Laila mengantarkan Nathan menuruni tangga sambil merapikan posisi dasi yang menggantung di kerah biru itu.
“Aduh, aku gak sempat sarapan, yang.” Nathan melengos melewati ruang makan. “Mana sepatuku?” Ia celingukan di ruang tamu sampai Laila membawakan sepasang sepatu hitam favoritnya.
“Ini, seenggaknya kamu harus minum susu.” Laila menyodorkan segelas susu langsung ke mulut Nathan. “Biar gak kelaparan. Kamu belum makan apa-apa lho, biasanya gak ada waktu buat sarapan di sana, kan.”
Nathan yang sedang mengenakan sepatu sambil meneguk susu yang diberikan Laila, melirik wajah istrinya itu dari bibir gelas.
“Kamu udah kayak mama aja,” komentarnya pelan, namun ia tetap menghabiskan susu itu. “Udah, makasih. Aku berangkat, ya.”
“Sarapan sedikit lah, sayang..” Laila memohon. “Suapin,” Nathan meminta dengan manja, sambil mengenakan sepatunya. Lima menit, kegiatan pagi yang romantis itu berjalan singkat dan mengesankan bagi Laila yang tersenyum-senyum dengan wajah merona. Dipandanginya wajah tampan Nathan yang dihiasi hidung yang tinggi dan sorot mata yang dalam. Mimpi apa dia bisa menyuapi tuan mudanya yang kini telah menjadi suaminya? Ah, senangnya! Usai Nathan berangkat, seperti biasa Laila menuju kamar nenek dimana suster Enni sedang menyuapi sarapan. Biasanya itu adalah kegiatan Laila di pagi hari, tapi kini ia juga harus mengurusi bayi besarnya si cucu nenek. “Nenek,” Laila menyapa dengan wajah riang.
Nathan terbangun keesokan paginya dalam keadaan cemas karena ponselnya, yang menurut Namira, terlempar ke sudut kamar dan retak. “Masa sih, kamu gak sadar?” Namira duduk di ranjang sambil mengerjapkan mata. “Aku aja sampai kebangun lho, saking kencangnya suara itu.. Tapi, aku gak tahu suara apa itu semalam, yang.” Nathan tidak menjawab, tangannya sibuk menekan tombol di sisi ponsel yang untungnya masih dapat menyala. “Hufft…” Ia menghela nafas yang baru semenit merasa lega, sudah kembali dibuat terkejut oleh kabar dari pesan-pesan yang bermunculan di layar. Laila masuk rumah sakit. Mama yang mengabarkannya secara beruntun, meminta agar Nathan menjeda pekerjaan untuk menemani istrinya itu sekarang. Ada pesan di bawahnya dari Laila, sejak siang kemarin.
“Lho, sejak kapan mas datang?” Suara lembut dan lemah dari Laila membangunkan Nathan yang meringkuk di sofa.Ini masih sore. Nathan sebenarnya punya janji dengan seorang kolega lama, teman papanya, tapi ia menyempatkan waktu untuk menemani hingga Laila siuman. Setidaknya untuk memastikan kondisi istrinya baik-baik saja.“Huaahhmm…” Nathan menggeliat, merentangkan tangannya yang jenjang dan besar ke depan, lalu menoleh untuk menatap Laila di ranjang.Mereka berdua sama-sama tersenyum. Nathan dengan rasa bersalah yang ditunjukkannya, meski ia tidak akan mengatakan yang sejujurnya, dan Laila yang meminta dia untuk menghampirinya.Kamar ini menjadi hening tanpa suara obrolan kecil seperti sebelumnya. Ibu sedang di toilet, dan mama sudah kembali
Setelah seminggu dirawat, Laila diperbolehkan pulang dalam kondisi gejala yang telah membaik.“Alhamdulillah, udah gak apa-apa, ma.” Jawab Laila kepada mama mertua setibanya di rumah. Ia berjalan pelan ke kamar digandeng mama, dan diam-diam ia meliriknya dengan rasa bersalah dan dilema.Mama mertua adalah orang yang sangat baik kepadanya, terlepas ia hanyalah perawat sebagaimana para staf lain di rumah ini. Tapi, mama dengan baik hati menerimanya sebagai menantu dan rela direpotkan saat ia sakit.Ah, Laila tidak tega jika mengecewakan mama mertuanya. Tapi, di sisi lain ia juga tidak bisa menahan rasa sakit di dalam dirinya lebih lama lagi, entah bagaimana cara ia melepaskannya.Blam.Laila mendengar suara pi
“Oh ya, nenek dengan siapa di kamar, sus?” Tanya Laila secara spontan kepada suster Enni yang berdiam diri di meja makan, meski suster itu tidak ikut duduk.“Justru saya menunggumu,” jawab suster Enni tanpa basa-basi, suaranya pelan pertanda ia tidak ingin Nathan yang sedang menuangkan minum mendengarnya dengan jelas.Laila tidak bergeming. Tatapannya keheranan karena ia tahu bahwa nenek sedang sendirian di kamar sekarang. Siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu??“Sebaiknya kamu segera selesaikan sarapan, terus bantu saya mengurus rutinitas pagi nenek seperti biasa.” Ujar suster Enni sambil mengaduk bubur di meja berbeda.Laila terhenyak. Memang dia adalah perawat nenek juga, tetapi gaya bicara suster Enni seolah
