Sore itu, kantor mulai sepi saat aku bersiap untuk makan malam dengan klien dari Paris. Bu Alicia memutuskan ikut, mengatakan ini kesempatan bagus untuk mempererat hubungan dengan mereka.“Raka, kita naik mobilku. Motornya tinggal di kantor dulu, nanti aku antar balik,” katanya, nadanya tidak bisa ditolak.“Baik, Alicia,” jawabku, meski sedikit ragu.Aku mengunci motor di parkiran, lalu masuk ke BMW hitam Alicia. Di dalam mobil, aroma parfumnya yang elegan memenuhi udara, dan dia mengemudi dengan santai, sesekali melirikku. “Kamu tampak tegang, Raka. Santai saja, ini cuma makan malam biasa,” katanya, tersenyum tipis. Kali ini Alicia yang menyetir.Aku tersenyum kecil, mencoba menutupi kekacauan di pikiranku—Tiara, Reza, Liana, dan sekarang proyek besar ini. “Cuma excited, Alicia. Pengen proyek ini sukses.”Alicia mengangguk. “Aku tahu kamu bisa. Claire sepertinya sangat menyukaimu. Manfaatkan itu, tapi tetap profesional.”Makan malam diadakan di restoran mewah di pusat kota, dengan p
Sesampai di rumah, sudah pukul sebelas malam. Aku membuka pintu perlahan, berharap semua sudah tidur. Tapi di dapur, Mama Siska masih terjaga, duduk di meja kecil dengan secangkir teh hangat. Cahaya lampu dapur yang redup membuat wajahnya terlihat lembut, tapi ada kekhawatiran di matanya saat melihatku.“Raka, baru pulang? Kok malam banget?” tanyanya, suaranya penuh perhatian.Aku tidak bisa menahan diri. Aku mendekat, memeluknya erat dari belakang, wajahku tenggelam di rambutnya yang wangi.“Sayang, aku capek,” bisikku, suaraku parau.Aku ingin menceritakan semuanya mengenai Tiara dan Alex, aku sudah lelah menghadapi mereka tapi kata-kata itu tersekat di tenggorokanku. Aku takut melukainya.Mama Siska memegang tanganku, membalas pelukanku dengan lembut.“Raka, apa pun yang terjadi, kamu kuat. Aku tahu itu,” katanya, nadanya hangat seperti pelukan. Dia berbalik, menatapku dengan mata yang penuh kasih. “Coba ceritakan? Aku selalu ada di dekatmu.”Aku menggeleng, tersenyum kecil. “Untuk
Lalu kita melakukan posisi lain, aku suruh Mama Siska untuk menungging di tepi ranjang. Posisinya sangat membuatku bergairah, dan kita kembali bersatu. Aku pegang pinggulnya, aku goyang dengan kecepatan penuh. Ranjangnya sampai ikut berdecit, sesekali aku tepuk pinggulnya tapi tidak terlalu keras.Entah sudah berapa lama permainan kita, aku sama sekali tidak merasa capek ataupun lelah. Mama Siska juga tidak terlihat capek, aku kagum karena dia bisa mengimbangiku.Di posisi terakhir, aku baringkan tubuhnya dan aku memeluknya erat. Ciuman hangat semakin nikmat, di tambah goyanganku yang tidak berhenti. Kecepatannya semakin kencang, tandanya kenikmatanku akan segera tiba. Mama Siska semakin erat memelukku, ketika hentakanku semakin tidak terkendali.Kenikmatanku akhirnya sampai, aku segera mengeluarkannya di atas perutnya. Aku masih mengatur nafasku yang tersengal-sengal, lalu aku menjatuhkan tubuhku di atas tubuhnya. Kita sekarang bersatu, Mama Siska mengelus rambutku pelan dan aku tert
