Seperti gak ada perempuan lain saja!
Kalimat itu bercokol di hati Laila yang bersandar lemas pada dinding dapur. Sesaat kemudian, ia yang akhirnya bisa kembali ke kamar nenek setelah dibantu seorang staf di dapur, lalu duduk terdiam di samping ranjang yang hening.
Nenek sudah terlelap di kamarnya yang jauh dari kebisingan di ruang keluarga. Syukurlah, daripada nenek ikut pusing dengan pertengkaran barusan, Laila saja menjadi tegang dan pening setelah mendengarnya.
Apalagi namanya ikut disebutkan oleh bapak Adiwijaya, orang yang notabene-nya memiliki omongan yang berkaitan dengan urusan yang serius.
Tapi, apakah benar dugaannya? Persoalan yang menyangkut dirinya dengan pertengkaran yang melibatkan Mas Nathan dan nama kekasihnya barusan…
Laila terkejut akan kesimpulan di benaknya. Matanya melotot, tarikan nafasnya terdengar cepat, dan tangannya menutup mulut yang gemetaran.
“Ti-tidak mungkin…” bisiknya sambil menggeleng pelan, merasakan kegugupan yang mulai menguasai dirinya.
Matanya diam-diam melirik nenek yang ternyata menatapnya entah sejak kapan dengan sayu menahan kantuk. Laila terkejut lagi, tapi ia berusaha menahan ekspresinya dan membetulkan posisi duduk.
“Nenek kok, bangun…?” Ujarnya pelan. “Maaf ya, aku datang terlambat.”
“Kamu dari mana saja, neng?” Nenek bertanya. “Tadi nenek mencarimu selepas maghrib.. Kamu sudah gak ada di kamar. Padahal Nathan pulang lagi, nenek ingin kalian berdua bicara.”
Laila tertegun dengan wajah gelisah. Nenek sudah mulai pikun, tapi keinginannya untuk menjodohkan sang cucu dengan perawatnya ini tetap kuat.
Laila berusaha mencari pengalihan, itu mudah. “Kenapa mas Nathan tiba-tiba pulang lagi, nek? Bukannya dia ada jadwal keluar kota?” Mimiknya sangat serius, tekanan pada suaranya mengajak nenek untuk memikirkan hal lain.
“Oh ya?” Nenek lagi-lagi balik bertanya. “Hmmm… oh ya, tadi dia izin mau pergi, ya?”
Laila diam-diam menarik nafas dari mulutnya dan tersenyum sedikit dipaksakan. Tampaknya cara untuk mengalihkan perhatian nenek tidak berhasil. Justru mereka akan membicarakan seputar Nathan lagi.
Klek!
Laila dan nenek serentak menoleh ke arah pintu kamar yang dibuka.
Seorang pria dengan tinggi seratus tujuh puluh lebih yang hampir menyentuh kusen atas pintu berdiri di sana, masih mengenakan jaket hitam dengan kemeja yang rapi, namun wajahnya muram.
Nathan masuk tanpa mengatakan apapun. Laila terperanjat dan tidak tahu harus mengatakan apa selain menunduk sambil menyembunyikan kegugupannya.
“Jangan berpura-pura gak tahu,” itulah kalimat pembuka yang sama sekali tidak ramah dari mulut tuan muda yang baik hati itu.
Sontak Laila menaikkan tatapan dengan takut-takut. Nafasnya masih tertahan, tanpa sadar ia menelan ludah di kerongkongan yang kering.
Nathan menarik kursi terdekat, berhadapan dengan ranjang sang nenek yang ikut mengamatinya dengan wajah berbinar-binar, dan duduk sambil menindih salah satu kakinya yang jenjang.
Laila kembali menunduk. Situasi di kamar ini sudah mirip seperti ruang interogasi, bersiap untuk menerima segala pertanyaan termasuk tuduhan dari penguasa di ruangan ini… siapa lagi kalau bukan Nathan.
“Apa kamu setuju?” Tanya Nathan yang langsung ke intinya, enggan berbasa-basi.
Laila jelas terkejut, kali ini ia benar-benar menunjukkan di wajahnya yang terangkat perlahan. “Ma-maaf, saya gak ingin ikut campur…” Tangannya juga ikut naik dan jari jemarinya terlihat gemetar.
