Pagi tiba, aku membuka mata, dan Tiara masih tidur pulas di sampingku—sangat tidak biasa, biasanya dia sudah bangun lebih dulu. Aku bangkit pelan, duduk di tempat tidur, meregangkan otot yang kaku. Akhir-akhir ini pekerjaan menumpuk, olahraga hampir tidak pernah. Mumpung masih ada waktu, aku memutuskan berolahraga ringan di kamar—push-up, sit-up, sampai tubuhku mulai berkeringat. Badan terasa segar, napas lebih ringan. Tiba-tiba Tiara muncul dari belakang, memeluk pinggangku erat, membuatku terkejut. “Mas, olahraga pagi, ya?” katanya, suaranya manja, kepalanya bersandar di punggungku. Aku mencoba melepaskan pelukannya, “Ti, aku bau keringat,” kataku, berusaha santai. Tetapi dia malah tertawa kecil, “Tidak apa-apa, Mas. Aroma keringatmu justru harum. Kamu lupa, ya, dulu aku suka begini?” nadanya genit, tangannya semakin erat. Aku merasa geli—bukan geli senang, tetapi jijik. Dulu kami memang sering olahraga bersama, jogging pagi, gym, dan dia suka mencium aroma tubuhku setelah lati
Entah kenapa, setiap Liana dekat denganku, aku melihat ada tatapan aneh dari Reza ketika aku dan Liana berduaan. Sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, Bu Alicia baru datang dan memanggilku.“Raka, ke ruanganku,” katanya, nadanya datar tetapi tegas.Aku segera bangkit, mengikutinya dari belakang, merasa jantungku mulai berdebar.Di ruangannya, dia duduk di kursi besar, menyuruhku untuk duduk. Tiba-tiba dia menyerahkan tas jinjing hitam yang tampak mewah.“Ini apa, Bu?” tanyaku, bingung.Dia hanya tersenyum tipis, “Buka saja!”Aku membukanya secara perlahan, dan isinya membuatku terbelalak—tuxedo hitam mengkilap, sepatu kulit, dan jam tangan dengan logo yang langsung membuatku tahu ini barang mahal. Bukan merek sembarangan, mungkin menabung setahun pun aku tidak akan mampu membelinya.“Ini… punya siapa, Bu?” tanyaku, masih tidak percaya.Dia menatapku, “Punya kamu, Raka. Masa kamu memakai baju biasa ke acara nanti? Pakai ini,” katanya, nadanya santai tetapi ada tekanan.“Bu, ini terla
Acara peresmian bisnis Bu Alicia berjalan lancar, penuh kemewahan dan keceriaan. Bu Alicia menyuruhku terus mendampinginya, seperti pengawal setia. Salah satu klien, pria tua berkacamata tebal, tiba-tiba bertanya, “Bu Alicia, ini siapa? Apa ini pacarnya?” Matanya tertuju kepadaku, penuh rasa ingin tahu.Alicia menatapku, senyumnya menggoda. “Oh, ini temanku,” katanya, nadanya lembut, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang membuat jantungku berdebar.Tapi saat mengatakan 'teman' itu dia menatapku dengan tatapan menggoda. Tentu saja mereka pasti tidak percaya, “Oh teman, ya? Tapi sangat cocok Bu, Bapak ini pasti seorang pebisnis juga seperti Ibu,” godanya, dan tamu lain di dekat kami ikut tersenyum.Aku hanya tersenyum kaku, tidak tahu harus berkata apa. Mereka seolah berpikir aku kekasih Bu Alicia, ada yang berbisik, mengira aku pengusaha dari Paris, karena Bu Alicia punya bisnis di sana. Bu Alicia hanya tertawa, tidak membenarkan atau menolak, membiarkan mereka berimajinasi.Acara di
