Aku melihat sekeliling memastikan pria itu tidak mendekati Nayla lagi. Namun, aku justru melihat Nayla menatapku tanpa berkedip sambil tersenyum. "Nayla... Nayla... "Aku memanggilnya beberapa kali tapi dia tidak menjawab. Sepertinya ia sedang bengong, aku melihat ke kiri kanan dan kebelakang tapi tidak ada siapa-siapa hanya ada aku saja. Rupanya ia melihatku dari tadi. Dasar bocah, aku tertawa sambil menepuk pundaknya."Nay, Nayla... "Ia pun tersadar, ia terlihat terkejut dan malu."I-iya Bang." Jawabnya gelagapan."Ko malah bengong? Kenapa? Terpesona ya lihat Abang?" Tanyaku menggodanya.Mukanya langsung memerah. "Ihh e-enggak." Tapi, muka merahnya tidak bisa berbohong, aku mencubit hidungnya yang mancung."Ya udah kamu masuk sana! Abang pergi ya, mau langsung ke kantor!""Iya Bang hati-hati."Nayla pun berlari menuju kelas, kita berjalan berlawanan. Tapi saat aku berbalik untuk pergi, tiba-tiba sekelompok teman perempuan Nayla datang menghampirinya. Mereka tampak heboh, matanya
Hari ini aku pulang lebih awal dari biasanya.Saat tiba di rumah, Mama Siska dan Nayla masih duduk di ruang makan, menikmati makan malam bersama. “Ayo, makan dulu, Raka,” ajak Mama Siska dengan senyuman di wajahnya.Aku menggeleng pelan. “Nggak usah, Ma. Aku masih kenyang, tadi sebelum pulang aku makan dulu sama temen kantor.”Mama Siska terdiam sejenak, matanya terus menatapku dengan dalam.“Oh gitu, ya? Tapi, kamu jangan keseringan makan di luar ya, Raka. Kan, di rumah ini ada Mama yang bisa masak buat kamu, dan uang kamu juga bisa kamu tabung, katanya kamu mau beli rumah sama Tiara, kan?” kata Mama Siska akhirnya.Aku mengerutkan dahi, ternyata Mama Siska tahu kalau aku sedang menabung untuk membeli rumah dengan Tiara. Meskipun sekarang, rasanya aku sudah tidak minat untuk membeli rumah itu.Aku mengangguk pelan. “Iya, Ma. Kalau gitu, aku ke kamar dulu, ya.”Aku langsung melangkah ke arah kamarku tanpa menunggu jawaban dari Mama Siska.Malam itu, aku merasa sangat lelah. Tiara sem
Aku mengangguk, tapi aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam situasi ini. Bukankah lebih baik kalau pekerjaan ini cepat selesai?Saat aku baru menggerakkan mouse untuk kembali mengedit gambar, Bu Alicia justru mengajakku mengobrol. Mau tidak mau, aku harus meladeninya, tidak enak kalau aku mengabaikan atasanku.Obrolan kami semakin intens. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa cara duduk Bu Alicia telah berubah—lebih santai, lebih menggoda.Ia bahkan sengaja membuka kancing atas blusnya sedikit, memperlihatkan kulitnya yang halus.Aku mulai merasa kalau ini bukan sekadar perbincangan biasa.Aku bisa merasakan hawa panas yang berbeda di ruangan ini.Aku melirik jam di dinding yang telah berhenti di angka 10. Sudah berkali-kali aku mencoba kembali fokus menyelesaikan pekerjaanku, tapi Bu Alicia selalu punya cara untuk menahanku.Bu Alicia duduk lebih dekat dari sebelumnya. Parfum mahal yang selalu kupikir hanya sekadar pelengkap, malam ini terasa lebih menusuk. Matanya yang tajam, penuh pe
Setelah larut malam, aku akhirnya baru bisa keluar dari kantor. Jalanan sudah sepi, hanya ada lampu jalan yang redup menemani langkahku.Aku menghela napas panjang. Kepalaku masih penuh dengan kejadian yang baru saja terjadi.Jujur, sebelumnya aku sama sekali tidak memiliki bayangan jika sikap Alicia bisa sangat berbeda. Biasanya, aku selalu melihatnya sangat profesional, dingin, dan tidak pernah tertarik pada kehidupan pribadi karyawannya. Namun, malam ini sangat berbeda, dan itu membuatku merasa benar-benar puas.Aku melajukan motorku lebih cepat menuju rumah karena rasa lelah mulai merayap ke tubuhku. Sampai di depan rumah, lampu ruang tamu sudah mati.Aku memang sudah memberi tahu Mama Siska bahwa aku akan lembur, jadi sepertinya semua sudah tidur. Saat aku hendak masuk ke kamar, aku bertemu dengan Nayla yang baru keluar dari dapur."Kok baru pulang, Bang?" tanyanya dengan suara mengantuk.Aku mengangguk. "Iya, kerjaan lagi banyak.""Kasihan banget ih, sekarang jadi sering lembur.
