“Tahan!” Nathaniel Omar Hakeem, pria berusia 27 tahun itu menyeringai seraya mengatakannya, memerintah seorang gadis di bawah sana untuk melakukan pekerjaannya.
Suara serak bercampur aura wibawa yang kuat itu menyentak gadis yang berada di dekatnya di kamar yang sejuk ini.
Gadis itu, Laila Indah Pashia, yang masih 22 tahun meringis saja tanpa bisa memberikan alasan bahwa dirinya sudah lelah. Nathan adalah tuan mudanya, sementara Laila merupakan perawat yang mengurus neneknya Nathan sehari-hari di kediaman keluarga Hakeem.
“Mas, aku gak bisa.” Laila akhirnya menyerah. Kedua tangannya sudah memerah akibat terlalu lama di posisi yang sama, matanya bahkan berkunang-kunang.
Bukan hanya karena beban di atas tubuhnya, tetapi situasi berdua dengan tuan muda keluarga konglomerat ini yang membuat dirinya gemetar dan berusaha keras mengentaskan bayangan menjijikkan di pikirannya.
Ah, kalau saja bukan karena drama-drama romantis 18+ yang suka ditontonnya, mungkin ia akan memiliki pikiran yang lebih bersih sebersih dirinya.
“Sudah.” Nathan menepuk tangannya di udara, membersihkan debu yang menempel setelah berhasil memasangkan sprei di tempat tidur neneknya.
Sementara Laila yang sedang menggendong sang nenek dengan posisi setengah berjongkok, bayangkan betapa pegalnya itu, menunggu Nathan untuk membantunya. Pria itu, yang merupakan cucu pertama sang nenek segera menghampirinya.
“Lain kali, kamu harus memanggil yang lain untuk membantumu, Ndah.” Ujar Nathan yang tengah menggendong dan membaringkan neneknya kembali di tempat semula.
Laila hanya mengangguk. Tapi, sesaat kemudian ia baru sadar bahwa ia terbiasa melakukan segala sesuatunya di kamar ini sendiri.
“Uh, sebenarnya aku sudah terbiasa, hanya saja..” Laila mengerjap-ngerjapkan mata, membiarkan rasa kunang-kunang itu mereda, dan menyelesaikan kalimatnya. “Tadi tidak terduga. Terima kasih banyak sudah membantuku, Mas Nathan.”
Nathan mengulas senyum. “Ada lagi yang bisa kubantu? Sebelum aku pergi cukup lama,” ujarnya berbaik hati sambil duduk di tepi tempat tidur nenek untuk mengelus lembut kepala yang telah memutih itu.
Nenek sama sekali tidak tidur, tapi tubuhnya sewaktu-waktu bisa sangat lemah sehingga tak berdaya untuk merespon interaksi di sekitarnya.
Lima belas menit yang lalu, Laila yang mengantarkan makanan ke kamar ini mendapati Nenek gelisah di atas tempat tidurnya. Laila bertanya apa yang terjadi, rupanya nenek tidak sengaja buang air dan memintanya untuk mengganti sprei.
Sebagai seorang perawat yang cekatan, Laila segera melakukan pekerjaannya, namun di tengah-tengah ia merasa berat. Beruntung Nathan datang ketika mendengar kehebohan dari kamar neneknya.
“Nek, aku mau ke luar kota sampai minggu depan.” Nathan meminta izin untuk pergi, seperti biasa. “Tenang saja, aku akan belikan bakpia kesukaan nenek, yang rasa keju, kan?” Ia bertanya dengan perhatian.
Bukan hanya kali ini Laila tersentuh melihat betapa baiknya tuan muda ini dibandingkan dua saudaranya yang lain. Dari tiga orang cucu di keluarga Hakeem, yaitu Nathan, Zaky, dan Adira si anak perempuan bungsu, hanya Nathan yang begitu lembut perlakuannya.
Selain kepada nenek yang amat dihormati dan disayanginya, Nathan juga memperlakukan para staf di rumah termasuk Laila dengan sangat baik.
Nenek bergerak dengan sisa-sisa tenaga di sore ini, mendekati pipi sang cucu untuk menciumnya. Matanya sering kali berkaca-kaca saat hendak melepas cucu pertamanya itu pergi, maklum karena Nathan adalah penerus putranya, Bapak Adiwijaya.
