Seminggu yang lalu–betapa cepat waktu berlalu.
Sore itu, Nathan yang hampir mendekati gerbang tol luar kota mendapat panggilan dari asisten papanya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa apa yang akan dibicarakan oleh papa segera membuatnya putar balik.
“Papa gak setuju kamu menemuinya, Nathan!” Bentak papa dengan suara serak. “Kartumu sudah dibekukan, kalau kamu berani pergi sekarang, papa benar-benar tidak akan mengizinkan kamu kembali ke rumah!”
Sebuah pertanyaan menerornya sepanjang perjalanan dan membuatnya gelisah, sejak kapan papa mengetahuinya? Padahal selama tiga tahun ini, Nathan telah menjaga hubungannya dengan sangat baik dan rapat dari keluarga.
Hanya segelintir dari teman-teman terdekat yang mengetahuinya. Mereka-pun bisa menjaga rahasia dengan sangat baik.
Lalu, siapa yang membocorkan informasi ini? Nathan yang kesal membanting tangannya di atas kemudi. Ia sudah tahu akan seperti apa pembicaraan mereka setibanya di rumah. Semuanya persis seperti dugaannya, kecuali..
Bagian ia dijodohkan dengan Laila, perawat di rumahnya.
Bagaimana mungkin Nathan menerima perjodohan itu? Laila sama sekali bukan levelnya dan jauh dari kriteria idealnya, bahkan ia tidak tahu bagaimana cara memperlakukan gadis itu sebagai kekasih.
Tapi, ada harga yang harus dipertaruhkan. Yaitu ikatan keluarganya, karirnya, dan masa depannya.
“Oh,” Namira, yang kini sudah berhasil Nathan temui, duduk dengan kedua tangan terlipat sambil mengomel dengan gaya khasnya yang mulai pria itu rindukan.
“Kamu lebih mementingkan itu semua dibandingkan hubungan kita selama ini, mas? Ternyata kamu cuma pura-pura mencintaiku, ya…”
Pertanyaan itu menohok Nathan yang tidak bisa menjawab selain memejamkan mata. Wajah sang kekasih terlihat frustasi, matanya sembab karena mungkin menangis terus sejak perpisahan mereka.
“Maafkan aku, sayang.” Nathan hanya bisa memohon sambil sesekali melonggarkan dasinya. “Aku benar-benar tidak dapat melawan orang tuaku, kamu tahu sendiri bagaimana papaku..” Wajahnya memelas.
Namira merenungi soal papanya Nathan, bapak Adiwijaya, yang terkenal sangat keras akan ambisinya dan ditakuti oleh seluruh karyawan di perusahaan.
Namira sendiri merupakan mantan sekretarisnya Nathan yang dipindahkan ke kantor cabang karena terpergok mengencani atasannya tersebut. Siapa yang langsung menindak tegas dirinya? Bapak Adiwijaya.
Sebenarnya bukan itu perintah bapak Adiwijaya, melainkan memecatnya dari perusahaan. Tapi, Nathan yang tidak tega justru melakukan siasat lain. Semua itu dilakukan agar mereka bisa tetap bertemu.
Namun, asisten kepercayaan bapak Adiwijaya mencium keberadaannya yang masih di dekat Nathan sehingga dengan segala cara mengusirnya ke kota lain.
Namira sudah menyerah untuk mendapatkan restu dari papanya Nathan. Ada sesuatu dari dirinya yang amat dibenci oleh pria paruh baya itu, bahkan istrinya juga memandang dengan sinis saat baru bertemu di acara perusahaan.
“Apa salahku, mas?” Namira menangis di pelukan Nathan.
Pelukan yang sangat ia rindukan akhir-akhir ini, yang menikam rasa sakit di dadanya karena membayangkan pelukan itu didapatkan oleh wanita lain.
Sementara Nathan menenangkan dirinya di dalam dekapan yang semakin erat, memberikan kehangatan yang telah absen selama malam-malam dingin yang dilewatinya. Detak jantung pria itu menyiratkan rasa bersalah yang teramat dalam, sekaligus dilema yang besar.
Lama keduanya menikmati momen kebersamaan dan saling berbagi kehangatan lagi, setelah pertengkaran besar yang membuat Namira pergi begitu saja. Disebabkan oleh pernikahan kekasihnya itu dengan wanita lain.
“Oh ya,” Nathan meraih tas belanja dan memberikannya kepada Namira. “Ini yang kamu mau, kan…?”
