Hanya agar nenek bahagia.
Kalimat itu terpatri dengan baik di hati Nathan setelah pesta pernikahan yang meriah dan dihadiri oleh para kolega perusahaan.
Kini, ia dan Laila tinggal berdua di kamar hotel tempat di mana acara dilangsungkan. Ia berjalan melewati koper-koper dan matanya tertuju ke kalung di dalam kotak beludru biru yang menjadi maharnya kepada Laila.
Mungkin gadis itu habis melihatnya dengan puas sebelum membersihkan diri, pikir Nathan yang mendengar suara dari kamar mandi.
Setelah menarik nafas di depan cermin yang panjang, Nathan melepaskan dasi dari kerahnya yang mulai terasa sesak. Matanya yang sayu dan muram menatap bayangan di cermin sambil mengingat kembali reaksi Namira atas pernikahannya.
“Tega kamu, mas!” Teriak kekasihnya itu. Kekasih yang menghancurkan hatinya dengan membanting pintu apartemen dan pergi begitu saja.
Pagi tadi, seorang teman memberitahunya mengenai keberadaan Laila yang masih di kota tersebut dan mungkin menunggu Nathan agar kembali menemuinya. Nathan belum bisa berjanji kapan, tapi ia pasti akan menemuinya lagi.
“Kau serius?” Temannya sempat ragu, sebab Nathan telah menjadi suami wanita lain.
Nathan tidak menjawab.
Tapi, hatinya masih saja memikirkan wajah kecewa dan sedih Namira di pertengkaran terakhir mereka sore itu, sebelum Nathan kembali ke rumah dan ikut merencanakan pernikahannya dengan Laila.
Ah.. Namira dan Laila hanya terpaut setahun. Tapi, Namira telah memiliki jam terbang yang tinggi, tidak dapat disandingkan dengan Laila yang kalem dan hanya berkutat di kamar neneknya.
Sudahlah.
Toh, ini demi nenek. Nathan menaikkan tatapan yang mulai tenang, ia akan berusaha menikmati pernikahan ini dengan Laila… sambil sesekali menjenguk Namira untuk memastikan keadaannya.
Sebuah rencana yang tersusun rapi di pikirannya sejak memutuskan untuk menikah. Ada asisten pribadinya, Reno, dan supir kepercayaannya, kang Abdi, yang akan membantunya.
“Mas?” Suara lemah gemulai dari Laila membuat Nathan menoleh.
Selanjutnya pemandangan dari gadis yang telah bersih dan wangi di hadapannya membuat Nathan terlena. Tanpa sadar ia sudah jatuh ke dalam drama mereka berdua, melupakan sejenak kisah cintanya yang rumit, dan melakukan tugasnya sebagai seorang suami.
“Bolehkah..” Nathan menyusuri jari-jarinya di permukaan kulit secerah porselen itu, suatu keindahan yang tidak ia sadari selama ini di depan matanya. “Aku mendapatkannya malam ini…?”
Laila terhenyak. Wajah pria yang telah menjadi suaminya itu berubah total, dari yang awalnya dingin dan acuh tak acuh, kini menjadi hangat dan penuh kasih sayang.
Nathan menundukkan wajahnya di atas wajah Laila yang gugup, senyuman di bibirnya merekah sebagai tanda kemenangan dan rahasia yang dipendamnya. Lalu berbisik hingga nafasnya sangat jelas, bertukar dengan hembusan udara yang lemah dari Laila.
“Aku menginginkanmu, Ndah.”
Kalimat yang tidak pernah Laila bayangkan akan ia dengar dari tuan mudanya kini membuatnya gemetar.
Laila, kalau boleh jujur, belum siap. Ia tipe yang lebih nyaman melakukan penjajakan secara perlahan dan pemanasan daripada langsung ke intinya. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Pikirannya mendadak kosong.
Nathan tidak menunggu jawabannya, dengan gerakan yang cepat ia mendekapnya lebih erat dan meraih tengkuknya untuk menerima ciuman yang semakin lama semakin panas.
Laila membeku, lebih daripada seluruh kejadian yang pernah terjadi di hidupnya, kali ini ia benar-benar kehilangan kendali.
Ternyata.. Begini rasanya bersama mas Nathan. Matanya mulai terpejam.
Kedua tangan Nathan yang lincah memainkan tubuhnya, meremas sana-sini, lalu membawanya ke atas ranjang. Laila mendapati dirinya sudah linglung, hanya pasrah menerima ajakan suaminya, apapun itu.