Aku tidak percaya, ternyata apem mertuaku jauh lebih nikmat daripada istriku sendiri. Malam ini, akhirnya aku bisa melepaskan hasratku dengan Mama Siska, ibu mertuaku sendiri. "Enak banget Ma, semakin lama rasanya semakin nikmat." Aku tidak berhenti menggoyang mertuaku di atas kasur. "Kamu juga sangat perkasa Raka, Mama sampai kewalahan. Kamu memang luar biasa, ayo Raka bikin Mama puas!" Desahnya, badannya bergetar. "Siap Ma, akan kubuat Mama puas. Kita main sampai pagi Ma, Mama mau kan aku goyang sampai pagi?" "Mau banget Raka, Mama pasrah apapun yang kamu lakukan." Istriku berselingkuh dengan pria lain, maka dari itu aku membalasnya, berhubungan dengan Ibunya. Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan simfoni yang seharusnya menenangkan. Tapi tidak untukku. Aku terjaga di atas ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berantakan, seperti hujan yang mengguyur tanpa henti. Seharusnya di sebelahku ada istriku yang menemaniku, di saat cuaca dingin begini aku hanya
Setelah selesai mandi, aku langsung duduk dan mengacak rambutku yang masih setengah basah. Napasku masih sedikit berat, pikiranku juga masih terjebak di dalam sisa mimpi semalam.Mimpi yang tidak seharusnya terjadi.Desahan Mama Siska yang menggoda, tatapannya, suaranya yang nyaris seperti bisikan, benar-benar membuatku gila. Dia mengajakku untuk bercinta, tapi ternyata semua itu hanya mimpi!Aku menelan ludah. Dadaku terasa sesak oleh perasaan yang sulit dijelaskan.Sial. Aku harus berhenti memikirkan ini.Tok tok!"Abaaaang!!"Suaranya yang lembut dan khas itu membuatku tersentak. Aku menoleh ke arah pintu kamar yang masih tertutup."Bukain dong, Nayla mau masuk!"Nayla. gadis itu ternyata masih di rumah.Aku menghela napas, mencoba mengumpulkan tenaga sebelum berjalan ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, gadis cantik itu langsung melongok ke dalam kamar dengan ekspresi penasaran.Nayla adalah adik dari istriku, dia baru saja masuk kuliah tahun ini, tubuhnya ramping dan cu
Untungnya, aku sampai di kantor tepat waktu. Namun, pikiranku masih penuh dengan mimpi aneh semalam.Aku duduk di meja kerja, menyalakan komputer, lalu menatap layar tanpa benar-benar bekerja.Suara Mama Siska di mimpiku benar-benar terus terdengar di telingaku. Tatapan wajahnya dan juga semua yang dia lakukan di mimpi itu terasa sangat nyata.Aku benar-benar bingung, kenapa aku bisa mendapat mimpi seperti itu padahal aku tidak pernah berpikir macam-macam pada mertuaku. Apa ini efek dari hasratku yang tidak bisa tersalurkan karena istriku jauh?Aku menghela napas dalam-dalam, lalu mencoba untuk kembali pada pekerjaanku.Sebagai seorang desainer grafis, jelas pekerjaanku banyak berurusan dengan aplikasi edit gambar. Kebetulan, kantorku ini salah satu studio desain yang cukup terkenal, banyak mengambil job membuat banyak desain untuk keperluan iklan produk-produk terkenal.Aku membuka salah satu desain yang sedang aku kerjakan. Karena masih bingung dengan elemen yang sesuai, tanpa sadar
Alicia langsung menatapku, tapi posisinya masih belum berubah. Setelah beberapa saat, baru dia bangkit dan duduk lagi di kursinya dengan santai.“Oh, ini Raka, aku mau kasih konsep iklan untuk produk minuman yang kemarin,” katanya dengan santai, lalu menyerahkan satu map dokumen.“Minggu depan desainnya harus selesai, dan kamu ikut aku untuk meeting dengan pihak mereka, ya. Aku kamu kamu jelaskan ke mereka soal desain kita,” lanjutnya lagi.“Baik, Bu,” jawabku, lalu meraih dokumen itu.Aku membuka tiap lembar dokumen dan mempelajarinya sekilas.“Raka, kamu tahu proyek ini cukup besar, kan? Jadi, aku sangat mengandalkanmu sebagai desainer grafis senior di sini,” kata Alicia sambil menatapku dengan dalam.Saat aku menatapnya balik, aku justru menemukan sesuatu yang janggal. Alicia tampak sedang sedikit menggigit bibir bawahnya, seperti sedang sengaja memainkannya. Lalu, entah kenapa tatapan Alicia kepadaku terasa semakin aneh. Matanya seperti menyiratkan sesuatu. Bahkan, aku tidak tahu
