Ia berdiri di ruang tamu, tatapannya terlihat sangat khawatir. Sepertinya Mama Siska menungguku sejak tadi, dan entah mengapa aku malah merasa bersalah padanya.Aku terdiam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal. Tentu saja aku tidak bisa mengatakan kalau aku dari rumah Liana, jadi aku memilih jawaban yang aman.“Tadi masih banyak kerjaan di kantor, Ma.” Aku berusaha terdengar santai, meskipun sebenarnya entah kenapa ada ketegangan dalam hatiku.Mama Siska memperhatikanku dengan saksama, lalu mendekat. Matanya menyipit, seolah sedang menilai sesuatu yang tidak terlihat.Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan melewatinya. “Aku ke kamar dulu ya, Ma.”“Kenapa wangi tubuhmu aneh?” tanyanya tiba-tiba.Aku langsung tersentak dan seketika menghentikan langkahku. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku baru sadar, sepertinya aroma parfum yang dipakai Liana tadi masih menempel di bajuku. Aku berusaha tetap tenang, meskipun dalam hati aku sudah panik setengah mati.“Eh… Aku tadi mandi
Aku melihat sekeliling memastikan pria itu tidak mendekati Nayla lagi. Namun, aku justru melihat Nayla menatapku tanpa berkedip sambil tersenyum. "Nayla... Nayla... " Aku memanggilnya beberapa kali tapi dia tidak menjawab. Sepertinya ia sedang bengong, aku melihat ke kiri kanan dan kebelakang tapi tidak ada siapa-siapa hanya ada aku saja. Rupanya ia melihatku dari tadi. Dasar bocah, aku tertawa sambil menepuk pundaknya. "Nay, Nayla... " Ia pun tersadar, ia terlihat terkejut dan malu. "I-iya Bang." Jawabnya gelagapan. "Ko malah bengong? Kenapa? Terpesona ya lihat Abang?" Tanyaku menggodanya. Mukanya langsung memerah. "Ihh e-enggak." Tapi, muka merahnya tidak bisa berbohong, aku mencubit hidungnya yang mancung. "Yaudah kamu masuk sana! Abang pergi ya, mau langsung ke kantor!" "Iya Bang hati-hati." Nayla pun berlari menuju kelas, kita berjalan berlawanan. Tapi saat aku berbalik untuk pergi, tiba-tiba sekelompok teman perempuan Nayla datang menghampirinya. Mereka tampak heboh
Setelah Reza pergi, kami kembali melanjutkan makan. Tapi, wajah Liana masih terlihat kesal. Aku bisa mengerti perasaannya. Setelah makan siang, kami kembali bekerja. Tak lama kemudian, Bu Alicia memanggilku ke ruangannya. Ia memberi tahu bahwa besok akan ada proyek iklan baru, yang berarti aku harus lembur lagi. Hari ini aku pulang lebih awal dari biasanya. Saat tiba di rumah, Mama Siska masih duduk di ruang tamu. Biasanya aku langsung masuk ke kamar, tapi entah kenapa kali ini aku memilih untuk duduk sebentar di sini. Mama Siska melirikku sambil menyeruput teh hangatnya. "Tumben, nggak langsung masuk kamar?" tanyanya dengan nada santai, tapi ada sedikit rasa ingin tahu di matanya. Aku tersenyum kecil. "Lagi pengen santai dulu, Ma. Habis kerjaan tadi lumayan bikin capek." Mama Siska mengangguk. "Iya, kelihatan capek banget. Tapi... ada yang aneh sama kamu malam ini, Raka. Kayak ada sesuatu yang kamu sembunyikan." Jantungku hampir berhenti sejenak. Aku berusaha tetap tenang.
