Untungnya, aku sampai di kantor tepat waktu. Namun, pikiranku masih penuh dengan mimpi aneh semalam.
Aku duduk di meja kerja, menyalakan komputer, lalu menatap layar tanpa benar-benar bekerja.
Suara Mama Siska di mimpiku benar-benar terus terdengar di telingaku. Tatapan wajahnya dan juga semua yang dia lakukan di mimpi itu terasa sangat nyata.
Aku benar-benar bingung, kenapa aku bisa mendapat mimpi seperti itu padahal aku tidak pernah berpikir macam-macam pada mertuaku. Apa ini efek dari hasratku yang tidak bisa tersalurkan karena istriku jauh?
Aku menghela napas dalam-dalam, lalu mencoba untuk kembali pada pekerjaanku.
Sebagai seorang desainer grafis, jelas pekerjaanku banyak berurusan dengan aplikasi edit gambar. Kebetulan, kantorku ini salah satu studio desain yang cukup terkenal, banyak mengambil job membuat banyak desain untuk keperluan iklan produk-produk terkenal.
Aku membuka salah satu desain yang sedang aku kerjakan. Karena masih bingung dengan elemen yang sesuai, tanpa sadar aku larut dalam lamunan memikirkan konsep desain itu.
“Raka,” panggil seseorang pelan sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku bisa melihatnya karena kebetulan arah pandangku tidak jauh dari meja kerjanya.
Dia adalah Liana, teman kerjaku. Aku memfokuskan pandanganku ke arahnya, dia sedang tersenyum lebar ke arahku, tangannya masih melambai. Aku langsung membalas senyumannya dengan singkat, lalu kembali fokus pada pekerjaanku.
Namun, tidak disangka, Liana justru datang ke mejaku sambil membawa laptopnya.
“Raka, tolong aku dong. Aku gak ngerti caranya,” kata Liana sambil menunjukkan pekerjaannya kepadaku. Dia menarik satu kursi kosong yang ada di dekat mejaku dan duduk di sebelahku.
Aku melihat desain yang diberikan oleh Liana. Dia menjelaskan apa yang ingin dia buat, dan aku langsung mengerti apa yang dia maksud.
Liana memang pegawai baru, dibandingkan denganku, pengalamannya di dunia desain ini memang berbeda jauh.
“Oh, itu kayak gini, Li.”
Aku langsung menjelaskan apa yang harus Liana lakukan. Aku menunjukkan dengan teliti langkah-langkah yang harus dia lakukan agar nanti dia bisa melakukannya sendiri. Sambil menjelaskan, aku juga sesekali menatap Liana, memastikan apakah dia memahami penjelasanku.
Namun, saat aku selesai menjelaskan, sepertinya perempuan itu justru melamun sambil menatapku dengan senyuman aneh.
“Li, kamu paham gak sama penjelasanku?” Aku menggoyangkan tangannya pelan.
“Eh? A-aku masih belum ngerti di bagian ini,” jawab Liana sambil menunjuk salah satu ikon di layar laptopnya.
“Oh itu …”
Aku kembali menjelaskan dengan perlahan agar Liana mengerti.
Saat aku menyadari Liana kembali melempar tatapan aneh itu, aku sengaja menghentikan penjelasanku untuk melihat apakah sebenarnya perempuan itu mendengarkan aku atau tidak. Dan ternyata, dia memang melamun.
Aku terkikik pelan, lalu menepuk pelan pundaknya. “Heh, kok kamu malah ngelamun?”
Liana tersadar, lalu wajahnya tampak sedikit memerah. “Hah? Nggak kok.”
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum. “Udah sana balik kerja lagi. Udah paham juga, kan?”
Liana menggaruk kepala belakangnya sambil tersenyum kecil. Tatapannya kepadaku, entah kenapa rasanya sedikit aneh.
“Nanti aku sama yang lain mau nongkrong, kamu mau ikut gak?” kata Liana tiba-tiba sambil menatapku penuh harapan.
Liana semakin mendekatkan tubuhnya denganku membuatku bisa sedikit mencium aroma parfumnya yang manis. Selain itu, entah kenapa rasanya Liana seperti sengaja mendekatkan tubuhnya kepadaku dan membuat dadanya sedikit menempel di lenganku.
