“Sudah, mas?” Laila menoleh ke belakang, langkahnya terhenti di ambang pintu kamar sambil menyeret koper.
Nathan dengan sigap mengambil alih koper dari tangan istrinya itu, lalu bilang untuk jalan duluan. Mereka akan pulang malam ini, lalu sesuai kesepakatan untuk kembali ke pekerjaan masing-masing dan berencana jalan-jalan di akhir pekan.
Sungguh simpel sekali hidupnya Laila, dan mudah dibuat senang. Nathan jadi lega karena ia tidak harus mengatur ulang jadwalnya, kemudian ia merangkul Laila dan mereka berjalan menyusuri lorong yang sepi.
“Kenapa?” Tanya Laila yang melirik senyuman di wajah Nathan.
“Hm? Nggak,” Nathan bergumam singkat. Pikirannya masih saja berputar-putar dibuai sentuhan istrinya sebelum mereka keluar kamar.
“Aku baru tahu,” katanya ketika mereka sudah turun ke lobi, melewatinya, dan menuju parkiran. “Skill kamu yang satu itu, hehehe.” Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Laila yang meski dibalik hijab, tetap terlihat memerah.
Laila menepuk lengan suaminya itu dengan gemas. Plak! Ia menyembunyikan wajah malu yang sangat ketara dan menunduk saja.
“Tapi, aku belum puas tahu, yang, tanggung,” ujar Nathan lagi begitu keduanya di mobil. “Nanti kita lanjutin ke main course-nya di rumah, ya.”
Laila hanya bisa memejamkan mata, menahan senyum yang sejak tadi terukir di bibirnya yang terasa kering karena gombalan Nathan barusan.
Malam ini Nathan harus ke kantor lagi untuk mengurus berkas, sementara Laila tidak ingin ditinggal di hotel sendirian, jadi lebih baik ia menunggu di rumah. Laila senang-senang saja, karena ia bisa menengok keadaan nenek.
“Assalamu’alaikum, nek!” Laila menyapa lembut di pintu kamar majikan yang sekarang telah menjadi nenek mertuanya itu.
“Wa’alaikumsalam….” suara serentak itu menjawabnya.
Seorang perawat setengah baya berdiri di samping ranjang nenek yang tersenyum menyambutnya. Perawat itu tampak mengenali Laila sebagai perawat nenek sekaligus anggota keluarga ini, mungkin nenek menceritakannya.
Laila sebenarnya sudah menghubungi beberapa teman untuk menggantikannya, tapi mereka semua sibuk. Jadi, ia menerima perawat lain dari ibu mertuanya, bu Kusuma, dan kelihatannya perawat itu lebih terampil.
“Neeng… nenek kangen!” Nenek merentangkan kedua tangannya, siap menerima pelukan dari Laila, cucu mantu kesayangannya.
Neng? Perawat itu mengamati kedekatan nenek dengan Laila, meski sudah tahu banyak tentang gadis itu.
Laila sama sekali tidak menyadari tatapan penuh tanda tanya dari bibir yang ditarik ke bawah di wajah perawat tersebut. Ia justru mempererat pelukannya, lalu memandang wajah nenek lekat-lekat sambil mengelus pundak yang renta itu.
“Nenek gimana makannya?” Tanya dia seperti biasa jika kembali dari liburan.
Nenek mengangguk saja. Lalu, tangannya meminta agar perawat lain memberikan mangkuk makanan kepada Laila.
“Oh, maaf, saya Laila Indah..” Ujar Laila kepada perawat itu seraya menjulurkan tangannya. “Saya biasa dipanggil Indah di sini,” senyumnya tersungging dengan ramah.
“Ya, mbak Indah.. Saya sudah dengar banyak tentang mbak dari nenek,” jawab perawat itu dengan basa-basi yang datar di wajahnya. “Saya Enni, saya sudah dua puluh lima tahun menjadi perawat.”