Aku tidak mempermasalahkan ucapan Liana lebih lanjut. Aku langsung duduk di depan komputer Liana, jari-jariku bergerak cepat memeriksa sistem dan memastikan semua data yang ada di flashdisk-nya kembali ke tempat semula. Liana berdiri di sampingku, tangannya sedikit gemetar sambil memegang tepi meja. Wajahnya pucat, tapi ada kilatan lega di matanya saat melihat folder-folder penting mulai muncul kembali di layar. “Raka… makasih banget,” ucapnya pelan, suaranya masih bergetar. “Kalau sampai data ini nggak balik, aku nggak tahu harus bilang apa ke Bu Alicia.” Aku hanya mengangguk, fokusku terpecah antara layar dan firasat buruk yang terus menggerogoti pikiranku. “Ini bukan kebetulan, Li. Seseorang pasti sengaja hapus datamu.” Liana menatapku, matanya membulat. “Reza?” Aku tidak langsung menjawab. Tatapanku beralih ke sudut ruangan tempat Reza biasa duduk, tapi meja kerjanya kosong sekarang. “Kita nggak bisa nuduh sembarangan,” kataku akhirnya. “Tapi, kita harus cari tahu dulu.” Li
“Di kantorku ada sedikit masalah,” kataku di sela-sela makan sarapan.Nayla dan Mama Siska langsung menoleh ke arahku.“Masalah apa, Raka?” tanya Mama Siska dengan tatapan khawatirnya.Aku sedikit ragu untuk mengatakannya, tapi rasanya aku butuh mengatakan ini untuk melihat pendapat orang lain.“Teman kantorku cerita kalau dia… ya, curiga istrinya selingkuh,” kataku, lalu menahan napas sejenak. “Katanya istrinya bilang lagi bisnis di luar negeri, tapi temenku lihat istrinya di salah satu hotel mewah di sini sama laki-laki lain. Menurut kalian… apa dugaan temenku itu benar?”Hening sejenak.Mama Siska menatapku dengan dalam, seperti mencari sesuatu di balik kata-kataku. Namun, dari tatapan matanya jelas terlihat ada rasa tidak nyaman.“Ih jahat banget istrinya! Jelas itu selingkuh lah!” sahut Nayla dengan rasa kesal.“Iya kah? Menurut kamu gitu ya, Nay?” Aku menatap Nayla yang sedang mengangguk yakin.“Kan bilangnya ke luar negeri, kenapa bisa di hotel sini sama laki-laki lain. Ngapain
Suasana seketika menjadi lebih tegang.“Bu, ada insiden kecil. Laporan yang dibuat Liana tidak sengaja terkena tumpahan kopi sampai akhirnya basah. Sedangkan kata Liana, laporan itu seharusnya sudah diserahkan ke Ibu. Kalau boleh, tolong beri waktu Liana untuk mencetak ulang laporannya,” kataku langsung menjelaskan situasi ini.Reza langsung tampak mengerutkan dahinya, seperti tidak menyangka bahwa aku benar-benar akan melakukan ini.“Oh, masalah sepele saja kenapa sampai ribut-ribut?” Bu Alicia menatapku sejenak, lalu beralih pada Liana. “Silakan cetak ulang, saya tunggu sebelum jam kerja berakhir.”Liana langsung tampak terkejut sekaligus senang. Ia mengangguk dengan yakin. “Baik, Bu. Terima kasih banyak.”Semua langsung kembali ke meja masing-masing. Namun, aku bisa mendengar Reza yang berdecak pelan.***Ketika sore tiba, aku bersama Bu Alicia pergi rapat di luar. Restoran yang kami datangi cukup mewah, lampu-lampu kristalnya membuat suasana terang, tetapi hangat. Aku menjelaskan