“E–eh, aku gak bisa, Li.” Sekali lagi aku sedikit mundur dan menarik tanganku agar menjauh dari tubuhnya. “Kasian mertuaku di rumah sendirian, soalnya adik iparku lagi di rumah temannya.”
“Yah, sebentar aja gak bisa gitu? Kapan lagi kita bisa nongkrong gini, kan?” Liana tampak sedikit muram.
“Gak bisa, Li. Kasian mertuaku sendirian nanti.”
“Ya udah, kalau gitu nanti kamu mau gak makan siang bareng sama aku?” Liana terus menatapku dengan tatapan yang sepertinya terlihat agak menggoda. “Sama yang lain juga, kok.”
Aku menghela napas pasrah. “Oke, nanti makan siang bareng aja.”
Namun, sebelum Liana kembali bersuara, suara langkah sepatu hak tinggi terdengar mendekat.
"Liana, Raka, pekerjaan kalian sudah selesai?" ucap orang itu yang langsung membuat Liana menarik kembali tubuhnya agar menjauh dariku.
"Be-belum, Bu," jawab Liana gelagapan. Dia langsung duduk dengan tegak, memasang ekspresi lebih serius.
Bos kami, Alicia, berdiri di depan meja dengan ekspresi datarnya yang khas.
Alicia adalah tipe wanita karismatik, bossy, dan dingin. Rambutnya pendek sebahu, selalu rapi. Penampilannya selalu elegan dengan setelan blazer yang pas di tubuhnya, membuat tiap lekuk tubuhnya terlihat dengan jelas sehingga menambah kesan mempesona.
Alicia menatap Liana dengan mata tajam, lalu melirikku sekilas. "Aku nggak masalah kalian ngobrol, tapi kalau pagi begini, aku harap kerjaan tetap jadi prioritas, ya."
Liana buru-buru mengangguk. "Iya, Bu. Siap. Tadi juga kami lagi bahas desain, kok."
Alicia sekali lagi melirikku sekilas. Tatapan itu… meskipun tidak ada senyuman di sana, tapi rasanya seperti ada sesuatu yang berbeda.
“Raka, ke ruanganku sebentar. Ada yang mau aku bahas denganmu,” kata Alicia sebelum akhirnya berbalik dan pergi tanpa menunggu jawabanku.
Namun, aku tetap mengangguk dan mengiyakan ucapannya meskipun dia telah pergi.
Aku menghela napas begitu Alicia pergi. Liana menoleh padaku, lalu berbisik, "Bos kayaknya tertarik sama kamu, deh."
Aku menatapnya tajam. "Hah? Jangan ngawur, Li."
“Lihat aja tatapannya selalu beda kalau ke kamu. Emangnya kamu gak nyadar?” Liana terkikik, lalu bangkit untuk kembali ke mejanya.
"Gak usah sembarangan bicara, Li!"
Aku mengusap wajahku pelan, setelah itu aku berdiri untuk pergi ke ruangan Alicia.
Setelah aku mengetuk pintu ruangan dan mendapat jawaban, aku langsung masuk. Namun, begitu aku masuk, aku langsung melihat bosku itu sedang membungkuk untuk mengambil sesuatu di bawah kursinya. Posisi itu membuatku bisa melihat jelas belahan dadanya karena kerah kemejanya yang sedikit turun.
Aku menelan ludahku dengan susah payah.
“B–bu, Alicia,” panggilku pelan.
