Klep!
Nathan menutup pintu mobil. Ditatapnya bangunan rumah sakit di pinggiran daerah yang sepi itu, sebelum dia melangkah masuk.
Tujuannya adalah untuk bertemu dengan dokter yang menangani Laila.
Nathan mengenal dokter itu sebagaimana dia juga mengenal dokter Reza. Tapi, siapa di negeri ini yang tidak mengenalnya?
Bahkan rahasia tentang kehamilan Namira mulai tercium di tengah masyarakat.
Papa, melalui asistennya, meminta klarifikasi dari Nathan terkait hal itu.
“Pasalnya, mas,” kata asisten itu sambil mengimbangi jalan Nathan yang cepat di lorong kantor siang tadi. “Kehamilan istri Anda diduga lebih dulu sebelum pernikahan Anda.”
“Dimana lagi kamu bisa dapat wanita seperti dia?”Tiba-tiba omelan mama menggema ke seisi kamar rawat. Di hadapannya, Nathan duduk terdiam dan wajahnya berubah kaku.Untuk kedua kalinya, mama masuk rumah sakit dalam keadaan setengah sadar karena gulanya naik.Kali ini, mama seperti menyesali apa yang telah terjadi dalam pernikahan putranya yang kandas. Mama yang awalnya hanya diam tak berani berpendapat, kini mulai intens memojokkan Nathan atas keputusannya tersebut.“Ma,” Nathan berusaha menjelaskan secara perlahan. Sementara kedua adiknya di sofa menoleh. “Sekarang aku udah nikah sama Namira, ma.”“Ceraikan dia, rujuk kembali sama Indah. Mama gak mau tahu.”
“Tahan!” Nathaniel Omar Hakeem, pria berusia 27 tahun itu menyeringai seraya mengatakannya, memerintah seorang gadis di bawah sana untuk melakukan pekerjaannya.Suara serak bercampur aura wibawa yang kuat itu menyentak gadis yang berada di dekatnya di kamar yang sejuk ini.Gadis itu, Laila Indah Pashia, yang masih 22 tahun meringis saja tanpa bisa memberikan alasan bahwa dirinya sudah lelah. Nathan adalah tuan mudanya, sementara Laila merupakan perawat yang mengurus neneknya Nathan sehari-hari di kediaman keluarga Hakeem.“Mas, aku gak bisa.” Laila akhirnya menyerah. Kedua tangannya sudah memerah akibat terlalu lama di posisi yang sama, matanya bahkan berkunang-kunang.Bukan hanya karena beban di atas tubuhnya, tetapi situasi berdua dengan tuan muda keluarga konglomerat ini yang membuat dirinya gemetar dan berusaha keras mengentaskan bayangan menjijikkan di pikirannya.Ah, kalau saja bukan karena drama-drama romantis 18+ yang suka ditontonnya, mungkin ia akan memiliki pikiran yang l
Menikah.. dengan Mas Nathan? Laila termenung.Ucapan nenek barusan, yang kini sedang mendengkur halus di sampingnya, membuat hatinya bergejolak. Apakah nenek menyadari tentang perasaannya terhadap sang cucu? Laila memejamkan mata dengan rasa bersalah.Tidak, itu tidak mungkin. Laila mengambil nafas panjang dan mendesah lega.Nenek hanya sedang sentimental, sesuatu yang terkadang sedikit mengejutkan Laila dengan kalimat-kalimatnya. Seperti, “kamu harus hidup di samping nenek, jadi kita bisa bercanda terus sampai nenek pergi” dan di lain waktu, “apa keluargamu gak mencarimu? Nenek merasa bersalah menahanmu di sini”.Laila biasanya menanggapi dengan anggukan kepala syahdu, berusaha memahami perasaan majikannya yang tengah pilu itu. Nenek merasa sedih sejak jatuh stroke dan tidak dapat menemani cucu-cucunya bermain seperti dulu lagi.Hal itu pula yang menjadi pertimbangan Bapak Adiwijaya untuk membopong ibundanya dari kota lain untuk tinggal di rumah ini. Setidaknya mereka bisa terus mem
Seperti gak ada perempuan lain saja!Kalimat itu bercokol di hati Laila yang bersandar lemas pada dinding dapur. Sesaat kemudian, ia yang akhirnya bisa kembali ke kamar nenek setelah dibantu seorang staf di dapur, lalu duduk terdiam di samping ranjang yang hening.Nenek sudah terlelap di kamarnya yang jauh dari kebisingan di ruang keluarga. Syukurlah, daripada nenek ikut pusing dengan pertengkaran barusan, Laila saja menjadi tegang dan pening setelah mendengarnya.Apalagi namanya ikut disebutkan oleh bapak Adiwijaya, orang yang notabene-nya memiliki omongan yang berkaitan dengan urusan yang serius.Tapi, apakah benar dugaannya? Persoalan yang menyangkut dirinya dengan pertengkaran yang melibatkan Mas Nathan dan nama kekasihnya barusan…Laila terkejut akan kesimpulan di benaknya. Matanya melotot, tarikan nafasnya terdengar cepat, dan tangannya menutup mulut yang gemetaran. “Ti-tidak mungkin…” bisiknya sambil menggeleng pelan, merasakan kegugupan yang mulai menguasai dirinya.Matanya d