Tidak ada lagi anaknya selain Adiwijaya yang telah memberikan tiga orang keturunan, yang semuanya tinggal di rumah yang sama. Ini merupakan kebahagiaan di masa tua sang nenek yang tidak mau kesepian.
“Fii amanillah,” bisik nenek dengan suaranya yang hampir habis. Nathan paham, itu artinya “semoga Tuhan menjagamu di dalam perjalanan.”
Nathan hanya mengangguk. Setelah memastikan nenek berbaring dengan nyaman sambil disuapi makan oleh Laila, Nathan pamit.
Lima belas menit kemudian, pria itu sudah membuka pintu mobil Mercedes Maybach di garasinya, bersiap untuk berangkat ketika ponsel di saku jaketnya bergetar.
Senyumnya yang manis, jauh lebih manis dan merona, nampak sesaat sebelum mengangkat panggilan itu. “Ya, sayang? Sudah kangen denganku? Haha, sabar, nanti sore aku sampai dan kita bisa… ehmmm…”
Kalimatnya berganti dengan gumaman-gumaman yang membuat dirinya sendiri kegelian. Itu adalah Namira, kekasihnya yang tinggal di kota tersebut. Namira sangat senang karena Nathan akan tugas ke kotanya, sehingga tidak sabar untuk menyambutnya di apartemennya.
“Oh, dompet Prada? Ok..” Nathan mengangguk dengan sesekali memasang raut wajah seperti mengendus gemas. “Eits, kalau kamu seperti itu, bisa-bisa aku malah lebih lama di jalan.. Nanti saja mainnya ya, sayang.” Suaranya dipelankan di kalimat terakhir. Nyaris berupa bisikan.
Panggilan ditutup. Nathan memandangi layar ponselnya sekali lagi seakan belum rela melepaskan perasaan menggemaskan pada Namira begitu saja.
Tanpa pria itu sadari, seorang gadis mengamatinya setelah menghentikan langkah di depan pintu garasi. Gadis itu, Laila, mengantarkan barang yang ketinggalan di kamar nenek dan tersentak mendengar kemesraan tuan mudanya dengan sang kekasih.
Laila mengatur nafasnya. Ini bukan sesak karena ia berlari-lari dari lantai atas, tapi karena hal lain… yang tidak dapat dia akui.
Sudah lima tahun Laila mengabdi di keluarga ini, dari sejak ia lulus SMA mengikuti ibunya yang bekerja sebagai ART di dapur, lalu diberikan beasiswa untuk masuk ke kampus milik keluarga ini hingga menjadi seorang perawat.
Bapak Adiwijaya pernah berpesan kepadanya bahwa beliau akan lebih nyaman jika yang merawat sang ibu adalah orang yang benar-benar dikenalnya seperti Laila. Itu adalah isyarat agar Laila menerima tawaran pekerjaan untuk merawat nenek.
Semakin ke sini, Laila sadar bahwa rumah keluarga Hakeem adalah tempat ternyaman untuk bekerja. Apalagi dengan kehadiran Nathan yang baik dan penyayang, yang selalu membuatnya mengawang-awang setiap kali melihat kelembutan pria itu.
Mungkinkah Laila menyimpan rasa yang tidak semestinya terhadap tuan muda itu? Laila berkali-kali mencoba melepaskan perasaan aneh itu sebagaimana yang terjadi sekarang.
Tapi, aku harus memberikan ini. Pikir Laila sambil menguatkan genggaman pada botol minum di tangannya.
“Mas,” Laila berdiri kaku di depan pintu mobil Nathan saat mobil itu melewati pintu garasi. Nathan membuka kacanya bersamaan dengan Laila yang segera menyerahkan botol minuman itu kepadanya.
“Oh, thanks, Ndah!” Nathan tersenyum menerimanya, lalu menjalankan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah yang langsung terasa sepi.
Sepi dan hampa, setidaknya itu yang Laila rasakan sekarang. Menatap mobil sedan hitam yang semakin menjauh, sesekali membiarkan dirinya dimanja oleh bayangan senyuman terakhir Nathan di depan wajahnya dan tidak langsung bergeleng menghilangkan pikiran itu.