Sementara Nathan benar-benar melepaskan perasaannya yang mulai terbuka terhadap Laila, gadis mungil dan sederhana yang kini berada di bawahnya.
“Kenapa kamu gemetar, sayang…?” Nathan menyingkirkan helaian rambut dari wajah pucat itu dengan lembut.
Senyumnya selalu dibarengi dengan gigitan di bibirnya, menahan gemas, lalu pandangan matanya yang sayu menjelajahi tiap sudut yang bisa dinikmatinya.
Tidak ia sangka bahwa pemandangan seorang gadis yang gugup dan ketakutan di bawah kekuasaannya akan membuat birahinya memuncak. Seolah semua obsesi atas kendali dan kedudukan telah membuatnya mabuk malam ini.
Nathan membutuhkan Laila, benar-benar membutuhkannya dan bukan hanya sekedar melakukan tugas seorang suami, untuk melepaskan hasrat terpendam itu.
Sudah lama ia ingin melampiaskannya kepada Namira, meski gadis itu selalu menggodanya, namun ia berusaha keras menahan diri. Tidak sebelum akad diucapkan atau ia akan kena kemurkaan sang papa.
Tapi sekarang? Akhirnya ia bisa mendapatkannya sampai benar-benar puas...
Meski bukan dengan Namira, wanita yang dicintainya.
***
“Sudah bangun, yang..?” Suara serak Nathan menyambut di telinga Laila saat wanita itu membuka matanya.
Laila merasakan seluruh tubuhnya lemas tak berdaya, seolah ia baru saja menaiki wahana roller coaster lalu diputar-putar sampai kepalanya pusing dan beberapa bagian di tubuhnya terasa lebih sakit dari yang lain.
Namun, ada sensasi yang sulit ia gambarkan sebelum ia terlelap di samping Nathan, tepatnya di dalam pelukannya, semalam.
Entahlah.
Laila sendiri baru pertama kali merasakannya, tapi yang ia ingat adalah Nathan yang berkeringat dengan tangan kekar yang keras serta gerakan yang lembut dan lama-lama berubah semakin intens.
Bisikan yang menggairahkan, sesuatu yang membuat seluruh wajah Laila memerah dan hidungnya kembang kempis. Lalu sakit dan enak bergantian, mencapai puncak, lalu… kelelahan dan terlelap.
Laila menoleh ke wajah suaminya yang sejak tadi mengamatinya tanpa bersuara. Senyum di bibirnya terbentuk, sambil mendekat perlahan ia berlindung ke dada bidang yang nyaris rata itu untuk merasakan kehangatannya.
Tidak hanya kulit Nathan yang panasnya menghangatkan tubuh, tapi deru nafasnya yang pelan dan hembusan angin dari hidung tingginya itu juga terasa menenangkan.
“Jam berapa ini.. Mas?” Tanya Laila samar-samar seperti bergumam.
“Jam empat, sayang.” Nathan mendekapnya lebih dalam saat Laila justru hendak meloncat kaget.
“Jam empat?!” Laila terbelalak tidak percaya, bagaimana mungkin ia bisa bangun kesiangan begini, terlambat setengah jam dari waktu biasanya. “A-aku harus mandi, mas. Aku harus siap-siap…”
Nathan menatapnya dengan kedua tangan terbuka lebar. “Siap-siap kemana…?” Ia hampir saja melepaskan tawanya melihat tingkah sang istri yang tidak bisa ditebak itu.
“A-aku biasanya sholat tahajud, terus membuatkan sarapan untuk nenek.” Jelas Laila yang meraih gaun malamnya dan bergerak menuruni ranjang.
Namun, pergelangan tangannya dengan cepat ditarik oleh Nathan yang tidak mengizinkannya pergi kemanapun. Kepala pria itu, dengan tubuh setengah telanjangnya yang muncul dari balik selimut, menggeleng pelan dan wajah yang tegas.
Laila tertegun, bingung apa yang harus ia lakukan selain menuruti suaminya yang menginginkan ia kembali ke balik selimut.
“Mas,” Laila yang merangkak kembali di dekatnya hendak memohon.
“Belum, masih jam empat kurang seperempat.” Nathan terus menatap wajahnya saat satu tangan yang lain mengambil ponsel dari nakas dan menunjukkan angka tiga lewat empat puluh lima di layar.
Laila sedikit bernafas lega. Baru saja ia tersenyum karena memikirkan masih ada waktu untuk membersihkan diri, Nathan sudah menerjangnya lagi.