Alicia langsung menatapku, tapi posisinya masih belum berubah. Setelah beberapa saat, baru dia bangkit dan duduk lagi di kursinya dengan santai.“Oh, ini Raka, aku mau kasih konsep iklan untuk produk minuman yang kemarin,” katanya dengan santai, lalu menyerahkan satu map dokumen.“Minggu depan desainnya harus selesai, dan kamu ikut aku untuk meeting dengan pihak mereka, ya. Aku kamu kamu jelaskan ke mereka soal desain kita,” lanjutnya lagi.“Baik, Bu,” jawabku, lalu meraih dokumen itu.Aku membuka tiap lembar dokumen dan mempelajarinya sekilas.“Raka, kamu tahu proyek ini cukup besar, kan? Jadi, aku sangat mengandalkanmu sebagai desainer grafis senior di sini,” kata Alicia sambil menatapku dengan dalam.Saat aku menatapnya balik, aku justru menemukan sesuatu yang janggal. Alicia tampak sedang sedikit menggigit bibir bawahnya, seperti sedang sengaja memainkannya. Lalu, entah kenapa tatapan Alicia kepadaku terasa semakin aneh. Matanya seperti menyiratkan sesuatu. Bahkan, aku tidak tahu
Jantungku berdegup keras."Temani bagaimana, Ma?" tanyaku, berusaha terdengar netral.Dia menatapku, lalu tersenyum tipis. "Temani Mama tidur di kamar. Hanya sebentar sampai Mama tidur. Mama masih takut."Aku menelan ludah. Sejujurnya, mimpi semalam masih membuatku merasa canggung untuk berhadapan dengan Mama Siska. Namun, sekarang kondisinya berbeda. Aku juga sedikit khawatir kalau Mama Siska sampai tidak bisa tidur karena ketakutan.Namun, rasanya ini tidak benar. Bagaimana bisa aku menemani ibu mertuaku untuk tidur di kamarnya?“Tapi, Ma …”Mama Siska mengeratkan genggamannya, matanya menatapku dengan lembut. "Mama takut, Raka.""Tapi......" Aku ragu."Di rumah ini hanya ada kita berdua, Nayla masih menginap di rumah temannya. Kalau saja dia ada, Mama akan meminta Nayla untuk menemani." Mama Siska menatapku dengan mata sedikit berair. Sepertinya, dia benar-benar sangat ketakutan.Aku menghela napas pasrah. Sepertinya, pikiranku memang terlalu liar sampai-sampai hampir tega mengabai
Mama Siska menatapku, ekspresinya sulit diartikan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang jelas tidak seharusnya ada.Namun, saat aku hendak menciumnya lagi, tiba-tiba bayangan wajah Tiara muncul di kepalaku. Aku langsung menegakkan punggungku, menarik tanganku perlahan, lalu berbalik memunggungi Mama Siska lagi. "Ma, ini nggak benar."Ia terdiam, lalu menunduk. Aku bisa melihat jemarinya mengepal di atas selimut. Ada rasa kecewa di sana, tapi juga kesadaran.Aku menghela napas, lalu bangkit dari ranjang. Mata Mama Siska masih tertuju padaku, tapi kali ini berbeda—tidak lagi ada keinginan yang terselubung, hanya ada kelelahan dan sedikit rasa malu."Maaf, Raka…" katanya, suaranya nyaris berbisik.Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Istirahatlah, Ma. Kalau ada apa-apa, panggil saja aku."Tanpa menunggu jawaban, aku melangkah keluar kamar dan menutup pintu pelan-pelan.Aku tidak ingin mengkhianati Tiara, aku berusaha tetap setia dan sabar menunggunya.Di kamarku sendiri, aku duduk d