Laila mengambil nafas banyak-banyak, menikmati aroma bunga akasia yang ditanam di sekelilingnya oleh Ibu Laila. Ya, nama istri dari Bapak Adiwijaya adalah Ibu Laila Kusuma. Mirip dengan namanya.
Mungkinkah karena itu Nathan memanggilnya Indah? Sangat jarang orang memanggilnya dengan nama tengahnya, ya kecuali tuan muda satu itu.
Kedua adiknya saja hanya memanggil dia “Sus” singkatan dari Suster, atau “mbak” atau bahkan hanya nama “Ndah” . Mungkin mereka juga canggung sebab namanya yang mirip dengan nama ibu mereka, Laila maklum.
Laila kembali masuk ke rumah. Nenek sudah mengatakan bahwa beliau kenyang, ingin meneruskan makan setelah maghrib saja. Jadi, Laila akan punya waktu bersantai dengan nenek sore ini.
Ini adalah tugas merawat dua puluh empat jam. Berbeda dengan beberapa temannya yang memilih dinas di rumah sakit atau berjaga bergantian, Laila merelakan dirinya berjaga seharian karena merasa berhutang budi pada keluarga ini.
Selain itu, Bapak Adiwijaya membayarnya sangat mahal. Bagaimana mungkin Laila, yang bahkan telah disekolahkan, menolaknya? Laila sungguh tidak setega itu.
Ibunya Laila sudah pensiun sejak dua tahun lalu karena terjatuh di rumah ini, waktu itu sedang hujan dan lantai licin, sehingga rasa sakit akibat saraf kejepit membuatnya tidak dapat bebas bergerak lagi.
Bapak Adiwijaya memaklumi itu, memberikannya pesangon sebagaimana karyawan di perusahaan, dan meminta agar ibu mengizinkan Laila untuk bekerja penuh di rumahnya. Lihat, betapa baiknya kepala keluarga Hakeem itu.
Tentu saja ibu menyetujui, karena baginya tidak ada bos yang lebih baik daripada keluarga Hakeem. Ibu sangat mempercayai kebaikan keluarga ini setelah lima belas tahun bekerja untuk mereka.
Sedangkan ayahnya Laila bekerja di luar kota sebagai supir pribadi keluarga lain, yang sudah lebih dulu bekerja di sana sebelum ibu bekerja di rumah keluarga Hakeem. Ayah tidak enak hati jika meninggalkan keluarga bosnya untuk pindah ke keluarga Hakeem.
Jadi, setiap sebulan sekali, ayah akan pulang ke rumah dan menghabiskan waktu tiga hari liburan bersama ibu dan Laila. Sedangkan Laila mendapat jatah libur dua hari satu malam di akhir pekan, begitu terus ritmenya.
“Neng,” suara pelan sang nenek menyadarkan Laila dari lamunan saat sedang menonton televisi. Neng adalah panggilan dari nenek yang akan membuat Laila gugup jika ada Adira di sini.
Adira Hakeem, anak bungsu yang satu-satunya perempuan dan paling disayang di keluarga ini tidak menyukai panggilan nenek untuk Laila. Baginya, panggilan sayang dari siapapun di keluarga ini hanya boleh tertuju kepadanya.
Laila maklum, karena Adira masih SMP dan sedang ingin mendapat pengakuan. Lagipula selama Adira tidak menjahatinya, selain suka bersikap cuek dan ketus, Laila tidak mempermasalahkannya.
Setiap orang punya karakternya masing-masing, Laila paham itu.
“Mau makan lagi,” Nenek berkata dengan lirih. Laila mengangguk, lalu membawakan piring berisi makanan yang belum dihabiskan. “Mau yang baru, dong,” tambah Nenek.
Laila mengerti, jadi ia keluar kamar sebentar hanya untuk berdiri beberapa lama di balik pintu sebelum masuk kembali. Hanya dengan adegan seperti itu, nenek percaya dan mau menghabiskan makanannya.
Laila diajarkan demikian oleh Ibu Laila, yang biasa dia panggil Ibu Kusuma, agar tidak mubazir atau buang-buang makanan. Sebab biasanya nenek hanya makan tiga atau lima sendok, sebelum meneruskannya lagi.