Laila menaikkan alis, merasa kagum meski itu informasi yang tidak dia tanyakan. Ia sangat antusias menerima bu Enni di sini.
“Wah, terima kasih ya, suster Enni..” ucapnya.
Selanjutnya, Laila yang sebelumnya hanya memberikan informasi mengenai pengobatan yang nenek jalani lewat pesan beberapa hari yang lalu, kini berdiskusi dengan bu Enni lebih detail lagi.
Setelah jelas, Laila meminta izin untuk meninggalkan kamar karena ada keperluan lain.
Ia baru ingat kalau Nathan akan pulang sebentar lagi. Jadi, ia segera kembali ke kamarnya Nathan–kamar mereka berdua–dan mempersiapkan semuanya. Mulai dari baju tidur, handuk, hingga peralatan mandi.
Masih lima belas menit lagi, Laila memanfaatkan waktu ini untuk berendam di bathtub yang ia isi dengan wewangian floral.
Kata ibu, “kita sebagai istri harus tampil cantik dan wangi ketika menyambut suami pulang kerja.” Itu sudah menjadi rutinitas yang ibu contohkan kepada Laila sejak dulu, meski suaminya hanya pulang setiap minggu.
Laila menikmati waktu cantiknya di bathtub hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul sembilan lewat. Nathan belum kembali. Laila segera membersihkan dirinya, lalu menuju cermin rias yang sudah diletakkan di sudut kamar.
Ia mengikat rambut gelombangnya, lalu mulai menghiasi wajah dengan warna-warna hangat dan natural yang pasti akan Nathan sukai. Setelah memastikan wajahnya siap dengan riasan, ia membuka lemari dan menemukan sederet gaun pendek.
“Kayaknya ini bukan daster… tapi aku suka!” Gumamnya sambil mengambil salah satunya dari gantungan, dan memeluknya.
Ia memang tidak pernah tampil terbuka, imejnya selalu sederhana dan jauh dari kata mencolok, tapi kali ini berbeda di depan Nathan, suaminya. Ia ingin menjadi wanita glamor di dalam kamar dan membiarkan Nathan tahu seluk beluk dirinya.
Laila menatap bayangan dirinya sendiri yang mempesona di depan cermin. Ini seperti bukan dirinya. Apakah Nathan akan terkejut?
Clek! Suara pintu dibuka.
Laila yang sedang membelakangi pintu, spontan menolehkan kepala, tatapannya berbalasan dengan tatapan Nathan di pintu. Nathan memang terkejut, lalu segera menutup pintu dan menguncinya.
“Sayang,” katanya sambil mengambil langkah jenjang ke arah Laila, kemudian membalikkan wanita itu hingga berhadapan dan ia bisa melihat seluruh keindahannya.
Laila yang awalnya tersipu malu, kini memberanikan diri untuk menaikkan wajah dan tersenyum menyambut suaminya pulang. Ia sengaja memilih gaun merah marun dengan neck yang lebih rendah dan membentuk tubuhnya.
Nathan jelas tampak menyukai itu, sehingga tidak henti mengecup bibirnya dan sesekali mencuri pandang ke bagian lain di bawah wajahnya. Itu membuatnya gila.
“Mandi dulu, mas,” Laila menghentikannya dengan lembut, lalu menuntunnya ke kamar mandi.
Sepuluh menit, Laila punya waktu untuk mengoleskan riasan kembali dan memastikan dirinya siap. Nathan terdengar sedang mengeringkan badan, lalu ia muncul di depan lemari pakaian dengan handuk yang melilit di pinggangnya.
Nathan sedikit ragu saat hendak mengambil pakaian ganti yang telah disiapkan, tatapannya yang berubah liar malah mencari Laila di meja rias.
“Sayang…” panggilnya dengan seringai yang muncul seperti serigala yang kelaparan di tengah malam purnama.
Laila sempat merinding, namun ia menoleh dengan bibir yang menarik senyuman. Dilihatnya Nathan, yang bertubuh tinggi dengan bahu lebar dan dada telanjang itu sudah akan menariknya ke ranjang.