Aku pura-pura tidak mendengar ucapannya dan langsung membantunya berdiri."Ayo saya antar.” Akhirnya aku menggandeng tubuhnya yang lemas, kita berjalan menuju pintu keluar.Namun, ada satu masalah.Aku tidak tahu di mana rumah Alicia.“Bu, di mana alamat rumahmu?” Aku berusaha bertanya padanya.Namun, seperti dugaanku, percuma bertanya kepadanya karena kondisinya yang sudah terlalu mabuk untuk memberi tahu alamat rumahnya. Aku akhirnya memutuskan untuk menyewa satu kamar agar Alicia bisa beristirahat.Sesampainya di kamar, aku menuntun Alicia untuk berbaring di ranjang. Ia menatapku dengan mata setengah sadar. "Raka..." panggilnya dengan suara serak, ia menahan lenganku hingga membuatku tetap menunduk di atasnya"Ada apa, Bu?" tanyaku dengan berusaha tetap biasa saja.Alicia tersenyum miring dan dengan gerakan pelan, satu tangannya mulai membuka kancing blazernya satu persatu. "Apa kamu benar-benar tidak tertarik padaku?" tanyanya, suaranya menggoda. Satu tangannya yang lain mulai
“Mpphh,” lenguh Mama Siska ketika aku langsung menciumnya. Mendapat ciuman dadakan dariku, Mama Siska masih tampak sedikit bingung, ia meremas ujung bajuku dengan erat. Tanganku mulai bergerak semakin liar, bukan hanya menyentuh pahanya, tapi juga menuju ujung pahanya hingga hampir mengenai bagian intinya. Jika sebelumnya aku menolak, kini aku akan melakukan sebaliknya. Aku membuka mataku, dan melepas ciumanku. Aku melirik Mama Siska yang menatapku dengan tatapan terkejut. Ia menggigit bibir bawahnya, aku tahu ia ingin melakukannya, tetapi ada sorot kebingungan di matanya. Namun, aku tidak peduli, aku sudah tidak tahan lagi. Seketika, aku kembali mencium bibirnya. Kali ini bukan ciuman biasa, tetapi ciuman yang begitu bernafsu. Selama ini aku memang tertarik pada ibu mertuaku ini, tetapi aku masih menahannya karena memikirkan statusku sebagai suami Tiara. Mama Siska kembali terkejut melihat aksiku yang sangat agresif. “Nghhh.” Lagi-lagi Mama Siska mendesah lepas saat aku
Setelah selesai mandi dan bersiap-siap untuk bekerja, aku segera bergegas pergi. Namun, seperti biasa, Mama Siska sudah menungguku di meja makan. Dia menatapku dengan sorot mata lembut, tetapi penuh ketegasan, lalu mendorong piring berisi sarapan ke arahku.Jika mengingat peristiwa semalam, rasanya aku tidak percaya itu semua bisa terjadi. Tapi dari awal, aku memang tertarik padanya. Walaupun sudah kepala empat, tapi dia masih terlihat awet muda. Dia masih tetap cantik, tubuhnya ramping dan seksi.Setelah tahu Tiara ternyata mengkhianatiku, kini aku tidak akan lagi menjadi seorang suami yang setia."Makan dulu, Raka. Setidaknya isi perutmu sebelum berangkat," katanya.Aku hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. "Aku buru-buru, Ma. Kopi saja sudah cukup."Mama Siska menghela napas, tapi tidak memaksaku. Aku meneguk kopiku dengan cepat, lalu beranjak pergi. Namun sebelum aku benar-benar keluar rumah, dia sempat berkata, "Jaga dirimu baik-baik."Lalu, Mama Siska mengusap lenganku dengan
Aku menyerahkan helm kepada Liana sebelum menyalakan motor. Dia menerimanya tanpa banyak bicara, lalu mengenakannya dengan sedikit canggung. Dari dekat, wajahnya memang terlihat lebih pucat dari biasanya. Saat aku menaiki motor dan menstabilkan posisi, Liana ragu-ragu sebelum akhirnya naik ke jok belakang. Aku bisa merasakan tubuhnya menempel di punggungku, meskipun dia tidak memelukku“Kamu yakin gak mau ke dokter dulu?” tanyaku memastikan lagi.Liana menggeleng pelan. “Gak perlu. Aku cuma capek aja, tadi siang aku lupa makan.”Aku menghela napas, lalu mulai melajukan motor keluar dari area parkir kantor.Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aku hanya fokus mengemudi, sementara Liana masih diam di belakangku. Tapi kemudian, aku mendengar suaranya yang kecil, nyaris tersapu angin.“Tumben kamu mau antar aku pulang, Raka? Dulu kamu kan gak pernah mau bawa cewek lain di motormu.”Aku menoleh sebentar sebelum kembali menatap jalan. “Kan kamu lagi sakit, Li.”Liana terkekeh pelan. “W