Jantungku berdegup keras."Temani bagaimana, Ma?" tanyaku, berusaha terdengar netral.Dia menatapku, lalu tersenyum tipis. "Temani Mama tidur di kamar. Hanya sebentar sampai Mama tidur. Mama masih takut."Aku menelan ludah. Sejujurnya, mimpi semalam masih membuatku merasa canggung untuk berhadapan dengan Mama Siska. Namun, sekarang kondisinya berbeda. Aku juga sedikit khawatir kalau Mama Siska sampai tidak bisa tidur karena ketakutan.Namun, rasanya ini tidak benar. Bagaimana bisa aku menemani ibu mertuaku untuk tidur di kamarnya?“Tapi, Ma …”Mama Siska mengeratkan genggamannya, matanya menatapku dengan lembut. "Mama takut, Raka.""Tapi......" Aku ragu."Di rumah ini hanya ada kita berdua, Nayla masih menginap di rumah temannya. Kalau saja dia ada, Mama akan meminta Nayla untuk menemani." Mama Siska menatapku dengan mata sedikit berair. Sepertinya, dia benar-benar sangat ketakutan.Aku menghela napas pasrah. Sepertinya, pikiranku memang terlalu liar sampai-sampai hampir tega mengabai
Acara peresmian bisnis Bu Alicia berjalan lancar, penuh kemewahan dan keceriaan. Bu Alicia menyuruhku terus mendampinginya, seperti pengawal setia. Salah satu klien, pria tua berkacamata tebal, tiba-tiba bertanya, “Bu Alicia, ini siapa? Apa ini pacarnya?” Matanya tertuju kepadaku, penuh rasa ingin tahu.Alicia menatapku, senyumnya menggoda. “Oh, ini temanku,” katanya, nadanya lembut, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang membuat jantungku berdebar.Tapi saat mengatakan 'teman' itu dia menatapku dengan tatapan menggoda. Tentu saja mereka pasti tidak percaya, “Oh teman, ya? Tapi sangat cocok Bu, Bapak ini pasti seorang pebisnis juga seperti Ibu,” godanya, dan tamu lain di dekat kami ikut tersenyum.Aku hanya tersenyum kaku, tidak tahu harus berkata apa. Mereka seolah berpikir aku kekasih Bu Alicia, ada yang berbisik, mengira aku pengusaha dari Paris, karena Bu Alicia punya bisnis di sana. Bu Alicia hanya tertawa, tidak membenarkan atau menolak, membiarkan mereka berimajinasi.Acara di
Entah kenapa, setiap Liana dekat denganku, aku melihat ada tatapan aneh dari Reza ketika aku dan Liana berduaan. Sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, Bu Alicia baru datang dan memanggilku.“Raka, ke ruanganku,” katanya, nadanya datar tetapi tegas.Aku segera bangkit, mengikutinya dari belakang, merasa jantungku mulai berdebar.Di ruangannya, dia duduk di kursi besar, menyuruhku untuk duduk. Tiba-tiba dia menyerahkan tas jinjing hitam yang tampak mewah.“Ini apa, Bu?” tanyaku, bingung.Dia hanya tersenyum tipis, “Buka saja!”Aku membukanya secara perlahan, dan isinya membuatku terbelalak—tuxedo hitam mengkilap, sepatu kulit, dan jam tangan dengan logo yang langsung membuatku tahu ini barang mahal. Bukan merek sembarangan, mungkin menabung setahun pun aku tidak akan mampu membelinya.“Ini… punya siapa, Bu?” tanyaku, masih tidak percaya.Dia menatapku, “Punya kamu, Raka. Masa kamu memakai baju biasa ke acara nanti? Pakai ini,” katanya, nadanya santai tetapi ada tekanan.“Bu, ini terla