Sepertinya malam ini Nathan benar-benar akan menunaikan janjinya untuk menyelesaikan foreplay mereka tadi siang.
“Ayo, aku mau main course-nya sekarang.” Ujar pria itu.
***
Jam tiga lewat seperempat.
Laila sudah dibangunkan oleh alarm dari ponselnya di atas nakas, sedikit mengganggu ketenangan Nathan yang beringsut ke arah lain.
“Mas, aku mandi dulu, ya.” Laila berbisik di balik bahu Nathan, memberitahunya bahwa permainan mereka sudah selesai.
Ia kemudian beranjak ke kamar mandi. Langkahnya sedikit terhuyung sebab pandangan matanya sesaat berbayang. Apa dia kelelahan? Laila memegangi kepala sampai pusing yang dirasakannya mereda, lalu melanjutkan persiapannya di pagi hari.
Setengah jam sebelum subuh, ia membangunkan suaminya. Perlu waktu lebih lama untuk mandi besar, lalu bersiap melaksanakan sholat.
“Iya, iya, sebentar lagi sayang, ah!” Nathan mengeluh sambil menenggelamkan kepalanya di bawah telapak tangan Laila.
Sepertinya ia masih ingin bermanja-manja dengan sentuhan lembut itu, tapi Laila punya cara untuk membuatnya tersadar.
“Wah, papa nelpon!” Katanya sambil mengangkat ponsel ke dekat telinga.
Jelas Nathan tidak dapat melihat layar kalau istrinya itu cuma pura-pura, ia langsung melompat sambil meraih boxer di sisi ranjang. “Bilang kalau aku sudah bangun, awas saja ya..” Katanya yang segera ngacir ke kamar mandi.
Papa sangat disiplin. Sangat-sangat disiplin sehingga tidak mau mendengar anak-anaknya bangun pas saat subuh, melainkan harus setengah jam sebelumnya.
Oleh karena itu, mengetahui bahwa Laila sudah terbiasa bangun sekitar pukul tiga, papa mertuanya sangat bangga. Timbullah keinginan untuk benar-benar menjadikannya menantu pertama.
“Hehehe!” Laila yang masih mengenakan mukena hanya terkekeh. Senang melihat tuan mudanya begitu patuh dan bertingkah lucu pagi-pagi begini.
Nathan sempat menunaikan sholat witir, ibadah sunnah yang kuat dan tidak boleh ditinggalkan kata papanya. Semua petuah papa adalah jalan hidupnya selama ini… kecuali hubungan gelap yang menjadi rahasianya.
“Mau ke masjid?” Tanya Laila ketika melihat suaminya itu menyemprotkan parfum di depan lemari kaca dekat pintu.
Nathan mengiyakan dengan cepat, lalu membuka pintu dan menghilang.
Pagi beranjak dengan cepat diikuti kegiatan Laila yang menyiapkan sarapan Nathan, meski ada staf di dapur, hingga membawakan sarapan untuk nenek. Ia sempat salim dan menerima kecupan di dahi sebelum Nathan berangkat, lalu ia naik ke lantai atas.
“Oh, kamu datang juga,” Bu Enni sudah berdiri di depan pintu kamar nenek. Lalu, seolah hanya menunggu Laila muncul, ia berbalik badan dan masuk.
Laila sempat termenung melihat rekan barunya itu yang tiba-tiba bersikap cuek dan kurang ramah. Namun, ia diam saja sambil ikut masuk ke kamar.
Di sana, nenek sudah duduk bersandar pada tumpukan bantal untuk menopang tubuhnya, kemudian menerima nampan sarapan dengan suka cita. Tampaknya pernikahan sang cucu dengan Laila membawa perubahan besar kepadanya.
“Nenek nanti mau olahraga di bawah, boleh, ya?” Kata nenek yang seperti meminta izin kepada Laila di sampingnya.
