Setelah selesai mandi, aku langsung duduk dan mengacak rambutku yang masih setengah basah. Napasku masih sedikit berat, pikiranku juga masih terjebak di dalam sisa mimpi semalam.
Mimpi yang tidak seharusnya terjadi. Desahan Mama Siska yang menggoda, tatapannya, suaranya yang nyaris seperti bisikan, benar-benar membuatku gila. Dia mengajakku untuk bercinta, tapi ternyata semua itu hanya mimpi! Aku menelan ludah. Dadaku terasa sesak oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Sial. Aku harus berhenti memikirkan ini. Tok tok! "Abaaaang!!" Suaranya yang lembut dan khas itu membuatku tersentak. Aku menoleh ke arah pintu kamar yang masih tertutup. "Bukain dong, Nayla mau masuk!" Nayla. gadis itu ternyata masih di rumah. Aku menghela napas, mencoba mengumpulkan tenaga sebelum berjalan ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, gadis cantik itu langsung melongok ke dalam kamar dengan ekspresi penasaran. Nayla adalah adik dari istriku, dia baru saja masuk kuliah tahun ini, tubuhnya ramping dan cukup seksi untuk ukuran anak seusianya. Wajahnya mirip dengan Tiara, tapi Nayla lebih tinggi sedikit dan kulitnya lebih putih. Daster merahnya dengan motif karakter kartun, membuatnya terlihat lebih imut. Namun, yang membuatku sedikit waspada adalah tatapan curiganya padaku. Matanya yang bulat dan jernih menatapku dari ujung kepala sampai kaki. "Abang kenapa mukanya merah?" tanyanya heran. Aku mengerjap, lalu buru-buru mengusap wajahku. "Hah? Nggak, biasa aja." "Ih jangan-jangan, Abang habis mikir jorok ya mentang-mentang gak ada Kak Tiara." Aku tersentak, bagaimana bisa bocah ini berkata seperti itu. Tapi, aku mencoba untuk tetap tenang dengan tertawa kecil dan mengacak rambutnya. "Sok tau kamu, wajah Abang merah karena tadi habis mandi." Mata Nayla menyipit, dia menatapku dalam-dalam. "Masa sih? Tapi, kok ngos-ngosan juga? Jangan-jangan, Abang mandi sambil begituan ya?" Aku nyengir dan mencubit pipinya gemas. "Kamu masih bocah, belum cukup umur. Jangan kepo deh," "Waaah! Abang jahat! aku kan sudah 19 tahun, bukan bocah lagi" protesnya sambil memukul pelan lenganku, tapi wajahnya malah terlihat memerah. Aku terkekeh, lalu berlalu masuk ke dalam kamar sambil terus mengusap rambutku dengan handuk kecil agar cepat kering. Ternyata, gadis itu ikut masuk dan duduk di tepi ranjangku, bibirnya masih terlihat manyun. "Tetep bocah itu. Kamu sendiri ngapain pagi-pagi ke kamar Abang?" tanyaku sambil meliriknya. Nayla langsung mengangkat dagunya dengan bangga. "Aku mau kasih tahu kalau nanti sore aku keluar nginep di rumah temanku!" Aku menaikkan alis. "Oh ya? Udah izin sama Mama?" Nayla mengangguk cepat. "Udah! Mama kasih izin, kok. Makanya aku bilang ke Abang biar nggak nyariin dan Abang gak pulang kemalaman soalnya kasihan Mama nanti sendirian." Aku tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya. Jangan buat onar di rumah orang ya." Aku meletakkan handuk kecil itu punggung kursi, lalu menyisir rambutku agar lebih rapi. Sekilas aku melirik Nayla dari pantulan cermin, rupanya gadis itu sedang memperhatikanku. Nayla menatapku dengan lekat, matanya berbinar-binar, bahkan pipinya tampak sedikit memerah. Namun, setelah itu ia menunduk, menggigit bibirnya seperti ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu. Aku berbalik dan menatapnya heran. "Kenapa, Nay?" Nayla menggeleng cepat. "Nggak papa!" Namun, pipinya tampak semakin merah. Aku mengernyit, lalu tersenyum iseng. "Dari tadi kamu liatin