Pagi tiba, aku membuka mata, dan Tiara masih tidur pulas di sampingku—sangat tidak biasa, biasanya dia sudah bangun lebih dulu. Aku bangkit pelan, duduk di tempat tidur, meregangkan otot yang kaku. Akhir-akhir ini pekerjaan menumpuk, olahraga hampir tidak pernah. Mumpung masih ada waktu, aku memutuskan berolahraga ringan di kamar—push-up, sit-up, sampai tubuhku mulai berkeringat. Badan terasa segar, napas lebih ringan. Tiba-tiba Tiara muncul dari belakang, memeluk pinggangku erat, membuatku terkejut. “Mas, olahraga pagi, ya?” katanya, suaranya manja, kepalanya bersandar di punggungku. Aku mencoba melepaskan pelukannya, “Ti, aku bau keringat,” kataku, berusaha santai. Tetapi dia malah tertawa kecil, “Tidak apa-apa, Mas. Aroma keringatmu justru harum. Kamu lupa, ya, dulu aku suka begini?” nadanya genit, tangannya semakin erat. Aku merasa geli—bukan geli senang, tetapi jijik. Dulu kami memang sering olahraga bersama, jogging pagi, gym, dan dia suka mencium aroma tubuhku setelah lati
“Pengaman yang waktu itu, masih ada loh,” kata Liana dengan suara yang sangat menggoda. Dia melepas pelukannya dan menatapku dari bawah dengan tatapan yang sangat sensual.Sebenarnya aku tahu, saat Liana memintaku untuk mampir, itu bukan hanya sekadar mampir."Liana, kamu ...."Namun, Liana langsung membungkamku dengan ciumannya, meskipun dia harus berjinjit.Aku sedikit terkejut saat Liana melakukan itu. Namun, entah kenapa rasanya aku sama sekali tidak keberatan.Perlahan aku membalas ciuman Liana. Aku sedikit menunduk dan memegang pinggang ramping Liana. Aku bisa merasakan senyum kemenangan dari Liana di sela ciuman kami.Kemudian, Liana melepas ciuman itu, kembali menatapku dengan mata sayunya. “Main di sofa kayaknya gak kalah panas dengan main di kasur.”Sejenak aku benar-benar terpaku dengan ucapan Liana. Aku sama sekali masih tidak menyangka bahwa Liana yang tampak seperti perempuan biasa justru memiliki sisi lain yang begitu ‘liar’.“Pintu depan sudah kamu kunci?” tanyaku deng
“Ma, Mama sudah sembuh, ya? Mama terlihat segar dan ceria lagi!” kata Tiara yang menyadari perbedaan Mama Siska.Pagi itu, saat kami semua sedang sarapan, Mama Siska memang tampak sangat berbeda dari hari kemarin. Wajahnya terlihat lebih segar, bahkan seperti bunga yang baru mekar.Mama Siska tertawa kecil, pipinya merona tipis.Nayla yang sejak tadi fokus makan, tiba-tiba ikut berkomentar.“Iya, semalam Mama terlihat lemas begitu,” katanya, menoleh ke Mama Siska dengan mata penasaran.Mama Siska menoleh kepadaku sekilas—sangat cepat, hampir tidak terlihat.“Oh, iya, semalam Mama agak kecapekan. Tapi sudah sembuh, berkat kapsul dari Raka,” katanya, senyumnya nakal, seperti sengaja menggoda. Aku kaget, tersedak, hampir menyemprotkan teh ke meja. Tiara buru-buru memberikan aku segelas air.“Mas, kenapa? Kamu gak apa-apa?” tanyanya, khawatir.“Gak apa-apa, cuma tersedak,” jawabku buru-buru, mencoba menutupi kepanikan. Nayla kembali menimpali dengan polos, “Oh, obat kapsul itu, ya? Iya
“Mas, sekarang kamu rajin sekali?” kata Tiara, setengah bercanda saat melihat aku membereskan piring kotor setelah kami makan malam.Aku hanya tersenyum tipis, tidak menjawab. Namun, tiba-tiba dia ikut membantu, padahal sebelumnya tidak pernah.Nayla juga ikut, membereskan meja, dan kami bekerja bersama seperti tim dadakan.“Kak, Abang, aku ke kamar dulu ya, mau tidur,” kata Nayla setelah selesai membersihkan meja.“Iya, Nay, selamat istirahat,” jawabku sambil tersenyum ke arahnya. Sementara Tiara hanya mengangguk dan tersenyum.Kemudian, aku melanjutkan kegiatanku. Saat aku sedang membilas gelas, Tiara tiba-tiba, memeluk pinggangku dari belakang. Aku kaget, hampir menjatuhkan gelas.“Mas, kamu kangen momen kayak gini gak? Dulu kamu selalu lakuin ini ke aku,” katanya, suaranya genit, mencoba bercanda.Namun, aku mencoba melepaskan pelukannya.“Ti, aku lagi cuci piring ini,” kataku, nadaku datar. Namun, dia malah memeluk lebih erat, tertawa kecil, seolah tidak peduli.Saat aku mencoba