Tiga hari yang lalu…“Mas, aku telat,” Namira memberitahunya saat Nathan sedang dalam perjalanan kembali ke kantor dari rumah sakit.“Telat apa? Sudah kubilang jangan sampai telat makan…” ujar Nathan dengan sedikit seringai, berharap bahwa situasi ini bukanlah yang ia takutkan.“Aku telat mens!”Begitu mendengar kepanikan dari suara Namira, Nathan melipirkan mobilnya. Mereka berbicara sebentar sembari Nathan berusaha menenangkan Namira bahwa itu hanya telat, tapi bukan berarti dia hamil.Tapi, sekarang semuanya menjadi jelas. Namira benar-benar hamil, setelah mereka bermain beberapa kali setiap kali kunjungan Nathan ke apartemennya, tidak termasuk saat menjenguknya kemar
Beberapa hari yang lalu…“Mas, aku telat mens!” Tegas Namira di telepon. Nathan mendengarnya dengan gelisah, namun ia berusaha bersikap tenang agar kekasihnya itu tidak panik.Setelah menenangkan Namira, justru dirinya yang dilanda rasa gelisah berkepanjangan. Sehingga satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah mengalihkan kegelisahannya itu kepada Laila dengan memberinya perhatian.Setidaknya itu berhasil membuat Nathan melupakan sejenak masalah hubungannya dengan wanita lain.Selain itu, Laila jadi tidak curiga kepadanya yang sempat menghilang saat ia sedang dirawat di rumah sakit minggu lalu. Nathan pikir semuanya akan berjalan dengan baik sesuai rencananya, namun ia salah.Pagi ini, nenek telah tiada
Nathan menyeringai jijik melihat kehadiran istrinya yang sudah tidak ia anggap lagi, meski ia belum mengatakan apapun sejak bertemu Laila.“Kamu mau aku bilang apa?” Ujar Nathan yang terasa lebih tinggi dibandingkan Laila di hadapannya.Laila merasakan dirinya menciut dan hanya bisa mencicit seperti tikus yang tidak terdengar jelas suaranya. Sadar ia tidak memiliki posisi apapun di keluarga ini, apalagi sejak nenek tiada maka tidak ada lagi yang membelanya.“Pa, aku ingin menyudahi ini.” Lanjut Nathan tanpa banyak basa-basi. “Sejak awal aku tidak menginginkan ini. Aku akan mengurus semuanya, termasuk menjaga ini dari pemberitaan media.”Suasana senyap. Ketegangan merambat ke sekujur tubuh Laila, lambungnya langsung terasa seperti
“Dimana lagi kamu bisa dapat wanita seperti dia?”Tiba-tiba omelan mama menggema ke seisi kamar rawat. Di hadapannya, Nathan duduk terdiam dan wajahnya berubah kaku.Untuk kedua kalinya, mama masuk rumah sakit dalam keadaan setengah sadar karena gulanya naik.Kali ini, mama seperti menyesali apa yang telah terjadi dalam pernikahan putranya yang kandas. Mama yang awalnya hanya diam tak berani berpendapat, kini mulai intens memojokkan Nathan atas keputusannya tersebut.“Ma,” Nathan berusaha menjelaskan secara perlahan. Sementara kedua adiknya di sofa menoleh. “Sekarang aku udah nikah sama Namira, ma.”“Ceraikan dia, rujuk kembali sama Indah. Mama gak mau tahu.”
Klep!Nathan menutup pintu mobil. Ditatapnya bangunan rumah sakit di pinggiran daerah yang sepi itu, sebelum dia melangkah masuk.Tujuannya adalah untuk bertemu dengan dokter yang menangani Laila.Nathan mengenal dokter itu sebagaimana dia juga mengenal dokter Reza. Tapi, siapa di negeri ini yang tidak mengenalnya?Bahkan rahasia tentang kehamilan Namira mulai tercium di tengah masyarakat.Papa, melalui asistennya, meminta klarifikasi dari Nathan terkait hal itu.“Pasalnya, mas,” kata asisten itu sambil mengimbangi jalan Nathan yang cepat di lorong kantor siang tadi. “Kehamilan istri Anda diduga lebih dulu sebelum pernikahan Anda.”
“Mas kenapa bengong dari tadi?”Pertanyaan Namira itu menggantung di antara ruang yang sempit dengan suaminya, Nathan, yang duduk di depan.Nathan tidak seperti biasanya yang antusias setiap kali memeriksa bayi mereka ke dokter kandungan, hari ini dia lebih diam dan tidak banyak menunjukkan raut senang. Kesan dingin justru tampak di wajahnya.Seperti sekarang, Nathan bahkan tidak menjawabnya. Namira hanya menghela nafas panjang, lalu mengalihkan tatapan ke jalanan yang lengang.“Karena mama, ya?” Tanya Namira yang kali ini mendapat reaksi tolehan kepala Nathan yang sedikit ke belakang. “Sudah aku duga, ngapain dipikirin sih, mas… nanti mama juga bakal nerima bayi kita!”
