Aku pura-pura tidak mendengar ucapannya dan langsung membantunya berdiri.
"Ayo saya antar.” Akhirnya aku menggandeng tubuhnya yang lemas, kita berjalan menuju pintu keluar.
Namun, ada satu masalah.
Aku tidak tahu di mana rumah Alicia.
“Bu, di mana alamat rumahmu?” Aku berusaha bertanya padanya.
Namun, seperti dugaanku, percuma bertanya kepadanya karena kondisinya yang sudah terlalu mabuk untuk memberi tahu alamat rumahnya. Aku akhirnya memutuskan untuk menyewa satu kamar agar Alicia bisa beristirahat.
Sesampainya di kamar, aku menuntun Alicia untuk berbaring di ranjang. Ia menatapku dengan mata setengah sadar.
"Raka..." panggilnya dengan suara serak, ia menahan lenganku hingga membuatku tetap menunduk di atasnya
"Ada apa, Bu?" tanyaku dengan berusaha tetap biasa saja.
Alicia tersenyum miring dan dengan gerakan pelan, satu tangannya mulai membuka kancing blazernya satu persatu.
"Apa kamu benar-benar tidak tertarik padaku?" tanyanya, suaranya menggoda. Satu tangannya yang lain mulai membelai dadaku.
Aku menghela napas panjang, lalu segera menepis tangan Alicia. Aku berdiri tegak dan melangkah mundur. "Bu Alicia, Anda mabuk. Anda perlu istirahat."
Namun, Alicia justru berdiri dan berjalan ke arahku, nyaris kehilangan keseimbangan.
"Raka... malam ini biarkan aku jadi perempuan biasa. Tanpa jabatan, tanpa aturan," bisiknya.
Namun, aku tidak bergerak. Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan diri. Aku tuntun dia untuk kembali berbaring di kasur. Aku buka sepatunya, dan ketika aku hendak bangun, tiba-tiba dia menarik tubuhku hingga aku terjatuh di atas tubuhnya.
"Ayo Raka malam ini kita bersenang-senang, puaskan aku!" ajaknya, nada bicaranya berat semakin tidak jelas.
"Anda sebaiknya istirahat Bu, Anda mabuk berat."
Aku berusaha bangun dan menjauhinya. Aku tidak ingin terkena masalah lagi, masalahku sudah cukup banyak.
Akhirnya Bu Alicia tidak meracau lagi, sepertinya dia sudah benar-benar tertidur. Aku menyelimutinya, sebelum aku meninggalkannya.
Tanpa menunggu reaksi lebih jauh, aku langsung keluar dari kamar dan menutup pintu dengan cepat. Aku menghembuskan napas panjang.
"Gila. Nyaris saja."
Namun, saat aku berjalan melewati lorong hotel, mataku tiba-tiba menangkap sosok yang sangat aku kenal.
Tiara.
Aku berhenti di tempat.
Aku melihat Tiara berjalan di samping seorang pria yang jelas-jelas itu adalah bosnya, tapi keduanya tampak sangat akrab. Bahkan, Tiara terus memeluk lengan bosnya itu.
Mereka berhenti di depan sebuah kamar, dan tanpa ragu, pria itu membuka pintu dan menggandeng Tiara masuk ke dalam.
Jantungku berdetak kencang.
"Tidak mungkin."
Tanganku mengepal. Tiara bilang ia sedang dinas di luar kota. Tidak mungkin ia ada di sini, apalagi bersama pria lain.
Namun, aku juga tidak mungkin salah mengenali istriku sendiri.
Aku butuh kepastian. Aku ingin meyakinkan diri, aku takut jika aku salah lihat. Aku berjalan ke depan pintu kamar mereka. Aku bisa mendengar samar-samar suara tawa Tiara di dalam sana.
Aku segera mengambil ponsel dan menekan nomor Tiara. Dari luar pintu kamar itu, ternyata aku mendengar suara dering ponselnya.
Mataku membelalak.
Tidak mungkin.
"Halo, Mas..." kata Tiara dari sambungan telepon. Namun, aku juga bisa mendengar dengan samar suara itu berasal dari dalam kamar ini.
Aku menggertakkan gigi.
"Kamu di mana? Aku kangen sama kamu,” kataku berusaha menahan emosi.
"Aku di apartemen. Baru pulang kerja, capek banget hari ini, Mas."