Abang diem-diem. Suka ya sama Abang?" "Ih mana ada begitu!" Nayla justru tampak sedikit panik, dan membuatku semakin semangat untuk menggodanya. “Wah, parah nih kamu, bisa-bisanya suka sama suami kakakmu,” kataku dengan nada mengejek. Aku terus menatap wajah Nayla yang semakin memerah. Nayla langsung bangkit, melompat-lompat panik sambil menutupi wajahnya dengan tangan. Aku benar-benar tertawa lepas melihat reaksinya. "Gemes banget bocil," godaku lagi. "ABANGGGG!!" Ketika Nayla bersiap untuk berdiri dan lari keluar dari kamarku, dia justru tersandung oleh langkah kakinya sendiri karena terlalu panik. Nayla jatuh dengan posisi tengkurap. Daster dengan panjang di bawah lutut itu otomatis sedikit tersingkap hingga membuat bagian belakang paha Nayla sedikit terlihat. Saat aku mendekat untuk membantunya berdiri, aku justru semakin tidak sengaja melihat bagian atas tubuhnya yang sedikit terlihat karena posisinya yang seperti itu. “Eh … hati-hati, Nay,” kataku sambil mencoba bersikap biasa saja meskipun sebenarnya sedikit menegang. Setelah aku membantu Nayla berdiri, gadis itu langsung berlari keluar kamarku. Aku menghela napas. Dari awal aku menikah dengan Tiara, aku memang merasa Nayla seperti suka padaku, tapi mungkin hanya perasaanku saja. Terlebih, aku selalu memandangnya seperti adikku sendiri, tidak pernah ada pikiran lain. Aku kembali bersiap untuk pergi kerja. Gara-gara mimpi sialan itu, aku jadi harus cepat-cepat karena bangun kesiangan. Setelah selesai bersiap dan merapikan kembali tempat tidurku, aku bergegas keluar kamar. Namun, begitu aku melewati ruang makan, aku justru melihat Mama Siska yang sedang menyantap sarapannya dengan santai. Melihat mertuaku yang sedang duduk di kursi makan dengan daster rumahannya membuat pikiranku kembali terlempar pada mimpi semalam. Sial! “Raka, sudah mau berangkat? Gak sarapan dulu?” tanya Mama Siska begitu melihatku. Aku menelan ludahku dengan susah payah. Adegan ketika Mama Siska menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya dengan perlahan membuatku kembali berpikir liar. Aku mengerjap perlahan, berusaha mengusir pikiran itu. “Eh, ga–gak usah, Ma. Aku kesiangan soalnya,” jawabku sedikit canggung. Aku langsung melangkah meninggalkan area ruang makan. Namun, Mama Siska justru memanggilku. “Raka.” Aku menghentikan langkahku dan kembali menoleh ke arah Mama Siska. “I-iya, Ma, kenapa?” “Nanti kamu langsung pulang aja ya, jangan mampir ke mana-mana. Nayla nanti menginap di rumah temannya,” kata Mama Siska sambil menatapku. Aku mengangguk pelan. Entah kenapa tatapan itu semakin membuatku teringat pada mimpi semalam. “Iya, Ma. Tadi Nayla sudah kasih tahu juga. Kalau gitu, aku berangkat dulu ya, Ma.” Tanpa menunggu jawaban Mama Siska, aku langsung melangkah pergi. Tidak sanggup lagi aku berlama-lama berhadapan dengannya. Perasaan canggung karena mimpi semalam membuatku tidak nyaman.Untungnya, aku sampai di kantor tepat waktu. Namun, pikiranku masih penuh dengan mimpi aneh semalam. Aku duduk di meja kerja, menyalakan komputer, lalu menatap layar tanpa benar-benar bekerja. Suara Mama Siska di mimpiku benar-benar terus terdengar di telingaku. Tatapan wajahnya dan juga semua yang dia lakukan di mimpi itu terasa sangat nyata. Aku benar-benar bingung, kenapa aku bisa mendapat mimpi seperti itu padahal aku tidak pernah berpikir macam-macam pada mertuaku. Apa ini efek dari hasratku yang tidak bisa tersalurkan karena istriku jauh? Aku menghela napas dalam-dalam, lalu mencoba untuk kembali pada pekerjaanku. Sebagai seorang desainer grafis, jelas pekerjaanku banyak berurusan dengan aplikasi edit gambar. Kebetulan, kantorku ini salah satu studio desain yang cukup terkenal, banyak mengambil job membuat banyak desain untuk keperluan iklan produk-produk terkenal. Aku membuka salah satu desain yang sedang aku kerjakan. Karena masih bingung dengan elemen yang sesuai, tanpa