“Kamu sudah ikut campur,” suara Nathan sangat datar dan dingin, tidak mengekspresikan apapun selain apa yang dipendam di dalam kepalanya. “Sekarang jawab aku, apa kamu setuju menikah denganku?”
Bukannya Laila yang menjawab, nenek yang langsung menyahut dengan gembira, “ya, tentu saja Laila setuju. Iya kan, neng?”
Laila hendak menggelengkan kepala, namun di satu sisi ia seperti dihadapkan pada pilihan yang sulit. Jika ia menolak nenek secara langsung sekarang, ia khawatir nenek akan drop lagi kesehatannya akibat dikecewakan.
Tapi, jika ia mengiyakan perkataan nenek… mungkin ia bisa meralatnya di luar ruangan ini nanti.
“Ya,” Laila mengangguk pelan. Meski wajahnya terlihat tertekan dan ia berharap Nathan menangkap gelagat ketidaksetujuan dari dirinya.
Namun, tampaknya itu tidak berhasil. Nathan memandangnya dengan wajah dingin dan kemuraman yang berlanjut. Sejenak kemudian, setelah keheningan mengisi kekosongan di antara mereka berdua, ia menjawab tegas.
“Kalau begitu bersiaplah,” Nathan menegakkan punggung, menjatuhkan tatapan kepada Laila dengan cara yang belum pernah terlihat sebelumnya. “Pernikahan kita akan diadakan seminggu lagi.”
Laila langsung melotot, wajahnya panik. “Ma-mas, ma-maksudku bukan…” Matanya kembali melirik nenek yang memerhatikan mereka berdua dengan seksama dan wajahnya sangat terharu, lagi-lagi Laila tidak tega.
Ketika Nathan berjalan keluar kamar, Laila meminta izin kepada nenek untuk mengikutinya dan berlari kecil menyusul pria itu di lorong kamar.
“Mas, tunggu!” Laila sedikit terengah-engah, bukan karena gerakannya, melainkan persoalan di antara mereka berdua yang memberatkan hatinya.
Nathan menoleh tanpa membalikkan pundak yang lebar dan diselimuti oleh bayangan gelap di mata Laila.
“Maksudku, aku gak–” Laila menghela nafas, menatap wajah Nathan yang membuatnya kehilangan suara.
“Kamu gak mau?” Nathan menyudutkannya lagi. Kali ini Laila mengangguk cepat, tanpa tahu apa yang harus ia katakan kepada tuan muda yang berubah dingin itu. “Kamu harus mau, hanya itu yang kuinginkan.”
Aku harus mau… Hanya itu yang ia inginkan??? Laila terus memikirkannya semalaman.
Ini sebuah pemaksaan.
Padahal Laila benar-benar berharap bahwa Nathan sama-sama tidak setuju sehingga mereka tidak akan menikah. Tapi, nyatanya Nathan memaksanya untuk menikah dengan alasan yang tidak dapat ia mengerti.
Apa keuntungan yang Nathan peroleh dengan menikahinya? Laila setuju bahwa ia tidak memiliki apapun untuk diberikan kepada tuan mudanya itu.
Wajahnya biasa-biasa saja, tubuhnya kecil dan jauh dari ideal–dibandingkan kekasihnya Nathan yang, menurut perkiraan Laila, pasti sangat cantik–dan ditambah lagi ia bukan berasal dari keluarga berada.
Di tengah kegalauannya yang parah, nenek menyarankan Laila untuk mengambil wudhu dan sholat istikharah.
“Mungkin itu akan meyakinkan langkahmu..” kata nenek yang memiliki basic agama yang kuat sejak menjadi mualaf tiga puluh lima tahun yang lalu.
Putra tunggalnya, Adi Wijaya, mengikuti jejaknya dan menikah dengan seorang muslimah yang merupakan teman kampusnya, Laila Kusuma. Keduanya lantas memiliki prinsip yang sama yaitu, anak-anak mereka akan hidup di tengah lingkungan agama dan kebaikan kepada sesama.
Nathan menjadi contoh bagi adik-adiknya. Jika ada Nathan, kedua adiknya, Zaky dan Adira yang biasa cuek akan berlaku lebih baik kepada para staf di sini termasuk kepada Laila.
Alasan yang sama pula yang menjadi pertimbangan bapak Adiwijaya untuk menjodohkan putra pertamanya itu dengan seorang perawat berhijab yang kalem di rumahnya. Sebagai ayah, ia hanya ingin putranya mendapatkan wanita yang terjaga dan sangat dikenalnya.