Aku merasakan kemarahan yang semakin membakar dadaku. Aku hampir tertawa miris. “Oh begitu ya?"
Tiara mendesah kecil. "Iya, Mas. Aku capek banget, mau mandi terus langsung tidur. Nanti aku telepon lagi ya."
Tanpa menunggu jawaban, Tiara menutup panggilannya.
Aku berdiri kaku di depan pintu kamar itu.
Hatiku terasa hancur.
Selama ini, aku menahan godaan dari Mama Siska. Aku menolak perhatian lebih dari Liana. Bahkan aku tidak tergoda oleh Alicia yang jelas-jelas ingin tidur denganku.
Namun, di saat aku menjaga kesetiaanku…
Tiara justru mengkhianatiku.
“Suamimu, Tiara?”
Belum sempat aku melangkah pergi, aku kembali mendengar suara pria itu di dalam kamar. Meskipun hanya samar, tetapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas ia menyebut nama Tiara.
“Iya, Mas.”
Mas?
Tiara memanggilnya Mas?
“Kenapa kamu sampai mau menikah dengannya padahal dia bukan orang kaya. Kamu gak akan bahagia kalau hidup sama dia. Kalian menikah belum ada satu bulan, batalkan saja janji pernikahan kalian.”
“Aku cuma ngerasa gak enak dan kasihan sama dia. Semua orang tahu kalau dia cinta mati sama aku, dia selalu kejar aku, dan mau lakuin semua yang aku minta. Jadi, ya menurutku gak ada ruginya juga aku menikah sama dia karena dia bisa aku suruh-suruh. Lagipula, hubungan kita juga gak tahu bisa bertahan sampai kapan, kan?”
“Ini alasan aku suka sama kamu. Karena kamu tahu batas main kita dan kamu juga paling bisa mempermainkan pria, haha.”
“Ahh, Mas. Hahaha pelan-pelan.”
Tanganku mengepal dengan kuat. Semua ucapan Tiara dan bosnya benar-benar bisa terdengar jelas di telingaku. Tawa dan desahan Tiara membuatku semakin terbakar emosi dan rasa jijik.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berbalik. Aku berjalan keluar hotel dengan langkah berat.
Rasanya ingin ku berteriak sekeras mungkin. Aku tidak menyangka, Tiara tega bermain di belakangku, bahkan memanfaatkanku. Padahal aku sangat mencintainya, aku berusaha menjadi pasangan yang baik untuknya.
Saat dia pergi meninggalkanku demi karirnya, aku menjaga diri untuk tidak tergoda perempuan lain. Tapi nyatanya, justru dia tega mengkhianatiku, padahal pernikahan ini baru berjalan 3 minggu.
Aku tersenyum getir. Aku benar-benar tidak menyangka, Tiara yang aku yakini sebagai perempuan paling tepat, perempuan paling baik dan sempurna untukku, ternyata malah merusak semuanya. Ia mencabik-cabik hatiku sampai hancur.
Begitu aku tiba di rumah, aku melihat lampu ruang tamu masih menyala. Aku menemukan Mama Siska masih terjaga di ruang tamu.
"Raka? Kamu baru pulang?" tanyanya lembut.
Aku hanya mengangguk, lalu duduk di sofa dengan tatapan kosong.
Mama Siska menatapku, menyadari ada sesuatu yang tidak beres. "Kamu kenapa?"
Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap ke depan, mencoba menenangkan amarah dan sakit hatiku.
Malam itu, aku sadar. Terkadang, kesetiaan tidak cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan.
"Raka, coba cerita sama Mama. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Aku menatap wajahnya, malam ini Mama Siska memakai gaun tidurnya yang sangat seksi. Aku memperhatikan belahan dadanya yang begitu menggoda. Pahanya juga sangat mulus dan putih, hingga aku menatap wajahnya dalam-dalam. Ia begitu cantik, seketika gairahku naik.
“Aku gak apa-apa, Ma,” jawabku pelan. Pandanganku beralih menyusuri rumah yang terasa sepi. “Nayla belum pulang, Ma?”
Mama Siska menggelengkan kepalanya. “Belum, katanya besok siang dia baru pulang.”
Aku mengangguk pelan.
Aku akan membalasmu malam ini, Tiara!
Kuletakkan tanganku di atas paha Mama Siska dan merabanya, bukan hanya meraba biasa, tapi lebih intens.