Alicia langsung menatapku, tapi posisinya masih belum berubah. Setelah beberapa saat, baru dia bangkit dan duduk lagi di kursinya dengan santai. “Oh, ini Raka, aku mau kasih konsep iklan untuk produk minuman yang kemarin,” katanya dengan santai, lalu menyerahkan satu map dokumen. “Minggu depan desainnya harus selesai, dan kamu ikut aku untuk meeting dengan pihak mereka, ya. Aku mau kamu jelaskan ke mereka soal desain kita,” lanjutnya lagi. “Baik, Bu,” jawabku, lalu meraih dokumen itu. Aku membuka tiap lembar dokumen dan mempelajarinya sekilas. “Raka, kamu tahu proyek ini cukup besar, kan? Jadi, aku sangat mengandalkanmu sebagai desainer grafis senior di sini,” kata Alicia sambil menatapku dengan dalam. Saat aku menatapnya balik, aku justru menemukan sesuatu yang janggal. Alicia tampak sedikit sedang menggigit bibir bawahnya, seperti memang sengaja memainkannya. Lalu, entah kenapa tatapan Alicia kepadaku terasa semakin aneh. Matanya seperti menyiratkan sesuatu. Bahkan, aku
Jantungku berdegup keras."Temani bagaimana, Ma?" tanyaku, berusaha terdengar netral.Dia menatapku, lalu tersenyum tipis. "Temani Mama tidur di kamar. Hanya sebentar sampai Mama tidur. Mama masih takut."Aku menelan ludah. Sejujurnya, mimpi semalam masih membuatku merasa canggung untuk berhadapan dengan Mama Siska. Namun, sekarang kondisinya berbeda. Aku juga sedikit khawatir kalau Mama Siska sampai tidak bisa tidur karena ketakutan.Namun, rasanya ini tidak benar. Bagaimana bisa aku menemani ibu mertuaku untuk tidur di kamarnya?“Tapi, Ma …”Mama Siska mengeratkan genggamannya, matanya menatapku dengan lembut. "Mama takut, Raka.""Tapi......" Aku ragu."Di rumah ini hanya ada kita berdua, Nayla masih menginap di rumah temannya. Kalau saja dia ada, Mama akan meminta Nayla untuk menemani." Mama Siska menatapku dengan mata sedikit berair. Sepertinya, dia benar-benar sangat ketakutan.Aku menghela napas pasrah. Sepertinya, pikiranku memang terlalu liar sampai-sampai hampir tega mengabai
Mama Siska menatapku, ekspresinya sulit diartikan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang jelas tidak seharusnya ada.Namun, saat aku hendak menciumnya lagi, tiba-tiba bayangan wajah Tiara muncul di kepalaku. Aku langsung menegakkan punggungku, menarik tanganku perlahan, lalu berbalik memunggungi Mama Siska lagi. "Ma, ini nggak benar."Ia terdiam, lalu menunduk. Aku bisa melihat jemarinya mengepal di atas selimut. Ada rasa kecewa di sana, tapi juga kesadaran.Aku menghela napas, lalu bangkit dari ranjang. Mata Mama Siska masih tertuju padaku, tapi kali ini berbeda—tidak lagi ada keinginan yang terselubung, hanya ada kelelahan dan sedikit rasa malu."Maaf, Raka…" katanya, suaranya nyaris berbisik.Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Istirahatlah, Ma. Kalau ada apa-apa, panggil saja aku."Tanpa menunggu jawaban, aku melangkah keluar kamar dan menutup pintu pelan-pelan.Aku tidak ingin mengkhianati Tiara, aku berusaha tetap setia dan sabar menunggunya.Di kamarku sendiri, aku duduk d
