Alicia langsung menatapku, tapi posisinya masih belum berubah. Setelah beberapa saat, baru dia bangkit dan duduk lagi di kursinya dengan santai.
“Oh, ini Raka, aku mau kasih konsep iklan untuk produk minuman yang kemarin,” katanya dengan santai, lalu menyerahkan satu map dokumen.
“Minggu depan desainnya harus selesai, dan kamu ikut aku untuk meeting dengan pihak mereka, ya. Aku kamu kamu jelaskan ke mereka soal desain kita,” lanjutnya lagi.
“Baik, Bu,” jawabku, lalu meraih dokumen itu.
Aku membuka tiap lembar dokumen dan mempelajarinya sekilas.
“Raka, kamu tahu proyek ini cukup besar, kan? Jadi, aku sangat mengandalkanmu sebagai desainer grafis senior di sini,” kata Alicia sambil menatapku dengan dalam.
Saat aku menatapnya balik, aku justru menemukan sesuatu yang janggal. Alicia tampak sedang sedikit menggigit bibir bawahnya, seperti sedang sengaja memainkannya. Lalu, entah kenapa tatapan Alicia kepadaku terasa semakin aneh. Matanya seperti menyiratkan sesuatu. Bahkan, aku tidak tahu sejak kapan satu kancing kemejanya yang paling atas sudah terbuka.
Aku menelan ludahku dan mengangguk pelan, berusaha tetap berpikir normal. “Iya, Bu. Saya mengerti.”
Bosku itu terkenal dengan profesionalitasnya, tetapi entah perasaanku saja atau bagaimana, setiap ada waktu untuk mengobrol berdua denganku, Alicia selalu terasa berbeda.
Dia mengangguk pelan. “Kalau gitu, silakan kembali bekerja.”
Alicia tersenyum, tapi senyuman itu benar-benar menyiratkan sesuatu.
Dari rumah sampai kantor, kenapa hari ini terasa sangat aneh?
**
Setelah seharian bekerja dan mendapat kejadian-kejadian aneh dari para wanita yang ada di kantorku, aku pulang dengan perasaan was-was. Aku berharap saat tiba di rumah, Mama Siska sudah tidur karena sekarang kebetulan sudah cukup larut. Aku tidak siap menghadapi tatapan seperti itu lagi. Kejadian hari ini benar-benar sudah membuatku merasa heran.
Tapi ternyata tidak.
Lampu ruang tamu masih menyala. Mama Siska duduk di sofa, gaun tidurnya yang tipis nyaris transparan di bawah cahaya lampu redup ruang tamu. Rambutnya tergerai sedikit berantakan, seperti baru saja bangun tidur—atau mungkin sengaja dibuat seperti itu.
Aku mencoba bersikap biasa. "Ma, belum tidur?"
Dia menoleh dan tersenyum kecil. "Belum. Mama nungguin kamu pulang."
Jantungku berdetak lebih cepat.
"Kenapa nunggu aku, Ma?" tanyaku, berusaha terdengar santai.
Dia mengangkat bahu. "Takutnya kamu gak bawa kunci rumah, nanti gak bisa masuk."
Aku mengangguk sambil melepas jaket. Memang benar bahwa aku tidak membawa kunci rumah. "Oh, kebetulan aku tadi memang lupa bawa kunci rumah, Ma. Tadi buru-buru soalnya kesiangan."
Mama Siska menatapku sejenak, lalu tersenyum tipis. "Untungnya Mama gak langsung tidur, kan?"
Aku hanya mengangguk. “Iya, makasih. Ma. Aku ke kamar dulu ya, mau bersih-bersih.”
Aku mencoba menuju kamar, tapi suara lembutnya menghentikanku.
"Kalau butuh apa-apa jangan sungkan bilang sama Mama ya, Raka. Atau kalau kamu pengen makan sesuatu, bilang aja sama Mama, nanti Mama masakin," katanya sambil tersenyum lembut.
Aku sekali lagi mengangguk. “Iya, Ma.”
Aku pun langsung pergi ke kamarku. Aku rebahkan tubuhku di atas kasur. Tatapan Mama Siska semakin hari semakin berani dan menantang.
Tiba-tiba ponselku berbunyi karena ada pesan masuk dan setelah aku lihat ternyata dari Tiara.
