Ardila pulang ke rumah, ia tidak lagi singgah ke rumah sakit. Juga tidak mau lagi mendengar omongan memuakkan ibu mertuanya. Saat membuka pintu, Ardila di sambut oleh Firman yang tersenyum cerah. “Tadi ke mana? Kata bibi Afifah kamu keluar gara-gara perkataan ibu,” seru Firman seraya mengikuti langkah Ardila. “Aku bingung sama ibu kamu Mas, aku ada salah apa sampai dia nggak sesuka itu sama aku,” adu Ardila dengan cemberut. “Maafin ibu ya, Dil. Ibu itu dulu ke pengin banget kerja kantoran, tapi nggak pernah kecapaian. Mungkin karena itu ibu sedikit gak suka sama kamu,” jelas Firman dengan lembut. Ardila menghela napas panjang, “Kamu tegur ibu ya, Mas. Aku masih mau ngehargain dia sebagai ibu kamu.” Firman mengangguk, “Sana mandi, habis itu kita makan malam bareng.” Setelah Firman keluar kamar, Ardila berlalu ke kamar mandi. Ia perlu merilekskan pikirannya yang bercabang. Saat tiba di meja makan, Ardila melihat Firman dan Sinta dengan bercengkrama. Sesekali bersenda g
Ketukan di balik pintu menyadarkan Ardila dari dunia kerjanya. Ia menatap asisten Ryan masuk setelah di izinkan. “Ini sudah jam makan siang, Bu, apa Bu Ardila nggak makan siang atau mau saya bawakan ke sini?” Ardila melirik arlojinya, ia benar-benar lupa waktunya. Perutnya juga sudah keroncongan, Ardila bangkit dari duduknya. “Temani saya makan di luar Asisten Ryan.” Ryan mengangguk, mengikuti Ardila dari belakang. “Baik, Bu.” Ardila menghentikan langkahnya, begitu pun Ryan ikut menghentikan langkahnya. Tanpa berbalik, Ardila berucap, “Ke sisi saya Asisten Ryan, bukan di belakang. Ini perintah!” Mendengar suara tegas dari atasannya, Ryan melangkahkan kaki ke sisi Ardila. Ryan mengendarai mobil Ardila juga karena perintah, ia sangat tidak bisa menolak perintah atasannya. Apapun yang di ucapkan, harus ia lakukan. Karena dulu Ardila menyelamatkan nyawa Ryan, ia sempat hampir mati tenggelam jika tidak ada Ardila yang menyelamatkannya, tidak ada Ryan yang sekarang. Ja
“Sudah kubilang, aku nggak ingin mengurusi orang lain. Lagi pula, kamu masih terlalu muda untuk membahas tentang pacaran.” Ningsih menatap Ardila kesal, “Nggak seharusnya kamu bicara begitu pada Rosa, apa jangan-jangan kamu ada sesuatu sama pria itu sehingga nggak mau membantu adik iparmu sendiri.” Ardila menghela napas jengah, “Aku sudah selesai, aku akan istirahat.” “Ardila! Nggak punya sopan santun kamu, ya! Orang tua lagi bicara malah di tinggal pergi!” teriak Ningsih marah. “Jangan-jangan benar lagi apa yang Ibu katakan, Mas,” timpal Sinta. “Bisa masuk rumah sakit terus kalau Ibu punya menantu seperti dia,” ucap Ningsih dengan geram. “Sabar ya, Bu, mendidik istri yang pembangkang memang harus ekstra sabar,” sahut Sinta seraya mendekati Ningsih, mengusap bahu ibu mertuanya mencari simpati. “Cuma kamu Sinta yang menjadi menantu kesayangan Ibu,” Sinta tersenyum lebar mendengar perkataan ibu mertuanya. Perhatian Ningsih beralih pada Firman yang sedari tadi diam, “Kamu ini gim