Liana langsung menarik tubuhku dan mencium bibirku. Di sela ciuman itu, dia menuntunku untuk berjalan perlahan, hingga akhirnya kami masuk ke kamarnya. Sentuhan bibirnya begitu hangat, lidahnya ia mainkan membuatku semakin bergairah."Ngghh Raka ssshh..." Dia mendesah saat aku memberikan kecupan di lehernya.Kami kembali saling berciuman, kemudian ia mendorongku ke atas kasur. Ia mengambil tasnya yang tergantung di dekat pintu dan mencari sesuatu. Aku terkejut ketika melihat Liana memberiku pengaman."Kok kamu bisa punya ini?" tanyaku penasaran.Liana sedikit menggigit bibir bawahnya, lalu tersenyum aneh. “Itu …”Aku mengerutkan dahi, terus menatapnya. Sejauh yang aku tahu, meskipun Liana mudah bergaul, dia tidak pernah sampai ke arah seperti ini.Kemudian, bayangan Sarah yang tersenyum aneh ketika aku memutuskan untuk mengantar Liana kembali muncul di kepalaku.Ah, sepertinya aku paham sekarang.Aku menatap Liana lalu tersenyum sambil mengangkat satu alis. Liana yang langsung menangk
Acara peresmian bisnis Bu Alicia berjalan lancar, penuh kemewahan dan keceriaan. Bu Alicia menyuruhku terus mendampinginya, seperti pengawal setia. Salah satu klien, pria tua berkacamata tebal, tiba-tiba bertanya, “Bu Alicia, ini siapa? Apa ini pacarnya?” Matanya tertuju kepadaku, penuh rasa ingin tahu.Alicia menatapku, senyumnya menggoda. “Oh, ini temanku,” katanya, nadanya lembut, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang membuat jantungku berdebar.Tapi saat mengatakan 'teman' itu dia menatapku dengan tatapan menggoda. Tentu saja mereka pasti tidak percaya, “Oh teman, ya? Tapi sangat cocok Bu, Bapak ini pasti seorang pebisnis juga seperti Ibu,” godanya, dan tamu lain di dekat kami ikut tersenyum.Aku hanya tersenyum kaku, tidak tahu harus berkata apa. Mereka seolah berpikir aku kekasih Bu Alicia, ada yang berbisik, mengira aku pengusaha dari Paris, karena Bu Alicia punya bisnis di sana. Bu Alicia hanya tertawa, tidak membenarkan atau menolak, membiarkan mereka berimajinasi.Acara di
Entah kenapa, setiap Liana dekat denganku, aku melihat ada tatapan aneh dari Reza ketika aku dan Liana berduaan. Sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, Bu Alicia baru datang dan memanggilku.“Raka, ke ruanganku,” katanya, nadanya datar tetapi tegas.Aku segera bangkit, mengikutinya dari belakang, merasa jantungku mulai berdebar.Di ruangannya, dia duduk di kursi besar, menyuruhku untuk duduk. Tiba-tiba dia menyerahkan tas jinjing hitam yang tampak mewah.“Ini apa, Bu?” tanyaku, bingung.Dia hanya tersenyum tipis, “Buka saja!”Aku membukanya secara perlahan, dan isinya membuatku terbelalak—tuxedo hitam mengkilap, sepatu kulit, dan jam tangan dengan logo yang langsung membuatku tahu ini barang mahal. Bukan merek sembarangan, mungkin menabung setahun pun aku tidak akan mampu membelinya.“Ini… punya siapa, Bu?” tanyaku, masih tidak percaya.Dia menatapku, “Punya kamu, Raka. Masa kamu memakai baju biasa ke acara nanti? Pakai ini,” katanya, nadanya santai tetapi ada tekanan.“Bu, ini terla