Namira langsung ceria, wajahnya menatap dompet yang ia dambakan dengan mata yang bercahaya. “Wah, kamu masih ingat, mas? Aku benar-benar gak nyangka kamu membawakannya…”
Nathan tersenyum bangga, sedangkan tangannya menyingkirkan poni panjang yang berantakan di wajah cantik itu. Ia ingin menatapnya dengan sempurna sebelum kembali ke hari-harinya yang membosankan.
Sesaat kemudian Namira berbisik di telinga Nathan yang memerah, “Bagaimana aku harus membayarmu, mas?”
Jika gadis itu berpikir bahwa sang kekasih akan jual mahal lagi dengan alasan menunggu akad, maka ia salah besar.
Nathan meraih kedua sisi wajahnya, lalu dalam sekejap sudah menenggelamkannya ke dalam ciuman yang lumat dan dalam. Kedua mata pria itu terpejam, seperti kehausan akan dirinya yang telah hilang beberapa hari ini.
Mendapatkan kesempatan yang ditunggu-tunggunya, meski ada rasa perih di hatinya, Namira naik ke pangkuan Nathan. Tangannya meremas tengkuk pria itu, menariknya lebih dekat dan memperdalam permainan lidah mereka.
Perlahan, ia merasakan tangan lebar milik pria itu sudah meraba-raba bokong hingga mengangkatnya dan mempermainkan tubuhnya. Inilah yang sangat ia impikan sejak lama, karena Nathan yang sok suci hanya mengecupnya sesekali saja.
“Aku mau membayarmu dengan itu, mas.” Namira langsung ke intinya.
Rasa rindu sekaligus nafsu yang telah membuncah mendorongnya untuk menaiki tubuh kekar Nathan yang telah lama ia dambakan dalam fantasi terliarnya. Bagaimana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini?
Nathan sudah merebahkan diri, menatapnya dengan tatapan yang benar-benar menginginkannya dengan jujur; sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Pria itu, orang yang masih ia anggap sebagai atasannya, benar-benar ingin ditaklukkan.
“Aku peringatkan,” Nathan sempat terbangun untuk mendekati wajahnya sambil berbisik dengan nada rendah. “Aku agak hyper, kalau kamu menyentuhku sekarang mungkin kita akan bermain seharian.”
Mendengar itu, Namira justru menahan tawa dibalik sunggingan senyumnya yang menawan. Nathan mengamatinya dengan penasaran sekaligus rasa senang melihat sang kekasih bahagia di pertemuan mereka yang langka.
Ya, langka sejak Nathan memutuskan untuk lebih merahasiakannya dari siapapun. Semua temannya tahu bahwa ia sudah memutuskan hubungan dengan Namira sebelum menikah, jadi kali benar-benar hanya ia dan Namira yang tahu.
Bukankah itu terdengar lebih erotis? Nathan memikirkannya di tengah bergelimang dengan dosanya yang amat besar. Hukumannya adalah rajam. Ah, setan telah memperdayakannya terlalu jauh.
Satu jam, dua jam, tidak terasa hampir siang ketika mereka kelelahan dan saling berpelukan di bawah selimut.
“Mas,” Namira membetulkan posisi kepalanya di atas bantal dan merasakan hembusan nafas Nathan di belakang lehernya. “Darimana kamu tahu kalau kamu… hyper begini?”
Nathan terdiam. Ia tidak berniat menjawab alih-alih membuat kekasihnya bersedih kembali, jadi ia memilih untuk tidur.
Jam satu.
Namira membangunkannya dengan kelembutan yang luar biasa, seolah tidak ingin Nathan segera cabut dari sini. Namun, Nathan dengan sikap bertanggung jawab yang masih ada pada dirinya segera bersiap pergi.
“Aku ada janji siang ini.” Jawabnya cepat. “Nanti kita ketemu lagi, yang.”
“Kapan…?” Namira merengek, enggan melepaskan pegangan tangannya pada pria itu.
“Aku kabarin nanti, ya.” Nathan menyingkap poni yang sudah disisir rapi itu ke belakang telinga sang gadis. “Hushh… jangan sedih gitu dong, sayang. Aku gak akan lupa sama kamu, aku pasti akan mengabarimu, oke?”
Siang itu, Nathan menginjak gas mobilnya dengan kencang di sepanjang jalan tol kembali menuju kota tempat tinggalnya.. dan istrinya yang telah menunggu.
“Mas, sudah selesai rapatnya..?” Suara lembut Laila mengalun dari ponsel di atas dasbor.