Perusahaan Loka ternyata di bawah pimpinan Arman Satyaloka, pantas saja Ardila merasa seperti tidak asing dengan namanya. Di sinilah mereka sekarang, di sebuah restoran untuk membahas kerja sama kedua perusahaan tersebut. Usai dengan pembahasan bisnis, para asisten mengundurkan diri. Menyisakan Ardila dan Arman untuk menikmati makan siangnya. “Aku baru tahu, kamu pemimpin perusahaannya,” seru Arman. “Kamu nggak berpikiran suamiku yang memimpinnya kan,” kekeh Ardila.“Tadinya, iya. Kupikir kamu menikahinya karena uang. Tapi ternyata kamu lebih kaya,” balas Arman. Ardila diam, pasti Arman tahu tentang hubungan rumah tangganya, tidak mungkin Naya diam saja. “Naya nggak mungkin, nggak cerita kan.” Arman mengangguk paham, “Bahagianya anak, bahagianya orang tua juga. Jadi, nggak harus bertahan untuk sebuah tulisan.” Tiba di kantor pun, Ardila masih memikirkan perkataan Arman. Ada benarnya, tapi Ardila sudah terlanjur tercebur ke kubang lumpur, mau tidak mau ia harus bertahan.Ketukan
“Nggak perlu ke rumah sakit, aku akan panggil dokter keluarga yang di percaya saja.” Firman setuju saja, yang penting Sinta di periksa oleh ahlinya. Berbeda dengan Ningsih yang merenggut tak suka, ia jadi tidak dapat uang.“Kalau mereka nggak jadi, Ibu harus jadi. Karena Ibu sudah bilang sama Bu Tuti untuk ikut arisannya,” sungut Ningsih. “Ibu bisa minta sama anak Ibu,” sahut Ardila, ia sudah selesai dengan sarapannya. “Kamu tahu sendiri Firman lagi nggak pegang uang, lagi pula uang 20 juta tuh sedikit bagi kamu Ardila.”Ardila bersiap pergi, “Kalau tahu Mas Firman nggak pegang uang, Ibu nggak usah bertingkah macam-macam. Ibu pikir nyari uang gampang.” Ningsih meletakkan alat makannya kasar, ia menatap punggung Ardila yang semakin menjauh dengan sengit. Dadanya naik turun menahan amarah.“Pelit banget sama orang tua! Di mintai uang sedikit saja nggak mau!” ketus Ningsih. “Udahlah, Bu. Kenapa sih, nyari masalah terus sama Ardila. Lagian Ibu ngapain juga ikut-ikutan aris–”Perkataa
“Perhitungan banget kamu jadi orang! Tamu Ibu, tamu kamu juga. Jangan berlagak jadi nyonya di rumah ini!”“Nggak nyangka ya, Bu, ternyata kelakuan menantu kedua Bu Ningsih seperti ini,” timpal bu Tuti dengan wajah sinisnya, di angguki yang lain. “Ibu yang ngundang mereka, kenapa harus aku yang repot. Sebelum mereka datang, kan Ibu sama Rosa bisa masak dulu biar ada hidangan. Bahan di dapur juga banyak, pasti cukup untuk semuanya.” “Jangan seenaknya harus apa-apa pakai uangku, sejak awal nikah Mas Firman itu nggak pernah kasih uang nafkah. Aku diam saja karena tahu kondisi … Ibu malah tampil hedon nggak tahu keadaan sama sekali,” lanjut Ardila seraya berlalu pergi. Ningsih mengepalkan jemarinya kuat, tidak pernah ia di buat malu seperti ini. Sedangkan ibu-ibu yang lain menatap Ningsih dengan berbagai ekspresi.“Maaf ya, tante-tante, Ardila itu masih nggak terima jadi istri kedua Mas Firman. Makanya nggak pernah mau bagi uangnya walaupun sedikit, katanya kecuali … Mas Firman mau menc