[Sayang, kamu sudah pulang?]
[Sudah, aku baru saja pulang. Kamu sendiri sudah selesai kerjaannya?]
[Sudah, aku lagi di jalan ke apartemen. Aku kangen banget sama kamu, pengen cepat pulang.]
[Aku juga, kamu di sana jaga kesehatan ya jangan terlalu capek.]
[Maafin aku ya, padahal kita baru saja menikah tapi aku harus pergi meninggalkanmu. Kamu pasti kesepian, tapi mau gimana lagi ini semua bukan keinginanku.]
Aku ingin balas jika aku disini baik-baik saja, walaupun sebenarnya aku tidak baik-baik saja. Ketika aku sedang asik chatan sama Tiara, tiba-tiba aku mendengar suara jeritan dan itu suara Mama Siska.
Aku langsung berlari keluar. Di ruang tengah, kulihat Mama Siska berdiri ketakutan, tubuhnya gemetar. Seorang pria bertopeng mencengkram kuat tangan Mama Siska, rupanya ada maling masuk rumah.
"Hei!" Aku berteriak, membuat pria itu melepaskan cengkramannya pada tangan Mama Siska.
Pria itu langsung menoleh ke arahku. Dia kembali menarik Mama Siska dan menekan leher Mama Siska dengan lengannya. “Kalau kamu bergerak, aku lukai ibumu!”
Aku menghentikan langkahku. Kalau aku gegabah, bisa-bisa Mama Siska celaka.
Ketika aku lihat pria itu sedang mencari celah untuk kabur, aku langsung melangkah cepat ke arahnya dan memukul wajahnya hingga dekapannya pada Mama Siska terlepas.
Bugh!
Pria itu terkejut dan langsung berlari mencoba kabur, tapi aku terus mengejarnya meskipun dia berhasil keluar dari rumah. Sebelum dia keluar dari pagar rumah, aku lemparkan pot yang kebetulan ada di depanku. Sasaran ku tepat mengenai tubuhnya, hingga dia terjatuh tapi dia berusaha untuk kabur.
“Maling sialan!” umpatku.
Aku berlari dan berhasil menangkap lengannya, menariknya keras hingga ia tersungkur. Ia mencoba melawan, tapi aku menghantam wajahnya dengan pukulan telak.
Bugh! Bugh!
“Jangan kembali ke rumah ini, sialan!”
Keributan itu membuat satpam di area kompleks rumah datang. Ketika satpam itu melihatku baku hantam dengan maling itu, dia langsung mengambil alih dan membawanya ke kantor polisi.
Setelah itu, aku berlari dan kembali masuk ke dalam rumah, ternyata Mama Siska masih berdiri di ruang tengah, wajahnya pucat.
"Ma, nggak apa-apa?" tanyaku, mendekatinya.
Ia mengangguk, masih terengah-engah. "Mama … Mama kaget."
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Ayo duduk dulu, Ma."
Saat aku menggenggam lengannya untuk membimbingnya duduk di sofa, aku bisa merasakan tubuhnya sedikit gemetar.
"Mama tunggu sebentar."
Aku segera pergi ke dapur, aku menuangkan segelas air untuknya. Lalu, segera kembali ke ruang tengah. Aku berikan segelas air putih untuknya, ia menerimanya dengan tangan gemetar.
"Tadi benar-benar menakutkan," katanya pelan, suaranya sedikit bergetar.
Aku mengangguk. "Untung aku langsung datang. Mama gak terluka, kan?"
Mama Siska menggeleng pelan. Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada ketakutan di matanya, tapi juga sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam.
"Kamu… benar-benar menyelamatkan Mama," katanya lirih.
Aku tersenyum kecil. "Sudah tugasku untuk menjaga keluarga, Ma."
“Apa ada barang yang dia ambil?” tanyaku lagi.
Mama Siska kembali menggeleng pelan. “Gak ada, tadi dia mau ambil hp Mama, tapi keburu kamu datang.”
“Syukurlah kalau gak ada yang diambil juga.” Aku menghela napas lega.
Sepertinya, keputusanku untuk tidak ikut pergi dengan teman kantor yang lain malam ini memang benar. Kalau tidak, pasti mertuaku bisa celaka, atau bahkan rumah ini bisa habis dirampok.