Aku tidak percaya, ternyata apem mertuaku jauh lebih nikmat daripada istriku sendiri. Malam ini, akhirnya aku bisa melepaskan hasratku dengan Mama Siska, ibu mertuaku sendiri. "Enak banget Ma, semakin lama rasanya semakin nikmat." Aku tidak berhenti menggoyang mertuaku di atas kasur. "Kamu juga sangat perkasa Raka, Mama sampai kewalahan. Kamu memang luar biasa, ayo Raka bikin Mama puas!" Desahnya, badannya bergetar. "Siap Ma, akan kubuat Mama puas. Kita main sampai pagi Ma, Mama mau kan aku goyang sampai pagi?" "Mau banget Raka, Mama pasrah apapun yang kamu lakukan." Istriku berselingkuh dengan pria lain, maka dari itu aku membalasnya, berhubungan dengan Ibunya. Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan simfoni yang seharusnya menenangkan. Tapi tidak untukku. Aku terjaga di atas ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berantakan, seperti hujan yang mengguyur tanpa henti. Seharusnya di sebelahku ada istriku yang menemaniku, di saat cuaca dingin begini aku hanya
Setelah selesai mandi, aku langsung duduk dan mengacak rambutku yang masih setengah basah. Napasku masih sedikit berat, pikiranku juga masih terjebak di dalam sisa mimpi semalam.Mimpi yang tidak seharusnya terjadi.Desahan Mama Siska yang menggoda, tatapannya, suaranya yang nyaris seperti bisikan, benar-benar membuatku gila. Dia mengajakku untuk bercinta, tapi ternyata semua itu hanya mimpi!Aku menelan ludah. Dadaku terasa sesak oleh perasaan yang sulit dijelaskan.Sial. Aku harus berhenti memikirkan ini.Tok tok!"Abaaaang!!"Suaranya yang lembut dan khas itu membuatku tersentak. Aku menoleh ke arah pintu kamar yang masih tertutup."Bukain dong, Nayla mau masuk!"Nayla. gadis itu ternyata masih di rumah.Aku menghela napas, mencoba mengumpulkan tenaga sebelum berjalan ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, gadis cantik itu langsung melongok ke dalam kamar dengan ekspresi penasaran.Nayla adalah adik dari istriku, dia baru saja masuk kuliah tahun ini, tubuhnya ramping dan cu
Untungnya, aku sampai di kantor tepat waktu. Namun, pikiranku masih penuh dengan mimpi aneh semalam.Aku duduk di meja kerja, menyalakan komputer, lalu menatap layar tanpa benar-benar bekerja.Suara Mama Siska di mimpiku benar-benar terus terdengar di telingaku. Tatapan wajahnya dan juga semua yang dia lakukan di mimpi itu terasa sangat nyata.Aku benar-benar bingung, kenapa aku bisa mendapat mimpi seperti itu padahal aku tidak pernah berpikir macam-macam pada mertuaku. Apa ini efek dari hasratku yang tidak bisa tersalurkan karena istriku jauh?Aku menghela napas dalam-dalam, lalu mencoba untuk kembali pada pekerjaanku.Sebagai seorang desainer grafis, jelas pekerjaanku banyak berurusan dengan aplikasi edit gambar. Kebetulan, kantorku ini salah satu studio desain yang cukup terkenal, banyak mengambil job membuat banyak desain untuk keperluan iklan produk-produk terkenal.Aku membuka salah satu desain yang sedang aku kerjakan. Karena masih bingung dengan elemen yang sesuai, tanpa sadar
Alicia langsung menatapku, tapi posisinya masih belum berubah. Setelah beberapa saat, baru dia bangkit dan duduk lagi di kursinya dengan santai.“Oh, ini Raka, aku mau kasih konsep iklan untuk produk minuman yang kemarin,” katanya dengan santai, lalu menyerahkan satu map dokumen.“Minggu depan desainnya harus selesai, dan kamu ikut aku untuk meeting dengan pihak mereka, ya. Aku kamu kamu jelaskan ke mereka soal desain kita,” lanjutnya lagi.“Baik, Bu,” jawabku, lalu meraih dokumen itu.Aku membuka tiap lembar dokumen dan mempelajarinya sekilas.“Raka, kamu tahu proyek ini cukup besar, kan? Jadi, aku sangat mengandalkanmu sebagai desainer grafis senior di sini,” kata Alicia sambil menatapku dengan dalam.Saat aku menatapnya balik, aku justru menemukan sesuatu yang janggal. Alicia tampak sedang sedikit menggigit bibir bawahnya, seperti sedang sengaja memainkannya. Lalu, entah kenapa tatapan Alicia kepadaku terasa semakin aneh. Matanya seperti menyiratkan sesuatu. Bahkan, aku tidak tahu