“Alhamdu….?” Laila memberikan minum seraya mengeja sang nenek.
“Lillah…” Nenek menjawab dengan tawa ringan. Senang merasakan kehadiran Laila di dekatnya, bahkan terkadang mengaku rindu jika Laila sedang libur akhir pekan.
Laila membereskan meja, mengelapnya hingga mengkilap kembali seperti semula, lalu menaikkan selimut di atas tubuh ringkih nenek untuk menghangatkannya. Saat itulah nenek benar-benar menatapnya seolah tidak ingin kehilangan.
Mengapa Laila bisa merasakan itu? Karena kedua mata nenek basah. Itu adalah tanda munculnya perasaan sentimental seperti takut kehilangan di dalam dirinya.
“Neng,” bisik nenek di samping wajahnya. “Nenek gak mau neng pergi dari rumah ini, menikahlah dengan Nathan, ya?”
Menikah.. dengan Mas Nathan? Laila termenung.Ucapan nenek barusan, yang kini sedang mendengkur halus di sampingnya, membuat hatinya bergejolak. Apakah nenek menyadari tentang perasaannya terhadap sang cucu? Laila memejamkan mata dengan rasa bersalah.Tidak, itu tidak mungkin. Laila mengambil nafas panjang dan mendesah lega.Nenek hanya sedang sentimental, sesuatu yang terkadang sedikit mengejutkan Laila dengan kalimat-kalimatnya. Seperti, “kamu harus hidup di samping nenek, jadi kita bisa bercanda terus sampai nenek pergi” dan di lain waktu, “apa keluargamu gak mencarimu? Nenek merasa bersalah menahanmu di sini”.Laila biasanya menanggapi dengan anggukan kepala syahdu, berusaha memahami perasaan majikannya yang tengah pilu itu. Nenek merasa sedih sejak jatuh stroke dan tidak dapat menemani cucu-cucunya bermain seperti dulu lagi.Hal itu pula yang menjadi pertimbangan Bapak Adiwijaya untuk membopong ibundanya dari kota lain untuk tinggal di rumah ini. Setidaknya mereka bisa terus mem
Seperti gak ada perempuan lain saja!Kalimat itu bercokol di hati Laila yang bersandar lemas pada dinding dapur. Sesaat kemudian, ia yang akhirnya bisa kembali ke kamar nenek setelah dibantu seorang staf di dapur, lalu duduk terdiam di samping ranjang yang hening.Nenek sudah terlelap di kamarnya yang jauh dari kebisingan di ruang keluarga. Syukurlah, daripada nenek ikut pusing dengan pertengkaran barusan, Laila saja menjadi tegang dan pening setelah mendengarnya.Apalagi namanya ikut disebutkan oleh bapak Adiwijaya, orang yang notabene-nya memiliki omongan yang berkaitan dengan urusan yang serius.Tapi, apakah benar dugaannya? Persoalan yang menyangkut dirinya dengan pertengkaran yang melibatkan Mas Nathan dan nama kekasihnya barusan…Laila terkejut akan kesimpulan di benaknya. Matanya melotot, tarikan nafasnya terdengar cepat, dan tangannya menutup mulut yang gemetaran. “Ti-tidak mungkin…” bisiknya sambil menggeleng pelan, merasakan kegugupan yang mulai menguasai dirinya.Matanya d