Ah, mungkin bukan hanya Nathan yang bernafsu pada dirinya. Tapi, ia juga. Ia sudah menyukai pria itu, tuan mudanya, sejak pertama kali bertemu lima tahun yang lalu.
Tanpa sadar, Laila sudah menjadikan Nathan sebagai fantasi terliarnya yang ia pikir tidak akan mungkin mendapatkannya. Tidak ada satu faktor-pun yang mendukung ia untuk bersama Nathan, bahkan jika ia memaksakannya.
Namun, takdir yang telah dituliskan untuknya berbeda. Setelah Laila menyerah akan angan-angannya, jalan hidup justru mengubah arahnya seratus delapan puluh derajat.
Kini, ia bukan lagi hanya seorang perawat di rumah keluarga Hakeem, melainkan menantu yang menjadi istri dari Nathan, putra pertama di keluarga itu. Istri yang dimiliki oleh Nathan, sesuatu yang bahkan terlalu jauh untuk diimpikan beberapa waktu lalu.
Laila merasakan kebahagiaan menguar dari dirinya, tapi di saat bersamaan ia juga merasakan ketakutan yang belum pernah ada sebelumnya.
Takut akan cinta? Mungkin benar. Sebab dicintai oleh Nathan adalah salah satu impian seumur hidupnya. Dan itu menakutkan jika seandainya benar-benar terjadi.
Seandainya, ya… pikir Laila yang mendongakkan kepalanya di atas bantal dan membelai puncak kepala Nathan di dadanya.
Tiga hari yang lalu, Laila diberitahu oleh ibu Kusuma yang sekarang ia panggil mama, bahwa Nathan sudah memutuskan hubungan dengan mantannya itu. Jadi, ia diminta tenang dan jangan memikirkan hal-hal lain selain fokus ke pernikahannya.
Semua orang mengira bahwa ia menjadi gelisah karena mantannya Nathan, tapi sebenarnya bukan hanya itu.
Nathan terlalu indah baginya, terlalu sulit untuk digapai yang tiba-tiba saja diberikan oleh Tuhan kepadanya, yang pasti tidak dibayar dengan harga cuma-cuma. Laila tidak tahu apa ujian yang akan menyapanya kedepan.
“Mas, ayo kita mandi.” Laila membangunkan Nathan yang perlahan menaikkan kepalanya dengan wajah sayu.
“Yang, aku baru tahu kalau aku hyper.” Nathan tiba-tiba saja mengejutkannya. Laila hanya mengerjap tidak percaya. “Tahu gak, aku sudah tegak lagi. Kita main sekali lagi, terus mandi… oke?”
Laila hanya bisa menghela nafas pendek. Lagi-lagi di pikirannya hanya ada satu kalimat, mau bagaimana lagi? Ia menerimanya saja.
Setelah melewati berbagai faktor ketidakmungkinan ia untuk bersama dengan Nathan, kini Laila merasakan faktor-faktor yang membuatnya rela menerima seluruh keinginan Nathan terhadap dirinya di ranjang.
Pertama, ia menyukainya, sungguh menyukainya. Kedua, Nathan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang sekaligus passionate, dan gerakannya membuatnya gila.
Ketiga… Laila ingin memiliki anak secepatnya. Ia menyukai anak-anak, dan berpikir jika anak-anak mereka kelak akan meramaikan suasana di rumah keluarga Hakeem.
Laila juga berpikir kemungkinan lain, yaitu kedua adik iparnya akan lebih cair kepadanya. Kelak mereka akan jadi om dan tante yang pasti disukai oleh anak-anaknya.
Jam lima.
Setelah melipat mukena, Laila menoleh ke Nathan yang kembali merebahkan diri di kasur, lalu memejamkan mata.
“Sepuluh menit.” Katanya. “Bangunkan aku.”
Laila mengangguk sambil menjawab “ya” dengan pelan. Suaminya pasti kelelahan dan sangat mengantuk. Tapi, hari ini ada rapat penting yang tidak melihat momen-momen bahagianya setelah pernikahan.
Seperti biasa, sebagai seorang staf yang ahli di keluarga ini, Laila sudah menyetel alarm di ponselnya.
Hampir sepuluh menit, bahkan sebelum alarm berbunyi, Nathan sudah duduk di tepi tempat tidur sambil membuka ponselnya.
Laila baru saja menoleh ketika melihat suaminya itu bangkit sambil merenggangkan badan dan meraih kemeja putih di lemari yang telah disiapkannya. Laila bangga bahwa selama ini ia benar-benar telah belajar menjadi pelayan yang ahli.