Ardila kembali saat menjelang sore, ia tidak peduli ada beberapa pasang mata yang menatapnya masam. “Kamu dari mana saja, Dila? Mas telepon juga nggak aktif,” seru Firman setelah melihat Ardila pulang. “Ke mana saja Mas, yang penting nggak di rumah,” sahutnya. “Emang nggak punya sopan santun,” desis Ningsih. “Mas mau bicara, duduk dulu, Dila.” Mau tidak mau, Ardila menurut. Ia duduk dengan patuh, “Kenapa Mas?” Firman menghembuskan napasnya sebelum berbicara, “Katanya kamu mempermalukan Ibu waktu acara arisan di sini, ya?” Ardila mengernyitkan dahi dalam, “Mempermalukan gimana maksudnya?” “Ngatain Ibu miskin, nggak punya uang dan minta-minta sama menantu.” Ardila melirik Ningsih yang tersenyum sinis ke arahnya, kemudian melirik Firman dengan datar. “Kamu percaya, Mas?” Firman terdiam sesaat, “Mas nggak tahu Dil, karena kamu memang orang baru di hidup, Mas.” Sudut bibir Ardila berkedut samar, ia kesal dan marah. Kenapa harus memiliki keluarga yang seperti ini
Ardila sudah banyak memesan makanan, ia tata dengan rapi di atas meja. Menghiraukan tatapan keempat orang yang masih sibuk mengurusi rumah. “Dil, kita boleh makan dulu nggak, baru nanti lanjut beresin rumahnya,” bujuk Firman karena perutnya sudah terasa lapar. “Ibu juga lapar, dari tadi siang belum makan,” timpal Ningsih menatap lapar makanan yang terhidang di atas meja. “Aku lapar Mas,” rengek Sinta. Ardila terdiam sejenak, “Cuma Sinta yang boleh,” ucapnya. Walaupun ia merasa kesal dengan Sinta, tapi janin yang sedang di kandungnya tidak bersalah. Sinta bergegas mencuci tangan, lalu duduk di kursi untuk menyantap makanannya. Perutnya benar-benar terasa lapar. Karena tidak mendapat respon dari Ardila, Firman, Ningsih serta Rosa akhirnya kembali membersihkan rumah. Setengah jam berlalu, mereka duduk dengan napas ngos-ngosan. “Keterlaluan kamu Dila, Ibu udah tua masih juga di suruh beresin rumah,” sungut Ningsih. Ardila merotasi bola matanya malas, “Memangnya apa yan
“Kamu ini Gal, ngagetin Ibu saja,” seru Afifah seraya mengelus dadanya dengan helaan napas lega. Galih menghiraukan perkataan ibunya, ia mengamati seisi kamar, “Benarkan ini kamar Ardila? Kalian ngapain masuk kamar Ardila?” tanya Galih menatap mereka bertiga dengan curiga. “Kamu jangan kebanyakan mikir, sini bantu Ibu,” ucap Afifah seraya menarik tangan Galih mendekat ke arah brangkas. “Bantu Ibu buka ini, dari tadi gagal terus,” lanjutnya membuat Galih terdiam. “Ibu mau ngapain?” “Ibu mau ngapain itu terserah, jangan buang waktu Ibu Gal, cepat bantu!” sentak Afifah kesal pada anaknya yang masih berdiam diri. Galih menggeleng pelan, “Kalian mau mencuri sesuatu ‘kan.” “Galih! Ibu bilang buka, ya, buka. Kamu ini sudah berani melawan ya! Nggak ingat apa Ibu yang biayain hidup kamu!” ketus Afifah mendelik marah. “Enggak gini caranya, Bu,” sahut Galih pelan. “Cepat buka atau Ibu nggak mau anggap kamu anak lagi!” Galih membeku, ia menatap sendu pada Afifah yang terlihat
Ardila merenggangkan tubuhnya, sedetik kemudian duduk dengan tiba-tiba. Ia teringat ketika tertidur di dalam mobil. “Apa Arman yang mengantarku sampai ke kamar?” batin Ardila bertanya-tanya. Tanpa ambil pusing, Ardila segera membersihkan diri dan keluar kamar. Pantas saja Ardila merasa sangat senyap, ternyata yang lain masih pada di kamar masing-masing, hanya dirinya yang bangun lebih awal. Ardila hanya memanggang roti dan membuat segelas susu. Ia malas memasak karena bahan sudah ada beberapa yang habis. “Enak banget ya, Tuan Putri, habis bangun langsung sarapan sendiri. Kenapa nggak masak?!” ketus Ningsih. Ardila melirik ibu mertuanya sekilas, “Bahan dapur sudah habis, nggak ada yang bisa di masak.” “Ibu yang akan beli bahan dapur, mana uangnya?” tanya Ningsih seraya menengadahkan tangan. “Kenapa minta ke aku, minta sama Firman, Bu. Selaku kepala keluarga,” sahut Ardila seadanya. Sebelum Ningsih menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat. “Kebetulan kamu dat
