“Aku sudah gak lapar, Mas.” Jawab Laila saat Nathan mengenakan jam tangan kembali setelah dari toilet.
Nathan, meski mengenakan jam, tetap melirik jam dinding di hadapannya. Ini sudah jam setengah tiga menjelang sore, wajar saja Laila ngambek seperti itu meski tidak memperjelasnya di depan Nathan.
“Maaf ya, yang… jadwalku padat banget.” Nathan meraih pinggang wanita itu dari belakang dan memeluknya sambil mencuri-curi perhatian dengan menempel pipi mereka.
Ah, ini Laila, bukan Namira. Tapi, kenapa ia merasakan rasa sayang yang sama? Haha, ini lucu baginya. Seolah cinta itu tiba-tiba muncul setelah ia mengucapkan akad, dan tidak peduli apa yang diperbuatnya di luar dengan wanita lain, ia tetap menginginkan Laila.
“Kamu beneran gak lapar?” Nathan bertanya di telinga istrinya itu, tanpa memerhatikan wajah yang sayu menahan tanda tanya usai mencium aroma yang asing di tubuhnya. “Aku lapar, yang. Atau mau pesan makanan saja?”
Laila hanya mengangguk. Ia sebenarnya kelaparan berat, sampai-sampai ia mengulik kopernya yang menyisakan snack sebagai pengisi perut.
Tapi, beberapa yang lalu ia telah kehilangan selera sama sekali. Prasangka yang muncul di hatinya membuat ia urung bersikap ceria seperti sebelumnya, ia lebih banyak diam sambil berpura-pura menikmati pemandangan di jendela.
Ini sebuah jendela yang sangat lebar, sehingga seluruh kota tampak jelas seperti ia menyatu dengan kehidupan yang sibuk di gedung-gedung yang mengitari hotel ini.
Sibuk, ya. Ia juga pernah sibuk waktu menempuh pendidikan keperawatan, tapi sejak menemani nenek di kediaman keluarga Hakeem, semuanya kembali tenang.
Saking tenangnya, ia sempat kewalahan saat kondisi nenek drop. Sementara teman-temannya yang bekerja di rumah sakit, yang pernah berkomentar iri kepadanya, menjalani pekerjaan yang sibuk dan bergengsi.
Laila merupakan mahasiswi yang berprestasi saat di kampus, jadi tentu saja di dalam hatinya ia ingin melanjutkan kuliah dan mungkin di bidang yang berbeda.
Tapi.. di satu sisi, ia benar-benar diharapkan menjadi perawat nenek sejak awal ia diberikan beasiswa di kampus.
“Yang?” Suara Nathan menyentak lamunan Laila yang semakin jauh. “Ayo makan.”
Ternyata makanan sudah datang, Nathan yang menerimanya saat Laila tenggelam dalam pemikiran untuk mengalihkan perhatiannya dari wewangian barusan. Laila hanya tersenyum, sejenak ia mengambil nafas panjang, lalu berpindah ke meja makan.
“Kamu kelihatan pucat?” Nathan memajukan dirinya di seberang Laila, mengamati wajah yang masih sayu itu tanpa berpikiran apapun selain… “apakah semalam aku terlalu liar? Maaf, ya. Hehehe.”
Terlalu liar. Laila memandangi wajah tampan suaminya itu, seorang atasan yang sangat didambanya di atas ranjang, dan tanpa sadar ia menganggukkan kepala.
“Yah, gapapa…” gumamnya pelan.
“Cobain deh, irisan domba panggang ini enak banget.” Nathan memulai percakapan seraya memindahkan sesuap ke piring Laila. “Kamu harus makan daging-dagingan, supaya gak pucat lagi dan…”
Laila menunggu. Kedua tangannya siap di atas piring sambil memegang potongan steaknya.
“Kita bisa punya anak cowok.” Ujar pria itu dengan suara yang lebih dalam, tidak kalah dengan tatapannya yang menyorot ke mata Laila.