“Wah, olahraga…?” Laila menggaruk keningnya. “Tumben banget nenek minta olahraga, tapi okelah. Nanti aku sama suster Enni bantu pakai kursi roda ya, nek.”
Nenek sudah tepuk tangan kegirangan. Pasalnya, sudah hampir sebulan beliau rebahan di ranjang sejak kondisinya drop beberapa waktu lalu. Meski ruangan ini mendapatkan cahaya yang cukup, nenek tetap ingin menikmati suasana di luar.
“Neng,” nenek menyenggol lengan Laila yang sedang memegang mangkuk bubur. “Gimana malam pertamanya dengan Nathan..?”
Sontak saja Laila mematung dengan wajah memerah malu. Senyumnya tertahan di bibir yang perlahan dikulum, apalagi suster Enni mendengarnya dengan jelas di antara mereka.
“Y-ya..” Laila bergumam samar-samar, wajahnya masih menunduk memandangi bubur yang sedang diaduk pelan.
“Sudah sini, saya saja, mbak..” Suster Enni tiba-tiba berusaha mengambil alih mangkuk itu, dari gelagatnya seakan tidak suka dengan ekspresi Laila barusan. Tapi, hanya Laila yang dapat merasakannya.
Laila menyerahkan tugas itu, lalu membereskan yang lain sambil memikirkan sesuatu tentang suster baru ini. Ada yang tidak beres…
Laila selesai melipat selimut dan meletakkannya dengan rapi di lemari pendek dekat ranjang nenek.Sementara ekor matanya menangkap perhatian nenek kepadanya, seolah tidak ingin lepas dan menanti jawabannya atas pertanyaan awkward barusan. Laila tidak tahan, jadi ia izin untuk ke dapur mengambil sesuatu.“Bawain nenek kue, ya?” Nenek memohon.“Kan, manis, nek..” Laila hendak menggeleng, tapi di satu sisi wajah memelas nenek membuatnya tidak tega. “Ya sudah, nanti aku cari cemilan lain yang rendah gula, oke? Aku ke dapur dulu, ya.”Nenek mengalami stroke dan diabetes sejak lama, mungkin sudah belasan tahun, tapi semakin hari kondisinya semakin me
Laila mengantarkan Nathan menuruni tangga sambil merapikan posisi dasi yang menggantung di kerah biru itu. “Aduh, aku gak sempat sarapan, yang.” Nathan melengos melewati ruang makan. “Mana sepatuku?” Ia celingukan di ruang tamu sampai Laila membawakan sepasang sepatu hitam favoritnya. “Ini, seenggaknya kamu harus minum susu.” Laila menyodorkan segelas susu langsung ke mulut Nathan. “Biar gak kelaparan. Kamu belum makan apa-apa lho, biasanya gak ada waktu buat sarapan di sana, kan.” Nathan yang sedang mengenakan sepatu sambil meneguk susu yang diberikan Laila, melirik wajah istrinya itu dari bibir gelas. “Kamu udah kayak mama aja,” komentarnya pelan, namun ia tetap menghabiskan susu itu. “Udah, makasih. Aku berangkat, ya.”
“Sarapan sedikit lah, sayang..” Laila memohon. “Suapin,” Nathan meminta dengan manja, sambil mengenakan sepatunya. Lima menit, kegiatan pagi yang romantis itu berjalan singkat dan mengesankan bagi Laila yang tersenyum-senyum dengan wajah merona. Dipandanginya wajah tampan Nathan yang dihiasi hidung yang tinggi dan sorot mata yang dalam. Mimpi apa dia bisa menyuapi tuan mudanya yang kini telah menjadi suaminya? Ah, senangnya! Usai Nathan berangkat, seperti biasa Laila menuju kamar nenek dimana suster Enni sedang menyuapi sarapan. Biasanya itu adalah kegiatan Laila di pagi hari, tapi kini ia juga harus mengurusi bayi besarnya si cucu nenek. “Nenek,” Laila menyapa dengan wajah riang.