Ah, sejak kapan Nathan mulai menyukai suara ini. Ia tersenyum simpul saat menjawab, “sudah, sayang. Maaf ya, aku terlambat. Kamu sudah siap?”
Ia memutar kemudinya dengan hati-hati mengitari bundaran menuju hotel tersebut, lalu pikirannya mengurut waktu sejak ia terbangun di ranjang Namira. Ia sudah membersihkan diri, mengenakan kemejanya dengan rapi tanpa meninggalkan jejak apapun, dan…
“Oh, iya!!” Nathan menghela nafas lewat mulutnya. Ia belum sholat dzuhur.
Berbeda dengan Laila yang bahkan mengajaknya sholat tahajud sebelum memasuki waktu subuh, meski waktunya mepet, Namira benar-benar terlena oleh kenikmatan dari kegiatan mereka berdua.
Padahal biasanya Namira masih mengingatkannya untuk sholat, Nathan menggeleng heran.
Entah noktah hitam setebal apa yang telah menghalangi nalarnya untuk berpikir jernih bahwa dosa besar yang telah ia lakukan menjadi penyebabnya melupakan ibadah yang utama itu.
“Yang,” Nathan sudah tiba di parkiran luar, lalu mematikan mesin mobil sambil mengapit ponsel di antara bahu dan telinganya saat keluar. “Aku mau sholat dzuhur dulu sebentar, tunggu ya, sayang.”
Laila yang perhatian tentu saja mengerti. “Gapapa, mas. Aku juga masih membereskan koper kita…. Take your time,” nadanya meninggi dengan indah di akhir kalimatnya. Membuat Nathan tertegun sejenak, lalu mengiyakan.
Sepuluh menit kemudian, Nathan sudah tiba di pintu kamar hotel. Setelah memastikan penampilannya sama rapi ketika pergi, ia menekan bel sekali.
“Mas…!” Laila yang membukanya muncul dengan wajah sumringah, matanya sedikit berair seperti menahan haru.
Mereka berpelukan sebelum Nathan mendorongnya masuk dan menutup pintu di belakangnya. Wangi bunga-bungaan yang inosen menguar dari istrinya yang kini memandangi wajahnya dengan rasa rindu.
“Buaya kemana saja?” Laila dengan wajah imutnya bertanya sedih. “Aku kangen nih bersama buaya…” Ia benar-benar pandai menirukan kelucuan Lala.
Nathan jelas membeku, namun sesaat kemudian ia kembali tersenyum kegelian dan menggesekkan hidungnya di kepala Laila dengan gemas. Bagaimana ia bisa bersama dengan wanita semanis ini?
“Aku juga kangen nih, sama tuan putri,” jawabnya sambil menopang kepala Laila di bahunya. “Tuan putri mau makan siang sekarang…?”
Laila mengernyitkan hidungnya dengan gemas mendengar panggilan Nathan untuknya, apa ia pernah berpikir kalau tuan mudanya ini akan memanggilnya tuan putri? Ah, rasanya tidak sama sekali.
Ketika itulah… hidungnya secara tidak sengaja menangkap wangi yang berbeda di leher suaminya.
Wangi ini bukan dari parfum maskulin yang kuat seperti di bagian lainnya yang coba ia endus hingga membuat Nathan kegelian. Ini adalah wangi yang feminine, sesuatu yang mahal dan sangat menggoda.
Laila melepaskan nafasnya berikut wewangian asing itu, dan memejamkan matanya. Berharap pikirannya hanyalah halusinasi semata.
“Aku sudah gak lapar, Mas.” Jawab Laila saat Nathan mengenakan jam tangan kembali setelah dari toilet.Nathan, meski mengenakan jam, tetap melirik jam dinding di hadapannya. Ini sudah jam setengah tiga menjelang sore, wajar saja Laila ngambek seperti itu meski tidak memperjelasnya di depan Nathan.“Maaf ya, yang… jadwalku padat banget.” Nathan meraih pinggang wanita itu dari belakang dan memeluknya sambil mencuri-curi perhatian dengan menempel pipi mereka.Ah, ini Laila, bukan Namira. Tapi, kenapa ia merasakan rasa sayang yang sama? Haha, ini lucu baginya. Seolah cinta itu tiba-tiba muncul setelah ia mengucapkan akad, dan tidak peduli apa yang diperbuatnya di luar dengan wanita lain, ia tetap menginginkan Laila.“Kamu beneran gak lapa
“Sudah, mas?” Laila menoleh ke belakang, langkahnya terhenti di ambang pintu kamar sambil menyeret koper.Nathan dengan sigap mengambil alih koper dari tangan istrinya itu, lalu bilang untuk jalan duluan. Mereka akan pulang malam ini, lalu sesuai kesepakatan untuk kembali ke pekerjaan masing-masing dan berencana jalan-jalan di akhir pekan.Sungguh simpel sekali hidupnya Laila, dan mudah dibuat senang. Nathan jadi lega karena ia tidak harus mengatur ulang jadwalnya, kemudian ia merangkul Laila dan mereka berjalan menyusuri lorong yang sepi.“Kenapa?” Tanya Laila yang melirik senyuman di wajah Nathan.“Hm? Nggak,” Nathan bergumam singkat. Pikirannya masih saja berputar-putar dibuai sentuhan istrinya sebelum mereka keluar kamar.