Hanya agar nenek bahagia. Kalimat itu terpatri dengan baik di hati Nathan setelah pesta pernikahan yang meriah dan dihadiri oleh para kolega perusahaan. Kini, ia dan Laila tinggal berdua di kamar hotel tempat di mana acara dilangsungkan. Ia berjalan melewati koper-koper dan matanya tertuju ke kalung di dalam kotak beludru biru yang menjadi maharnya kepada Laila.Mungkin gadis itu habis melihatnya dengan puas sebelum membersihkan diri, pikir Nathan yang mendengar suara dari kamar mandi.Setelah menarik nafas di depan cermin yang panjang, Nathan melepaskan dasi dari kerahnya yang mulai terasa sesak. Matanya yang sayu dan muram menatap bayangan di cermin sambil mengingat kembali reaksi Namira atas pernikahannya.“Tega kamu, mas!” Teriak kekasihnya itu. Kekasih yang menghancurkan hatinya dengan membanting pintu apartemen dan pergi begitu saja.Pagi tadi, seorang teman memberitahunya mengenai keberadaan Laila yang masih di kota tersebut dan mungkin menunggu Nathan agar kembali menemuinya
Seminggu yang lalu–betapa cepat waktu berlalu.Sore itu, Nathan yang hampir mendekati gerbang tol luar kota mendapat panggilan dari asisten papanya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa apa yang akan dibicarakan oleh papa segera membuatnya putar balik.“Papa gak setuju kamu menemuinya, Nathan!” Bentak papa dengan suara serak. “Kartumu sudah dibekukan, kalau kamu berani pergi sekarang, papa benar-benar tidak akan mengizinkan kamu kembali ke rumah!”Sebuah pertanyaan menerornya sepanjang perjalanan dan membuatnya gelisah, sejak kapan papa mengetahuinya? Padahal selama tiga tahun ini, Nathan telah menjaga hubungannya dengan sangat baik dan rapat dari keluarga.Hanya segelintir dari teman-teman terdekat yang mengetahuinya. Mereka-pun bisa menjaga rahasia dengan sangat baik. Lalu, siapa yang membocorkan informasi ini? Nathan yang kesal membanting tangannya di atas kemudi. Ia sudah tahu akan seperti apa pembicaraan mereka setibanya di rumah. Semuanya persis seperti dugaannya, kecuali..Bag
“Aku sudah gak lapar, Mas.” Jawab Laila saat Nathan mengenakan jam tangan kembali setelah dari toilet.Nathan, meski mengenakan jam, tetap melirik jam dinding di hadapannya. Ini sudah jam setengah tiga menjelang sore, wajar saja Laila ngambek seperti itu meski tidak memperjelasnya di depan Nathan.“Maaf ya, yang… jadwalku padat banget.” Nathan meraih pinggang wanita itu dari belakang dan memeluknya sambil mencuri-curi perhatian dengan menempel pipi mereka.Ah, ini Laila, bukan Namira. Tapi, kenapa ia merasakan rasa sayang yang sama? Haha, ini lucu baginya. Seolah cinta itu tiba-tiba muncul setelah ia mengucapkan akad, dan tidak peduli apa yang diperbuatnya di luar dengan wanita lain, ia tetap menginginkan Laila.“Kamu beneran gak lapa
“Sudah, mas?” Laila menoleh ke belakang, langkahnya terhenti di ambang pintu kamar sambil menyeret koper.Nathan dengan sigap mengambil alih koper dari tangan istrinya itu, lalu bilang untuk jalan duluan. Mereka akan pulang malam ini, lalu sesuai kesepakatan untuk kembali ke pekerjaan masing-masing dan berencana jalan-jalan di akhir pekan.Sungguh simpel sekali hidupnya Laila, dan mudah dibuat senang. Nathan jadi lega karena ia tidak harus mengatur ulang jadwalnya, kemudian ia merangkul Laila dan mereka berjalan menyusuri lorong yang sepi.“Kenapa?” Tanya Laila yang melirik senyuman di wajah Nathan.“Hm? Nggak,” Nathan bergumam singkat. Pikirannya masih saja berputar-putar dibuai sentuhan istrinya sebelum mereka keluar kamar.