Aku pura-pura tidak mendengar ucapannya dan langsung membantunya berdiri."Ayo saya antar.” Akhirnya aku menggandeng tubuhnya yang lemas, kita berjalan menuju pintu keluar.Namun, ada satu masalah.Aku tidak tahu di mana rumah Alicia.“Bu, di mana alamat rumahmu?” Aku berusaha bertanya padanya.Namun, seperti dugaanku, percuma bertanya kepadanya karena kondisinya yang sudah terlalu mabuk untuk memberi tahu alamat rumahnya. Aku akhirnya memutuskan untuk menyewa satu kamar agar Alicia bisa beristirahat.Sesampainya di kamar, aku menuntun Alicia untuk berbaring di ranjang. Ia menatapku dengan mata setengah sadar. "Raka..." panggilnya dengan suara serak, ia menahan lenganku hingga membuatku tetap menunduk di atasnya"Ada apa, Bu?" tanyaku dengan berusaha tetap biasa saja.Alicia tersenyum miring dan dengan gerakan pelan, satu tangannya mulai membuka kancing blazernya satu persatu. "Apa kamu benar-benar tidak tertarik padaku?" tanyanya, suaranya menggoda. Satu tangannya yang lain mulai
“Mpphh,” lenguh Mama Siska ketika aku langsung menciumnya. Mendapat ciuman dadakan dariku, Mama Siska masih tampak sedikit bingung, ia meremas ujung bajuku dengan erat. Tanganku mulai bergerak semakin liar, bukan hanya menyentuh pahanya, tapi juga menuju ujung pahanya hingga hampir mengenai bagian intinya. Jika sebelumnya aku menolak, kini aku akan melakukan sebaliknya. Aku membuka mataku, dan melepas ciumanku. Aku melirik Mama Siska yang menatapku dengan tatapan terkejut. Ia menggigit bibir bawahnya, aku tahu ia ingin melakukannya, tetapi ada sorot kebingungan di matanya. Namun, aku tidak peduli, aku sudah tidak tahan lagi. Seketika, aku kembali mencium bibirnya. Kali ini bukan ciuman biasa, tetapi ciuman yang begitu bernafsu. Selama ini aku memang tertarik pada ibu mertuaku ini, tetapi aku masih menahannya karena memikirkan statusku sebagai suami Tiara. Mama Siska kembali terkejut melihat aksiku yang sangat agresif. “Nghhh.” Lagi-lagi Mama Siska mendesah lepas saat aku
Setelah selesai mandi dan bersiap-siap untuk bekerja, aku segera bergegas pergi. Namun, seperti biasa, Mama Siska sudah menungguku di meja makan. Dia menatapku dengan sorot mata lembut, tetapi penuh ketegasan, lalu mendorong piring berisi sarapan ke arahku.Jika mengingat peristiwa semalam, rasanya aku tidak percaya itu semua bisa terjadi. Tapi dari awal, aku memang tertarik padanya. Walaupun sudah kepala empat, tapi dia masih terlihat awet muda. Dia masih tetap cantik, tubuhnya ramping dan seksi.Setelah tahu Tiara ternyata mengkhianatiku, kini aku tidak akan lagi menjadi seorang suami yang setia."Makan dulu, Raka. Setidaknya isi perutmu sebelum berangkat," katanya.Aku hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. "Aku buru-buru, Ma. Kopi saja sudah cukup."Mama Siska menghela napas, tapi tidak memaksaku. Aku meneguk kopiku dengan cepat, lalu beranjak pergi. Namun sebelum aku benar-benar keluar rumah, dia sempat berkata, "Jaga dirimu baik-baik."Lalu, Mama Siska mengusap lenganku dengan
Aku menyerahkan helm kepada Liana sebelum menyalakan motor. Dia menerimanya tanpa banyak bicara, lalu mengenakannya dengan sedikit canggung. Dari dekat, wajahnya memang terlihat lebih pucat dari biasanya. Saat aku menaiki motor dan menstabilkan posisi, Liana ragu-ragu sebelum akhirnya naik ke jok belakang. Aku bisa merasakan tubuhnya menempel di punggungku, meskipun dia tidak memelukku“Kamu yakin gak mau ke dokter dulu?” tanyaku memastikan lagi.Liana menggeleng pelan. “Gak perlu. Aku cuma capek aja, tadi siang aku lupa makan.”Aku menghela napas, lalu mulai melajukan motor keluar dari area parkir kantor.Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aku hanya fokus mengemudi, sementara Liana masih diam di belakangku. Tapi kemudian, aku mendengar suaranya yang kecil, nyaris tersapu angin.“Tumben kamu mau antar aku pulang, Raka? Dulu kamu kan gak pernah mau bawa cewek lain di motormu.”Aku menoleh sebentar sebelum kembali menatap jalan. “Kan kamu lagi sakit, Li.”Liana terkekeh pelan. “W