Pagi tiba, aku membuka mata, dan Tiara masih tidur pulas di sampingku—sangat tidak biasa, biasanya dia sudah bangun lebih dulu. Aku bangkit pelan, duduk di tempat tidur, meregangkan otot yang kaku. Akhir-akhir ini pekerjaan menumpuk, olahraga hampir tidak pernah. Mumpung masih ada waktu, aku memutuskan berolahraga ringan di kamar—push-up, sit-up, sampai tubuhku mulai berkeringat. Badan terasa segar, napas lebih ringan. Tiba-tiba Tiara muncul dari belakang, memeluk pinggangku erat, membuatku terkejut. “Mas, olahraga pagi, ya?” katanya, suaranya manja, kepalanya bersandar di punggungku. Aku mencoba melepaskan pelukannya, “Ti, aku bau keringat,” kataku, berusaha santai. Tetapi dia malah tertawa kecil, “Tidak apa-apa, Mas. Aroma keringatmu justru harum. Kamu lupa, ya, dulu aku suka begini?” nadanya genit, tangannya semakin erat. Aku merasa geli—bukan geli senang, tetapi jijik. Dulu kami memang sering olahraga bersama, jogging pagi, gym, dan dia suka mencium aroma tubuhku setelah lati
“Pengaman yang waktu itu, masih ada loh,” kata Liana dengan suara yang sangat menggoda. Dia melepas pelukannya dan menatapku dari bawah dengan tatapan yang sangat sensual.Sebenarnya aku tahu, saat Liana memintaku untuk mampir, itu bukan hanya sekadar mampir."Liana, kamu ...."Namun, Liana langsung membungkamku dengan ciumannya, meskipun dia harus berjinjit.Aku sedikit terkejut saat Liana melakukan itu. Namun, entah kenapa rasanya aku sama sekali tidak keberatan.Perlahan aku membalas ciuman Liana. Aku sedikit menunduk dan memegang pinggang ramping Liana. Aku bisa merasakan senyum kemenangan dari Liana di sela ciuman kami.Kemudian, Liana melepas ciuman itu, kembali menatapku dengan mata sayunya. “Main di sofa kayaknya gak kalah panas dengan main di kasur.”Sejenak aku benar-benar terpaku dengan ucapan Liana. Aku sama sekali masih tidak menyangka bahwa Liana yang tampak seperti perempuan biasa justru memiliki sisi lain yang begitu ‘liar’.“Pintu depan sudah kamu kunci?” tanyaku deng
“Ma, Mama sudah sembuh, ya? Mama terlihat segar dan ceria lagi!” kata Tiara yang menyadari perbedaan Mama Siska.Pagi itu, saat kami semua sedang sarapan, Mama Siska memang tampak sangat berbeda dari hari kemarin. Wajahnya terlihat lebih segar, bahkan seperti bunga yang baru mekar.Mama Siska tertawa kecil, pipinya merona tipis.Nayla yang sejak tadi fokus makan, tiba-tiba ikut berkomentar.“Iya, semalam Mama terlihat lemas begitu,” katanya, menoleh ke Mama Siska dengan mata penasaran.Mama Siska menoleh kepadaku sekilas—sangat cepat, hampir tidak terlihat.“Oh, iya, semalam Mama agak kecapekan. Tapi sudah sembuh, berkat kapsul dari Raka,” katanya, senyumnya nakal, seperti sengaja menggoda. Aku kaget, tersedak, hampir menyemprotkan teh ke meja. Tiara buru-buru memberikan aku segelas air.“Mas, kenapa? Kamu gak apa-apa?” tanyanya, khawatir.“Gak apa-apa, cuma tersedak,” jawabku buru-buru, mencoba menutupi kepanikan. Nayla kembali menimpali dengan polos, “Oh, obat kapsul itu, ya? Iya
“Mas, sekarang kamu rajin sekali?” kata Tiara, setengah bercanda saat melihat aku membereskan piring kotor setelah kami makan malam.Aku hanya tersenyum tipis, tidak menjawab. Namun, tiba-tiba dia ikut membantu, padahal sebelumnya tidak pernah.Nayla juga ikut, membereskan meja, dan kami bekerja bersama seperti tim dadakan.“Kak, Abang, aku ke kamar dulu ya, mau tidur,” kata Nayla setelah selesai membersihkan meja.“Iya, Nay, selamat istirahat,” jawabku sambil tersenyum ke arahnya. Sementara Tiara hanya mengangguk dan tersenyum.Kemudian, aku melanjutkan kegiatanku. Saat aku sedang membilas gelas, Tiara tiba-tiba, memeluk pinggangku dari belakang. Aku kaget, hampir menjatuhkan gelas.“Mas, kamu kangen momen kayak gini gak? Dulu kamu selalu lakuin ini ke aku,” katanya, suaranya genit, mencoba bercanda.Namun, aku mencoba melepaskan pelukannya.“Ti, aku lagi cuci piring ini,” kataku, nadaku datar. Namun, dia malah memeluk lebih erat, tertawa kecil, seolah tidak peduli.Saat aku mencoba