Namun, Nathan yang diam-diam memiliki kekasih di luar kota telah membuat papanya kecewa berat. Apalagi setelah mengetahui bahwa kekasihnya itu tipe wanita karir yang tampil terbuka, tidak memiliki hubungan baik dengan keluarga, dan suka meminta ini-itu darinya
Jelas semua karakter tidak baik itu membuat bapak Adiwijaya murka, bagaimana bisa putranya yang telah dididik dengan sangat hati-hati di dalam lingkungan yang baik bisa tertarik dengan wanita seperti itu? Ia tidak habis pikir.
“Kenapa harus Laila?” Pertanyaan Nathan yang sempat menggantung itu telah dijawabnya.
“Memangnya ada apa dengan Laila?” Bapak Adiwijaya membalas dengan sengit. “Ia sudah sarjana, memiliki profesi yang mulia, dan bisa menjaga nenek dengan sangat baik. Itu yang kami inginkan.”
Pernyataan sang papa seakan menilai Namira, kekasihnya Nathan yang kelasnya jauh di atas Laila, tidak memiliki apapun yang bisa dibanggakan bagi keluarga ini. Nathan akhirnya menyerah, apalagi kartu debitnya juga dibekukan dan terancam diusir dari rumah.
Jika ia diusir, maka itu artinya ia juga akan didepak dari daftar pewaris perusahaan keluarga beserta seluruh kepemilikan harta yang selama ini menaunginya.
Menikahi Laila adalah satu-satunya cara agar selamat di situasi yang genting ini. Nathan telah belajar dari berbagai pengalaman sebelumnya bahwa untuk menyelamatkan hal yang penting maka ia harus merelakan hal lainnya.
Merelakan impian untuk menikahi Namira dengan bahagia, sesuatu yang menjadi tujuannya selama tiga tahun terakhir, demi menyelamatkan reputasi sebagai pewaris dan masa depannya.
Sementara Laila yang dibuat pusing dengan rencana pernikahan yang tiba-tiba itu memutuskan untuk mengambil dua hari liburnya agar bisa merenung sendirian di rumah.
“Assalamu’alaikum, bu, aku pulang.” Ia tiba dengan wajah sayu. Hanya makan siang, lalu masuk ke kamar tanpa banyak bercerita.
Di sudut kamarnya yang hanya sepetak telah dibuatkan sebuah mihrab, yakni tempat yang dikhususkan untuknya beribadah. Kata ustadz Adi Hidayat, doa orang yang berada di mihrab akan lebih cepat didengar seperti kisahnya bunda Maryam.
Laila, meski merasa dirinya bukan orang yang mulia apalagi banyak dosa, tetap membutuhkan pertolongan Tuhannya dengan berdiam diri di mihrab kecil itu.
Laila tahu bahwa ia berhak menolak tawaran pernikahan itu, lalu resign dari keluarga Hakeem dan pergi bekerja di luar kota.
Tapi, dengan semua jasa bapak Adiwijaya kepadanya selama ini? Memberinya beasiswa hingga lulus dan mempekerjakannya dengan sangat baik serta kompensasi yang besar, tegakah ia mengabaikan itu semua?
Laila sungguh merasa hutang budi. Awalnya ia sama sekali tidak keberatan, karena ia juga sama sekali tidak berpikir bahwa bapak Adiwijaya akan menjodohkan dia dengan putranya sendiri.
Itulah yang menyesakkan dadanya sekarang.
Apalagi jatuhnya ia telah merebut kekasih wanita lain, wanita yang jelas-jelas jauh lebih tinggi kelas sosial, pendidikan, dan pengalamannya. Apalah dia dibandingkan wanita itu. Laila sangat sadar diri.
Tapi, itu tidak lagi menjadi pilihan. Ibu dan ayah yang kemudian mendengar kabar tersebut juga keberatan, meski akhirnya mendorong Laila untuk menyetujuinya.
Laila, seperti Nathan di sisi lain, juga menyerah. Mengikuti alur yang telah ditakdirkan untuknya hingga hari pernikahan tiba.
“Wah, aku gak nyangka kamu akan jadi kakak iparku, mbak.” Adira datang menyalaminya dengan wajah yang berubah-ubah dari sinis menjadi senyum yang memuakkan.