Jantungku berdegup keras."Temani bagaimana, Ma?" tanyaku, berusaha terdengar netral.Dia menatapku, lalu tersenyum tipis. "Temani Mama tidur di kamar. Hanya sebentar sampai Mama tidur. Mama masih takut."Aku menelan ludah. Sejujurnya, mimpi semalam masih membuatku merasa canggung untuk berhadapan dengan Mama Siska. Namun, sekarang kondisinya berbeda. Aku juga sedikit khawatir kalau Mama Siska sampai tidak bisa tidur karena ketakutan.Namun, rasanya ini tidak benar. Bagaimana bisa aku menemani ibu mertuaku untuk tidur di kamarnya?“Tapi, Ma …”Mama Siska mengeratkan genggamannya, matanya menatapku dengan lembut. "Mama takut, Raka.""Tapi......" Aku ragu."Di rumah ini hanya ada kita berdua, Nayla masih menginap di rumah temannya. Kalau saja dia ada, Mama akan meminta Nayla untuk menemani." Mama Siska menatapku dengan mata sedikit berair. Sepertinya, dia benar-benar sangat ketakutan.Aku menghela napas pasrah. Sepertinya, pikiranku memang terlalu liar sampai-sampai hampir tega mengabai
Lalu kita melakukan posisi lain, aku suruh Mama Siska untuk menungging di tepi ranjang. Posisinya sangat membuatku bergairah, dan kita kembali bersatu. Aku pegang pinggulnya, aku goyang dengan kecepatan penuh. Ranjangnya sampai ikut berdecit, sesekali aku tepuk pinggulnya tapi tidak terlalu keras.Entah sudah berapa lama permainan kita, aku sama sekali tidak merasa capek ataupun lelah. Mama Siska juga tidak terlihat capek, aku kagum karena dia bisa mengimbangiku.Di posisi terakhir, aku baringkan tubuhnya dan aku memeluknya erat. Ciuman hangat semakin nikmat, di tambah goyanganku yang tidak berhenti. Kecepatannya semakin kencang, tandanya kenikmatanku akan segera tiba. Mama Siska semakin erat memelukku, ketika hentakanku semakin tidak terkendali.Kenikmatanku akhirnya sampai, aku segera mengeluarkannya di atas perutnya. Aku masih mengatur nafasku yang tersengal-sengal, lalu aku menjatuhkan tubuhku di atas tubuhnya. Kita sekarang bersatu, Mama Siska mengelus rambutku pelan dan aku tert
Sesampai di rumah, sudah pukul sebelas malam. Aku membuka pintu perlahan, berharap semua sudah tidur. Tapi di dapur, Mama Siska masih terjaga, duduk di meja kecil dengan secangkir teh hangat. Cahaya lampu dapur yang redup membuat wajahnya terlihat lembut, tapi ada kekhawatiran di matanya saat melihatku.“Raka, baru pulang? Kok malam banget?” tanyanya, suaranya penuh perhatian.Aku tidak bisa menahan diri. Aku mendekat, memeluknya erat dari belakang, wajahku tenggelam di rambutnya yang wangi.“Sayang, aku capek,” bisikku, suaraku parau.Aku ingin menceritakan semuanya mengenai Tiara dan Alex, aku sudah lelah menghadapi mereka tapi kata-kata itu tersekat di tenggorokanku. Aku takut melukainya.Mama Siska memegang tanganku, membalas pelukanku dengan lembut.“Raka, apa pun yang terjadi, kamu kuat. Aku tahu itu,” katanya, nadanya hangat seperti pelukan. Dia berbalik, menatapku dengan mata yang penuh kasih. “Coba ceritakan? Aku selalu ada di dekatmu.”Aku menggeleng, tersenyum kecil. “Untuk