“R–Raka …”
Mama Siska menatapku dengan sedikit kebingungan, tapi aku bisa melihat bahwa dia juga tidak menolak sentuhanku.
Mungkin malam ini aku harus melampiaskannya, percuma saja terus menahan diri, jika Tiara sudah tidak peduli lagi padaku.
“Mama bilang, kalau aku butuh apa-apa, aku bisa kasih tahu Mama dan Mama akan berikan, kan?” Aku menatapnya dengan intens dan tanganku bergerak semakin berani.
“I–iya …” Mama Siska tampak kebingungan, tetapi wajahnya semakin memerah.
Aku tersenyum samar. “Kalau aku bilang malam ini aku butuh kehangatan Mama, Mama bersedia kasih itu ke aku?”
“Mpphh,” lenguh Mama Siska ketika aku langsung menciumnya. Mendapat ciuman dadakan dariku, Mama Siska masih tampak sedikit bingung, ia meremas ujung bajuku dengan erat. Tanganku mulai bergerak semakin liar, bukan hanya menyentuh pahanya, tapi juga menuju ujung pahanya hingga hampir mengenai bagian intinya. Jika sebelumnya aku menolak, kini aku akan melakukan sebaliknya. Aku membuka mataku, dan melepas ciumanku. Aku melirik Mama Siska yang menatapku dengan tatapan terkejut. Ia menggigit bibir bawahnya, aku tahu ia ingin melakukannya, tetapi ada sorot kebingungan di matanya. Namun, aku tidak peduli, aku sudah tidak tahan lagi. Seketika, aku kembali mencium bibirnya. Kali ini bukan ciuman biasa, tetapi ciuman yang begitu bernafsu. Selama ini aku memang tertarik pada ibu mertuaku ini, tetapi aku masih menahannya karena memikirkan statusku sebagai suami Tiara. Mama Siska kembali terkejut melihat aksiku yang sangat agresif. “Nghhh.” Lagi-lagi Mama Siska mendesah lepas saat aku
Setelah selesai mandi dan bersiap-siap untuk bekerja, aku segera bergegas pergi. Namun, seperti biasa, Mama Siska sudah menungguku di meja makan. Dia menatapku dengan sorot mata lembut, tetapi penuh ketegasan, lalu mendorong piring berisi sarapan ke arahku.Jika mengingat peristiwa semalam, rasanya aku tidak percaya itu semua bisa terjadi. Tapi dari awal, aku memang tertarik padanya. Walaupun sudah kepala empat, tapi dia masih terlihat awet muda. Dia masih tetap cantik, tubuhnya ramping dan seksi.Setelah tahu Tiara ternyata mengkhianatiku, kini aku tidak akan lagi menjadi seorang suami yang setia."Makan dulu, Raka. Setidaknya isi perutmu sebelum berangkat," katanya.Aku hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. "Aku buru-buru, Ma. Kopi saja sudah cukup."Mama Siska menghela napas, tapi tidak memaksaku. Aku meneguk kopiku dengan cepat, lalu beranjak pergi. Namun sebelum aku benar-benar keluar rumah, dia sempat berkata, "Jaga dirimu baik-baik."Lalu, Mama Siska mengusap lenganku dengan
Aku menyerahkan helm kepada Liana sebelum menyalakan motor. Dia menerimanya tanpa banyak bicara, lalu mengenakannya dengan sedikit canggung. Dari dekat, wajahnya memang terlihat lebih pucat dari biasanya. Saat aku menaiki motor dan menstabilkan posisi, Liana ragu-ragu sebelum akhirnya naik ke jok belakang. Aku bisa merasakan tubuhnya menempel di punggungku, meskipun dia tidak memelukku“Kamu yakin gak mau ke dokter dulu?” tanyaku memastikan lagi.Liana menggeleng pelan. “Gak perlu. Aku cuma capek aja, tadi siang aku lupa makan.”Aku menghela napas, lalu mulai melajukan motor keluar dari area parkir kantor.Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aku hanya fokus mengemudi, sementara Liana masih diam di belakangku. Tapi kemudian, aku mendengar suaranya yang kecil, nyaris tersapu angin.“Tumben kamu mau antar aku pulang, Raka? Dulu kamu kan gak pernah mau bawa cewek lain di motormu.”Aku menoleh sebentar sebelum kembali menatap jalan. “Kan kamu lagi sakit, Li.”Liana terkekeh pelan. “W
