aman kan?" Reva menyerahkan botol kecil dengan tutup berwarna kuning."Aman kok, cek aja," saran gadis dengan lesung di pipinya.Reva mengaktifkan ragi dengan air hangat yang dicampur sedikit gula, ia benar-benar tak enak hati pada Lingga. Sudah pasti kejadian tadi membuat kerugian pada usahanya."Duluan ya Rev," ucap Adisti saat jam pulang kerja mereka berakhir.Reva mengangguk sambil tersenyum, membersihkan peralatan yang telah digunakan.Suara detik jarum jam terdengar
Di sebuah kafe yang tak begitu jauh dari toko roti milik Lingga, lelaki tersebut mengeraskan rahang saat seorang gadis duduk di hadapan."Jangan mendekati masalah," ujarnya menahan amarah."Apakah salah, berteman dengan kawan lama?"Lingga berdecak dengan senyum sinis, menatap Tyas yang berpura-pura terlihat polos."Jangan salahkan aku jika nanti, kamu yang terbakar sendiri," ucap Lingga datar.Tyas nyaris saja tertawa kencang, tapi berusaha ia tahan."Terbakar sendiri? Semua ini karena kamu Lingga! Jika akhirnya aku terbakar maka kupastikan kamu menjadi abunya!" Melihat kedatangan Reva di kejauhan, suara Tyas terkesan berbisik."Apakah kalian sudah menunggu lama?" Tiba-tiba saja Reva duduk di antara Lingga dan Tyas. Melihat buku menu, gadis tersebut seolah tak menyadari ada kilat amarah yang terpancar dari sorot mata Lingga."Pesan apa saja yang kamu mau, aku yang traktir." Tyas tersenyum lembut, mengusap bahu Reva sedikit melirik ke arah Lingga. Seolah ia memperlihatkan kelebihannya
"Seperti apa?" tanya Lingga datar, ia masih sibuk mengunyah sarapan. Beberapa kali melihat ponsel yang ia letakkan di atas meja."Jangan mengirim uang keluargaku," ucap Reva tegas."Sebenarnya apa tujuanmu, mengambil ponselku." Reva terlihat kesal, ia tak ingin urusan keluarganya dicampuri."Aku hanya mencoba mendekatkan diri pada calon mertua," ucap Lingga tanpa beban. Namun, hal itu membuat Reva terbatuk. Ia mencoba menenangkan diri, setelah meneguk air putih di samping mangkuk.Apa yang Lingga bilang bukankah sangat keterlaluan? Bagaimana ia menyebut calon mertua, sementara hidup mereka bagai langit dan bumi."Hidupku sudah sulit Lingga," ucap Reva frustrasi. "Aku tidak ingin menambah masalah dengan menikah denganmu, cukup bertingkah konyol." Reva kehilangan napsu makan."Lantas apa tujuanku menjadikanmu kekasih?" Lingga malah membalikan pertanyaan yang seharusnya Reva tanyakan."Mengambil keuntungan dengan pengakuan status," tutur Reva menerka, ia juga tidak tahu mengapa pengakuan
Reva mencengkram lengan Lingga kuat, keraguan masih terukir di wajahanya saat Lingga mengarahkan langkah ke rumah mungil itu."Kenapa kamu tidak antusias?" Lingga bertanya, heran.Reva terdiam sejenak, tidak merasakan rindu pada bangunan masa kecilnya.Seorang gadis belia keluar dari rumah, tersenyum ceria. "Kakak, apa kabar?" Ia memeluk Reva hangat.Gadis itu mundur selangkah, melihat dengan rasa ingin tahu. "Pacar Kakak?" Matanya melirik sekilas ke arah Lingga.Lingga menatap sekeliling ruangan, bangunan tua dengan dominasi warna putih dan coklat terlihat terawat dengan baik.Dua cangkir teh hangat disajikan, masih terlihat mengepulkan uap panas. Aroma teh yang harum menguar memenuhi indra penciuman."Silakan diminum, Nak," kata lelaki tua itu dengan senyum hangat."Terima kasih," jawab Lingga, ia meraih cangkir perlahan. Matanya menatap lurus, seolah menelisik jiwa ayah Reva di depannya saat ini."Saya hendak melamar Reva." Lingga menyatakan maksudnya dengan tenang, tangannya melet