Laila selesai melipat selimut dan meletakkannya dengan rapi di lemari pendek dekat ranjang nenek.Sementara ekor matanya menangkap perhatian nenek kepadanya, seolah tidak ingin lepas dan menanti jawabannya atas pertanyaan awkward barusan. Laila tidak tahan, jadi ia izin untuk ke dapur mengambil sesuatu.“Bawain nenek kue, ya?” Nenek memohon.“Kan, manis, nek..” Laila hendak menggeleng, tapi di satu sisi wajah memelas nenek membuatnya tidak tega. “Ya sudah, nanti aku cari cemilan lain yang rendah gula, oke? Aku ke dapur dulu, ya.”Nenek mengalami stroke dan diabetes sejak lama, mungkin sudah belasan tahun, tapi semakin hari kondisinya semakin me
Laila mengantarkan Nathan menuruni tangga sambil merapikan posisi dasi yang menggantung di kerah biru itu. “Aduh, aku gak sempat sarapan, yang.” Nathan melengos melewati ruang makan. “Mana sepatuku?” Ia celingukan di ruang tamu sampai Laila membawakan sepasang sepatu hitam favoritnya. “Ini, seenggaknya kamu harus minum susu.” Laila menyodorkan segelas susu langsung ke mulut Nathan. “Biar gak kelaparan. Kamu belum makan apa-apa lho, biasanya gak ada waktu buat sarapan di sana, kan.” Nathan yang sedang mengenakan sepatu sambil meneguk susu yang diberikan Laila, melirik wajah istrinya itu dari bibir gelas. “Kamu udah kayak mama aja,” komentarnya pelan, namun ia tetap menghabiskan susu itu. “Udah, makasih. Aku berangkat, ya.”
“Sarapan sedikit lah, sayang..” Laila memohon. “Suapin,” Nathan meminta dengan manja, sambil mengenakan sepatunya. Lima menit, kegiatan pagi yang romantis itu berjalan singkat dan mengesankan bagi Laila yang tersenyum-senyum dengan wajah merona. Dipandanginya wajah tampan Nathan yang dihiasi hidung yang tinggi dan sorot mata yang dalam. Mimpi apa dia bisa menyuapi tuan mudanya yang kini telah menjadi suaminya? Ah, senangnya! Usai Nathan berangkat, seperti biasa Laila menuju kamar nenek dimana suster Enni sedang menyuapi sarapan. Biasanya itu adalah kegiatan Laila di pagi hari, tapi kini ia juga harus mengurusi bayi besarnya si cucu nenek. “Nenek,” Laila menyapa dengan wajah riang.
Nathan terbangun keesokan paginya dalam keadaan cemas karena ponselnya, yang menurut Namira, terlempar ke sudut kamar dan retak. “Masa sih, kamu gak sadar?” Namira duduk di ranjang sambil mengerjapkan mata. “Aku aja sampai kebangun lho, saking kencangnya suara itu.. Tapi, aku gak tahu suara apa itu semalam, yang.” Nathan tidak menjawab, tangannya sibuk menekan tombol di sisi ponsel yang untungnya masih dapat menyala. “Hufft…” Ia menghela nafas yang baru semenit merasa lega, sudah kembali dibuat terkejut oleh kabar dari pesan-pesan yang bermunculan di layar. Laila masuk rumah sakit. Mama yang mengabarkannya secara beruntun, meminta agar Nathan menjeda pekerjaan untuk menemani istrinya itu sekarang. Ada pesan di bawahnya dari Laila, sejak siang kemarin.