Rosa menatap Ryan dengan mata berbinar, tubuh atas Ryan yang bertelanjang dada membuat Rosa menahan napasnya. Jantungnya berdetak kencang. “K-kak Ryan mau apa?” tanya Rosa gugup sekaligus senang karena tubuhnya semakin di himpit Ryan ke dinding. “Memangnya apa lagi, nggak mau langsung ke atas ranjang?” tanya Ryan datar. Rosa membulatkan matanya, tanpa pikir panjang, Rosa langsung mendorong Ryan ke atas kasur. Setelah lulus, ia tidak ingin kuliah, ia akan menikah dengan Ryan karena mengandung darah dagingnya. “Kalau Kak Ryan membutuhkanku, aku siap bantu Kakak,” ucap Rosa sensual. Dengan gerakan cepat Rosa melepaskan pakaian atasnya, hanya menyisakan dalaman. Ketika ingin mencium Ryan, pintu di buka dengan keras. Ningsih berteriak nyaring membuat semua orang terbangun. “Ada apa, Bu?” tanya Firman ketika berada di dekat ibunya. “R-rosa …,” ucap Ningsih seraya menunjuk ke arah kamar tamu yang tempati Ryan. Firman masuk ke dalam dengan marah, ia menarik Ryan lalu meng
Arman mendongak ketika namanya di panggil, ia tersenyum menawan menatap Ardila. “Kamu tahu, ini ruangan yang nggak boleh sembarang orang masuki,” ucap Ardila menatap datar Arman. Arman hanya tersenyum tipis menanggapinya, kemudian kembali duduk di sofa. “Aku hanya ingin tahu jawabanmu tentang kemarin,” sahut Arman seadanya. Ardila mendengus kesal, “Nggak perlu aku jawab, karena nggak seharusnya pertanyaan itu keluar dari mulut pria yang sudah mempunyai seorang wanita.” “Seorang wanita?” tanya Arman mengernyit heran. Sedetik kemudian Arman mengingat di hari pertunangan Naya. “Tenang saja, dia bukan wanitaku,” jelas Arman tenang. “Aku nggak punya waktu, lebih baik kamu keluar,” usir Ardila malas meladeninya. Arman bangkit dari duduknya, berjalan perlahan ke arah Ardila. Ardila balas menatap Arman dengan datar. “Sungguh, dia bukan wanitaku. Orang yang aku cintai cuma kamu, perasaanku hari itu bersungguh-sungguh,” bisik Arman ketika tepat berada di depan Ardila dengan
“Tuhkan benar, tapi Tuan harus bersabar dulu. Karena Rosa masih sekolah,” ucap Ningsih dengan girang. “Rosa juga harus kuliah dulu, Bu,” sela Firman yang baru saja turun di ikuti Sinta.“Kuliah sambil nikah mah, nggak apa-apa.” “Sepertinya di sini ada kesalahpahaman, saya datang ke sini bukan mau melamar putri Ibu,” ucap Arman sebelum kesalahpahamannya semakin berlanjut.“Di sini nggak ada lagi wanita yang lajang selain adikku,” sahut Firman seraya mengernyit bingung.Arman tersenyum tipis, melirik ke arah Ardila yang hanya diam. “Saya ingin melamar Ardila.”“APA?!” teriak Ningsih dan Rosa berbarengan.“Kamu jangan bercanda,” ucap Firman menatap Arman tajam.“Bukan hanya suami yang boleh punya istri dua, istri juga boleh punya dua suami,” sahut Arman seadanya.“Jangan gila kamu, Arman,” ucap Ardila menggeleng pelan tidak percaya.Arman menatap Ardila dengan sorot serius, “Aku serius Dil, akan aku berikan berapapun mahar yang kamu mau.” “Jangan bercanda di sini, lebih baik kamu perg