Sore itu, kantor mulai sepi saat aku bersiap untuk makan malam dengan klien dari Paris. Bu Alicia memutuskan ikut, mengatakan ini kesempatan bagus untuk mempererat hubungan dengan mereka.“Raka, kita naik mobilku. Motornya tinggal di kantor dulu, nanti aku antar balik,” katanya, nadanya tidak bisa ditolak.“Baik, Alicia,” jawabku, meski sedikit ragu.Aku mengunci motor di parkiran, lalu masuk ke BMW hitam Alicia. Di dalam mobil, aroma parfumnya yang elegan memenuhi udara, dan dia mengemudi dengan santai, sesekali melirikku. “Kamu tampak tegang, Raka. Santai saja, ini cuma makan malam biasa,” katanya, tersenyum tipis. Kali ini Alicia yang menyetir.Aku tersenyum kecil, mencoba menutupi kekacauan di pikiranku—Tiara, Reza, Liana, dan sekarang proyek besar ini. “Cuma excited, Alicia. Pengen proyek ini sukses.”Alicia mengangguk. “Aku tahu kamu bisa. Claire sepertinya sangat menyukaimu. Manfaatkan itu, tapi tetap profesional.”Makan malam diadakan di restoran mewah di pusat kota, dengan p
Kericuhan di pantry tadi masih terngiang di kepalaku saat aku kembali ke meja kerja. Tatapan Reza yang penuh luka, kata-kata Liana yang seperti bom, dan wajah kaget karyawan lain membuatku merasa seperti aktor dalam drama kantor yang buruk. Aku mencoba fokus pada layar laptop, mengetik laporan yang sebenarnya tidak mendesak, tapi pikiranku kacau. Aku hanya ingin hari ini cepat selesai, pulang, dan menjauh dari semua ini. Tapi belum sempat aku menarik napas lega, Bu Alicia datang dan memanggilku untuk datang ke ruangannya. "Raka, ke ruanganku sekarang!" katanya, lalu dia kembali ke ruangannya. "Baik Bu," jawabku segera. Aku menutup laptop, berjalan ke ruangan Alicia dengan langkah berat. Di dalam, dia duduk di kursi kerjanya, wajahnya serius dan tetap berwibawa. “Duduk, Raka,” katanya, menunjuk kursi di depannya. Aku menurut, merasa seperti anak sekolah yang dipanggil kepala sekolah. “Raka, aku dengar apa yang terjadi di pantry tadi,” ujarnya langsung, matanya menatap tajam.
Sesampai di rumah, aku membuka pintu perlahan. Rumah terasa sepi, hanya suara kipas angin di ruang tamu yang berdengung pelan. Aku menoleh ke dapur—kosong. Nayla dan Tiara belum pulang, dan entah kenapa, itu membuatku lega. Aku melepas sepatu, berjalan menuju kamar untuk ganti baju, tapi langkahku terhenti saat mendengar suara pelan dari kamar Mama Siska. Pintu kamarnya sedikit terbuka, dan cahaya lampu menyelinap keluar. Aku mendekat, jantungku berdetak kencang. Di dalam, Mama Siska sedang berdiri di dekat lemari, baru saja mengganti pakaian. Dia mengenakan daster sederhana, rambutnya terurai, dan wajahnya tanpa riasan terlihat begitu alami. Aku tidak bisa menahan diri. Tanpa pikir panjang, aku masuk, menutup pintu pelan, dan memeluknya erat dari belakang. “Raka!” serunya, terkejut, tubuhnya menegang sejenak. “Kamu… kapan pulang?” “Baru tadi, Ma,” bisikku, hidungku mencium wangi rambutnya yang selalu bikin tenang. “Nayla dan Tiara belum pulang, kan?” Dia berbalik, menatapku denga
Kantor masih sepi saat aku masuk. Hanya Pak Joko, satpam setia, yang duduk di posnya sambil menyeruput kopi dari gelas plastik. Dia melambai padaku, senyumnya lebar. “Pagi, Pak Raka! Kok pagi banget?” sapanya ramah. “Pagi, Pak! Hari ini ada klien besar, jadi harus siap-siap,” jawabku, tersenyum kecil. “Wah, hebat anak muda! Semangat, ya!” katanya, mengacungkan jempol. Aku mengangguk, berjalan menuju ruanganku. Meja-meja masih kosong, hanya suara AC yang berdengung pelan mengisi keheningan. Aku duduk, membuka laptop, dan mulai memeriksa ulang presentasi yang sudah kusiapkan. Slide demi slide kuperiksa, memastikan tidak ada kesalahan. Proyek ini terlalu penting untuk dilewatkan begitu saja. Tak lama, pintu kantor terbuka. Reza masuk bersama salah satu rekan kerja kami. Mereka terlihat asyik mengobrol, tawa mereka meledak saat Reza menceritakan sesuatu dengan gestur lebay. Aku tersenyum kecil, senang melihat Reza bisa tertawa setelah kejadian kemarin. Tapi begitu mata Reza bertemu d