Aku melirik jam di dinding. Hampir tengah malam. Sudah berkali-kali aku mencoba pamit, tapi Bu Alicia selalu punya cara untuk menahanku. Obrolan kami awalnya biasa—tentang pekerjaan, tentang hidup di kota—tapi perlahan, suasananya berubah.Bu Alicia tetap duduk dengan tenang, sorot matanya tajam dan berwibawa. Parfum mahalnya terasa halus di udara, samar tapi menusuk. Ia tidak banyak bergerak, tapi setiap gerakannya terukur. Saat menatapku, ada sesuatu dalam ekspresinya yang sulit kutafsirkan."Kamu tahu, Raka..." suaranya tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya. "Aku jarang menghabiskan waktu selarut ini di ruangan ini bersama seseorang."Aku mengangguk, sedikit canggung. "Oh, maaf, Bu. Harusnya aku sudah pulang dari tadi."Ia mengangkat alis sedikit, ekspresi yang nyaris tak terbaca. "Tidak apa-apa, kalau aku keberatan, aku pasti sudah menyuruhmu pergi dari tadi."Nada bicaranya tetap profesional, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang berbeda malam ini. Ia tetap menjaga jarak, namun se
Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan simfoni yang seharusnya menenangkan. Tapi tidak untukku. Aku terjaga di atas ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berantakan, seperti hujan yang mengguyur tanpa henti. Seharusnya di sebelahku ada istriku yang menemaniku, di saat cuaca dingin begini aku hanya bisa memeluk guling. Aku sudah membayangkan bisa bercinta semalaman dengan istriku, padahal baru beberapa hari saja kita resmi menjadi suami-istri. Memang di saat malam pertama pernikahan kita, aku sudah bercinta dengannya semalaman suntuk tanpa henti. Sekarang benda pusaka ku ingin memuntahkan lahar panas nya, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Aku punya nafsu yang tinggi, apalagi cuaca dingin begini, semakin besar keinginanku untuk bercinta. Ponsel di tanganku masih menyala, menampilkan pesan suara dari Tiara. "Sayang, jangan lupa makan ya. Mama pasti bakal perhatian sama kamu, jadi gak usah khawatir." Suara Tiara terde
Setelah selesai mandi, aku langsung duduk dan mengacak rambutku yang masih setengah basah. Napasku masih sedikit berat, pikiranku juga masih terjebak di dalam sisa mimpi semalam. Mimpi yang tidak seharusnya terjadi. Desahan Mama Siska yang menggoda, tatapannya, suaranya yang nyaris seperti bisikan, benar-benar membuatku gila. Dia mengajakku untuk bercinta, tapi ternyata semua itu hanya mimpi! Aku menelan ludah. Dadaku terasa sesak oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Sial. Aku harus berhenti memikirkan ini. Tok tok! "Abaaaang!!" Suaranya yang lembut dan khas itu membuatku tersentak. Aku menoleh ke arah pintu kamar yang masih tertutup. "Bukain dong, Nayla mau masuk!" Nayla. gadis itu ternyata masih di rumah. Aku menghela napas, mencoba mengumpulkan tenaga sebelum berjalan ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, gadis cantik itu langsung melongok ke dalam kamar dengan ekspresi penasaran. Nayla adalah adik dari istriku, dia baru saja masuk kuliah tahun ini, t
