Nathan menyeringai jijik melihat kehadiran istrinya yang sudah tidak ia anggap lagi, meski ia belum mengatakan apapun sejak bertemu Laila.
“Kamu mau aku bilang apa?” Ujar Nathan yang terasa lebih tinggi dibandingkan Laila di hadapannya.
Laila merasakan dirinya menciut dan hanya bisa mencicit seperti tikus yang tidak terdengar jelas suaranya. Sadar ia tidak memiliki posisi apapun di keluarga ini, apalagi sejak nenek tiada maka tidak ada lagi yang membelanya.
“Pa, aku ingin menyudahi ini.” Lanjut Nathan tanpa banyak basa-basi. “Sejak awal aku tidak menginginkan ini. Aku akan mengurus semuanya, termasuk menjaga ini dari pemberitaan media.”
Suasana senyap. Ketegangan merambat ke sekujur tubuh Laila, lambungnya langsung terasa seperti
“Hoeekk! Hah, hah…”Laila mengelap pinggiran bibirnya yang basah setelah muntah entah sudah berapa kali hari ini. Ibu sudah mondar-mandir mengurusnya sambil menyuruh untuk segera ke dokter.“Yah…” jawab Laila lemas. “Nanti sore, bu.. Aku sudah hubungin dokter Reza, katanya beliau jadwalnya nanti sore.”Ibu mengangguk saja, meminta dia untuk kembali berbaring. Wajah Laila pucat sejak tadi pagi, selang beberapa hari setelah perceraiannya resmi diketuk di Pengadilan Agama tanpa kehadiran Nathan.Nathan sibuk, tidak ada yang bisa mendebatnya apalagi memaksanya untuk hadir.Laila, yang masih menyimpan sedikit rindu untuk sekedar melihat wajahnya-pun pupus harapan, dan pulang dengan
“Benarkah itu, ma?!” Bapak Adiwijaya yang sedang menyeruput kopi di ruang makan yang tenang mendadak menyembur dari mulutnya.Seorang staf dengan sigap menyodorkan sapu tangan saat ibu Kusuma, istrinya, menghela nafas dengan berat namun pasrah.“Ya, sebenarnya…” mama dari Nathan itu tampang menimbang-nimbang sambil melanjutkan bicara, “aku udah tahu soal hubungan mereka sejak lama, bahkan sebelum Nathan menikah dengan Laila.”Mendengar nama mantan menantu mereka disebutkan, entah kenapa ada rasa tidak nyaman yang menjalar di tengkuk pak Adiwijaya. Sudah saatnya mereka melepaskan nama itu dari keluarga ini, karena Laila sendiri mengambil sikap dalam perceraiannya.Laila tidak membantah atau memohon kepada Nathan, melainkan meneri
“Kamu gak nawarin aku makan?”Pertanyaan penuh kekesalan itu terlontar dari Nathan setibanya di apartemen Namira, sebidang bagian di lantai tujuh yang merupakan pemberiannya.“Apa sih, mas?” Namira yang sedang leyeh-leyeh merasa terusik. Baru kali ini dia mulai terusik atas kehadiran kekasihnya itu, yang padahal dulu ingin dia rebut waktunya sepenuhnya.“Kamu sendiri emang gak lapar?” Tanya Nathan lagi, kali ini lebih lembut. Dia duduk dengan posisi lelah, memiringkan kepala ke arah Namira yang bahkan enggan menatapnya tanpa alasan.“Nggak,” Namira menjawab sambil mengalihkan pandangannya lebih jauh.Namun, bagi Nathan itu adalah tuntutan wanita hamil yang minta dime
Lima belas tahun yang lalu. “Aku tidak pernah menyukaimu, Laila! Tidak sedikitpun!” Teriakan seorang anak laki-laki di lorong sekolah itu menggema begitu keras sampai-sampai membuat Laila malu dan hampir menangis. Demikian pula hari ini. Laila mencengkram selimutnya seolah hanya itu pegangan terakhir dalam hidupnya di depan Nathan yang semakin mendekat. Blam. Pintu telah ditutup. Ibu terbangun dan terkejut sambil duduk, kemudian terperangah ke arah Nathan dan berganti ke arah Laila. “Mas Nathan..?” Bisiknya dengan nafas tersendat, ada rasa marah dan juga kecewa di hatinya.
“Saya gak nyangka ketemu kamu, Laila.” Ujar dokter Reza setibanya mereka di stasiun kota lain, lalu turun bersama.Laila menatap sepatunya saat mereka berjalan bersama-sama sambil menarik koper masing-masing. Dokter Reza hendak membantunya, namun Laila menolak halus bahwa dia bisa sendiri sampai mereka tiba di taksi.“Jadi.. kita satu arah?” Tanya dokter Reza ingin memastikan, setelah tahu bahwa Laila akan menuju daerah yang sama dengannya.“Ya,” Laila menaikkan bahu. Sedikit enggan untuk mengakuinya karena segan untuk bersama sang dokter dalam perjalanan ke sana.“Ok. Gak apa-apa, ikut saja denganku.” Dokter Reza mengajaknya secara spontan, meski caranya tenang dan lembut. “Taksiku sudah datang.”
Ting! Tong!Suara bel dari pintu menyentak tidur siang Laila yang menghadap ke jendela. Angin mengalir lembut di kota dengan cuaca sejuk ini.Siapa? Pikirnya.Laila terbangun sambil duduk lemas menatap ke arah pintu. Dia menghela nafas panjang, kemudian meraih hijab di gantungan terdekat dan melihat melalui interkom.“Rizky?” Gumamnya terkejut.Wajah pria berkulit sawo matang yang maskulin dan mengenakan topi itu terpampang di layar.Laila ragu untuk membuka pintu di tangannya, jadi dia menunggu sambil bersandar selama beberapa lama.Ting! Tong!Suara bel terdengar l
Laila mengerjap begitu lama pada gelas kopi di hadapannya, seolah kehadiran Rizky di seberang sana terlalu jauh ditatap.Tidak lama, helaan nafasnya terdengar. Lalu kecapan lidahnya, sebelum menaikkan wajah yang kecewa dan penuh pemikiran kepada Rizky, dia berkata perlahan, “maaf, kalau itu yang kamu rasakan, tapi sejujurnya aku gak merasakan apapun dari pertemanan kita.”Suaranya sedikit ditekankan pada kata ‘pertemanan’ seolah ingin mengusir rasa yang seharusnya tidak ada dalam hubungan mereka.Namun, bagaimanapun, kata Sahila ketika Laila curhat kepadanya malam itu soal pengakuan Rizky, “gak ada pertemanan di antara pria dan wanita, terlebih lagi ketika mereka semakin dewasa dan membutuhkan pendamping hidup. Kamu tahu maksudku.”
Tap. Tap. Laila melewati banyak pasang kaki di lobi, ketika kepalanya terus tertunduk hingga dia mencapai pintu otomatis.Ketakutan akan bertemu dengan Nathan secara tidak sengaja membuatnya hampir menabrak beberapa orang, kemudian meminta maaf, dan berjalan lebih cepat.“Dok,” Laila mengangkat ponsel ke telinganya saat berbicara di telepon. “Mungkin saya akan sedikit terlambat…”Matanya menatap indahnya taman kehijauan rumah sakit yang berada di pinggiran kota itu, sangat asri dan terlalu nyaman untuk langsung ditinggal pergi. Jadi, dia memutuskan untuk duduk-duduk sebentar menikmati suasana ini.“Ya, gak apa-apa, Laila,” dokter Reza menjawab santai dengan nada lembut.