Laila selesai melipat selimut dan meletakkannya dengan rapi di lemari pendek dekat ranjang nenek.Sementara ekor matanya menangkap perhatian nenek kepadanya, seolah tidak ingin lepas dan menanti jawabannya atas pertanyaan awkward barusan. Laila tidak tahan, jadi ia izin untuk ke dapur mengambil sesuatu.“Bawain nenek kue, ya?” Nenek memohon.“Kan, manis, nek..” Laila hendak menggeleng, tapi di satu sisi wajah memelas nenek membuatnya tidak tega. “Ya sudah, nanti aku cari cemilan lain yang rendah gula, oke? Aku ke dapur dulu, ya.”Nenek mengalami stroke dan diabetes sejak lama, mungkin sudah belasan tahun, tapi semakin hari kondisinya semakin me
Laila mengantarkan Nathan menuruni tangga sambil merapikan posisi dasi yang menggantung di kerah biru itu. “Aduh, aku gak sempat sarapan, yang.” Nathan melengos melewati ruang makan. “Mana sepatuku?” Ia celingukan di ruang tamu sampai Laila membawakan sepasang sepatu hitam favoritnya. “Ini, seenggaknya kamu harus minum susu.” Laila menyodorkan segelas susu langsung ke mulut Nathan. “Biar gak kelaparan. Kamu belum makan apa-apa lho, biasanya gak ada waktu buat sarapan di sana, kan.” Nathan yang sedang mengenakan sepatu sambil meneguk susu yang diberikan Laila, melirik wajah istrinya itu dari bibir gelas. “Kamu udah kayak mama aja,” komentarnya pelan, namun ia tetap menghabiskan susu itu. “Udah, makasih. Aku berangkat, ya.”
“Dimana lagi kamu bisa dapat wanita seperti dia?”Tiba-tiba omelan mama menggema ke seisi kamar rawat. Di hadapannya, Nathan duduk terdiam dan wajahnya berubah kaku.Untuk kedua kalinya, mama masuk rumah sakit dalam keadaan setengah sadar karena gulanya naik.Kali ini, mama seperti menyesali apa yang telah terjadi dalam pernikahan putranya yang kandas. Mama yang awalnya hanya diam tak berani berpendapat, kini mulai intens memojokkan Nathan atas keputusannya tersebut.“Ma,” Nathan berusaha menjelaskan secara perlahan. Sementara kedua adiknya di sofa menoleh. “Sekarang aku udah nikah sama Namira, ma.”“Ceraikan dia, rujuk kembali sama Indah. Mama gak mau tahu.”
Klep!Nathan menutup pintu mobil. Ditatapnya bangunan rumah sakit di pinggiran daerah yang sepi itu, sebelum dia melangkah masuk.Tujuannya adalah untuk bertemu dengan dokter yang menangani Laila.Nathan mengenal dokter itu sebagaimana dia juga mengenal dokter Reza. Tapi, siapa di negeri ini yang tidak mengenalnya?Bahkan rahasia tentang kehamilan Namira mulai tercium di tengah masyarakat.Papa, melalui asistennya, meminta klarifikasi dari Nathan terkait hal itu.“Pasalnya, mas,” kata asisten itu sambil mengimbangi jalan Nathan yang cepat di lorong kantor siang tadi. “Kehamilan istri Anda diduga lebih dulu sebelum pernikahan Anda.”
“Mas kenapa bengong dari tadi?”Pertanyaan Namira itu menggantung di antara ruang yang sempit dengan suaminya, Nathan, yang duduk di depan.Nathan tidak seperti biasanya yang antusias setiap kali memeriksa bayi mereka ke dokter kandungan, hari ini dia lebih diam dan tidak banyak menunjukkan raut senang. Kesan dingin justru tampak di wajahnya.Seperti sekarang, Nathan bahkan tidak menjawabnya. Namira hanya menghela nafas panjang, lalu mengalihkan tatapan ke jalanan yang lengang.“Karena mama, ya?” Tanya Namira yang kali ini mendapat reaksi tolehan kepala Nathan yang sedikit ke belakang. “Sudah aku duga, ngapain dipikirin sih, mas… nanti mama juga bakal nerima bayi kita!”
Tap. Tap. Laila melewati banyak pasang kaki di lobi, ketika kepalanya terus tertunduk hingga dia mencapai pintu otomatis.Ketakutan akan bertemu dengan Nathan secara tidak sengaja membuatnya hampir menabrak beberapa orang, kemudian meminta maaf, dan berjalan lebih cepat.“Dok,” Laila mengangkat ponsel ke telinganya saat berbicara di telepon. “Mungkin saya akan sedikit terlambat…”Matanya menatap indahnya taman kehijauan rumah sakit yang berada di pinggiran kota itu, sangat asri dan terlalu nyaman untuk langsung ditinggal pergi. Jadi, dia memutuskan untuk duduk-duduk sebentar menikmati suasana ini.“Ya, gak apa-apa, Laila,” dokter Reza menjawab santai dengan nada lembut.