Untungnya, aku sampai di kantor tepat waktu. Namun, pikiranku masih penuh dengan mimpi aneh semalam. Aku duduk di meja kerja, menyalakan komputer, lalu menatap layar tanpa benar-benar bekerja. Suara Mama Siska di mimpiku benar-benar terus terdengar di telingaku. Tatapan wajahnya dan juga semua yang dia lakukan di mimpi itu terasa sangat nyata. Aku benar-benar bingung, kenapa aku bisa mendapat mimpi seperti itu padahal aku tidak pernah berpikir macam-macam pada mertuaku. Apa ini efek dari hasratku yang tidak bisa tersalurkan karena istriku jauh? Aku menghela napas dalam-dalam, lalu mencoba untuk kembali pada pekerjaanku. Sebagai seorang desainer grafis, jelas pekerjaanku banyak berurusan dengan aplikasi edit gambar. Kebetulan, kantorku ini salah satu studio desain yang cukup terkenal, banyak mengambil job membuat banyak desain untuk keperluan iklan produk-produk terkenal. Aku membuka salah satu desain yang sedang aku kerjakan. Karena masih bingung dengan elemen yang sesuai, tanpa
Alicia langsung menatapku, tapi posisinya masih belum berubah. Setelah beberapa saat, baru dia bangkit dan duduk lagi di kursinya dengan santai. “Oh, ini Raka, aku mau kasih konsep iklan untuk produk minuman yang kemarin,” katanya dengan santai, lalu menyerahkan satu map dokumen. “Minggu depan desainnya harus selesai, dan kamu ikut aku untuk meeting dengan pihak mereka, ya. Aku mau kamu jelaskan ke mereka soal desain kita,” lanjutnya lagi. “Baik, Bu,” jawabku, lalu meraih dokumen itu. Aku membuka tiap lembar dokumen dan mempelajarinya sekilas. “Raka, kamu tahu proyek ini cukup besar, kan? Jadi, aku sangat mengandalkanmu sebagai desainer grafis senior di sini,” kata Alicia sambil menatapku dengan dalam. Saat aku menatapnya balik, aku justru menemukan sesuatu yang janggal. Alicia tampak sedikit sedang menggigit bibir bawahnya, seperti memang sengaja memainkannya. Lalu, entah kenapa tatapan Alicia kepadaku terasa semakin aneh. Matanya seperti menyiratkan sesuatu. Bahkan, aku
Aku melirik jam di dinding. Hampir tengah malam. Sudah berkali-kali aku mencoba pamit, tapi Bu Alicia selalu punya cara untuk menahanku. Obrolan kami awalnya biasa—tentang pekerjaan, tentang hidup di kota—tapi perlahan, suasananya berubah.Bu Alicia tetap duduk dengan tenang, sorot matanya tajam dan berwibawa. Parfum mahalnya terasa halus di udara, samar tapi menusuk. Ia tidak banyak bergerak, tapi setiap gerakannya terukur. Saat menatapku, ada sesuatu dalam ekspresinya yang sulit kutafsirkan."Kamu tahu, Raka..." suaranya tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya. "Aku jarang menghabiskan waktu selarut ini di ruangan ini bersama seseorang."Aku mengangguk, sedikit canggung. "Oh, maaf, Bu. Harusnya aku sudah pulang dari tadi."Ia mengangkat alis sedikit, ekspresi yang nyaris tak terbaca. "Tidak apa-apa, kalau aku keberatan, aku pasti sudah menyuruhmu pergi dari tadi."Nada bicaranya tetap profesional, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang berbeda malam ini. Ia tetap menjaga jarak, namun se
Setelah Reza pergi, kami kembali melanjutkan makan. Tapi, wajah Liana masih terlihat kesal. Aku bisa mengerti perasaannya. Setelah makan siang, kami kembali bekerja. Tak lama kemudian, Bu Alicia memanggilku ke ruangannya. Ia memberi tahu bahwa besok akan ada proyek iklan baru, yang berarti aku harus lembur lagi. Hari ini aku pulang lebih awal dari biasanya. Saat tiba di rumah, Mama Siska masih duduk di ruang tamu. Biasanya aku langsung masuk ke kamar, tapi entah kenapa kali ini aku memilih untuk duduk sebentar di sini. Mama Siska melirikku sambil menyeruput teh hangatnya. "Tumben, nggak langsung masuk kamar?" tanyanya dengan nada santai, tapi ada sedikit rasa ingin tahu di matanya. Aku tersenyum kecil. "Lagi pengen santai dulu, Ma. Habis kerjaan tadi lumayan bikin capek." Mama Siska mengangguk. "Iya, kelihatan capek banget. Tapi... ada yang aneh sama kamu malam ini, Raka. Kayak ada sesuatu yang kamu sembunyikan." Jantungku hampir berhenti sejenak. Aku berusaha tetap tenang.