Nathan terbangun keesokan paginya dalam keadaan cemas karena ponselnya, yang menurut Namira, terlempar ke sudut kamar dan retak. “Masa sih, kamu gak sadar?” Namira duduk di ranjang sambil mengerjapkan mata. “Aku aja sampai kebangun lho, saking kencangnya suara itu.. Tapi, aku gak tahu suara apa itu semalam, yang.” Nathan tidak menjawab, tangannya sibuk menekan tombol di sisi ponsel yang untungnya masih dapat menyala. “Hufft…” Ia menghela nafas yang baru semenit merasa lega, sudah kembali dibuat terkejut oleh kabar dari pesan-pesan yang bermunculan di layar. Laila masuk rumah sakit. Mama yang mengabarkannya secara beruntun, meminta agar Nathan menjeda pekerjaan untuk menemani istrinya itu sekarang. Ada pesan di bawahnya dari Laila, sejak siang kemarin.
“Lho, sejak kapan mas datang?” Suara lembut dan lemah dari Laila membangunkan Nathan yang meringkuk di sofa.Ini masih sore. Nathan sebenarnya punya janji dengan seorang kolega lama, teman papanya, tapi ia menyempatkan waktu untuk menemani hingga Laila siuman. Setidaknya untuk memastikan kondisi istrinya baik-baik saja.“Huaahhmm…” Nathan menggeliat, merentangkan tangannya yang jenjang dan besar ke depan, lalu menoleh untuk menatap Laila di ranjang.Mereka berdua sama-sama tersenyum. Nathan dengan rasa bersalah yang ditunjukkannya, meski ia tidak akan mengatakan yang sejujurnya, dan Laila yang meminta dia untuk menghampirinya.Kamar ini menjadi hening tanpa suara obrolan kecil seperti sebelumnya. Ibu sedang di toilet, dan mama sudah kembali
Setelah seminggu dirawat, Laila diperbolehkan pulang dalam kondisi gejala yang telah membaik.“Alhamdulillah, udah gak apa-apa, ma.” Jawab Laila kepada mama mertua setibanya di rumah. Ia berjalan pelan ke kamar digandeng mama, dan diam-diam ia meliriknya dengan rasa bersalah dan dilema.Mama mertua adalah orang yang sangat baik kepadanya, terlepas ia hanyalah perawat sebagaimana para staf lain di rumah ini. Tapi, mama dengan baik hati menerimanya sebagai menantu dan rela direpotkan saat ia sakit.Ah, Laila tidak tega jika mengecewakan mama mertuanya. Tapi, di sisi lain ia juga tidak bisa menahan rasa sakit di dalam dirinya lebih lama lagi, entah bagaimana cara ia melepaskannya.Blam.Laila mendengar suara pi
“Oh ya, nenek dengan siapa di kamar, sus?” Tanya Laila secara spontan kepada suster Enni yang berdiam diri di meja makan, meski suster itu tidak ikut duduk.“Justru saya menunggumu,” jawab suster Enni tanpa basa-basi, suaranya pelan pertanda ia tidak ingin Nathan yang sedang menuangkan minum mendengarnya dengan jelas.Laila tidak bergeming. Tatapannya keheranan karena ia tahu bahwa nenek sedang sendirian di kamar sekarang. Siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu??“Sebaiknya kamu segera selesaikan sarapan, terus bantu saya mengurus rutinitas pagi nenek seperti biasa.” Ujar suster Enni sambil mengaduk bubur di meja berbeda.Laila terhenyak. Memang dia adalah perawat nenek juga, tetapi gaya bicara suster Enni seolah