Aku melihat sekeliling memastikan pria itu tidak mendekati Nayla lagi. Namun, aku justru melihat Nayla menatapku tanpa berkedip sambil tersenyum. "Nayla... Nayla... " Aku memanggilnya beberapa kali tapi dia tidak menjawab. Sepertinya ia sedang bengong, aku melihat ke kiri kanan dan kebelakang tapi tidak ada siapa-siapa hanya ada aku saja. Rupanya ia melihatku dari tadi. Dasar bocah, aku tertawa sambil menepuk pundaknya. "Nay, Nayla... " Ia pun tersadar, ia terlihat terkejut dan malu. "I-iya Bang." Jawabnya gelagapan. "Ko malah bengong? Kenapa? Terpesona ya lihat Abang?" Tanyaku menggodanya. Mukanya langsung memerah. "Ihh e-enggak." Tapi, muka merahnya tidak bisa berbohong, aku mencubit hidungnya yang mancung. "Yaudah kamu masuk sana! Abang pergi ya, mau langsung ke kantor!" "Iya Bang hati-hati." Nayla pun berlari menuju kelas, kita berjalan berlawanan. Tapi saat aku berbalik untuk pergi, tiba-tiba sekelompok teman perempuan Nayla datang menghampirinya. Mereka tampak heboh
Ia berdiri di ruang tamu, tatapannya terlihat sangat khawatir. Sepertinya Mama Siska menungguku sejak tadi, dan entah mengapa aku malah merasa bersalah padanya.Aku terdiam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal. Tentu saja aku tidak bisa mengatakan kalau aku dari rumah Liana, jadi aku memilih jawaban yang aman.“Tadi masih banyak kerjaan di kantor, Ma.” Aku berusaha terdengar santai, meskipun sebenarnya entah kenapa ada ketegangan dalam hatiku.Mama Siska memperhatikanku dengan saksama, lalu mendekat. Matanya menyipit, seolah sedang menilai sesuatu yang tidak terlihat.Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan melewatinya. “Aku ke kamar dulu ya, Ma.”“Kenapa wangi tubuhmu aneh?” tanyanya tiba-tiba.Aku langsung tersentak dan seketika menghentikan langkahku. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku baru sadar, sepertinya aroma parfum yang dipakai Liana tadi masih menempel di bajuku. Aku berusaha tetap tenang, meskipun dalam hati aku sudah panik setengah mati.“Eh… Aku tadi mandi
Liana langsung menarik tubuhku dan mencium di bibirku. Di sela ciuman itu, dia menuntunku untuk berjalan perlahan, hingga akhirnya kami masuk ke kamarnya. Sentuhan bibirnya begitu sangat hangat, lidahnya ia mainkan membuatku semakin bergairah. "Ngghh Raka ssshh..." Dia mendesah saat aku daratkan kecupan di lehernya. Lalu kita kembali saling berciuman, kemudian ia mendorongku ke atas kasur. Ia mengambil tasnya yang tergantung di dekat pintu dan mencari sesuatu. Sampai akhirnya aku terkejut ketika melihat Liana memberikan pengaman kepadaku. "Kok kamu bisa punya ini?" Tanyaku penasaran. Liana tampak sedikit menggigit bibir bawahnya, lalu tersenyum aneh. “Itu …” Aku sedikit mengerutkan dahi sambil terus menatapnya. Sejauh yang aku tahu, meskipun Liana memang termasuk mudah bergaul, tapi dia tidak sampai ke arah seperti itu. Kemudian, bayangan Sarah yang tersenyum aneh ketika aku memutuskan untuk mengantar Liana kembali muncul di kepalaku. Ah, sepertinya aku paham sekarang.