Mama Siska terdiam sejenak, lalu tiba-tiba menggenggam tanganku erat. "Raka…"
Aku terkejut.
"Mama masih takut," bisiknya. "Malam ini… bisa kamu menemani Mama?"
Jantungku berdegup keras."Temani bagaimana, Ma?" tanyaku, berusaha terdengar netral.Dia menatapku, lalu tersenyum tipis. "Temani Mama tidur di kamar. Hanya sebentar sampai Mama tidur. Mama masih takut."Aku menelan ludah. Sejujurnya, mimpi semalam masih membuatku merasa canggung untuk berhadapan dengan Mama Siska. Namun, sekarang kondisinya berbeda. Aku juga sedikit khawatir kalau Mama Siska sampai tidak bisa tidur karena ketakutan.Namun, rasanya ini tidak benar. Bagaimana bisa aku menemani ibu mertuaku untuk tidur di kamarnya?“Tapi, Ma …”Mama Siska mengeratkan genggamannya, matanya menatapku dengan lembut. "Mama takut, Raka.""Tapi......" Aku ragu."Di rumah ini hanya ada kita berdua, Nayla masih menginap di rumah temannya. Kalau saja dia ada, Mama akan meminta Nayla untuk menemani." Mama Siska menatapku dengan mata sedikit berair. Sepertinya, dia benar-benar sangat ketakutan.Aku menghela napas pasrah. Sepertinya, pikiranku memang terlalu liar sampai-sampai hampir tega mengabai
Mama Siska menatapku, ekspresinya sulit diartikan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang jelas tidak seharusnya ada.Namun, saat aku hendak menciumnya lagi, tiba-tiba bayangan wajah Tiara muncul di kepalaku. Aku langsung menegakkan punggungku, menarik tanganku perlahan, lalu berbalik memunggungi Mama Siska lagi. "Ma, ini nggak benar."Ia terdiam, lalu menunduk. Aku bisa melihat jemarinya mengepal di atas selimut. Ada rasa kecewa di sana, tapi juga kesadaran.Aku menghela napas, lalu bangkit dari ranjang. Mata Mama Siska masih tertuju padaku, tapi kali ini berbeda—tidak lagi ada keinginan yang terselubung, hanya ada kelelahan dan sedikit rasa malu."Maaf, Raka…" katanya, suaranya nyaris berbisik.Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Istirahatlah, Ma. Kalau ada apa-apa, panggil saja aku."Tanpa menunggu jawaban, aku melangkah keluar kamar dan menutup pintu pelan-pelan.Aku tidak ingin mengkhianati Tiara, aku berusaha tetap setia dan sabar menunggunya.Di kamarku sendiri, aku duduk d
Aku pura-pura tidak mendengar ucapannya dan langsung membantunya berdiri."Ayo saya antar.” Akhirnya aku menggandeng tubuhnya yang lemas, kita berjalan menuju pintu keluar.Namun, ada satu masalah.Aku tidak tahu di mana rumah Alicia.“Bu, di mana alamat rumahmu?” Aku berusaha bertanya padanya.Namun, seperti dugaanku, percuma bertanya kepadanya karena kondisinya yang sudah terlalu mabuk untuk memberi tahu alamat rumahnya. Aku akhirnya memutuskan untuk menyewa satu kamar agar Alicia bisa beristirahat.Sesampainya di kamar, aku menuntun Alicia untuk berbaring di ranjang. Ia menatapku dengan mata setengah sadar. "Raka..." panggilnya dengan suara serak, ia menahan lenganku hingga membuatku tetap menunduk di atasnya"Ada apa, Bu?" tanyaku dengan berusaha tetap biasa saja.Alicia tersenyum miring dan dengan gerakan pelan, satu tangannya mulai membuka kancing blazernya satu persatu. "Apa kamu benar-benar tidak tertarik padaku?" tanyanya, suaranya menggoda. Satu tangannya yang lain mulai