Laila mengerjap-ngerjap, diam-diam ia menarik nafas ketika teringat kejadian semalam.
Secara tidak sadar, ia sempat mengucapkan dengan lirih di telinga Nathan bahwa ia menginginkan anak laki-laki… Argh! Ini memalukan sekali, ia meletakkan garpu dan menutup wajahnya.
“Hahahah,” Nathan melepaskan tawanya, merasa lega karena istrinya itu mulai cair dan tidak ngambek lagi. “Kamu malu? Kenapa malu? Kan, sama suami sendiri.”
Laila lanjut makan sambil menahan sunggingan senyum, tapi ia tidak dapat mengontrol rona merah yang sudah menguasai wajahnya. Apakah itu berarti ia tidak perlu memikirkan hal lain, karena suaminya jelas-jelas hanya memikirkan dia.
“Mas,” Laila mulai menyambut obrolan, selain untuk menutupi rasa malunya. “Kapan kita akan kembali ke rumah…? Apakah nenek baik-baik saja…?”
Nathan yang sedang menghabiskan makan siang menaikkan tatapannya. “Oh, iya. Nenek senang sekali dengan pernikahan kita, katanya kalau bisa kita menemuinya sebelum pergi bulan madu.”
Laila lagi-lagi tersenyum. Bulan madu. Itu momen yang bahkan tidak sempat ia pikirkan karena memaklumi jadwal Nathan yang sibuk dan jadwal Laila sendiri yang harus kembali merawat nenek.
“Terus, apa ada perawat pengganti untuk nenek sampai kita bulan madu?” Tanya Laila yang ingin memastikan. Bagaimanapun, nenek adalah prioritasnya.
“Ya,” Nathan mengangguk cepat. Ia mengelap bibirnya dengan serbet, lalu membuka ponsel yang bergetar di atas meja.
Sementara Laila kembali meneruskan makan secara perlahan, Nathan meliriknya dengan sebuah pemikiran.
Nathan sadar bahwa niat awalnya menikahi Laila hanyalah untuk membuat nenek dan orang tuanya senang. Jika bukan karena ‘tekanan’ dari mereka, Nathan pasti memilih untuk tidak mendua seperti ini.
Tapi, ya sudahlah. Akad sudah terjadi, nasi sudah tercerna di dalam perutnya sebagaimana makan siang ini.
Di ponselnya, asisten kepercayaannya mengabari bahwa Namira sudah kembali ke apartemen dan menjalani harinya seperti semula. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nathan tersenyum lega, lalu berdiri dari kursi makan.
Tatapan Laila mengikutinya dan bertanya apa ia sudah selesai makan.
“Santai saja, selesaikan makanmu.” Nathan menjawab dengan wajah tenang, “aku akan menunggu.”
Ketika Nathan duduk di ruang tengah seperti Laila tadi sambil menikmati pemandangan sore ini, Laila meliriknya dengan pertanyaan yang sama. Apa yang sedang dipikirkan pria itu? Apakah mungkin… tentang sosok wanita lain yang meninggalkan aroma di lehernya?
Laila mulai tidak selera lagi. Ia memaksakan diri menelan potongan demi potongan daging yang terasa seperti batu yang akan mengganjal kecemasan di hatinya.
Ah, kenapa ia plin-plan sekali??
Padahal semenit lalu ia baru saja berpikir bahwa Nathan hanya menginginkannya, apalagi mereka merupakan pengantin baru. Tapi, sekarang melihat Nathan yang memikirkan dunianya sendiri membuat Laila kembali ke prasangka awal…
Bahwa Nathan, kemungkinan terburuk yang Laila tidak bisa tepis, masih menjalin hubungan dengan kekasihnya di luar kota.
“Uhuk!”
Laila tersentak dan nyaris memuntahkan makanan dari tenggorokannya saat terbatuk. Ia mengambil gelas air putih untuk menyelesaikan makan siangnya yang hambar itu. Ya, Nathan memang menggodanya tadi, tapi entah kenapa pria itu tetap terasa jauh darinya.