Aku masuk rumah, langsung ke dapur, melihat Mama Siska sedang mengaduk bumbu. Aromanya membuat perutku keroncongan.“Eh, Raka, sudah pulang?” sapanya, senyum lembut yang menghangatkan hatiku.“Iya, Ma. Nayla belum pulang?” tanyaku, menoleh kanan-kiri.“Belum, mungkin sebentar lagi,” jawabnya, matanya menatapku.Tiba-tiba Tiara masuk dari pintu depan, “Aku pulang, Ma!” katanya, ceria, berpura-pura biasa.Mama Siska menatapnya heran, “Tumben kalian pulangnya barengan. Apa memang tadi pulangnya bareng?”Aku cepat menjawab, “Nggak, Ma. Kita pulang masing-masing, diantar bos masing-masing.” Nadaku datar.Dia menatapku, matanya tajam, “Mas, tadi di depan, kamu dengan bosmu kok terlihat mesra banget?”Aku tersenyum, “Mesra gimana? Perasaan biasa saja."Wajah Tiara semakin serius, "tapi ... Kalian terlihat dekat."Kalau hanya sekedar cipika-cipiki, kan wajar, cara orang menyapa memang begitu.” Aku menatapnya balik, “Bukannya malah mencium kening, apakah itu bisa dikatakan wajar?” Aku sengaja
Bu Alicia menyuruhku ke apartemennya terlebih dahulu sebelum kembali ke kantor.“Ada barang yang ingin aku bawa di apartemen,” katanya, nada santai tetapi matanya penuh rencana.“Baik, Bu,” jawabku, fokus menyetir.Perjalanan ke luar kota hanya sebentar, tidak terlalu jauh, hanya mengambil barang, tetapi obrolan di mobil membuatku tidak tenang.“Raka, gimana dengan Tiara? Apa dia sering keluar rumah?” tanya Alicia, menoleh dari ponselnya.Aku menarik napas, “Setiap hari juga, Tiara pergi. Malah, malam kemarin dia sampai gak pulang. Apa setiap hari Tiara tidak pernah bekerja? Jadi sebenarnya Tiara itu beneran kerja atau tidak?”Alicia tersenyum tipis, “Dia kerja, tapi hanya ikut acara penting saja. Alex kan bos, bisa mengatur apa saja sesuka hati. Perusahaannya sudah dikelola oleh anak buahnya, jadi dia gak wajib harus ke kantor setiap hari. Tiara juga begitu—Alex yang mengatur. Mungkin dia hanya disuruh menemani Alex di rumah.”Aku menggenggam setir, “Jadi semua karyawan Alex tahu hub
“Tapi gak semua ayah tiri jahat, Nay. Banyak kok yang baik hati dan tidak sombong.”Nayla tersenyum, “Iya, tapi sekarang aku kapok punya ayah! Eh maksudnya, takut seperti temanku yang bercerai itu, lho.”Tiba-tiba dia terlihat gugup, seolah menyadari sesuatu. Mama Siska dan Tiara menatapnya, tatapan mereka aneh, seolah menyimpan rahasia.Nayla kembali menambahkan, “Ma-maksudku, punya Mama saja sudah cukup, saat ini aku gak mau punya Ayah!” Dia tertawa canggung, berusaha menutupi.Aku merasa ada yang tidak beres, tetapi suasana kembali hangat. Nayla antusias bercerita tentang kampus, Mama Siska tertawa, dan aku ikut bercanda, meski pikiranku penuh tanda tanya—apa yang mereka sembunyikan? Tiara hanya tersenyum tipis, memegang ponsel, seolah tidak terlalu peduli.Selesai makan, sesuatu yang tidak biasa terjadi—Tiara berdiri, merapikan piringnya, membawa ke wastafel, dan berkata, “Ma, istirahat saja, biar aku yang cuci.”Aku terkejut—biasanya dia hanya berselonjoran saja, tidak pernah mau