Liana langsung menarik tubuhku dan mencium bibirku. Di sela ciuman itu, dia menuntunku untuk berjalan perlahan, hingga akhirnya kami masuk ke kamarnya. Sentuhan bibirnya begitu hangat, lidahnya ia mainkan membuatku semakin bergairah."Ngghh Raka ssshh..." Dia mendesah saat aku memberikan kecupan di lehernya.Kami kembali saling berciuman, kemudian ia mendorongku ke atas kasur. Ia mengambil tasnya yang tergantung di dekat pintu dan mencari sesuatu. Aku terkejut ketika melihat Liana memberiku pengaman."Kok kamu bisa punya ini?" tanyaku penasaran.Liana sedikit menggigit bibir bawahnya, lalu tersenyum aneh. “Itu …”Aku mengerutkan dahi, terus menatapnya. Sejauh yang aku tahu, meskipun Liana mudah bergaul, dia tidak pernah sampai ke arah seperti ini.Kemudian, bayangan Sarah yang tersenyum aneh ketika aku memutuskan untuk mengantar Liana kembali muncul di kepalaku.Ah, sepertinya aku paham sekarang.Aku menatap Liana lalu tersenyum sambil mengangkat satu alis. Liana yang langsung menangk
Mama Siska berdiri di ruang tamu, tatapannya terlihat sangat khawatir. Sepertinya ia menungguku sejak tadi, dan entah mengapa aku malah merasa bersalah padanya.Aku terdiam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal. Tentu saja aku tidak bisa mengatakan kalau aku dari rumah Liana, jadi aku memilih jawaban yang aman.“Tadi masih banyak kerjaan di kantor, Ma.” Aku berusaha terdengar santai, meskipun sebenarnya entah kenapa ada ketegangan dalam hatiku.Mama Siska memperhatikanku dengan saksama, lalu mendekat. Matanya menyipit, seolah sedang menilai sesuatu yang tidak terlihat.Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan melewatinya. “Aku ke kamar dulu ya, Ma.”“Kenapa wangi tubuhmu aneh?” tanyanya tiba-tiba.Aku langsung tersentak dan seketika menghentikan langkahku. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku baru sadar, sepertinya aroma parfum yang dipakai Liana tadi masih menempel di bajuku. Aku berusaha tetap tenang, meskipun dalam hati aku sudah panik setengah mati.“Eh… Aku tadi mandi
Aku melihat sekeliling memastikan pria itu tidak mendekati Nayla lagi. Namun, aku justru melihat Nayla menatapku tanpa berkedip sambil tersenyum. "Nayla... Nayla... "Aku memanggilnya beberapa kali tapi dia tidak menjawab. Sepertinya ia sedang bengong, aku melihat ke kiri kanan dan kebelakang tapi tidak ada siapa-siapa hanya ada aku saja. Rupanya ia melihatku dari tadi. Dasar bocah, aku tertawa sambil menepuk pundaknya."Nay, Nayla... "Ia pun tersadar, ia terlihat terkejut dan malu."I-iya Bang." Jawabnya gelagapan."Ko malah bengong? Kenapa? Terpesona ya lihat Abang?" Tanyaku menggodanya.Mukanya langsung memerah. "Ihh e-enggak." Tapi, muka merahnya tidak bisa berbohong, aku mencubit hidungnya yang mancung."Ya udah kamu masuk sana! Abang pergi ya, mau langsung ke kantor!""Iya Bang hati-hati."Nayla pun berlari menuju kelas, kita berjalan berlawanan. Tapi saat aku berbalik untuk pergi, tiba-tiba sekelompok teman perempuan Nayla datang menghampirinya. Mereka tampak heboh, matanya