Seperti sudah kebiasaan, Laila membereskan bekas makan mereka dan mencucinya di wastafel, lalu mengeringkannya sebelum menghampiri Nathan di sofa.
Laila berjalan kikuk, berdiri tidak jauh dari Nathan sambil berusaha mengambil perhatian dari ponselnya.
“Mas?” Ia menegur pelan. Senyumnya yang tulus dan kalem meluluhkan hati Nathan untuk menyimpan ponsel dan menepuk-nepuk sofa di sisinya.
Laila menghampiri, kemudian melipat bagian bawah gaun panjangnya dan duduk di pelukan Nathan. Ia sengaja menolehkan kepala ke bagian lain daripada ke leher jenjang suaminya, menghindari bau yang memuakkan itu.
“Mau balik kapan terserah kamu, yang.” Ucap Nathan tanpa keberatan sama sekali. “Aku bisa menyuruh perawat pengganti untuk berjaga lebih lama, sampai kita pulang dari bulan madu. Tapi, nenek…”
Mendengar nama nenek, Laila spontan menaikkan tatapan ke wajah Nathan. Ia mengerti tugasnya dan juga kekhawatiran Nathan soal neneknya.
“Gak apa-apa, gak usah pergi jauh-jauh.. Keliling kota sama kamu saja aku sudah senang, Mas.” Ungkap Laila.
Nathan membalas tatapan yang bersahaja itu dengan tidak percaya, hati kecilnya ikut mencelos mendengar keinginan sederhana dari istrinya. Selama ia mengenal wanita, tidak ada satupun yang membuatnya terpesona seperti ini..
Ah, inilah kelebihan Laila dibandingkan wanita di luar sana. Tapi, Namira juga memiliki pesona sendiri yang membuat Nathan tidak bisa lepas dari jerat perasaannya.
“Serius?” Nathan menjawab sambil menahan tawa. “Kamu gak ngambek lagi kan, sayang? Kalau gitu, aku janji bakal ajak kamu ke tempat-tempat legendaris di kota ini yang mungkin belum pernah kamu kunjungi.”
Laila mengangguk antusias.
Apalagi saat Nathan menyingkap helaian rambut di wajahnya, memperlihatkan mata yang berbinar-binar lembut, dan menurunkan tatapan ke hidung serta bibirnya yang menyungging senyum kecil.
“Kamu manis banget sih, sayang.” Gumam Nathan yang terdengar jelas.
Selama bermenit-menit selanjutnya mereka terlibat dalam perang yang panas, antara bibir dan lidah disertai suara-suara dari pertukaran saliva keduanya. Nathan semakin menarik tengkuk Laila untuk meredam suara ciumannya.
Baik Nathan maupun Laila sudah mengesampingkan pemikiran apapun. Terutama tentang wanita lain yang berada di tengah-tengah hubungan mereka, wanita yang Nathan tahu persis dan yang hanya dugaan Laila; itu adalah orang yang sama.
Tapi, siapa peduli? Nathan memindahkan Laila ke atas pangkuannya, mendongak seperti merebahkan kepalanya ke sofa dan menikmati sentuhan yang diberikan istrinya.
Laila, di sisi lain, tahu apa yang harus dilakukannya. Posisi Nathan sebagai atasannya membantu dia untuk bersikap sebagai pemberi servis, tanpa malu-malu lagi tangannya meraba ke belakang tengkuk pria itu untuk mengusapnya dengan lembut.
Nathan masih memejamkan matanya saat Laila, dengan satu tangan lainnya, meraba dada yang bidang hasil dari gym selama bertahun-tahun itu.
Nathan lumayan tersentak karena tidak menyangka jika Laila memiliki keahlian yang mungkin tidak ia duga-duga. Laila sudah memindahkan sentuhannya semakin ke bawah, berikut kecupan-kecupan di wajah dan dada di balik kemeja Nathan.