“Lho, sejak kapan mas datang?” Suara lembut dan lemah dari Laila membangunkan Nathan yang meringkuk di sofa.Ini masih sore. Nathan sebenarnya punya janji dengan seorang kolega lama, teman papanya, tapi ia menyempatkan waktu untuk menemani hingga Laila siuman. Setidaknya untuk memastikan kondisi istrinya baik-baik saja.“Huaahhmm…” Nathan menggeliat, merentangkan tangannya yang jenjang dan besar ke depan, lalu menoleh untuk menatap Laila di ranjang.Mereka berdua sama-sama tersenyum. Nathan dengan rasa bersalah yang ditunjukkannya, meski ia tidak akan mengatakan yang sejujurnya, dan Laila yang meminta dia untuk menghampirinya.Kamar ini menjadi hening tanpa suara obrolan kecil seperti sebelumnya. Ibu sedang di toilet, dan mama sudah kembali
Setelah seminggu dirawat, Laila diperbolehkan pulang dalam kondisi gejala yang telah membaik.“Alhamdulillah, udah gak apa-apa, ma.” Jawab Laila kepada mama mertua setibanya di rumah. Ia berjalan pelan ke kamar digandeng mama, dan diam-diam ia meliriknya dengan rasa bersalah dan dilema.Mama mertua adalah orang yang sangat baik kepadanya, terlepas ia hanyalah perawat sebagaimana para staf lain di rumah ini. Tapi, mama dengan baik hati menerimanya sebagai menantu dan rela direpotkan saat ia sakit.Ah, Laila tidak tega jika mengecewakan mama mertuanya. Tapi, di sisi lain ia juga tidak bisa menahan rasa sakit di dalam dirinya lebih lama lagi, entah bagaimana cara ia melepaskannya.Blam.Laila mendengar suara pi
“Dimana lagi kamu bisa dapat wanita seperti dia?”Tiba-tiba omelan mama menggema ke seisi kamar rawat. Di hadapannya, Nathan duduk terdiam dan wajahnya berubah kaku.Untuk kedua kalinya, mama masuk rumah sakit dalam keadaan setengah sadar karena gulanya naik.Kali ini, mama seperti menyesali apa yang telah terjadi dalam pernikahan putranya yang kandas. Mama yang awalnya hanya diam tak berani berpendapat, kini mulai intens memojokkan Nathan atas keputusannya tersebut.“Ma,” Nathan berusaha menjelaskan secara perlahan. Sementara kedua adiknya di sofa menoleh. “Sekarang aku udah nikah sama Namira, ma.”“Ceraikan dia, rujuk kembali sama Indah. Mama gak mau tahu.”
Klep!Nathan menutup pintu mobil. Ditatapnya bangunan rumah sakit di pinggiran daerah yang sepi itu, sebelum dia melangkah masuk.Tujuannya adalah untuk bertemu dengan dokter yang menangani Laila.Nathan mengenal dokter itu sebagaimana dia juga mengenal dokter Reza. Tapi, siapa di negeri ini yang tidak mengenalnya?Bahkan rahasia tentang kehamilan Namira mulai tercium di tengah masyarakat.Papa, melalui asistennya, meminta klarifikasi dari Nathan terkait hal itu.“Pasalnya, mas,” kata asisten itu sambil mengimbangi jalan Nathan yang cepat di lorong kantor siang tadi. “Kehamilan istri Anda diduga lebih dulu sebelum pernikahan Anda.”
“Mas kenapa bengong dari tadi?”Pertanyaan Namira itu menggantung di antara ruang yang sempit dengan suaminya, Nathan, yang duduk di depan.Nathan tidak seperti biasanya yang antusias setiap kali memeriksa bayi mereka ke dokter kandungan, hari ini dia lebih diam dan tidak banyak menunjukkan raut senang. Kesan dingin justru tampak di wajahnya.Seperti sekarang, Nathan bahkan tidak menjawabnya. Namira hanya menghela nafas panjang, lalu mengalihkan tatapan ke jalanan yang lengang.“Karena mama, ya?” Tanya Namira yang kali ini mendapat reaksi tolehan kepala Nathan yang sedikit ke belakang. “Sudah aku duga, ngapain dipikirin sih, mas… nanti mama juga bakal nerima bayi kita!”