Tiga hari yang lalu…“Mas, aku telat,” Namira memberitahunya saat Nathan sedang dalam perjalanan kembali ke kantor dari rumah sakit.“Telat apa? Sudah kubilang jangan sampai telat makan…” ujar Nathan dengan sedikit seringai, berharap bahwa situasi ini bukanlah yang ia takutkan.“Aku telat mens!”Begitu mendengar kepanikan dari suara Namira, Nathan melipirkan mobilnya. Mereka berbicara sebentar sembari Nathan berusaha menenangkan Namira bahwa itu hanya telat, tapi bukan berarti dia hamil.Tapi, sekarang semuanya menjadi jelas. Namira benar-benar hamil, setelah mereka bermain beberapa kali setiap kali kunjungan Nathan ke apartemennya, tidak termasuk saat menjenguknya kemar
“Dimana lagi kamu bisa dapat wanita seperti dia?”Tiba-tiba omelan mama menggema ke seisi kamar rawat. Di hadapannya, Nathan duduk terdiam dan wajahnya berubah kaku.Untuk kedua kalinya, mama masuk rumah sakit dalam keadaan setengah sadar karena gulanya naik.Kali ini, mama seperti menyesali apa yang telah terjadi dalam pernikahan putranya yang kandas. Mama yang awalnya hanya diam tak berani berpendapat, kini mulai intens memojokkan Nathan atas keputusannya tersebut.“Ma,” Nathan berusaha menjelaskan secara perlahan. Sementara kedua adiknya di sofa menoleh. “Sekarang aku udah nikah sama Namira, ma.”“Ceraikan dia, rujuk kembali sama Indah. Mama gak mau tahu.”
Klep!Nathan menutup pintu mobil. Ditatapnya bangunan rumah sakit di pinggiran daerah yang sepi itu, sebelum dia melangkah masuk.Tujuannya adalah untuk bertemu dengan dokter yang menangani Laila.Nathan mengenal dokter itu sebagaimana dia juga mengenal dokter Reza. Tapi, siapa di negeri ini yang tidak mengenalnya?Bahkan rahasia tentang kehamilan Namira mulai tercium di tengah masyarakat.Papa, melalui asistennya, meminta klarifikasi dari Nathan terkait hal itu.“Pasalnya, mas,” kata asisten itu sambil mengimbangi jalan Nathan yang cepat di lorong kantor siang tadi. “Kehamilan istri Anda diduga lebih dulu sebelum pernikahan Anda.”
“Mas kenapa bengong dari tadi?”Pertanyaan Namira itu menggantung di antara ruang yang sempit dengan suaminya, Nathan, yang duduk di depan.Nathan tidak seperti biasanya yang antusias setiap kali memeriksa bayi mereka ke dokter kandungan, hari ini dia lebih diam dan tidak banyak menunjukkan raut senang. Kesan dingin justru tampak di wajahnya.Seperti sekarang, Nathan bahkan tidak menjawabnya. Namira hanya menghela nafas panjang, lalu mengalihkan tatapan ke jalanan yang lengang.“Karena mama, ya?” Tanya Namira yang kali ini mendapat reaksi tolehan kepala Nathan yang sedikit ke belakang. “Sudah aku duga, ngapain dipikirin sih, mas… nanti mama juga bakal nerima bayi kita!”
Tap. Tap. Laila melewati banyak pasang kaki di lobi, ketika kepalanya terus tertunduk hingga dia mencapai pintu otomatis.Ketakutan akan bertemu dengan Nathan secara tidak sengaja membuatnya hampir menabrak beberapa orang, kemudian meminta maaf, dan berjalan lebih cepat.“Dok,” Laila mengangkat ponsel ke telinganya saat berbicara di telepon. “Mungkin saya akan sedikit terlambat…”Matanya menatap indahnya taman kehijauan rumah sakit yang berada di pinggiran kota itu, sangat asri dan terlalu nyaman untuk langsung ditinggal pergi. Jadi, dia memutuskan untuk duduk-duduk sebentar menikmati suasana ini.“Ya, gak apa-apa, Laila,” dokter Reza menjawab santai dengan nada lembut.