Aku menyerahkan helm kepada Liana sebelum menyalakan motor. Dia menerimanya tanpa banyak bicara, lalu mengenakannya dengan sedikit canggung. Dari dekat, wajahnya memang terlihat lebih pucat dari biasanya. Saat aku menaiki motor dan menstabilkan posisi, Liana ragu-ragu sebelum akhirnya naik ke jok belakang. Aku bisa merasakan tubuhnya menempel di punggungku, meskipun dia tidak memelukku“Kamu yakin gak mau ke dokter dulu?” tanyaku memastikan lagi.Liana menggeleng pelan. “Gak perlu. Aku cuma capek aja, tadi siang aku lupa makan.”Aku menghela napas, lalu mulai melajukan motor keluar dari area parkir kantor.Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aku hanya fokus mengemudi, sementara Liana masih diam di belakangku. Tapi kemudian, aku mendengar suaranya yang kecil, nyaris tersapu angin.“Tumben kamu mau antar aku pulang, Raka? Dulu kamu kan gak pernah mau bawa cewek lain di motormu.”Aku menoleh sebentar sebelum kembali menatap jalan. “Kan kamu lagi sakit, Li.”Liana terkekeh pelan. “W
Setelah selesai mandi dan bersiap-siap untuk bekerja, aku segera bergegas pergi. Namun, seperti biasa, Mama Siska sudah menungguku di meja makan. Dia menatapku dengan sorot mata lembut, tetapi penuh ketegasan, lalu mendorong piring berisi sarapan ke arahku.Jika mengingat peristiwa semalam, rasanya aku tidak percaya itu semua bisa terjadi. Tapi dari awal, aku memang tertarik padanya. Walaupun sudah kepala empat, tapi dia masih terlihat awet muda. Dia masih tetap cantik, tubuhnya ramping dan seksi.Setelah tahu Tiara ternyata mengkhianatiku, kini aku tidak akan lagi menjadi seorang suami yang setia."Makan dulu, Raka. Setidaknya isi perutmu sebelum berangkat," katanya.Aku hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. "Aku buru-buru, Ma. Kopi saja sudah cukup."Mama Siska menghela napas, tapi tidak memaksaku. Aku meneguk kopiku dengan cepat, lalu beranjak pergi. Namun sebelum aku benar-benar keluar rumah, dia sempat berkata, "Jaga dirimu baik-baik."Lalu, Mama Siska mengusap lenganku dengan
“Mpphh,” lenguh Mama Siska ketika aku langsung menciumnya. Mendapat ciuman dadakan dariku, Mama Siska masih tampak sedikit bingung, ia meremas ujung bajuku dengan erat. Tanganku mulai bergerak semakin liar, bukan hanya menyentuh pahanya, tapi juga menuju ujung pahanya hingga hampir mengenai bagian intinya. Jika sebelumnya aku menolak, kini aku akan melakukan sebaliknya. Aku membuka mataku, dan melepas ciumanku. Aku melirik Mama Siska yang menatapku dengan tatapan terkejut. Ia menggigit bibir bawahnya, aku tahu ia ingin melakukannya, tetapi ada sorot kebingungan di matanya. Namun, aku tidak peduli, aku sudah tidak tahan lagi. Seketika, aku kembali mencium bibirnya. Kali ini bukan ciuman biasa, tetapi ciuman yang begitu bernafsu. Selama ini aku memang tertarik pada ibu mertuaku ini, tetapi aku masih menahannya karena memikirkan statusku sebagai suami Tiara. Mama Siska kembali terkejut melihat aksiku yang sangat agresif. “Nghhh.” Lagi-lagi Mama Siska mendesah lepas saat aku