Aku terdiam, terkejut dengan ucapan itu. Susah payah aku juga menelan ludah saking tidak menyangka akan mendapatkan tawaran macam itu.“Saya sudah punya istri,” ucapku, mengingatkannya.Alicia tertawa rendah. “Tapi itu tidak menghentikanmu dari tidur denganku,” godanya lagi selagi menggunakan satu jari untuk memaksaku menatapnya lurus.Napasku agak tercekat. Pesona bosku ini sungguh tidak main-main.“Bukankah itu kecelakaan?”Mendengar balasanku, Alicia tertawa agak keras. Saat tawanya mereda, dia dengan sesuka hati mendudukkan diri di pahaku, lalu melingkarkan dua tangannya di leherku.“Oke, anggap itu kecelakaan, tapi itu sudah terjadi, dan aku tidak bisa melupakannya, terlepas statusmu sebagai seorang suami,” ujar Alicia. Menjepit daguku dengan dua jari lentiknya, bosku itu berkata, “Jadi, aku menawarkanmu sebuah jalan keluar, Raka. Jadilah priaku, dan akan kubalaskan dendammu pada dua keparat itu. Bahkan, aku akan membantumu meningkatkan keberhasilan karirmu jikalau kamu mau. Baga
Kantor masih sepi saat aku masuk. Hanya Pak Joko, satpam setia, yang duduk di posnya sambil menyeruput kopi dari gelas plastik. Dia melambai padaku, senyumnya lebar. “Pagi, Pak Raka! Kok pagi banget?” sapanya ramah. “Pagi, Pak! Hari ini ada klien besar, jadi harus siap-siap,” jawabku, tersenyum kecil. “Wah, hebat anak muda! Semangat, ya!” katanya, mengacungkan jempol. Aku mengangguk, berjalan menuju ruanganku. Meja-meja masih kosong, hanya suara AC yang berdengung pelan mengisi keheningan. Aku duduk, membuka laptop, dan mulai memeriksa ulang presentasi yang sudah kusiapkan. Slide demi slide kuperiksa, memastikan tidak ada kesalahan. Proyek ini terlalu penting untuk dilewatkan begitu saja. Tak lama, pintu kantor terbuka. Reza masuk bersama salah satu rekan kerja kami. Mereka terlihat asyik mengobrol, tawa mereka meledak saat Reza menceritakan sesuatu dengan gestur lebay. Aku tersenyum kecil, senang melihat Reza bisa tertawa setelah kejadian kemarin. Tapi begitu mata Reza bertemu d
Aku masuk rumah, langsung ke dapur, melihat Mama Siska sedang mengaduk bumbu. Aromanya membuat perutku keroncongan.“Eh, Raka, sudah pulang?” sapanya, senyum lembut yang menghangatkan hatiku.“Iya, Ma. Nayla belum pulang?” tanyaku, menoleh kanan-kiri.“Belum, mungkin sebentar lagi,” jawabnya, matanya menatapku.Tiba-tiba Tiara masuk dari pintu depan, “Aku pulang, Ma!” katanya, ceria, berpura-pura biasa.Mama Siska menatapnya heran, “Tumben kalian pulangnya barengan. Apa memang tadi pulangnya bareng?”Aku cepat menjawab, “Nggak, Ma. Kita pulang masing-masing, diantar bos masing-masing.” Nadaku datar.Dia menatapku, matanya tajam, “Mas, tadi di depan, kamu dengan bosmu kok terlihat mesra banget?”Aku tersenyum, “Mesra gimana? Perasaan biasa saja."Wajah Tiara semakin serius, "tapi ... Kalian terlihat dekat."Kalau hanya sekedar cipika-cipiki, kan wajar, cara orang menyapa memang begitu.” Aku menatapnya balik, “Bukannya malah mencium kening, apakah itu bisa dikatakan wajar?” Aku sengaja
Bu Alicia menyuruhku ke apartemennya terlebih dahulu sebelum kembali ke kantor.“Ada barang yang ingin aku bawa di apartemen,” katanya, nada santai tetapi matanya penuh rencana.“Baik, Bu,” jawabku, fokus menyetir.Perjalanan ke luar kota hanya sebentar, tidak terlalu jauh, hanya mengambil barang, tetapi obrolan di mobil membuatku tidak tenang.