“Sini, mas.” Laila membawakan dasi merah dan melingkarkannya di balik kerah pria itu.
Terkadang Nathan memang memintanya untuk menyiapkan kemeja kerja, jika staf yang lain sibuk dengan urusan berbeda. Sehingga Laila mulai hafal kebiasaan tuan mudanya itu dan sekarang ia tidak kikuk lagi untuk melayaninya.
“Kembali jam berapa?” Laila bertanya dengan tatapan yang sudah rindu saat Nathan mengecup bibirnya.
“Paling siang.” Jawab Nathan cepat, mungkin pikirannya sudah disibukkan dengan hal-hal terkait jadwalnya. “Tunggu ya, kita makan siang bareng sebelum pulang.”
Laila mengangguk. Melepas kepergian sang suami seperti para istri lainnya di pagi hari, lalu mulai mengerjakan pekerjaan rumah sambil menanti kepulangannya.
Ah, sungguh indah hidup ini.
Sementara Nathan yang sudah berada di balik kemudi sedan hitamnya, mengangkat panggilan dari seseorang dengan wajah tersenyum cerah.
“Kau sudah menemukan keberadaannya?” Ia kemudian mengangguk. “Baik, aku ke sana. Bilang padanya aku akan menemuinya, apa yang ia inginkan?”
Bibirnya menyungging senyum penuh rasa sayang, tatapan matanya sangat antusias. “Dompet Prada itu? Oke. Aku akan bawakan.”
Seminggu yang lalu–betapa cepat waktu berlalu.Sore itu, Nathan yang hampir mendekati gerbang tol luar kota mendapat panggilan dari asisten papanya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa apa yang akan dibicarakan oleh papa segera membuatnya putar balik.“Papa gak setuju kamu menemuinya, Nathan!” Bentak papa dengan suara serak. “Kartumu sudah dibekukan, kalau kamu berani pergi sekarang, papa benar-benar tidak akan mengizinkan kamu kembali ke rumah!”Sebuah pertanyaan menerornya sepanjang perjalanan dan membuatnya gelisah, sejak kapan papa mengetahuinya? Padahal selama tiga tahun ini, Nathan telah menjaga hubungannya dengan sangat baik dan rapat dari keluarga.Hanya segelintir dari teman-teman terdekat yang mengetahuinya. Mereka-pun bisa menjaga rahasia dengan sangat baik. Lalu, siapa yang membocorkan informasi ini? Nathan yang kesal membanting tangannya di atas kemudi. Ia sudah tahu akan seperti apa pembicaraan mereka setibanya di rumah. Semuanya persis seperti dugaannya, kecuali..Bag
“Aku sudah gak lapar, Mas.” Jawab Laila saat Nathan mengenakan jam tangan kembali setelah dari toilet.Nathan, meski mengenakan jam, tetap melirik jam dinding di hadapannya. Ini sudah jam setengah tiga menjelang sore, wajar saja Laila ngambek seperti itu meski tidak memperjelasnya di depan Nathan.“Maaf ya, yang… jadwalku padat banget.” Nathan meraih pinggang wanita itu dari belakang dan memeluknya sambil mencuri-curi perhatian dengan menempel pipi mereka.Ah, ini Laila, bukan Namira. Tapi, kenapa ia merasakan rasa sayang yang sama? Haha, ini lucu baginya. Seolah cinta itu tiba-tiba muncul setelah ia mengucapkan akad, dan tidak peduli apa yang diperbuatnya di luar dengan wanita lain, ia tetap menginginkan Laila.“Kamu beneran gak lapa
“Sudah, mas?” Laila menoleh ke belakang, langkahnya terhenti di ambang pintu kamar sambil menyeret koper.Nathan dengan sigap mengambil alih koper dari tangan istrinya itu, lalu bilang untuk jalan duluan. Mereka akan pulang malam ini, lalu sesuai kesepakatan untuk kembali ke pekerjaan masing-masing dan berencana jalan-jalan di akhir pekan.Sungguh simpel sekali hidupnya Laila, dan mudah dibuat senang. Nathan jadi lega karena ia tidak harus mengatur ulang jadwalnya, kemudian ia merangkul Laila dan mereka berjalan menyusuri lorong yang sepi.“Kenapa?” Tanya Laila yang melirik senyuman di wajah Nathan.“Hm? Nggak,” Nathan bergumam singkat. Pikirannya masih saja berputar-putar dibuai sentuhan istrinya sebelum mereka keluar kamar.