Hanya agar nenek bahagia. Kalimat itu terpatri dengan baik di hati Nathan setelah pesta pernikahan yang meriah dan dihadiri oleh para kolega perusahaan. Kini, ia dan Laila tinggal berdua di kamar hotel tempat di mana acara dilangsungkan. Ia berjalan melewati koper-koper dan matanya tertuju ke kalung di dalam kotak beludru biru yang menjadi maharnya kepada Laila.Mungkin gadis itu habis melihatnya dengan puas sebelum membersihkan diri, pikir Nathan yang mendengar suara dari kamar mandi.Setelah menarik nafas di depan cermin yang panjang, Nathan melepaskan dasi dari kerahnya yang mulai terasa sesak. Matanya yang sayu dan muram menatap bayangan di cermin sambil mengingat kembali reaksi Namira atas pernikahannya.“Tega kamu, mas!” Teriak kekasihnya itu. Kekasih yang menghancurkan hatinya dengan membanting pintu apartemen dan pergi begitu saja.Pagi tadi, seorang teman memberitahunya mengenai keberadaan Laila yang masih di kota tersebut dan mungkin menunggu Nathan agar kembali menemuinya
Seminggu yang lalu–betapa cepat waktu berlalu.Sore itu, Nathan yang hampir mendekati gerbang tol luar kota mendapat panggilan dari asisten papanya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa apa yang akan dibicarakan oleh papa segera membuatnya putar balik.“Papa gak setuju kamu menemuinya, Nathan!” Bentak papa dengan suara serak. “Kartumu sudah dibekukan, kalau kamu berani pergi sekarang, papa benar-benar tidak akan mengizinkan kamu kembali ke rumah!”Sebuah pertanyaan menerornya sepanjang perjalanan dan membuatnya gelisah, sejak kapan papa mengetahuinya? Padahal selama tiga tahun ini, Nathan telah menjaga hubungannya dengan sangat baik dan rapat dari keluarga.Hanya segelintir dari teman-teman terdekat yang mengetahuinya. Mereka-pun bisa menjaga rahasia dengan sangat baik. Lalu, siapa yang membocorkan informasi ini? Nathan yang kesal membanting tangannya di atas kemudi. Ia sudah tahu akan seperti apa pembicaraan mereka setibanya di rumah. Semuanya persis seperti dugaannya, kecuali..Bag
“Aku sudah gak lapar, Mas.” Jawab Laila saat Nathan mengenakan jam tangan kembali setelah dari toilet.Nathan, meski mengenakan jam, tetap melirik jam dinding di hadapannya. Ini sudah jam setengah tiga menjelang sore, wajar saja Laila ngambek seperti itu meski tidak memperjelasnya di depan Nathan.“Maaf ya, yang… jadwalku padat banget.” Nathan meraih pinggang wanita itu dari belakang dan memeluknya sambil mencuri-curi perhatian dengan menempel pipi mereka.Ah, ini Laila, bukan Namira. Tapi, kenapa ia merasakan rasa sayang yang sama? Haha, ini lucu baginya. Seolah cinta itu tiba-tiba muncul setelah ia mengucapkan akad, dan tidak peduli apa yang diperbuatnya di luar dengan wanita lain, ia tetap menginginkan Laila.“Kamu beneran gak lapa
“Sudah, mas?” Laila menoleh ke belakang, langkahnya terhenti di ambang pintu kamar sambil menyeret koper.Nathan dengan sigap mengambil alih koper dari tangan istrinya itu, lalu bilang untuk jalan duluan. Mereka akan pulang malam ini, lalu sesuai kesepakatan untuk kembali ke pekerjaan masing-masing dan berencana jalan-jalan di akhir pekan.Sungguh simpel sekali hidupnya Laila, dan mudah dibuat senang. Nathan jadi lega karena ia tidak harus mengatur ulang jadwalnya, kemudian ia merangkul Laila dan mereka berjalan menyusuri lorong yang sepi.“Kenapa?” Tanya Laila yang melirik senyuman di wajah Nathan.“Hm? Nggak,” Nathan bergumam singkat. Pikirannya masih saja berputar-putar dibuai sentuhan istrinya sebelum mereka keluar kamar.