“Akh.” Nathan segera membuka kancing atas dan membiarkan Laila menjelajah lebih dalam dari dirinya.
“Mas,” Laila sempat terhenti.
Rupanya karena beberapa tanda merah di sana, yang kemudian Nathan jawab bahwa itu hasil perbuatannya semalam.
Sejenak ia dibuat lupa akan apa yang Namira lakukan padanya beberapa jam yang lalu, ia kembali melemparkan kepalanya ke belakang saat Laila melanjutkan aksinya. Laila kembali ke wajah pria itu, seolah tidak ingin melewatkan satu spot-pun di sana.
Jari jemarinya yang ramping bermain di belakang telinga Nathan, terkadang masuk ke lubang telinga itu dan tersenyum melihat reaksi suaminya yang mendesah pasrah.
Laila sendiri merasa puas karena apa yang telah dipelajarinya benar-benar berguna. Titik-titik sensitif pria, seperti tengkuk, telinga, dada.. Semuanya benar sesuai apa yang ia lakukan.
Lihat saja Nathan yang tidak bergeming, seolah kehilangan kekuasaannya atas Laila yang sedang berada di atasnya. Sebagai seorang pemimpin di perusahaan dan pemimpin bagi adik-adiknya, Nathan benar-benar dilucuti oleh wanita satu ini.
Wanita yang mampu membuatnya melupakan kekasih gelapnya… meski hanya sesaat.
“Sudah, mas?” Laila menoleh ke belakang, langkahnya terhenti di ambang pintu kamar sambil menyeret koper.Nathan dengan sigap mengambil alih koper dari tangan istrinya itu, lalu bilang untuk jalan duluan. Mereka akan pulang malam ini, lalu sesuai kesepakatan untuk kembali ke pekerjaan masing-masing dan berencana jalan-jalan di akhir pekan.Sungguh simpel sekali hidupnya Laila, dan mudah dibuat senang. Nathan jadi lega karena ia tidak harus mengatur ulang jadwalnya, kemudian ia merangkul Laila dan mereka berjalan menyusuri lorong yang sepi.“Kenapa?” Tanya Laila yang melirik senyuman di wajah Nathan.“Hm? Nggak,” Nathan bergumam singkat. Pikirannya masih saja berputar-putar dibuai sentuhan istrinya sebelum mereka keluar kamar.
Laila selesai melipat selimut dan meletakkannya dengan rapi di lemari pendek dekat ranjang nenek.Sementara ekor matanya menangkap perhatian nenek kepadanya, seolah tidak ingin lepas dan menanti jawabannya atas pertanyaan awkward barusan. Laila tidak tahan, jadi ia izin untuk ke dapur mengambil sesuatu.“Bawain nenek kue, ya?” Nenek memohon.“Kan, manis, nek..” Laila hendak menggeleng, tapi di satu sisi wajah memelas nenek membuatnya tidak tega. “Ya sudah, nanti aku cari cemilan lain yang rendah gula, oke? Aku ke dapur dulu, ya.”Nenek mengalami stroke dan diabetes sejak lama, mungkin sudah belasan tahun, tapi semakin hari kondisinya semakin me
Laila mengantarkan Nathan menuruni tangga sambil merapikan posisi dasi yang menggantung di kerah biru itu. “Aduh, aku gak sempat sarapan, yang.” Nathan melengos melewati ruang makan. “Mana sepatuku?” Ia celingukan di ruang tamu sampai Laila membawakan sepasang sepatu hitam favoritnya. “Ini, seenggaknya kamu harus minum susu.” Laila menyodorkan segelas susu langsung ke mulut Nathan. “Biar gak kelaparan. Kamu belum makan apa-apa lho, biasanya gak ada waktu buat sarapan di sana, kan.” Nathan yang sedang mengenakan sepatu sambil meneguk susu yang diberikan Laila, melirik wajah istrinya itu dari bibir gelas. “Kamu udah kayak mama aja,” komentarnya pelan, namun ia tetap menghabiskan susu itu. “Udah, makasih. Aku berangkat, ya.”