“Mpphh,” lenguh Mama Siska ketika aku langsung menciumnya. Mendapat ciuman dadakan dariku, Mama Siska masih tampak sedikit bingung, ia meremas ujung bajuku dengan erat. Tanganku mulai bergerak semakin liar, bukan hanya menyentuh pahanya, tapi juga menuju ujung pahanya hingga hampir mengenai bagian intinya. Jika sebelumnya aku menolak, kini aku akan melakukan sebaliknya. Aku membuka mataku, dan melepas ciumanku. Aku melirik Mama Siska yang menatapku dengan tatapan terkejut. Ia menggigit bibir bawahnya, aku tahu ia ingin melakukannya, tetapi ada sorot kebingungan di matanya. Namun, aku tidak peduli, aku sudah tidak tahan lagi. Seketika, aku kembali mencium bibirnya. Kali ini bukan ciuman biasa, tetapi ciuman yang begitu bernafsu. Selama ini aku memang tertarik pada ibu mertuaku ini, tetapi aku masih menahannya karena memikirkan statusku sebagai suami Tiara. Mama Siska kembali terkejut melihat aksiku yang sangat agresif. “Nghhh.” Lagi-lagi Mama Siska mendesah lepas saat aku
Setelah selesai mandi dan bersiap-siap untuk bekerja, aku segera bergegas pergi. Namun, seperti biasa, Mama Siska sudah menungguku di meja makan. Dia menatapku dengan sorot mata lembut, tetapi penuh ketegasan, lalu mendorong piring berisi sarapan ke arahku.Jika mengingat peristiwa semalam, rasanya aku tidak percaya itu semua bisa terjadi. Tapi dari awal, aku memang tertarik padanya. Walaupun sudah kepala empat, tapi dia masih terlihat awet muda. Dia masih tetap cantik, tubuhnya ramping dan seksi.Setelah tahu Tiara ternyata mengkhianatiku, kini aku tidak akan lagi menjadi seorang suami yang setia."Makan dulu, Raka. Setidaknya isi perutmu sebelum berangkat," katanya.Aku hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. "Aku buru-buru, Ma. Kopi saja sudah cukup."Mama Siska menghela napas, tapi tidak memaksaku. Aku meneguk kopiku dengan cepat, lalu beranjak pergi. Namun sebelum aku benar-benar keluar rumah, dia sempat berkata, "Jaga dirimu baik-baik."Lalu, Mama Siska mengusap lenganku dengan
Aku menyerahkan helm kepada Liana sebelum menyalakan motor. Dia menerimanya tanpa banyak bicara, lalu mengenakannya dengan sedikit canggung. Dari dekat, wajahnya memang terlihat lebih pucat dari biasanya. Saat aku menaiki motor dan menstabilkan posisi, Liana ragu-ragu sebelum akhirnya naik ke jok belakang. Aku bisa merasakan tubuhnya menempel di punggungku, meskipun dia tidak memelukku“Kamu yakin gak mau ke dokter dulu?” tanyaku memastikan lagi.Liana menggeleng pelan. “Gak perlu. Aku cuma capek aja, tadi siang aku lupa makan.”Aku menghela napas, lalu mulai melajukan motor keluar dari area parkir kantor.Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aku hanya fokus mengemudi, sementara Liana masih diam di belakangku. Tapi kemudian, aku mendengar suaranya yang kecil, nyaris tersapu angin.“Tumben kamu mau antar aku pulang, Raka? Dulu kamu kan gak pernah mau bawa cewek lain di motormu.”Aku menoleh sebentar sebelum kembali menatap jalan. “Kan kamu lagi sakit, Li.”Liana terkekeh pelan. “W
Liana langsung menarik tubuhku dan mencium bibirku. Di sela ciuman itu, dia menuntunku untuk berjalan perlahan, hingga akhirnya kami masuk ke kamarnya. Sentuhan bibirnya begitu hangat, lidahnya ia mainkan membuatku semakin bergairah."Ngghh Raka ssshh..." Dia mendesah saat aku memberikan kecupan di lehernya.Kami kembali saling berciuman, kemudian ia mendorongku ke atas kasur. Ia mengambil tasnya yang tergantung di dekat pintu dan mencari sesuatu. Aku terkejut ketika melihat Liana memberiku pengaman."Kok kamu bisa punya ini?" tanyaku penasaran.Liana sedikit menggigit bibir bawahnya, lalu tersenyum aneh. “Itu …”Aku mengerutkan dahi, terus menatapnya. Sejauh yang aku tahu, meskipun Liana mudah bergaul, dia tidak pernah sampai ke arah seperti ini.Kemudian, bayangan Sarah yang tersenyum aneh ketika aku memutuskan untuk mengantar Liana kembali muncul di kepalaku.Ah, sepertinya aku paham sekarang.Aku menatap Liana lalu tersenyum sambil mengangkat satu alis. Liana yang langsung menangk