Tap. Tap. Laila melewati banyak pasang kaki di lobi, ketika kepalanya terus tertunduk hingga dia mencapai pintu otomatis.Ketakutan akan bertemu dengan Nathan secara tidak sengaja membuatnya hampir menabrak beberapa orang, kemudian meminta maaf, dan berjalan lebih cepat.“Dok,” Laila mengangkat ponsel ke telinganya saat berbicara di telepon. “Mungkin saya akan sedikit terlambat…”Matanya menatap indahnya taman kehijauan rumah sakit yang berada di pinggiran kota itu, sangat asri dan terlalu nyaman untuk langsung ditinggal pergi. Jadi, dia memutuskan untuk duduk-duduk sebentar menikmati suasana ini.“Ya, gak apa-apa, Laila,” dokter Reza menjawab santai dengan nada lembut.
Laila mengerjap begitu lama pada gelas kopi di hadapannya, seolah kehadiran Rizky di seberang sana terlalu jauh ditatap.Tidak lama, helaan nafasnya terdengar. Lalu kecapan lidahnya, sebelum menaikkan wajah yang kecewa dan penuh pemikiran kepada Rizky, dia berkata perlahan, “maaf, kalau itu yang kamu rasakan, tapi sejujurnya aku gak merasakan apapun dari pertemanan kita.”Suaranya sedikit ditekankan pada kata ‘pertemanan’ seolah ingin mengusir rasa yang seharusnya tidak ada dalam hubungan mereka.Namun, bagaimanapun, kata Sahila ketika Laila curhat kepadanya malam itu soal pengakuan Rizky, “gak ada pertemanan di antara pria dan wanita, terlebih lagi ketika mereka semakin dewasa dan membutuhkan pendamping hidup. Kamu tahu maksudku.”
Ting! Tong!Suara bel dari pintu menyentak tidur siang Laila yang menghadap ke jendela. Angin mengalir lembut di kota dengan cuaca sejuk ini.Siapa? Pikirnya.Laila terbangun sambil duduk lemas menatap ke arah pintu. Dia menghela nafas panjang, kemudian meraih hijab di gantungan terdekat dan melihat melalui interkom.“Rizky?” Gumamnya terkejut.Wajah pria berkulit sawo matang yang maskulin dan mengenakan topi itu terpampang di layar.Laila ragu untuk membuka pintu di tangannya, jadi dia menunggu sambil bersandar selama beberapa lama.Ting! Tong!Suara bel terdengar l
“Saya gak nyangka ketemu kamu, Laila.” Ujar dokter Reza setibanya mereka di stasiun kota lain, lalu turun bersama.Laila menatap sepatunya saat mereka berjalan bersama-sama sambil menarik koper masing-masing. Dokter Reza hendak membantunya, namun Laila menolak halus bahwa dia bisa sendiri sampai mereka tiba di taksi.“Jadi.. kita satu arah?” Tanya dokter Reza ingin memastikan, setelah tahu bahwa Laila akan menuju daerah yang sama dengannya.“Ya,” Laila menaikkan bahu. Sedikit enggan untuk mengakuinya karena segan untuk bersama sang dokter dalam perjalanan ke sana.“Ok. Gak apa-apa, ikut saja denganku.” Dokter Reza mengajaknya secara spontan, meski caranya tenang dan lembut. “Taksiku sudah datang.”
Lima belas tahun yang lalu. “Aku tidak pernah menyukaimu, Laila! Tidak sedikitpun!” Teriakan seorang anak laki-laki di lorong sekolah itu menggema begitu keras sampai-sampai membuat Laila malu dan hampir menangis. Demikian pula hari ini. Laila mencengkram selimutnya seolah hanya itu pegangan terakhir dalam hidupnya di depan Nathan yang semakin mendekat. Blam. Pintu telah ditutup. Ibu terbangun dan terkejut sambil duduk, kemudian terperangah ke arah Nathan dan berganti ke arah Laila. “Mas Nathan..?” Bisiknya dengan nafas tersendat, ada rasa marah dan juga kecewa di hatinya.
“Kamu gak nawarin aku makan?”Pertanyaan penuh kekesalan itu terlontar dari Nathan setibanya di apartemen Namira, sebidang bagian di lantai tujuh yang merupakan pemberiannya.“Apa sih, mas?” Namira yang sedang leyeh-leyeh merasa terusik. Baru kali ini dia mulai terusik atas kehadiran kekasihnya itu, yang padahal dulu ingin dia rebut waktunya sepenuhnya.“Kamu sendiri emang gak lapar?” Tanya Nathan lagi, kali ini lebih lembut. Dia duduk dengan posisi lelah, memiringkan kepala ke arah Namira yang bahkan enggan menatapnya tanpa alasan.“Nggak,” Namira menjawab sambil mengalihkan pandangannya lebih jauh.Namun, bagi Nathan itu adalah tuntutan wanita hamil yang minta dime