“Sarapan sedikit lah, sayang..” Laila memohon. “Suapin,” Nathan meminta dengan manja, sambil mengenakan sepatunya. Lima menit, kegiatan pagi yang romantis itu berjalan singkat dan mengesankan bagi Laila yang tersenyum-senyum dengan wajah merona. Dipandanginya wajah tampan Nathan yang dihiasi hidung yang tinggi dan sorot mata yang dalam. Mimpi apa dia bisa menyuapi tuan mudanya yang kini telah menjadi suaminya? Ah, senangnya! Usai Nathan berangkat, seperti biasa Laila menuju kamar nenek dimana suster Enni sedang menyuapi sarapan. Biasanya itu adalah kegiatan Laila di pagi hari, tapi kini ia juga harus mengurusi bayi besarnya si cucu nenek. “Nenek,” Laila menyapa dengan wajah riang.
Nathan terbangun keesokan paginya dalam keadaan cemas karena ponselnya, yang menurut Namira, terlempar ke sudut kamar dan retak. “Masa sih, kamu gak sadar?” Namira duduk di ranjang sambil mengerjapkan mata. “Aku aja sampai kebangun lho, saking kencangnya suara itu.. Tapi, aku gak tahu suara apa itu semalam, yang.” Nathan tidak menjawab, tangannya sibuk menekan tombol di sisi ponsel yang untungnya masih dapat menyala. “Hufft…” Ia menghela nafas yang baru semenit merasa lega, sudah kembali dibuat terkejut oleh kabar dari pesan-pesan yang bermunculan di layar. Laila masuk rumah sakit. Mama yang mengabarkannya secara beruntun, meminta agar Nathan menjeda pekerjaan untuk menemani istrinya itu sekarang. Ada pesan di bawahnya dari Laila, sejak siang kemarin.
“Lho, sejak kapan mas datang?” Suara lembut dan lemah dari Laila membangunkan Nathan yang meringkuk di sofa.Ini masih sore. Nathan sebenarnya punya janji dengan seorang kolega lama, teman papanya, tapi ia menyempatkan waktu untuk menemani hingga Laila siuman. Setidaknya untuk memastikan kondisi istrinya baik-baik saja.“Huaahhmm…” Nathan menggeliat, merentangkan tangannya yang jenjang dan besar ke depan, lalu menoleh untuk menatap Laila di ranjang.Mereka berdua sama-sama tersenyum. Nathan dengan rasa bersalah yang ditunjukkannya, meski ia tidak akan mengatakan yang sejujurnya, dan Laila yang meminta dia untuk menghampirinya.Kamar ini menjadi hening tanpa suara obrolan kecil seperti sebelumnya. Ibu sedang di toilet, dan mama sudah kembali
Setelah seminggu dirawat, Laila diperbolehkan pulang dalam kondisi gejala yang telah membaik.“Alhamdulillah, udah gak apa-apa, ma.” Jawab Laila kepada mama mertua setibanya di rumah. Ia berjalan pelan ke kamar digandeng mama, dan diam-diam ia meliriknya dengan rasa bersalah dan dilema.Mama mertua adalah orang yang sangat baik kepadanya, terlepas ia hanyalah perawat sebagaimana para staf lain di rumah ini. Tapi, mama dengan baik hati menerimanya sebagai menantu dan rela direpotkan saat ia sakit.Ah, Laila tidak tega jika mengecewakan mama mertuanya. Tapi, di sisi lain ia juga tidak bisa menahan rasa sakit di dalam dirinya lebih lama lagi, entah bagaimana cara ia melepaskannya.Blam.Laila mendengar suara pi