Mama Siska berdiri di ruang tamu, tatapannya terlihat sangat khawatir. Sepertinya ia menungguku sejak tadi, dan entah mengapa aku malah merasa bersalah padanya.Aku terdiam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal. Tentu saja aku tidak bisa mengatakan kalau aku dari rumah Liana, jadi aku memilih jawaban yang aman.“Tadi masih banyak kerjaan di kantor, Ma.” Aku berusaha terdengar santai, meskipun sebenarnya entah kenapa ada ketegangan dalam hatiku.Mama Siska memperhatikanku dengan saksama, lalu mendekat. Matanya menyipit, seolah sedang menilai sesuatu yang tidak terlihat.Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan melewatinya. “Aku ke kamar dulu ya, Ma.”“Kenapa wangi tubuhmu aneh?” tanyanya tiba-tiba.Aku langsung tersentak dan seketika menghentikan langkahku. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku baru sadar, sepertinya aroma parfum yang dipakai Liana tadi masih menempel di bajuku. Aku berusaha tetap tenang, meskipun dalam hati aku sudah panik setengah mati.“Eh… Aku tadi mandi
Acara peresmian bisnis Bu Alicia berjalan lancar, penuh kemewahan dan keceriaan. Bu Alicia menyuruhku terus mendampinginya, seperti pengawal setia. Salah satu klien, pria tua berkacamata tebal, tiba-tiba bertanya, “Bu Alicia, ini siapa? Apa ini pacarnya?” Matanya tertuju kepadaku, penuh rasa ingin tahu.Alicia menatapku, senyumnya menggoda. “Oh, ini temanku,” katanya, nadanya lembut, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang membuat jantungku berdebar.Tapi saat mengatakan 'teman' itu dia menatapku dengan tatapan menggoda. Tentu saja mereka pasti tidak percaya, “Oh teman, ya? Tapi sangat cocok Bu, Bapak ini pasti seorang pebisnis juga seperti Ibu,” godanya, dan tamu lain di dekat kami ikut tersenyum.Aku hanya tersenyum kaku, tidak tahu harus berkata apa. Mereka seolah berpikir aku kekasih Bu Alicia, ada yang berbisik, mengira aku pengusaha dari Paris, karena Bu Alicia punya bisnis di sana. Bu Alicia hanya tertawa, tidak membenarkan atau menolak, membiarkan mereka berimajinasi.Acara di
Entah kenapa, setiap Liana dekat denganku, aku melihat ada tatapan aneh dari Reza ketika aku dan Liana berduaan. Sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, Bu Alicia baru datang dan memanggilku.“Raka, ke ruanganku,” katanya, nadanya datar tetapi tegas.Aku segera bangkit, mengikutinya dari belakang, merasa jantungku mulai berdebar.Di ruangannya, dia duduk di kursi besar, menyuruhku untuk duduk. Tiba-tiba dia menyerahkan tas jinjing hitam yang tampak mewah.“Ini apa, Bu?” tanyaku, bingung.Dia hanya tersenyum tipis, “Buka saja!”Aku membukanya secara perlahan, dan isinya membuatku terbelalak—tuxedo hitam mengkilap, sepatu kulit, dan jam tangan dengan logo yang langsung membuatku tahu ini barang mahal. Bukan merek sembarangan, mungkin menabung setahun pun aku tidak akan mampu membelinya.“Ini… punya siapa, Bu?” tanyaku, masih tidak percaya.Dia menatapku, “Punya kamu, Raka. Masa kamu memakai baju biasa ke acara nanti? Pakai ini,” katanya, nadanya santai tetapi ada tekanan.“Bu, ini terla