Laila selesai melipat selimut dan meletakkannya dengan rapi di lemari pendek dekat ranjang nenek.Sementara ekor matanya menangkap perhatian nenek kepadanya, seolah tidak ingin lepas dan menanti jawabannya atas pertanyaan awkward barusan. Laila tidak tahan, jadi ia izin untuk ke dapur mengambil sesuatu.“Bawain nenek kue, ya?” Nenek memohon.“Kan, manis, nek..” Laila hendak menggeleng, tapi di satu sisi wajah memelas nenek membuatnya tidak tega. “Ya sudah, nanti aku cari cemilan lain yang rendah gula, oke? Aku ke dapur dulu, ya.”Nenek mengalami stroke dan diabetes sejak lama, mungkin sudah belasan tahun, tapi semakin hari kondisinya semakin me
Laila mengantarkan Nathan menuruni tangga sambil merapikan posisi dasi yang menggantung di kerah biru itu. “Aduh, aku gak sempat sarapan, yang.” Nathan melengos melewati ruang makan. “Mana sepatuku?” Ia celingukan di ruang tamu sampai Laila membawakan sepasang sepatu hitam favoritnya. “Ini, seenggaknya kamu harus minum susu.” Laila menyodorkan segelas susu langsung ke mulut Nathan. “Biar gak kelaparan. Kamu belum makan apa-apa lho, biasanya gak ada waktu buat sarapan di sana, kan.” Nathan yang sedang mengenakan sepatu sambil meneguk susu yang diberikan Laila, melirik wajah istrinya itu dari bibir gelas. “Kamu udah kayak mama aja,” komentarnya pelan, namun ia tetap menghabiskan susu itu. “Udah, makasih. Aku berangkat, ya.”
“Sarapan sedikit lah, sayang..” Laila memohon. “Suapin,” Nathan meminta dengan manja, sambil mengenakan sepatunya. Lima menit, kegiatan pagi yang romantis itu berjalan singkat dan mengesankan bagi Laila yang tersenyum-senyum dengan wajah merona. Dipandanginya wajah tampan Nathan yang dihiasi hidung yang tinggi dan sorot mata yang dalam. Mimpi apa dia bisa menyuapi tuan mudanya yang kini telah menjadi suaminya? Ah, senangnya! Usai Nathan berangkat, seperti biasa Laila menuju kamar nenek dimana suster Enni sedang menyuapi sarapan. Biasanya itu adalah kegiatan Laila di pagi hari, tapi kini ia juga harus mengurusi bayi besarnya si cucu nenek. “Nenek,” Laila menyapa dengan wajah riang.
Nathan terbangun keesokan paginya dalam keadaan cemas karena ponselnya, yang menurut Namira, terlempar ke sudut kamar dan retak. “Masa sih, kamu gak sadar?” Namira duduk di ranjang sambil mengerjapkan mata. “Aku aja sampai kebangun lho, saking kencangnya suara itu.. Tapi, aku gak tahu suara apa itu semalam, yang.” Nathan tidak menjawab, tangannya sibuk menekan tombol di sisi ponsel yang untungnya masih dapat menyala. “Hufft…” Ia menghela nafas yang baru semenit merasa lega, sudah kembali dibuat terkejut oleh kabar dari pesan-pesan yang bermunculan di layar. Laila masuk rumah sakit. Mama yang mengabarkannya secara beruntun, meminta agar Nathan menjeda pekerjaan untuk menemani istrinya itu sekarang. Ada pesan di bawahnya dari Laila, sejak siang kemarin.
“Lho, sejak kapan mas datang?” Suara lembut dan lemah dari Laila membangunkan Nathan yang meringkuk di sofa.Ini masih sore. Nathan sebenarnya punya janji dengan seorang kolega lama, teman papanya, tapi ia menyempatkan waktu untuk menemani hingga Laila siuman. Setidaknya untuk memastikan kondisi istrinya baik-baik saja.“Huaahhmm…” Nathan menggeliat, merentangkan tangannya yang jenjang dan besar ke depan, lalu menoleh untuk menatap Laila di ranjang.Mereka berdua sama-sama tersenyum. Nathan dengan rasa bersalah yang ditunjukkannya, meski ia tidak akan mengatakan yang sejujurnya, dan Laila yang meminta dia untuk menghampirinya.Kamar ini menjadi hening tanpa suara obrolan kecil seperti sebelumnya. Ibu sedang di toilet, dan mama sudah kembali