“Raka, gimana dengan Tiara? Apa dia sering keluar rumah?” tanya Alicia, menoleh dari ponselnya.Aku menarik napas, “Setiap hari juga, Tiara pergi. Malah, malam kemarin dia sampai gak pulang. Apa setiap hari Tiara tidak pernah bekerja? Jadi sebenarnya Tiara itu beneran kerja atau tidak?”Alicia tersenyum tipis, “Dia kerja, tapi hanya ikut acara penting saja. Alex kan bos, bisa mengatur apa saja sesuka hati. Perusahaannya sudah dikelola oleh anak buahnya, jadi dia gak wajib harus ke kantor setiap hari. Tiara juga begitu—Alex yang mengatur. Mungkin dia hanya disuruh menemani Alex di rumah.”Aku menggenggam setir, “Jadi semua karyawan Alex tahu hub
“Tapi gak semua ayah tiri jahat, Nay. Banyak kok yang baik hati dan tidak sombong.”Nayla tersenyum, “Iya, tapi sekarang aku kapok punya ayah! Eh maksudnya, takut seperti temanku yang bercerai itu, lho.”Tiba-tiba dia terlihat gugup, seolah menyadari sesuatu. Mama Siska dan Tiara menatapnya, tatapan mereka aneh, seolah menyimpan rahasia.Nayla kembali menambahkan, “Ma-maksudku, punya Mama saja sudah cukup, saat ini aku gak mau punya Ayah!” Dia tertawa canggung, berusaha menutupi.Aku merasa ada yang tidak beres, tetapi suasana kembali hangat. Nayla antusias bercerita tentang kampus, Mama Siska tertawa, dan aku ikut bercanda, meski pikiranku penuh tanda tanya—apa yang mereka sembunyikan? Tiara hanya tersenyum tipis, memegang ponsel, seolah tidak terlalu peduli.Selesai makan, sesuatu yang tidak biasa terjadi—Tiara berdiri, merapikan piringnya, membawa ke wastafel, dan berkata, “Ma, istirahat saja, biar aku yang cuci.”Aku terkejut—biasanya dia hanya berselonjoran saja, tidak pernah mau
Aku masuk kantor, kembali ke meja kerjaku, mencoba fokus mengetik laporan. Namun, mataku sesekali melihat Reza—dia duduk di mejanya, wajah datar, matanya kosong, penuh kekecewaan. Aku tahu dia hancur karena Liana, dan aku merasa sangat bersalah. Jika dari awal aku tahu Reza menyukai Liana, aku pasti tidak akan meresponsnya, tidak akan memberikan harapan. Aku hanya ingin membalas dendam kepada Tiara, tetapi malah menyakiti sahabatku sendiri. Aku menarik napas, mencoba fokus, tetapi hatiku berat.Hingga akhirnya tiba waktunya pulang, hari ini aku tidak akan langsung pulang dulu. Aku merasa bosan dengan kehidupanku yang monoton. Setiap hari kerja dan di tempat kerja banyak masalah, begitu juga di rumah. Tapi jika Tiara tidak ada, aku akan merasa bahagia. Ketika di perjalanan, aku membelokkan motorku ke arah kiri aku tidak tahu mau kemana yang jelas aku butuh ketenangan.Aku melihat jalan kecil di pinggir jalan, ditutupi pohon-pohon rindang, seolah mengundangku untuk datang. Jam tanganku
"Sekarang kamu bisa kembali ke ruanganmu!" Perintahnya. Akupun kembali ke ruanganku, hari ini pekerjaanku tidak terlalu sibuk. Hari ini aku pulang cepat, seperti biasa, tidak ingin bertemu Liana. Sesampainya di rumah, aku mendengar suara cempreng Nayla saat aku membuka pintu, rupanya dia sudah tiba di rumah lebih dulu. Aroma masakan dari dapur langsung tercium, membuat perutku keroncongan. Suara nyaring Nayla terdengar, mengobrol dengan Mama Siska, penuh tawa. Aku tersenyum kecil, tidak sengaja mendengar percakapan mereka. Nayla bercerita tentang teman kuliahnya yang menyukainya, Mama Siska tertawa, memberikan saran. Aku mengintip dari pintu dapur, melihat mereka sibuk—Nayla mengiris bawang, Mama Siska mengaduk bumbu. Aku masuk, “Aku pulang!” kataku, tersenyum. Mereka melirikku bersamaan, tersenyum lebar. “Eh, Bang, tidak biasanya pulang cepat!” kata Nayla, matanya berbinar. “Iya, hari ini tidak terlalu sibuk,” jawabku, mendekati mereka. “Sedang masak apa? Sepertinya seru!” Mama