“Oh ya, nenek dengan siapa di kamar, sus?” Tanya Laila secara spontan kepada suster Enni yang berdiam diri di meja makan, meski suster itu tidak ikut duduk.“Justru saya menunggumu,” jawab suster Enni tanpa basa-basi, suaranya pelan pertanda ia tidak ingin Nathan yang sedang menuangkan minum mendengarnya dengan jelas.Laila tidak bergeming. Tatapannya keheranan karena ia tahu bahwa nenek sedang sendirian di kamar sekarang. Siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu??“Sebaiknya kamu segera selesaikan sarapan, terus bantu saya mengurus rutinitas pagi nenek seperti biasa.” Ujar suster Enni sambil mengaduk bubur di meja berbeda.Laila terhenyak. Memang dia adalah perawat nenek juga, tetapi gaya bicara suster Enni seolah
“Dimana lagi kamu bisa dapat wanita seperti dia?”Tiba-tiba omelan mama menggema ke seisi kamar rawat. Di hadapannya, Nathan duduk terdiam dan wajahnya berubah kaku.Untuk kedua kalinya, mama masuk rumah sakit dalam keadaan setengah sadar karena gulanya naik.Kali ini, mama seperti menyesali apa yang telah terjadi dalam pernikahan putranya yang kandas. Mama yang awalnya hanya diam tak berani berpendapat, kini mulai intens memojokkan Nathan atas keputusannya tersebut.“Ma,” Nathan berusaha menjelaskan secara perlahan. Sementara kedua adiknya di sofa menoleh. “Sekarang aku udah nikah sama Namira, ma.”“Ceraikan dia, rujuk kembali sama Indah. Mama gak mau tahu.”
Klep!Nathan menutup pintu mobil. Ditatapnya bangunan rumah sakit di pinggiran daerah yang sepi itu, sebelum dia melangkah masuk.Tujuannya adalah untuk bertemu dengan dokter yang menangani Laila.Nathan mengenal dokter itu sebagaimana dia juga mengenal dokter Reza. Tapi, siapa di negeri ini yang tidak mengenalnya?Bahkan rahasia tentang kehamilan Namira mulai tercium di tengah masyarakat.Papa, melalui asistennya, meminta klarifikasi dari Nathan terkait hal itu.“Pasalnya, mas,” kata asisten itu sambil mengimbangi jalan Nathan yang cepat di lorong kantor siang tadi. “Kehamilan istri Anda diduga lebih dulu sebelum pernikahan Anda.”
“Mas kenapa bengong dari tadi?”Pertanyaan Namira itu menggantung di antara ruang yang sempit dengan suaminya, Nathan, yang duduk di depan.Nathan tidak seperti biasanya yang antusias setiap kali memeriksa bayi mereka ke dokter kandungan, hari ini dia lebih diam dan tidak banyak menunjukkan raut senang. Kesan dingin justru tampak di wajahnya.Seperti sekarang, Nathan bahkan tidak menjawabnya. Namira hanya menghela nafas panjang, lalu mengalihkan tatapan ke jalanan yang lengang.“Karena mama, ya?” Tanya Namira yang kali ini mendapat reaksi tolehan kepala Nathan yang sedikit ke belakang. “Sudah aku duga, ngapain dipikirin sih, mas… nanti mama juga bakal nerima bayi kita!”
Tap. Tap. Laila melewati banyak pasang kaki di lobi, ketika kepalanya terus tertunduk hingga dia mencapai pintu otomatis.Ketakutan akan bertemu dengan Nathan secara tidak sengaja membuatnya hampir menabrak beberapa orang, kemudian meminta maaf, dan berjalan lebih cepat.“Dok,” Laila mengangkat ponsel ke telinganya saat berbicara di telepon. “Mungkin saya akan sedikit terlambat…”Matanya menatap indahnya taman kehijauan rumah sakit yang berada di pinggiran kota itu, sangat asri dan terlalu nyaman untuk langsung ditinggal pergi. Jadi, dia memutuskan untuk duduk-duduk sebentar menikmati suasana ini.“Ya, gak apa-apa, Laila,” dokter Reza menjawab santai dengan nada lembut.