Aku melihat sekeliling memastikan pria itu tidak mendekati Nayla lagi. Namun, aku justru melihat Nayla menatapku tanpa berkedip sambil tersenyum. "Nayla... Nayla... " Aku memanggilnya beberapa kali tapi dia tidak menjawab. Sepertinya ia sedang bengong, aku melihat ke kiri kanan dan kebelakang tapi tidak ada siapa-siapa hanya ada aku saja. Rupanya ia melihatku dari tadi. Dasar bocah, aku tertawa sambil menepuk pundaknya. "Nay, Nayla... " Ia pun tersadar, ia terlihat terkejut dan malu. "I-iya Bang." Jawabnya gelagapan. "Ko malah bengong? Kenapa? Terpesona ya lihat Abang?" Tanyaku menggodanya. Mukanya langsung memerah. "Ihh e-enggak." Tapi, muka merahnya tidak bisa berbohong, aku mencubit hidungnya yang mancung. "Yaudah kamu masuk sana! Abang pergi ya, mau langsung ke kantor!" "Iya Bang hati-hati." Nayla pun berlari menuju kelas, kita berjalan berlawanan. Tapi saat aku berbalik untuk pergi, tiba-tiba sekelompok teman perempuan Nayla datang menghampirinya. Mereka tampak heboh
Ia berdiri di ruang tamu, tatapannya terlihat sangat khawatir. Sepertinya Mama Siska menungguku sejak tadi, dan entah mengapa aku malah merasa bersalah padanya.Aku terdiam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal. Tentu saja aku tidak bisa mengatakan kalau aku dari rumah Liana, jadi aku memilih jawaban yang aman.“Tadi masih banyak kerjaan di kantor, Ma.” Aku berusaha terdengar santai, meskipun sebenarnya entah kenapa ada ketegangan dalam hatiku.Mama Siska memperhatikanku dengan saksama, lalu mendekat. Matanya menyipit, seolah sedang menilai sesuatu yang tidak terlihat.Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan melewatinya. “Aku ke kamar dulu ya, Ma.”“Kenapa wangi tubuhmu aneh?” tanyanya tiba-tiba.Aku langsung tersentak dan seketika menghentikan langkahku. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku baru sadar, sepertinya aroma parfum yang dipakai Liana tadi masih menempel di bajuku. Aku berusaha tetap tenang, meskipun dalam hati aku sudah panik setengah mati.“Eh… Aku tadi mandi
Liana langsung menarik tubuhku dan mencium di bibirku. Di sela ciuman itu, dia menuntunku untuk berjalan perlahan, hingga akhirnya kami masuk ke kamarnya. Sentuhan bibirnya begitu sangat hangat, lidahnya ia mainkan membuatku semakin bergairah. "Ngghh Raka ssshh..." Dia mendesah saat aku daratkan kecupan di lehernya. Lalu kita kembali saling berciuman, kemudian ia mendorongku ke atas kasur. Ia mengambil tasnya yang tergantung di dekat pintu dan mencari sesuatu. Sampai akhirnya aku terkejut ketika melihat Liana memberikan pengaman kepadaku. "Kok kamu bisa punya ini?" Tanyaku penasaran. Liana tampak sedikit menggigit bibir bawahnya, lalu tersenyum aneh. “Itu …” Aku sedikit mengerutkan dahi sambil terus menatapnya. Sejauh yang aku tahu, meskipun Liana memang termasuk mudah bergaul, tapi dia tidak sampai ke arah seperti itu. Kemudian, bayangan Sarah yang tersenyum aneh ketika aku memutuskan untuk mengantar Liana kembali muncul di kepalaku. Ah, sepertinya aku paham sekarang.