Hari ini aku pulang lebih awal dari biasanya.Saat tiba di rumah, Mama Siska dan Nayla masih duduk di ruang makan, menikmati makan malam bersama. “Ayo, makan dulu, Raka,” ajak Mama Siska dengan senyuman di wajahnya.Aku menggeleng pelan. “Nggak usah, Ma. Aku masih kenyang, tadi sebelum pulang aku makan dulu sama temen kantor.”Mama Siska terdiam sejenak, matanya terus menatapku dengan dalam.“Oh gitu, ya? Tapi, kamu jangan keseringan makan di luar ya, Raka. Kan, di rumah ini ada Mama yang bisa masak buat kamu, dan uang kamu juga bisa kamu tabung, katanya kamu mau beli rumah sama Tiara, kan?” kata Mama Siska akhirnya.Aku mengerutkan dahi, ternyata Mama Siska tahu kalau aku sedang menabung untuk membeli rumah dengan Tiara. Meskipun sekarang, rasanya aku sudah tidak minat untuk membeli rumah itu.Aku mengangguk pelan. “Iya, Ma. Kalau gitu, aku ke kamar dulu, ya.”Aku langsung melangkah ke arah kamarku tanpa menunggu jawaban dari Mama Siska.Malam itu, aku merasa sangat lelah. Tiara sem
Aku mengangguk, tapi aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam situasi ini. Bukankah lebih baik kalau pekerjaan ini cepat selesai?Saat aku baru menggerakkan mouse untuk kembali mengedit gambar, Bu Alicia justru mengajakku mengobrol. Mau tidak mau, aku harus meladeninya, tidak enak kalau aku mengabaikan atasanku.Obrolan kami semakin intens. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa cara duduk Bu Alicia telah berubah—lebih santai, lebih menggoda.Ia bahkan sengaja membuka kancing atas blusnya sedikit, memperlihatkan kulitnya yang halus.Aku mulai merasa kalau ini bukan sekadar perbincangan biasa.Aku bisa merasakan hawa panas yang berbeda di ruangan ini.Aku melirik jam di dinding yang telah berhenti di angka 10. Sudah berkali-kali aku mencoba kembali fokus menyelesaikan pekerjaanku, tapi Bu Alicia selalu punya cara untuk menahanku.Bu Alicia duduk lebih dekat dari sebelumnya. Parfum mahal yang selalu kupikir hanya sekadar pelengkap, malam ini terasa lebih menusuk. Matanya yang tajam, penuh pe
Acara peresmian bisnis Bu Alicia berjalan lancar, penuh kemewahan dan keceriaan. Bu Alicia menyuruhku terus mendampinginya, seperti pengawal setia. Salah satu klien, pria tua berkacamata tebal, tiba-tiba bertanya, “Bu Alicia, ini siapa? Apa ini pacarnya?” Matanya tertuju kepadaku, penuh rasa ingin tahu.Alicia menatapku, senyumnya menggoda. “Oh, ini temanku,” katanya, nadanya lembut, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang membuat jantungku berdebar.Tapi saat mengatakan 'teman' itu dia menatapku dengan tatapan menggoda. Tentu saja mereka pasti tidak percaya, “Oh teman, ya? Tapi sangat cocok Bu, Bapak ini pasti seorang pebisnis juga seperti Ibu,” godanya, dan tamu lain di dekat kami ikut tersenyum.Aku hanya tersenyum kaku, tidak tahu harus berkata apa. Mereka seolah berpikir aku kekasih Bu Alicia, ada yang berbisik, mengira aku pengusaha dari Paris, karena Bu Alicia punya bisnis di sana. Bu Alicia hanya tertawa, tidak membenarkan atau menolak, membiarkan mereka berimajinasi.Acara di
Entah kenapa, setiap Liana dekat denganku, aku melihat ada tatapan aneh dari Reza ketika aku dan Liana berduaan. Sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, Bu Alicia baru datang dan memanggilku.“Raka, ke ruanganku,” katanya, nadanya datar tetapi tegas.Aku segera bangkit, mengikutinya dari belakang, merasa jantungku mulai berdebar.Di ruangannya, dia duduk di kursi besar, menyuruhku untuk duduk. Tiba-tiba dia menyerahkan tas jinjing hitam yang tampak mewah.“Ini apa, Bu?” tanyaku, bingung.Dia hanya tersenyum tipis, “Buka saja!”Aku membukanya secara perlahan, dan isinya membuatku terbelalak—tuxedo hitam mengkilap, sepatu kulit, dan jam tangan dengan logo yang langsung membuatku tahu ini barang mahal. Bukan merek sembarangan, mungkin menabung setahun pun aku tidak akan mampu membelinya.“Ini… punya siapa, Bu?” tanyaku, masih tidak percaya.Dia menatapku, “Punya kamu, Raka. Masa kamu memakai baju biasa ke acara nanti? Pakai ini,” katanya, nadanya santai tetapi ada tekanan.“Bu, ini terla