Aku merasa darahku mendidih. Aku mengepalkan kedua tanganku, merasa bodoh.“Alicia, ternyata dia tidak bekerja. Apa dia tinggal di sini?” kataku, suaraku gemetar, penuh amarah.Alicia menatapku, “Sepertinya begitu, Raka. Rekam, sekarang!”Aku buru-buru membuka ponsel, memperbesar ke gerbang, tetapi Tiara sudah masuk. Aku hanya mendapat video gerbang dan kurirnya saja.“Tenang, Raka. Kita akan mendapat bukti lagi,” kata Alicia, tangannya memegang bahuku, memberikan ketenangan. Aku menarik napas, merasa campur aduk—amarah, sakit hati, tetapi juga semangat.Sebelum pergi aku menatap rumah Alex, membayangkan Tiara di dalam, tertawa bersama Alex, sementara aku di sini, menahan sakit. Tetapi di sela amarah, aku teringat Mama Siska—senyumnya, pelukannya, kehangatannya. Dia yang membuatku kuat, dia yang membuatku yakin—Tiara tidak pantas untukku. Aku menarik napas, memegang ponsel erat. Tiara, ini akhir dari sandiwaramu, aku akan membongkar kebusukanmu.Kitapun kembali ke kantor, walaupun har
“Pagi mas, aku kangen banget mesra-mesraan kayak gini,” kata Tiara dengan suara genitnya saat aku baru membuka mata.Dia memelukku dari samping, tangannya bermain di dadaku.Aku berusaha menahan diri dan membiarkannya melakukan itu semua. Masih terlalu pagi, rasanya masih begitu malas untuk memunculkan rasa kesal.Dia melanjutkan, “Mulai sekarang, aku akan lebih perhatian, Mas. Aku sadar aku belum menjadi istri yang baik, terlalu sibuk, lupa kewajibanku. Aku ingin berubah, jadi istri yang kamu inginkan.”Tetapi aku menahan diri, hanya berkata, “Baguslah kalau begitu. Aku mau mandi dulu.”Aku mencoba bangun, tetapi dia menarik tanganku, memelukku lagi, dan kali ini lebih erat.“Jangan dulu mandi, aku masih kangen sama kamu. Akhir-akhir ini kamu rasanya kamu berubah,” katanya, suaranya goyah, seolah ingin menangis.“Itu hanya perasaanmu saja. Aku nggak pernah berubah,” kataku berbohong.Dia kembali menatapku, matanya tajam. “Buktinya kamu diam saat aku peluk. Dulu kamu membalas pelukank
“Li, itu reaksi biologis. Siapa yang nggak terangsang kalau digoda seperti ini?” kataku, berusaha menolak.Namun, itu tidak membuat Liana berhenti. Dia justru langsung naik ke pangkuanku dan mencium bibirku dengan agresif.Aku terkejut dengan apa yang dia lakukan. Namun saat aku ingin mendorong tubuh Liana, dia justru menekan pinggulnya dan menggerakkannya pelan hingga membuatku mengerang.Liana meraih tanganku dan mengarahkannya ke buah dadanya yang kenyal.Aku benar-benar tidak bisa lagi berpikir jernih. Tubuhku benar-benar sudah menolak untuk bekerja sama.Aku meremas buah dada itu dengan sedikit keras, membuat Liana justru mendesah nikmat.Aku memperdalam ciuman kami. Di sela-sela itu, tanganku sudah masuk ke dalam blouse coklat yang Liana pakai. Pengait bra itu sudah kulepaskan, membuat kulit tanganku bisa lebih leluasa bersentuhan dengan Liana.“Ahh, aku tahu kamu selalu ingin ini, Raka …” kata Liana di sela ciuman kami.Kegiatan panas ini terus berlangsung, membawaku dan Liana