Tap. Tap. Laila melewati banyak pasang kaki di lobi, ketika kepalanya terus tertunduk hingga dia mencapai pintu otomatis.Ketakutan akan bertemu dengan Nathan secara tidak sengaja membuatnya hampir menabrak beberapa orang, kemudian meminta maaf, dan berjalan lebih cepat.“Dok,” Laila mengangkat ponsel ke telinganya saat berbicara di telepon. “Mungkin saya akan sedikit terlambat…”Matanya menatap indahnya taman kehijauan rumah sakit yang berada di pinggiran kota itu, sangat asri dan terlalu nyaman untuk langsung ditinggal pergi. Jadi, dia memutuskan untuk duduk-duduk sebentar menikmati suasana ini.“Ya, gak apa-apa, Laila,” dokter Reza menjawab santai dengan nada lembut.
Laila mengerjap begitu lama pada gelas kopi di hadapannya, seolah kehadiran Rizky di seberang sana terlalu jauh ditatap.Tidak lama, helaan nafasnya terdengar. Lalu kecapan lidahnya, sebelum menaikkan wajah yang kecewa dan penuh pemikiran kepada Rizky, dia berkata perlahan, “maaf, kalau itu yang kamu rasakan, tapi sejujurnya aku gak merasakan apapun dari pertemanan kita.”Suaranya sedikit ditekankan pada kata ‘pertemanan’ seolah ingin mengusir rasa yang seharusnya tidak ada dalam hubungan mereka.Namun, bagaimanapun, kata Sahila ketika Laila curhat kepadanya malam itu soal pengakuan Rizky, “gak ada pertemanan di antara pria dan wanita, terlebih lagi ketika mereka semakin dewasa dan membutuhkan pendamping hidup. Kamu tahu maksudku.”
Ting! Tong!Suara bel dari pintu menyentak tidur siang Laila yang menghadap ke jendela. Angin mengalir lembut di kota dengan cuaca sejuk ini.Siapa? Pikirnya.Laila terbangun sambil duduk lemas menatap ke arah pintu. Dia menghela nafas panjang, kemudian meraih hijab di gantungan terdekat dan melihat melalui interkom.“Rizky?” Gumamnya terkejut.Wajah pria berkulit sawo matang yang maskulin dan mengenakan topi itu terpampang di layar.Laila ragu untuk membuka pintu di tangannya, jadi dia menunggu sambil bersandar selama beberapa lama.Ting! Tong!Suara bel terdengar l
“Saya gak nyangka ketemu kamu, Laila.” Ujar dokter Reza setibanya mereka di stasiun kota lain, lalu turun bersama.Laila menatap sepatunya saat mereka berjalan bersama-sama sambil menarik koper masing-masing. Dokter Reza hendak membantunya, namun Laila menolak halus bahwa dia bisa sendiri sampai mereka tiba di taksi.“Jadi.. kita satu arah?” Tanya dokter Reza ingin memastikan, setelah tahu bahwa Laila akan menuju daerah yang sama dengannya.“Ya,” Laila menaikkan bahu. Sedikit enggan untuk mengakuinya karena segan untuk bersama sang dokter dalam perjalanan ke sana.“Ok. Gak apa-apa, ikut saja denganku.” Dokter Reza mengajaknya secara spontan, meski caranya tenang dan lembut. “Taksiku sudah datang.”
Lima belas tahun yang lalu. “Aku tidak pernah menyukaimu, Laila! Tidak sedikitpun!” Teriakan seorang anak laki-laki di lorong sekolah itu menggema begitu keras sampai-sampai membuat Laila malu dan hampir menangis. Demikian pula hari ini. Laila mencengkram selimutnya seolah hanya itu pegangan terakhir dalam hidupnya di depan Nathan yang semakin mendekat. Blam. Pintu telah ditutup. Ibu terbangun dan terkejut sambil duduk, kemudian terperangah ke arah Nathan dan berganti ke arah Laila. “Mas Nathan..?” Bisiknya dengan nafas tersendat, ada rasa marah dan juga kecewa di hatinya.
“Kamu gak nawarin aku makan?”Pertanyaan penuh kekesalan itu terlontar dari Nathan setibanya di apartemen Namira, sebidang bagian di lantai tujuh yang merupakan pemberiannya.“Apa sih, mas?” Namira yang sedang leyeh-leyeh merasa terusik. Baru kali ini dia mulai terusik atas kehadiran kekasihnya itu, yang padahal dulu ingin dia rebut waktunya sepenuhnya.“Kamu sendiri emang gak lapar?” Tanya Nathan lagi, kali ini lebih lembut. Dia duduk dengan posisi lelah, memiringkan kepala ke arah Namira yang bahkan enggan menatapnya tanpa alasan.“Nggak,” Namira menjawab sambil mengalihkan pandangannya lebih jauh.Namun, bagi Nathan itu adalah tuntutan wanita hamil yang minta dime