Reva yang sedang bersusah payah mencerna jawaban Lingga, lekas mendapat sentilan di dahi."Aku tidak mengerti," ucap Reva mengalihkan pandangan ke arah alas kaki."Apa yang bisa aku bantu?" Lingga berjalan di lorong apartemen lalu menekan sandi yang masih sama dengan kode ponsel Reva."Hutang Ayahku." Suara Reva tercekat. "Rumah kami disegel, jika dalam seminggu tidak melunasi hutang.""Disegel?" Lingga mengerutkan kening. Reva mengangguk lemah, ia merasa malu jika harus menceritakan lebih lanjut."Datanglah besok dan berhenti berpura-pura tidak tahu maksudku," ucap Lingga datar.Reva menunduk, menggigit bibir merasa harapannya akan sia-sia. Memberi hati pada Lingga, bukan sesuatu yang sulit, pria itu tampan, mapan dan terkadang baik. Hanya saja, perbedaan kasta mereka sulit ditembus terlebih Bu Reswari, tidak akan memudahkan hubungan mereka."Aku permisi, Lingga." Reva berbalik lantas berjalan meninggalkan Lingga.Pagi ini suasana begitu hangat, langit pun terlihat cerah biru. Tak ad
"Aldo, aku peringatkan padamu. Jangan dekati kekasihku."Reva menatap tajam ke arah Lingga. Betapa pintarnya lelaki tersebut berkata-kata. Seolah begitu memujanya, tapi sedetik kemudian menyia-nyiakan.Tanpa sepatah kata mutiara yang ditujukan pada Reva, Lingga mengalihkan pandangan ke arahnya."Turun!" Suara Lingga naik beberapa oktaf. Hingga Reva mulai terhipnotis untuk mengikuti, wajah Lingga memang biasa seram, tapi kali ini rasanya lebih seram beberapa kali lipat.Reva tak menjawab, langkahnya perlahan mendekat hingga sesuatu seperti menahan langkah. Aldo menahan pergelangan tangannya, Lingga bersedekap mengeraskan rahang seolah sedang menahan rasa ingin memukul Aldo."Aku masih berusaha sabar," ujar Lingga yang diiringi dengan tarikan kuat pada lengan Reva.Kini posisi Reva berada di antara Lingga dan Aldo, tatapan tajam yang saling menghunus melewati Reva."Hentikan!" Reva mengentakkan tangannya, entah mimpi apa ia jadi diperebutkan seperti ini."Aldo, aku minta maaf," ucap Rev
Reva mengusap-usap buku yang sudah usang, ingatannya tertarik ke puluhan tahun yang lalu. Saat ia masih duduk dibangku sekolah dasar, buku resep yang menjadi bonus majalah langganan tetangganya selalu dibersihkan saat hendak mendekati lebaran. Ia menjadi salah satu pesuruh yang diberi upah.Namun, sesuatu terjatuh saat ia mengusap-usap debu yang menempel di antara lembarannya.Sebuah foto usang yang memperlihatkah wajah anak lelaki dengan seorang gadis kecil di sebelahnya.Tiba-tiba saja, jantungnya berdetak tak karuan, ia mengingat lelaki seusianya duduk di akar pohon besar di antara jajaran pohon, memegang sebuah buku di tangan. Lelaki tersebut sempat bertemu pandang dengannya saat ia hendak masuk ke rumah sang Nenek."Mengapa, ada foto anak lelaki itu?" Terlihat tampan meski tak menampilkan senyuman. Reva kembali memasukkan foto yang ditemukan secara asal.Ia lekas keluar sebelum ada yang iseng, mengunci pintunya dari luar.***Sebuah buku diletakkan di atas meja dengan asal, Reva
"Aku bisa jelaskan Kak," ucap gadis cantik dengan jaket kebesaran di tubuhnya. Sudah bisa dipastikan jaket itu milik lelaki yang duduk di sampingnya."Apa peringatan Kakak tidak berguna?" Lingga bersedekap menatap dengan mata datarnya."Lelaki brengsek! Berapa kali aku peringatkan padamu jangan dekati Lia lagi!" Lingga sudah maju selangkah mendekati lelaki yang semula berada di samping Lia. Hendak mencengkeram kerahnya, Lingga nyaris saja memukul jika Lia tidak berdiri merentangkan tangan di depan Regra.Di kejauhan, Reva mengeratkan genggamannya pada ubi hangat yang masih ia pegang. Gadis tersebut mengatupkan mulut dengan rapat, secara tiba-tiba rasa ingin mengunyah makanan menguap begitu saja. Berbalik ia berlari meninggalkan tempat tersebut.Di matanya, Lingga seperti sedang merebutkan seorang gadis, jika Reva tak salah ingat, ia pernah melihat di toko roti Lingga. Ingatannya berputar pada tragedi kopi, apa gadis yang dilihatnya orang yang dijodohkan dengan Lingga?"Tragedi gadis k