Apalagi kalau bukan karena diamati oleh papanya, bapak Adiwijaya di panggung pelaminan. Adira yang mengenakan gaun bridesmaid krem cerah itu melewati Laila tanpa menunggu jawaban, lalu memeluk kakaknya.
“Terima kasih… kak Nathan sudah menyelamatkan kami juga.” Bisiknya diam-diam.
Nathan tidak berkata apapun. Wajahnya sempat termenung, lalu membalasnya dengan senyuman simpul yang penuh makna.
Pasalnya jika Nathan diusir dari rumah dan didepak dari perusahaan, maka Zaky dan Adira yang masih suka bermain-main itu tidak tahu mesti apa ketika dihadapkan dengan urusan perusahaan.
Zaky yang menyalami Laila tidak mengatakan apapun, lalu ia memeluk Nathan dan membisikkan kalimat yang mirip-mirip seperti adiknya. Meski ditambah dengan satu pesan sebelum berlalu, “Papa hanya melakukannya demi nenek, jadi jangan patah semangat.”
Hanya agar nenek bahagia. Kalimat itu terpatri dengan baik di hati Nathan setelah pesta pernikahan yang meriah dan dihadiri oleh para kolega perusahaan. Kini, ia dan Laila tinggal berdua di kamar hotel tempat di mana acara dilangsungkan. Ia berjalan melewati koper-koper dan matanya tertuju ke kalung di dalam kotak beludru biru yang menjadi maharnya kepada Laila.Mungkin gadis itu habis melihatnya dengan puas sebelum membersihkan diri, pikir Nathan yang mendengar suara dari kamar mandi.Setelah menarik nafas di depan cermin yang panjang, Nathan melepaskan dasi dari kerahnya yang mulai terasa sesak. Matanya yang sayu dan muram menatap bayangan di cermin sambil mengingat kembali reaksi Namira atas pernikahannya.“Tega kamu, mas!” Teriak kekasihnya itu. Kekasih yang menghancurkan hatinya dengan membanting pintu apartemen dan pergi begitu saja.Pagi tadi, seorang teman memberitahunya mengenai keberadaan Laila yang masih di kota tersebut dan mungkin menunggu Nathan agar kembali menemuinya
Seminggu yang lalu–betapa cepat waktu berlalu.Sore itu, Nathan yang hampir mendekati gerbang tol luar kota mendapat panggilan dari asisten papanya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa apa yang akan dibicarakan oleh papa segera membuatnya putar balik.“Papa gak setuju kamu menemuinya, Nathan!” Bentak papa dengan suara serak. “Kartumu sudah dibekukan, kalau kamu berani pergi sekarang, papa benar-benar tidak akan mengizinkan kamu kembali ke rumah!”Sebuah pertanyaan menerornya sepanjang perjalanan dan membuatnya gelisah, sejak kapan papa mengetahuinya? Padahal selama tiga tahun ini, Nathan telah menjaga hubungannya dengan sangat baik dan rapat dari keluarga.Hanya segelintir dari teman-teman terdekat yang mengetahuinya. Mereka-pun bisa menjaga rahasia dengan sangat baik. Lalu, siapa yang membocorkan informasi ini? Nathan yang kesal membanting tangannya di atas kemudi. Ia sudah tahu akan seperti apa pembicaraan mereka setibanya di rumah. Semuanya persis seperti dugaannya, kecuali..Bag
“Aku sudah gak lapar, Mas.” Jawab Laila saat Nathan mengenakan jam tangan kembali setelah dari toilet.Nathan, meski mengenakan jam, tetap melirik jam dinding di hadapannya. Ini sudah jam setengah tiga menjelang sore, wajar saja Laila ngambek seperti itu meski tidak memperjelasnya di depan Nathan.“Maaf ya, yang… jadwalku padat banget.” Nathan meraih pinggang wanita itu dari belakang dan memeluknya sambil mencuri-curi perhatian dengan menempel pipi mereka.Ah, ini Laila, bukan Namira. Tapi, kenapa ia merasakan rasa sayang yang sama? Haha, ini lucu baginya. Seolah cinta itu tiba-tiba muncul setelah ia mengucapkan akad, dan tidak peduli apa yang diperbuatnya di luar dengan wanita lain, ia tetap menginginkan Laila.“Kamu beneran gak lapa
“Sudah, mas?” Laila menoleh ke belakang, langkahnya terhenti di ambang pintu kamar sambil menyeret koper.Nathan dengan sigap mengambil alih koper dari tangan istrinya itu, lalu bilang untuk jalan duluan. Mereka akan pulang malam ini, lalu sesuai kesepakatan untuk kembali ke pekerjaan masing-masing dan berencana jalan-jalan di akhir pekan.Sungguh simpel sekali hidupnya Laila, dan mudah dibuat senang. Nathan jadi lega karena ia tidak harus mengatur ulang jadwalnya, kemudian ia merangkul Laila dan mereka berjalan menyusuri lorong yang sepi.“Kenapa?” Tanya Laila yang melirik senyuman di wajah Nathan.“Hm? Nggak,” Nathan bergumam singkat. Pikirannya masih saja berputar-putar dibuai sentuhan istrinya sebelum mereka keluar kamar.