Aku pura-pura tidak mendengar ucapannya dan langsung membantunya berdiri."Ayo saya antar.” Akhirnya aku menggandeng tubuhnya yang lemas, kita berjalan menuju pintu keluar.Namun, ada satu masalah.Aku tidak tahu di mana rumah Alicia.“Bu, di mana alamat rumahmu?” Aku berusaha bertanya padanya.Namun, seperti dugaanku, percuma bertanya kepadanya karena kondisinya yang sudah terlalu mabuk untuk memberi tahu alamat rumahnya. Aku akhirnya memutuskan untuk menyewa satu kamar agar Alicia bisa beristirahat.Sesampainya di kamar, aku menuntun Alicia untuk berbaring di ranjang. Ia menatapku dengan mata setengah sadar. "Raka..." panggilnya dengan suara serak, ia menahan lenganku hingga membuatku tetap menunduk di atasnya"Ada apa, Bu?" tanyaku dengan berusaha tetap biasa saja.Alicia tersenyum miring dan dengan gerakan pelan, satu tangannya mulai membuka kancing blazernya satu persatu. "Apa kamu benar-benar tidak tertarik padaku?" tanyanya, suaranya menggoda. Satu tangannya yang lain mulai
Mama Siska menatapku, ekspresinya sulit diartikan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang jelas tidak seharusnya ada.Namun, saat aku hendak menciumnya lagi, tiba-tiba bayangan wajah Tiara muncul di kepalaku. Aku langsung menegakkan punggungku, menarik tanganku perlahan, lalu berbalik memunggungi Mama Siska lagi. "Ma, ini nggak benar."Ia terdiam, lalu menunduk. Aku bisa melihat jemarinya mengepal di atas selimut. Ada rasa kecewa di sana, tapi juga kesadaran.Aku menghela napas, lalu bangkit dari ranjang. Mata Mama Siska masih tertuju padaku, tapi kali ini berbeda—tidak lagi ada keinginan yang terselubung, hanya ada kelelahan dan sedikit rasa malu."Maaf, Raka…" katanya, suaranya nyaris berbisik.Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Istirahatlah, Ma. Kalau ada apa-apa, panggil saja aku."Tanpa menunggu jawaban, aku melangkah keluar kamar dan menutup pintu pelan-pelan.Aku tidak ingin mengkhianati Tiara, aku berusaha tetap setia dan sabar menunggunya.Di kamarku sendiri, aku duduk d
Jantungku berdegup keras."Temani bagaimana, Ma?" tanyaku, berusaha terdengar netral.Dia menatapku, lalu tersenyum tipis. "Temani Mama tidur di kamar. Hanya sebentar sampai Mama tidur. Mama masih takut."Aku menelan ludah. Sejujurnya, mimpi semalam masih membuatku merasa canggung untuk berhadapan dengan Mama Siska. Namun, sekarang kondisinya berbeda. Aku juga sedikit khawatir kalau Mama Siska sampai tidak bisa tidur karena ketakutan.Namun, rasanya ini tidak benar. Bagaimana bisa aku menemani ibu mertuaku untuk tidur di kamarnya?“Tapi, Ma …”Mama Siska mengeratkan genggamannya, matanya menatapku dengan lembut. "Mama takut, Raka.""Tapi......" Aku ragu."Di rumah ini hanya ada kita berdua, Nayla masih menginap di rumah temannya. Kalau saja dia ada, Mama akan meminta Nayla untuk menemani." Mama Siska menatapku dengan mata sedikit berair. Sepertinya, dia benar-benar sangat ketakutan.Aku menghela napas pasrah. Sepertinya, pikiranku memang terlalu liar sampai-sampai hampir tega mengabai