Sore itu, setelah selesai bekerja, aku langsung pergi ke parkiran untuk meninggalkan kantor. Sebelum selesai bekerja, Mama Siska sempat mengirim pesan kepadaku, meminta tolong membeli sate untuk makan malam di rumah. Katanya, dia ingin makan sate.Namun, saat aku ingin melajukan motorku, tiba-tiba Liana datang.“Raka, boleh gak aku nebeng kamu? Hari ini aku capek banget, kalau harus nunggu ojek datang aku gak sanggup deh, biasanya suka lama soalnya,” kata Liana langsung.Aku bisa melihat wajah lelahnya. Jujur aku ingin mengantarnya, tapi aku juga harus pulang lebih cepat karena pasti Mama Siska menungguku membawakan pesanannya.“Aduh, Li, maaf banget, bukannya aku gak mau, tapi aku udah ada janji lain,” tolakku dengan halus, berusaha tidak membuatnya merasa tersinggung.“Yah, sebentar saja apa gak bisa, Raka?” tanya Liana. Wajahnya benar-benar terlihat lelah.“Gak bisa, Li. Aku harus buru-buru juga soalnya.”Namun, tak lama kemudian, Reza tiba-tiba datang.“Kamu mau pulang, Li? Aku an
Tak lama setelah aku duduk di meja, Liana masuk kantor dengan langkah cepat, hampir berlari kecil. Bukan Liana namanya kalau tidak heboh, dia menyapa semua orang dengan suara riang, membuat suasana kantor yang tadinya sepi menjadi ramai.Namun, saat aku tidak lagi memperhatikannya dan fokus pada layar monitorku, tiba-tiba Liana datang sambil membawa segelas coklat panas.“Raka, ini pasti dari kamu, kan? Makasih ya, Raka,” katanya dengan senyum riang di wajahnya sambil menunjukkan segelas coklat panas itu.Aku mengernyitkan dahi, tidak paham dengan apa yang dikatakan Liana. “Li, itu bukan dari aku.”Namun, Liana seolah tidak peduli dan menganggap ucapanku hanya bercanda. “Ah, gak usah malu gitu, Raka. Aku tahu kamu memang bukan tipe yang perhatian secara blak-blakan.”“Tapi, Li, itu memang bukan dari aku,” kataku lagi, berusaha meyakinkan Liana.“Kenapa, Raka?” sahut Sarah yang tiba-tiba muncul setelah melihatku berbicara dengan Liana.“Sarah, kamu tadi datang sebelum aku datang, kan?
Malam sudah larut, tetapi Tiara masih belum pulang. Bukannya aku peduli ataupun khawatir, tapi aku tidak habis pikir dengan sikapnya.Demi untuk kesenangan pribadi, dia sampai berbohong entah itu padaku, Mama Siska dan Nayla. Dia benar-benar keterlaluan, sudah saatnya kebohongannya aku bongkar.Sampai kemudian rasa kantuk datang, akupun tertidur pulas.Tengah malam, aku mendengar pintu kamar dibuka pelan, aku yakin pasti Tiara. Aku berpura-pura tidur, tidak mau membuka mata. Dia duduk di ranjang, di belakang punggungku. Aku mendengar getar ponselnya, pasti sedang chatingan dengan Alex. Aku menahan napas, menahan amarah, dan tetap diam sampai aku benar-benar tertidur lagi.Hingga pagi hari tiba, sandiwara kembali dimulai. Aku membuka mata, Tiara sudah di sampingku, merangkulku erat, lalu mencium keningku.“Mas, maaf, ya, semalam ada meeting sampai larut. Makanya tidak bisa makan malam bersama,” katanya, suaranya sangat manis, seperti istri penyayang.Aku hanya tersenyum kaku, menganggu