Laila selesai melipat selimut dan meletakkannya dengan rapi di lemari pendek dekat ranjang nenek.Sementara ekor matanya menangkap perhatian nenek kepadanya, seolah tidak ingin lepas dan menanti jawabannya atas pertanyaan awkward barusan. Laila tidak tahan, jadi ia izin untuk ke dapur mengambil sesuatu.“Bawain nenek kue, ya?” Nenek memohon.“Kan, manis, nek..” Laila hendak menggeleng, tapi di satu sisi wajah memelas nenek membuatnya tidak tega. “Ya sudah, nanti aku cari cemilan lain yang rendah gula, oke? Aku ke dapur dulu, ya.”Nenek mengalami stroke dan diabetes sejak lama, mungkin sudah belasan tahun, tapi semakin hari kondisinya semakin me
Laila mengantarkan Nathan menuruni tangga sambil merapikan posisi dasi yang menggantung di kerah biru itu. “Aduh, aku gak sempat sarapan, yang.” Nathan melengos melewati ruang makan. “Mana sepatuku?” Ia celingukan di ruang tamu sampai Laila membawakan sepasang sepatu hitam favoritnya. “Ini, seenggaknya kamu harus minum susu.” Laila menyodorkan segelas susu langsung ke mulut Nathan. “Biar gak kelaparan. Kamu belum makan apa-apa lho, biasanya gak ada waktu buat sarapan di sana, kan.” Nathan yang sedang mengenakan sepatu sambil meneguk susu yang diberikan Laila, melirik wajah istrinya itu dari bibir gelas. “Kamu udah kayak mama aja,” komentarnya pelan, namun ia tetap menghabiskan susu itu. “Udah, makasih. Aku berangkat, ya.”
“Sarapan sedikit lah, sayang..” Laila memohon. “Suapin,” Nathan meminta dengan manja, sambil mengenakan sepatunya. Lima menit, kegiatan pagi yang romantis itu berjalan singkat dan mengesankan bagi Laila yang tersenyum-senyum dengan wajah merona. Dipandanginya wajah tampan Nathan yang dihiasi hidung yang tinggi dan sorot mata yang dalam. Mimpi apa dia bisa menyuapi tuan mudanya yang kini telah menjadi suaminya? Ah, senangnya! Usai Nathan berangkat, seperti biasa Laila menuju kamar nenek dimana suster Enni sedang menyuapi sarapan. Biasanya itu adalah kegiatan Laila di pagi hari, tapi kini ia juga harus mengurusi bayi besarnya si cucu nenek. “Nenek,” Laila menyapa dengan wajah riang.
Nathan terbangun keesokan paginya dalam keadaan cemas karena ponselnya, yang menurut Namira, terlempar ke sudut kamar dan retak. “Masa sih, kamu gak sadar?” Namira duduk di ranjang sambil mengerjapkan mata. “Aku aja sampai kebangun lho, saking kencangnya suara itu.. Tapi, aku gak tahu suara apa itu semalam, yang.” Nathan tidak menjawab, tangannya sibuk menekan tombol di sisi ponsel yang untungnya masih dapat menyala. “Hufft…” Ia menghela nafas yang baru semenit merasa lega, sudah kembali dibuat terkejut oleh kabar dari pesan-pesan yang bermunculan di layar. Laila masuk rumah sakit. Mama yang mengabarkannya secara beruntun, meminta agar Nathan menjeda pekerjaan untuk menemani istrinya itu sekarang. Ada pesan di bawahnya dari Laila, sejak siang kemarin.