Pagi tiba, aku membuka mata, dan Tiara masih tidur pulas di sampingku—sangat tidak biasa, biasanya dia sudah bangun lebih dulu. Aku bangkit pelan, duduk di tempat tidur, meregangkan otot yang kaku. Akhir-akhir ini pekerjaan menumpuk, olahraga hampir tidak pernah. Mumpung masih ada waktu, aku memutuskan berolahraga ringan di kamar—push-up, sit-up, sampai tubuhku mulai berkeringat. Badan terasa segar, napas lebih ringan. Tiba-tiba Tiara muncul dari belakang, memeluk pinggangku erat, membuatku terkejut. “Mas, olahraga pagi, ya?” katanya, suaranya manja, kepalanya bersandar di punggungku. Aku mencoba melepaskan pelukannya, “Ti, aku bau keringat,” kataku, berusaha santai. Tetapi dia malah tertawa kecil, “Tidak apa-apa, Mas. Aroma keringatmu justru harum. Kamu lupa, ya, dulu aku suka begini?” nadanya genit, tangannya semakin erat. Aku merasa geli—bukan geli senang, tetapi jijik. Dulu kami memang sering olahraga bersama, jogging pagi, gym, dan dia suka mencium aroma tubuhku setelah lati
“Pengaman yang waktu itu, masih ada loh,” kata Liana dengan suara yang sangat menggoda. Dia melepas pelukannya dan menatapku dari bawah dengan tatapan yang sangat sensual.Sebenarnya aku tahu, saat Liana memintaku untuk mampir, itu bukan hanya sekadar mampir."Liana, kamu ...."Namun, Liana langsung membungkamku dengan ciumannya, meskipun dia harus berjinjit.Aku sedikit terkejut saat Liana melakukan itu. Namun, entah kenapa rasanya aku sama sekali tidak keberatan.Perlahan aku membalas ciuman Liana. Aku sedikit menunduk dan memegang pinggang ramping Liana. Aku bisa merasakan senyum kemenangan dari Liana di sela ciuman kami.Kemudian, Liana melepas ciuman itu, kembali menatapku dengan mata sayunya. “Main di sofa kayaknya gak kalah panas dengan main di kasur.”Sejenak aku benar-benar terpaku dengan ucapan Liana. Aku sama sekali masih tidak menyangka bahwa Liana yang tampak seperti perempuan biasa justru memiliki sisi lain yang begitu ‘liar’.“Pintu depan sudah kamu kunci?” tanyaku deng
“Ma, Mama sudah sembuh, ya? Mama terlihat segar dan ceria lagi!” kata Tiara yang menyadari perbedaan Mama Siska.Pagi itu, saat kami semua sedang sarapan, Mama Siska memang tampak sangat berbeda dari hari kemarin. Wajahnya terlihat lebih segar, bahkan seperti bunga yang baru mekar.Mama Siska tertawa kecil, pipinya merona tipis.Nayla yang sejak tadi fokus makan, tiba-tiba ikut berkomentar.“Iya, semalam Mama terlihat lemas begitu,” katanya, menoleh ke Mama Siska dengan mata penasaran.Mama Siska menoleh kepadaku sekilas—sangat cepat, hampir tidak terlihat.“Oh, iya, semalam Mama agak kecapekan. Tapi sudah sembuh, berkat kapsul dari Raka,” katanya, senyumnya nakal, seperti sengaja menggoda. Aku kaget, tersedak, hampir menyemprotkan teh ke meja. Tiara buru-buru memberikan aku segelas air.“Mas, kenapa? Kamu gak apa-apa?” tanyanya, khawatir.“Gak apa-apa, cuma tersedak,” jawabku buru-buru, mencoba menutupi kepanikan. Nayla kembali menimpali dengan polos, “Oh, obat kapsul itu, ya? Iya