Aku menyerahkan helm kepada Liana sebelum menyalakan motor. Dia menerimanya tanpa banyak bicara, lalu mengenakannya dengan sedikit canggung. Dari dekat, wajahnya memang terlihat lebih pucat dari biasanya. Saat aku menaiki motor dan menstabilkan posisi, Liana ragu-ragu sebelum akhirnya naik ke jok belakang. Aku bisa merasakan tubuhnya menempel di punggungku, meskipun dia tidak memelukku“Kamu yakin gak mau ke dokter dulu?” tanyaku memastikan lagi.Liana menggeleng pelan. “Gak perlu. Aku cuma capek aja, tadi siang aku lupa makan.”Aku menghela napas, lalu mulai melajukan motor keluar dari area parkir kantor.Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aku hanya fokus mengemudi, sementara Liana masih diam di belakangku. Tapi kemudian, aku mendengar suaranya yang kecil, nyaris tersapu angin.“Tumben kamu mau antar aku pulang, Raka? Dulu kamu kan gak pernah mau bawa cewek lain di motormu.”Aku menoleh sebentar sebelum kembali menatap jalan. “Kan kamu lagi sakit, Li.”Liana terkekeh pelan. “W
Setelah selesai mandi dan bersiap-siap untuk bekerja, aku segera bergegas pergi. Namun, seperti biasa, Mama Siska sudah menungguku di meja makan. Dia menatapku dengan sorot mata lembut, tetapi penuh ketegasan, lalu mendorong piring berisi sarapan ke arahku.Jika mengingat peristiwa semalam, rasanya aku tidak percaya itu semua bisa terjadi. Tapi dari awal, aku memang tertarik padanya. Walaupun sudah kepala empat, tapi dia masih terlihat awet muda. Dia masih tetap cantik, tubuhnya ramping dan seksi.Setelah tahu Tiara ternyata mengkhianatiku, kini aku tidak akan lagi menjadi seorang suami yang setia."Makan dulu, Raka. Setidaknya isi perutmu sebelum berangkat," katanya.Aku hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. "Aku buru-buru, Ma. Kopi saja sudah cukup."Mama Siska menghela napas, tapi tidak memaksaku. Aku meneguk kopiku dengan cepat, lalu beranjak pergi. Namun sebelum aku benar-benar keluar rumah, dia sempat berkata, "Jaga dirimu baik-baik."Lalu, Mama Siska mengusap lenganku dengan
“Mpphh,” lenguh Mama Siska ketika aku langsung menciumnya. Mendapat ciuman dadakan dariku, Mama Siska masih tampak sedikit bingung, ia meremas ujung bajuku dengan erat. Tanganku mulai bergerak semakin liar, bukan hanya menyentuh pahanya, tapi juga menuju ujung pahanya hingga hampir mengenai bagian intinya. Jika sebelumnya aku menolak, kini aku akan melakukan sebaliknya. Aku membuka mataku, dan melepas ciumanku. Aku melirik Mama Siska yang menatapku dengan tatapan terkejut. Ia menggigit bibir bawahnya, aku tahu ia ingin melakukannya, tetapi ada sorot kebingungan di matanya. Namun, aku tidak peduli, aku sudah tidak tahan lagi. Seketika, aku kembali mencium bibirnya. Kali ini bukan ciuman biasa, tetapi ciuman yang begitu bernafsu. Selama ini aku memang tertarik pada ibu mertuaku ini, tetapi aku masih menahannya karena memikirkan statusku sebagai suami Tiara. Mama Siska kembali terkejut melihat aksiku yang sangat agresif. “Nghhh.” Lagi-lagi Mama Siska mendesah lepas saat aku
Aku pura-pura tidak mendengar ucapannya dan langsung membantunya berdiri."Ayo saya antar.” Akhirnya aku menggandeng tubuhnya yang lemas, kita berjalan menuju pintu keluar.Namun, ada satu masalah.Aku tidak tahu di mana rumah Alicia.“Bu, di mana alamat rumahmu?” Aku berusaha bertanya padanya.Namun, seperti dugaanku, percuma bertanya kepadanya karena kondisinya yang sudah terlalu mabuk untuk memberi tahu alamat rumahnya. Aku akhirnya memutuskan untuk menyewa satu kamar agar Alicia bisa beristirahat.Sesampainya di kamar, aku menuntun Alicia untuk berbaring di ranjang. Ia menatapku dengan mata setengah sadar. "Raka..." panggilnya dengan suara serak, ia menahan lenganku hingga membuatku tetap menunduk di atasnya"Ada apa, Bu?" tanyaku dengan berusaha tetap biasa saja.Alicia tersenyum miring dan dengan gerakan pelan, satu tangannya mulai membuka kancing blazernya satu persatu. "Apa kamu benar-benar tidak tertarik padaku?" tanyanya, suaranya menggoda. Satu tangannya yang lain mulai