Sore itu, setelah selesai bekerja, aku langsung pergi ke parkiran untuk meninggalkan kantor. Sebelum selesai bekerja, Mama Siska sempat mengirim pesan kepadaku, meminta tolong membeli sate untuk makan malam di rumah. Katanya, dia ingin makan sate.Namun, saat aku ingin melajukan motorku, tiba-tiba Liana datang.“Raka, boleh gak aku nebeng kamu? Hari ini aku capek banget, kalau harus nunggu ojek datang aku gak sanggup deh, biasanya suka lama soalnya,” kata Liana langsung.Aku bisa melihat wajah lelahnya. Jujur aku ingin mengantarnya, tapi aku juga harus pulang lebih cepat karena pasti Mama Siska menungguku membawakan pesanannya.“Aduh, Li, maaf banget, bukannya aku gak mau, tapi aku udah ada janji lain,” tolakku dengan halus, berusaha tidak membuatnya merasa tersinggung.“Yah, sebentar saja apa gak bisa, Raka?” tanya Liana. Wajahnya benar-benar terlihat lelah.“Gak bisa, Li. Aku harus buru-buru juga soalnya.”Namun, tak lama kemudian, Reza tiba-tiba datang.“Kamu mau pulang, Li? Aku an
Tak lama setelah aku duduk di meja, Liana masuk kantor dengan langkah cepat, hampir berlari kecil. Bukan Liana namanya kalau tidak heboh, dia menyapa semua orang dengan suara riang, membuat suasana kantor yang tadinya sepi menjadi ramai.Namun, saat aku tidak lagi memperhatikannya dan fokus pada layar monitorku, tiba-tiba Liana datang sambil membawa segelas coklat panas.“Raka, ini pasti dari kamu, kan? Makasih ya, Raka,” katanya dengan senyum riang di wajahnya sambil menunjukkan segelas coklat panas itu.Aku mengernyitkan dahi, tidak paham dengan apa yang dikatakan Liana. “Li, itu bukan dari aku.”Namun, Liana seolah tidak peduli dan menganggap ucapanku hanya bercanda. “Ah, gak usah malu gitu, Raka. Aku tahu kamu memang bukan tipe yang perhatian secara blak-blakan.”“Tapi, Li, itu memang bukan dari aku,” kataku lagi, berusaha meyakinkan Liana.“Kenapa, Raka?” sahut Sarah yang tiba-tiba muncul setelah melihatku berbicara dengan Liana.“Sarah, kamu tadi datang sebelum aku datang, kan?
Malam sudah larut, tetapi Tiara masih belum pulang. Bukannya aku peduli ataupun khawatir, tapi aku tidak habis pikir dengan sikapnya.Demi untuk kesenangan pribadi, dia sampai berbohong entah itu padaku, Mama Siska dan Nayla. Dia benar-benar keterlaluan, sudah saatnya kebohongannya aku bongkar.Sampai kemudian rasa kantuk datang, akupun tertidur pulas.Tengah malam, aku mendengar pintu kamar dibuka pelan, aku yakin pasti Tiara. Aku berpura-pura tidur, tidak mau membuka mata. Dia duduk di ranjang, di belakang punggungku. Aku mendengar getar ponselnya, pasti sedang chatingan dengan Alex. Aku menahan napas, menahan amarah, dan tetap diam sampai aku benar-benar tertidur lagi.Hingga pagi hari tiba, sandiwara kembali dimulai. Aku membuka mata, Tiara sudah di sampingku, merangkulku erat, lalu mencium keningku.“Mas, maaf, ya, semalam ada meeting sampai larut. Makanya tidak bisa makan malam bersama,” katanya, suaranya sangat manis, seperti istri penyayang.Aku hanya tersenyum kaku, menganggu