Laila mengerjap begitu lama pada gelas kopi di hadapannya, seolah kehadiran Rizky di seberang sana terlalu jauh ditatap.Tidak lama, helaan nafasnya terdengar. Lalu kecapan lidahnya, sebelum menaikkan wajah yang kecewa dan penuh pemikiran kepada Rizky, dia berkata perlahan, “maaf, kalau itu yang kamu rasakan, tapi sejujurnya aku gak merasakan apapun dari pertemanan kita.”Suaranya sedikit ditekankan pada kata ‘pertemanan’ seolah ingin mengusir rasa yang seharusnya tidak ada dalam hubungan mereka.Namun, bagaimanapun, kata Sahila ketika Laila curhat kepadanya malam itu soal pengakuan Rizky, “gak ada pertemanan di antara pria dan wanita, terlebih lagi ketika mereka semakin dewasa dan membutuhkan pendamping hidup. Kamu tahu maksudku.”
Ting! Tong!Suara bel dari pintu menyentak tidur siang Laila yang menghadap ke jendela. Angin mengalir lembut di kota dengan cuaca sejuk ini.Siapa? Pikirnya.Laila terbangun sambil duduk lemas menatap ke arah pintu. Dia menghela nafas panjang, kemudian meraih hijab di gantungan terdekat dan melihat melalui interkom.“Rizky?” Gumamnya terkejut.Wajah pria berkulit sawo matang yang maskulin dan mengenakan topi itu terpampang di layar.Laila ragu untuk membuka pintu di tangannya, jadi dia menunggu sambil bersandar selama beberapa lama.Ting! Tong!Suara bel terdengar l
“Saya gak nyangka ketemu kamu, Laila.” Ujar dokter Reza setibanya mereka di stasiun kota lain, lalu turun bersama.Laila menatap sepatunya saat mereka berjalan bersama-sama sambil menarik koper masing-masing. Dokter Reza hendak membantunya, namun Laila menolak halus bahwa dia bisa sendiri sampai mereka tiba di taksi.“Jadi.. kita satu arah?” Tanya dokter Reza ingin memastikan, setelah tahu bahwa Laila akan menuju daerah yang sama dengannya.“Ya,” Laila menaikkan bahu. Sedikit enggan untuk mengakuinya karena segan untuk bersama sang dokter dalam perjalanan ke sana.“Ok. Gak apa-apa, ikut saja denganku.” Dokter Reza mengajaknya secara spontan, meski caranya tenang dan lembut. “Taksiku sudah datang.”
Lima belas tahun yang lalu. “Aku tidak pernah menyukaimu, Laila! Tidak sedikitpun!” Teriakan seorang anak laki-laki di lorong sekolah itu menggema begitu keras sampai-sampai membuat Laila malu dan hampir menangis. Demikian pula hari ini. Laila mencengkram selimutnya seolah hanya itu pegangan terakhir dalam hidupnya di depan Nathan yang semakin mendekat. Blam. Pintu telah ditutup. Ibu terbangun dan terkejut sambil duduk, kemudian terperangah ke arah Nathan dan berganti ke arah Laila. “Mas Nathan..?” Bisiknya dengan nafas tersendat, ada rasa marah dan juga kecewa di hatinya.
“Kamu gak nawarin aku makan?”Pertanyaan penuh kekesalan itu terlontar dari Nathan setibanya di apartemen Namira, sebidang bagian di lantai tujuh yang merupakan pemberiannya.“Apa sih, mas?” Namira yang sedang leyeh-leyeh merasa terusik. Baru kali ini dia mulai terusik atas kehadiran kekasihnya itu, yang padahal dulu ingin dia rebut waktunya sepenuhnya.“Kamu sendiri emang gak lapar?” Tanya Nathan lagi, kali ini lebih lembut. Dia duduk dengan posisi lelah, memiringkan kepala ke arah Namira yang bahkan enggan menatapnya tanpa alasan.“Nggak,” Namira menjawab sambil mengalihkan pandangannya lebih jauh.Namun, bagi Nathan itu adalah tuntutan wanita hamil yang minta dime