“Mas, sekarang kamu rajin sekali?” kata Tiara, setengah bercanda saat melihat aku membereskan piring kotor setelah kami makan malam.Aku hanya tersenyum tipis, tidak menjawab. Namun, tiba-tiba dia ikut membantu, padahal sebelumnya tidak pernah.Nayla juga ikut, membereskan meja, dan kami bekerja bersama seperti tim dadakan.“Kak, Abang, aku ke kamar dulu ya, mau tidur,” kata Nayla setelah selesai membersihkan meja.“Iya, Nay, selamat istirahat,” jawabku sambil tersenyum ke arahnya. Sementara Tiara hanya mengangguk dan tersenyum.Kemudian, aku melanjutkan kegiatanku. Saat aku sedang membilas gelas, Tiara tiba-tiba, memeluk pinggangku dari belakang. Aku kaget, hampir menjatuhkan gelas.“Mas, kamu kangen momen kayak gini gak? Dulu kamu selalu lakuin ini ke aku,” katanya, suaranya genit, mencoba bercanda.Namun, aku mencoba melepaskan pelukannya.“Ti, aku lagi cuci piring ini,” kataku, nadaku datar. Namun, dia malah memeluk lebih erat, tertawa kecil, seolah tidak peduli.Saat aku mencoba
Sore itu, setelah selesai bekerja, aku langsung pergi ke parkiran untuk meninggalkan kantor. Sebelum selesai bekerja, Mama Siska sempat mengirim pesan kepadaku, meminta tolong membeli sate untuk makan malam di rumah. Katanya, dia ingin makan sate.Namun, saat aku ingin melajukan motorku, tiba-tiba Liana datang.“Raka, boleh gak aku nebeng kamu? Hari ini aku capek banget, kalau harus nunggu ojek datang aku gak sanggup deh, biasanya suka lama soalnya,” kata Liana langsung.Aku bisa melihat wajah lelahnya. Jujur aku ingin mengantarnya, tapi aku juga harus pulang lebih cepat karena pasti Mama Siska menungguku membawakan pesanannya.“Aduh, Li, maaf banget, bukannya aku gak mau, tapi aku udah ada janji lain,” tolakku dengan halus, berusaha tidak membuatnya merasa tersinggung.“Yah, sebentar saja apa gak bisa, Raka?” tanya Liana. Wajahnya benar-benar terlihat lelah.“Gak bisa, Li. Aku harus buru-buru juga soalnya.”Namun, tak lama kemudian, Reza tiba-tiba datang.“Kamu mau pulang, Li? Aku an
Tak lama setelah aku duduk di meja, Liana masuk kantor dengan langkah cepat, hampir berlari kecil. Bukan Liana namanya kalau tidak heboh, dia menyapa semua orang dengan suara riang, membuat suasana kantor yang tadinya sepi menjadi ramai.Namun, saat aku tidak lagi memperhatikannya dan fokus pada layar monitorku, tiba-tiba Liana datang sambil membawa segelas coklat panas.“Raka, ini pasti dari kamu, kan? Makasih ya, Raka,” katanya dengan senyum riang di wajahnya sambil menunjukkan segelas coklat panas itu.Aku mengernyitkan dahi, tidak paham dengan apa yang dikatakan Liana. “Li, itu bukan dari aku.”Namun, Liana seolah tidak peduli dan menganggap ucapanku hanya bercanda. “Ah, gak usah malu gitu, Raka. Aku tahu kamu memang bukan tipe yang perhatian secara blak-blakan.”“Tapi, Li, itu memang bukan dari aku,” kataku lagi, berusaha meyakinkan Liana.“Kenapa, Raka?” sahut Sarah yang tiba-tiba muncul setelah melihatku berbicara dengan Liana.“Sarah, kamu tadi datang sebelum aku datang, kan?
Malam sudah larut, tetapi Tiara masih belum pulang. Bukannya aku peduli ataupun khawatir, tapi aku tidak habis pikir dengan sikapnya.Demi untuk kesenangan pribadi, dia sampai berbohong entah itu padaku, Mama Siska dan Nayla. Dia benar-benar keterlaluan, sudah saatnya kebohongannya aku bongkar.Sampai kemudian rasa kantuk datang, akupun tertidur pulas.Tengah malam, aku mendengar pintu kamar dibuka pelan, aku yakin pasti Tiara. Aku berpura-pura tidur, tidak mau membuka mata. Dia duduk di ranjang, di belakang punggungku. Aku mendengar getar ponselnya, pasti sedang chatingan dengan Alex. Aku menahan napas, menahan amarah, dan tetap diam sampai aku benar-benar tertidur lagi.Hingga pagi hari tiba, sandiwara kembali dimulai. Aku membuka mata, Tiara sudah di sampingku, merangkulku erat, lalu mencium keningku.“Mas, maaf, ya, semalam ada meeting sampai larut. Makanya tidak bisa makan malam bersama,” katanya, suaranya sangat manis, seperti istri penyayang.Aku hanya tersenyum kaku, menganggu