Pagi tiba, aku membuka mata, dan Tiara masih tidur pulas di sampingku—sangat tidak biasa, biasanya dia sudah bangun lebih dulu. Aku bangkit pelan, duduk di tempat tidur, meregangkan otot yang kaku. Akhir-akhir ini pekerjaan menumpuk, olahraga hampir tidak pernah. Mumpung masih ada waktu, aku memutuskan berolahraga ringan di kamar—push-up, sit-up, sampai tubuhku mulai berkeringat. Badan terasa segar, napas lebih ringan. Tiba-tiba Tiara muncul dari belakang, memeluk pinggangku erat, membuatku terkejut. “Mas, olahraga pagi, ya?” katanya, suaranya manja, kepalanya bersandar di punggungku. Aku mencoba melepaskan pelukannya, “Ti, aku bau keringat,” kataku, berusaha santai. Tetapi dia malah tertawa kecil, “Tidak apa-apa, Mas. Aroma keringatmu justru harum. Kamu lupa, ya, dulu aku suka begini?” nadanya genit, tangannya semakin erat. Aku merasa geli—bukan geli senang, tetapi jijik. Dulu kami memang sering olahraga bersama, jogging pagi, gym, dan dia suka mencium aroma tubuhku setelah lati
“Pengaman yang waktu itu, masih ada loh,” kata Liana dengan suara yang sangat menggoda. Dia melepas pelukannya dan menatapku dari bawah dengan tatapan yang sangat sensual.Sebenarnya aku tahu, saat Liana memintaku untuk mampir, itu bukan hanya sekadar mampir."Liana, kamu ...."Namun, Liana langsung membungkamku dengan ciumannya, meskipun dia harus berjinjit.Aku sedikit terkejut saat Liana melakukan itu. Namun, entah kenapa rasanya aku sama sekali tidak keberatan.Perlahan aku membalas ciuman Liana. Aku sedikit menunduk dan memegang pinggang ramping Liana. Aku bisa merasakan senyum kemenangan dari Liana di sela ciuman kami.Kemudian, Liana melepas ciuman itu, kembali menatapku dengan mata sayunya. “Main di sofa kayaknya gak kalah panas dengan main di kasur.”Sejenak aku benar-benar terpaku dengan ucapan Liana. Aku sama sekali masih tidak menyangka bahwa Liana yang tampak seperti perempuan biasa justru memiliki sisi lain yang begitu ‘liar’.“Pintu depan sudah kamu kunci?” tanyaku deng
“Ma, Mama sudah sembuh, ya? Mama terlihat segar dan ceria lagi!” kata Tiara yang menyadari perbedaan Mama Siska.Pagi itu, saat kami semua sedang sarapan, Mama Siska memang tampak sangat berbeda dari hari kemarin. Wajahnya terlihat lebih segar, bahkan seperti bunga yang baru mekar.Mama Siska tertawa kecil, pipinya merona tipis.Nayla yang sejak tadi fokus makan, tiba-tiba ikut berkomentar.“Iya, semalam Mama terlihat lemas begitu,” katanya, menoleh ke Mama Siska dengan mata penasaran.Mama Siska menoleh kepadaku sekilas—sangat cepat, hampir tidak terlihat.“Oh, iya, semalam Mama agak kecapekan. Tapi sudah sembuh, berkat kapsul dari Raka,” katanya, senyumnya nakal, seperti sengaja menggoda. Aku kaget, tersedak, hampir menyemprotkan teh ke meja. Tiara buru-buru memberikan aku segelas air.“Mas, kenapa? Kamu gak apa-apa?” tanyanya, khawatir.“Gak apa-apa, cuma tersedak,” jawabku buru-buru, mencoba menutupi kepanikan. Nayla kembali menimpali dengan polos, “Oh, obat kapsul itu, ya? Iya
“Mas, sekarang kamu rajin sekali?” kata Tiara, setengah bercanda saat melihat aku membereskan piring kotor setelah kami makan malam.Aku hanya tersenyum tipis, tidak menjawab. Namun, tiba-tiba dia ikut membantu, padahal sebelumnya tidak pernah.Nayla juga ikut, membereskan meja, dan kami bekerja bersama seperti tim dadakan.“Kak, Abang, aku ke kamar dulu ya, mau tidur,” kata Nayla setelah selesai membersihkan meja.“Iya, Nay, selamat istirahat,” jawabku sambil tersenyum ke arahnya. Sementara Tiara hanya mengangguk dan tersenyum.Kemudian, aku melanjutkan kegiatanku. Saat aku sedang membilas gelas, Tiara tiba-tiba, memeluk pinggangku dari belakang. Aku kaget, hampir menjatuhkan gelas.“Mas, kamu kangen momen kayak gini gak? Dulu kamu selalu lakuin ini ke aku,” katanya, suaranya genit, mencoba bercanda.Namun, aku mencoba melepaskan pelukannya.“Ti, aku lagi cuci piring ini,” kataku, nadaku datar. Namun, dia malah memeluk lebih erat, tertawa kecil, seolah tidak peduli.Saat aku mencoba