Laila mengerjap begitu lama pada gelas kopi di hadapannya, seolah kehadiran Rizky di seberang sana terlalu jauh ditatap.Tidak lama, helaan nafasnya terdengar. Lalu kecapan lidahnya, sebelum menaikkan wajah yang kecewa dan penuh pemikiran kepada Rizky, dia berkata perlahan, “maaf, kalau itu yang kamu rasakan, tapi sejujurnya aku gak merasakan apapun dari pertemanan kita.”Suaranya sedikit ditekankan pada kata ‘pertemanan’ seolah ingin mengusir rasa yang seharusnya tidak ada dalam hubungan mereka.Namun, bagaimanapun, kata Sahila ketika Laila curhat kepadanya malam itu soal pengakuan Rizky, “gak ada pertemanan di antara pria dan wanita, terlebih lagi ketika mereka semakin dewasa dan membutuhkan pendamping hidup. Kamu tahu maksudku.”
Ting! Tong!Suara bel dari pintu menyentak tidur siang Laila yang menghadap ke jendela. Angin mengalir lembut di kota dengan cuaca sejuk ini.Siapa? Pikirnya.Laila terbangun sambil duduk lemas menatap ke arah pintu. Dia menghela nafas panjang, kemudian meraih hijab di gantungan terdekat dan melihat melalui interkom.“Rizky?” Gumamnya terkejut.Wajah pria berkulit sawo matang yang maskulin dan mengenakan topi itu terpampang di layar.Laila ragu untuk membuka pintu di tangannya, jadi dia menunggu sambil bersandar selama beberapa lama.Ting! Tong!Suara bel terdengar l
“Saya gak nyangka ketemu kamu, Laila.” Ujar dokter Reza setibanya mereka di stasiun kota lain, lalu turun bersama.Laila menatap sepatunya saat mereka berjalan bersama-sama sambil menarik koper masing-masing. Dokter Reza hendak membantunya, namun Laila menolak halus bahwa dia bisa sendiri sampai mereka tiba di taksi.“Jadi.. kita satu arah?” Tanya dokter Reza ingin memastikan, setelah tahu bahwa Laila akan menuju daerah yang sama dengannya.“Ya,” Laila menaikkan bahu. Sedikit enggan untuk mengakuinya karena segan untuk bersama sang dokter dalam perjalanan ke sana.“Ok. Gak apa-apa, ikut saja denganku.” Dokter Reza mengajaknya secara spontan, meski caranya tenang dan lembut. “Taksiku sudah datang.”
Lima belas tahun yang lalu. “Aku tidak pernah menyukaimu, Laila! Tidak sedikitpun!” Teriakan seorang anak laki-laki di lorong sekolah itu menggema begitu keras sampai-sampai membuat Laila malu dan hampir menangis. Demikian pula hari ini. Laila mencengkram selimutnya seolah hanya itu pegangan terakhir dalam hidupnya di depan Nathan yang semakin mendekat. Blam. Pintu telah ditutup. Ibu terbangun dan terkejut sambil duduk, kemudian terperangah ke arah Nathan dan berganti ke arah Laila. “Mas Nathan..?” Bisiknya dengan nafas tersendat, ada rasa marah dan juga kecewa di hatinya.
“Kamu gak nawarin aku makan?”Pertanyaan penuh kekesalan itu terlontar dari Nathan setibanya di apartemen Namira, sebidang bagian di lantai tujuh yang merupakan pemberiannya.“Apa sih, mas?” Namira yang sedang leyeh-leyeh merasa terusik. Baru kali ini dia mulai terusik atas kehadiran kekasihnya itu, yang padahal dulu ingin dia rebut waktunya sepenuhnya.“Kamu sendiri emang gak lapar?” Tanya Nathan lagi, kali ini lebih lembut. Dia duduk dengan posisi lelah, memiringkan kepala ke arah Namira yang bahkan enggan menatapnya tanpa alasan.“Nggak,” Namira menjawab sambil mengalihkan pandangannya lebih jauh.Namun, bagi Nathan itu adalah tuntutan wanita hamil yang minta dime