Laila mengerjap begitu lama pada gelas kopi di hadapannya, seolah kehadiran Rizky di seberang sana terlalu jauh ditatap.Tidak lama, helaan nafasnya terdengar. Lalu kecapan lidahnya, sebelum menaikkan wajah yang kecewa dan penuh pemikiran kepada Rizky, dia berkata perlahan, “maaf, kalau itu yang kamu rasakan, tapi sejujurnya aku gak merasakan apapun dari pertemanan kita.”Suaranya sedikit ditekankan pada kata ‘pertemanan’ seolah ingin mengusir rasa yang seharusnya tidak ada dalam hubungan mereka.Namun, bagaimanapun, kata Sahila ketika Laila curhat kepadanya malam itu soal pengakuan Rizky, “gak ada pertemanan di antara pria dan wanita, terlebih lagi ketika mereka semakin dewasa dan membutuhkan pendamping hidup. Kamu tahu maksudku.”
Ting! Tong!Suara bel dari pintu menyentak tidur siang Laila yang menghadap ke jendela. Angin mengalir lembut di kota dengan cuaca sejuk ini.Siapa? Pikirnya.Laila terbangun sambil duduk lemas menatap ke arah pintu. Dia menghela nafas panjang, kemudian meraih hijab di gantungan terdekat dan melihat melalui interkom.“Rizky?” Gumamnya terkejut.Wajah pria berkulit sawo matang yang maskulin dan mengenakan topi itu terpampang di layar.Laila ragu untuk membuka pintu di tangannya, jadi dia menunggu sambil bersandar selama beberapa lama.Ting! Tong!Suara bel terdengar l
“Saya gak nyangka ketemu kamu, Laila.” Ujar dokter Reza setibanya mereka di stasiun kota lain, lalu turun bersama.Laila menatap sepatunya saat mereka berjalan bersama-sama sambil menarik koper masing-masing. Dokter Reza hendak membantunya, namun Laila menolak halus bahwa dia bisa sendiri sampai mereka tiba di taksi.“Jadi.. kita satu arah?” Tanya dokter Reza ingin memastikan, setelah tahu bahwa Laila akan menuju daerah yang sama dengannya.“Ya,” Laila menaikkan bahu. Sedikit enggan untuk mengakuinya karena segan untuk bersama sang dokter dalam perjalanan ke sana.“Ok. Gak apa-apa, ikut saja denganku.” Dokter Reza mengajaknya secara spontan, meski caranya tenang dan lembut. “Taksiku sudah datang.”
Lima belas tahun yang lalu. “Aku tidak pernah menyukaimu, Laila! Tidak sedikitpun!” Teriakan seorang anak laki-laki di lorong sekolah itu menggema begitu keras sampai-sampai membuat Laila malu dan hampir menangis. Demikian pula hari ini. Laila mencengkram selimutnya seolah hanya itu pegangan terakhir dalam hidupnya di depan Nathan yang semakin mendekat. Blam. Pintu telah ditutup. Ibu terbangun dan terkejut sambil duduk, kemudian terperangah ke arah Nathan dan berganti ke arah Laila. “Mas Nathan..?” Bisiknya dengan nafas tersendat, ada rasa marah dan juga kecewa di hatinya.
“Kamu gak nawarin aku makan?”Pertanyaan penuh kekesalan itu terlontar dari Nathan setibanya di apartemen Namira, sebidang bagian di lantai tujuh yang merupakan pemberiannya.“Apa sih, mas?” Namira yang sedang leyeh-leyeh merasa terusik. Baru kali ini dia mulai terusik atas kehadiran kekasihnya itu, yang padahal dulu ingin dia rebut waktunya sepenuhnya.“Kamu sendiri emang gak lapar?” Tanya Nathan lagi, kali ini lebih lembut. Dia duduk dengan posisi lelah, memiringkan kepala ke arah Namira yang bahkan enggan menatapnya tanpa alasan.“Nggak,” Namira menjawab sambil mengalihkan pandangannya lebih jauh.Namun, bagi Nathan itu adalah tuntutan wanita hamil yang minta dime