Sore itu, setelah selesai bekerja, aku langsung pergi ke parkiran untuk meninggalkan kantor. Sebelum selesai bekerja, Mama Siska sempat mengirim pesan kepadaku, meminta tolong membeli sate untuk makan malam di rumah. Katanya, dia ingin makan sate.Namun, saat aku ingin melajukan motorku, tiba-tiba Liana datang.“Raka, boleh gak aku nebeng kamu? Hari ini aku capek banget, kalau harus nunggu ojek datang aku gak sanggup deh, biasanya suka lama soalnya,” kata Liana langsung.Aku bisa melihat wajah lelahnya. Jujur aku ingin mengantarnya, tapi aku juga harus pulang lebih cepat karena pasti Mama Siska menungguku membawakan pesanannya.“Aduh, Li, maaf banget, bukannya aku gak mau, tapi aku udah ada janji lain,” tolakku dengan halus, berusaha tidak membuatnya merasa tersinggung.“Yah, sebentar saja apa gak bisa, Raka?” tanya Liana. Wajahnya benar-benar terlihat lelah.“Gak bisa, Li. Aku harus buru-buru juga soalnya.”Namun, tak lama kemudian, Reza tiba-tiba datang.“Kamu mau pulang, Li? Aku an
Tak lama setelah aku duduk di meja, Liana masuk kantor dengan langkah cepat, hampir berlari kecil. Bukan Liana namanya kalau tidak heboh, dia menyapa semua orang dengan suara riang, membuat suasana kantor yang tadinya sepi menjadi ramai.Namun, saat aku tidak lagi memperhatikannya dan fokus pada layar monitorku, tiba-tiba Liana datang sambil membawa segelas coklat panas.“Raka, ini pasti dari kamu, kan? Makasih ya, Raka,” katanya dengan senyum riang di wajahnya sambil menunjukkan segelas coklat panas itu.Aku mengernyitkan dahi, tidak paham dengan apa yang dikatakan Liana. “Li, itu bukan dari aku.”Namun, Liana seolah tidak peduli dan menganggap ucapanku hanya bercanda. “Ah, gak usah malu gitu, Raka. Aku tahu kamu memang bukan tipe yang perhatian secara blak-blakan.”“Tapi, Li, itu memang bukan dari aku,” kataku lagi, berusaha meyakinkan Liana.“Kenapa, Raka?” sahut Sarah yang tiba-tiba muncul setelah melihatku berbicara dengan Liana.“Sarah, kamu tadi datang sebelum aku datang, kan?
Malam sudah larut, tetapi Tiara masih belum pulang. Bukannya aku peduli ataupun khawatir, tapi aku tidak habis pikir dengan sikapnya.Demi untuk kesenangan pribadi, dia sampai berbohong entah itu padaku, Mama Siska dan Nayla. Dia benar-benar keterlaluan, sudah saatnya kebohongannya aku bongkar.Sampai kemudian rasa kantuk datang, akupun tertidur pulas.Tengah malam, aku mendengar pintu kamar dibuka pelan, aku yakin pasti Tiara. Aku berpura-pura tidur, tidak mau membuka mata. Dia duduk di ranjang, di belakang punggungku. Aku mendengar getar ponselnya, pasti sedang chatingan dengan Alex. Aku menahan napas, menahan amarah, dan tetap diam sampai aku benar-benar tertidur lagi.Hingga pagi hari tiba, sandiwara kembali dimulai. Aku membuka mata, Tiara sudah di sampingku, merangkulku erat, lalu mencium keningku.“Mas, maaf, ya, semalam ada meeting sampai larut. Makanya tidak bisa makan malam bersama,” katanya, suaranya sangat manis, seperti istri penyayang.Aku hanya tersenyum kaku, menganggu