Reva terpukau melihat aneka jajanan di pinggir jalan, ia bahkan tak sungkan menarik tangan Lingga menuju salah satu gerobak yang menjual takoyaki.Makanan asal jepang yang sering ia tonton di televisi, kini terlihat di depan mata."Saya pesan dua porsi," ucap Reva antusias. Sementara Lingga hanya tertegun mendapati tangannya masih berada di genggaman Reva.Aroma harum gurih dari bola-bola berisi potongan gurita menyeruak. Membuat Reva ingin segera menimangnya, kalau boleh jujur, ini kali pertama Reva akan menyantap makanan berbentuk bulat dengan ukuran sekitar lima centimeter.Cup mika di dalam plastik putih Lingga tenteng di tangan kanan, lelaki itu masih sibuk menatap senyuman Reva yang tidak pernah pudar setiap melihat jajaran makanan."Kamu suka?" tanya Lingga setelah keduanya memutuskan duduk di bangku taman berbahan besi.Reva mengangguk, hanya saja senyumnya memudar setelah kebisingan lalu lalang jalan memudar."Dulu, teman kecilku pernah bilang di keramaian, kalau aku suka dat
Reva terbatuk-batuk, entah kenapa tenggorokannya terasa kering."Mau mampir dulu?" tanya Lingga saat keduanya berada di tengah keramaian jalan."Tidak, ini sudah terlalu malam." Reva segera mengelak. Ia melirik ke arah ponsel di genggaman tangan, tertera angka sebelas malam, tentu saja ia tidak enak hati dengan tetangga sekitar.Secepat kilat, Reva segera membuka pintu mobil saat rodanya mulai berhenti, ia tergesa keluar. Lingga ikut menyusul, tapi Reva lekas mencegah."Pulanglah, aku tidak mau jadi gosip tetangga." Reva menghela napas, dengan pulang malam seperti ini, ia sudah pasti di cap gadis tidak benar."Baru pulang?" Adisti memicingkan mata, sambil melirik ke arah jam dinding, matanya mengerjap-ngerjap khas orang yang sudah tertidur.Lebih dari satu jam, Reva harus mengetuk pintu sekaligus menghubungi nomor Adisti. Ya, saat ini Adisti menginap di kontrakan Reva.Mengetahui Reva sudah masuk ke dalam kontrakannya, Lingga lekas melajukan mobil menjauh.Di perjalanan pulang, Lingga
Lampu-lampu kota, tampak berkilau jika di lihat dari tempat ini. Seperti bintang-bintang yang berkelip di atas langit. Terlihat setitik kecil cahaya, tapi begitu menakjubkan.Lingga menepikan mobil di jalan datar, setelah melewati jalanan menanjak, bisa dipastikan saat ini mereka berada di dataran yang lebih tinggi dari tempat tinggal keduanya."Di sini, kamu masih bisa melihat pepohonan yang rindang. Seperti hutan." Lingga memecah hening. Sementara Reva, mengamati keindahannya dari kejauhan. Dulu, Reva sering melihat pemandangan ini, saat pulang dari rumah mendiang Neneknya di perkampungan terpencil."Aku tidak tahu, kamu mengenal jalanan ini." Reva tersenyum tipis. Kalau dipikir-pikir, Lingga tidak sejahat yang ia kira."Dulu, saat Nenekku masih hidup, aku sering kemari." Lingga menghela napas."Oh, ya?" Reva mulai tertarik dengan percakapan mereka kali ini. Apakah nenek mereka satu kampung? Namun, pertanyaan itu hanya ia simpan di kepala."Kami tidak terlahir dengan hidup berkecukup
"Dasar anak sialan! Percuma saja kamu aku besarkan, nyatanya hanya jadi beban! Mati saja kamu!"Seorang anak kecil berdiri dipojok pintu, menatap sang Kakak yang terus mendapat pukulan. Rasa takutnya kian memuncak, kala ujaran kebencian terus diutarakan."Ampun, Ayah sakit!" Suara lemah terdengar pilu, meringis pertanda tubuhnya tidak bisa menoleransi rasa sakit di tubuh kecilnya.Seperti tidak mendengar, sang Ayah terus memukul bertubi-tubi. Rambutnya di tarik ke atas, hingga kaki bocah berusia delapan tahun tersebut tak menapak lantai.Tangisan seperti tak lagi berguna, hanya menahan sesak yang kian memuncak."Kakak baik-baik saja?" Suara gadis kecil terdengar gemetar, ketakutan dan kecemasan kian kentara. Mata polosnya tak dapat menyembunyikan beban yang tidak harus dipikul bocah seusianya."Tidak apa-apa," tutur sang Kakak lembut. Dia berucap dengan tegar, meski ada kebencian di dalam sorot matanya.Reva tiba-tiba teringat masa lalunya yang begitu kelam. Hingga suara Adisti menar