Pandangan mereka terputus setelah beberapa menit saling menatap. Ardila pergi menjauh mencari keberadaan Naya, sedangkan Arman terus melihat ke arah Ardila hingga menghilang dari pandangannya. Wanita yang berada di sampingnya mendengus kesal, “Kenapa terus menatapnya, sih!” Arman tidak peduli dengan ocehan wanita itu, ia mencoba berbaur untuk menghilangkan Ardila dari pikirannya. “Naya beruntung ya, andai saja kamu juga peka,” kode wanita itu mengeratkan pegangannya pada lengan Arman. Arman yang merasa risih segera melepaskan lengannya dari tangan wanita itu, “Berhenti mengoceh Gisel.” Gisel mengerucutkan bibirnya sebal, “Kamu itu nggak peka sekali, aku’kan juga mau kita seperti Naya dan Yolan.” “Berhenti bermimpi,” sahut Arman datar, ia segera meninggalkan Gisel sendirian. Sedangkan di sisi lain, Ardila berhasil menemukan sahabatnya yang sudah berpenampilan sangat cantik. Matanya berbinar lalu berucap, “Cantik banget sahabatku.” “Dilaa! Makasih lho! Ya, ampun. Ak
Satu bulan berlalu.Kehidupan Ardila berjalan seperti biasa, hanya hatinya yang terasa kosong. Selama sebulan, ia sama sekali tidak berkomunikasi dengan Arman setelah insiden itu. Ketika pikirannya tertuju pada pria itu, Ardila akan berkerja tanpa henti untuk menyingkirkan pria itu dari pikirannya.Ardila memijat pangkal hidungnya, kepalanya terasa pusing karena terus bekerja tanpa kenal waktu. Ia juga tidak dapat berhenti memikirkan Arman, yang ia dapat justru tubuhnya menjadi lelah.“Bu Ardila, kamu harus istirahat,” ucap asisten Ryan setelah di izinkan masuk. Ryan merasa atasannya terlalu memaksakan diri, kantong mata Ardila terlihat jelas membuat Ryan sedikit khawatir.Ardila mengangguk lelah, ia segera menutup laptopnya dan merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal.“Bu Ardila istirahat hingga merasa lebih baik, biar saya yang urus sisanya,” seru Ryan.“Terima kasih Asisten Ryan, jika ada yang penting segera laporkan padaku,” sahut Ardila seraya berjalan ke ruang pribadinya. Ia me
Ardila mengerjap bingung dengan pertanyaan sang asisten, kemudian menggeleng pelan mendengar kekehan dari Ryan. “Bu Ardila nggak usah memikirkannya, saya cuma bercanda saja.” “Kalau begitu kembali bekerja, selama bekerja Asisten Ryan.” Ryan mengangguk patuh dengan senyum menawannya, menatap atasannya yang sudah menghilang dari pandangan.“Bu Ardila nggak perlu tahu tentang rasaku, berada di dekatnya saja sudah membuat bahagia,” batin Ryan seraya kembali ke ruangannya untuk bekerja.Di sisi lain, Rosa mengadu pada ibunya. Di bumbui dengan kebohongan membuat Ningsih murka. Selama bekerja, Firman terus di ganggu oleh ibunya yang mengatakan harus membalas Ardila. Mau tidak mau, Firman mengiyakan agar dering ponselnya tidak berisik lagi. Di sinilah Firman, berada di ruangan Ardila saat jam istirahat. Setelah menutup laptop, Ardila menatap Firman dengan bertanya, “Ada apa ke sini?” “Ibu meneleponku terus, katanya kamu mempermalukan Rosa.” Ardila mengambil segelas air yang sudah tersedi
Ketika Zakki ingin membuka bibirnya lagi, Ardila datang membuat Sinta pergi dari hadapan. Dalam benaknya, Zakki bertanya-tanya, kenapa Sinta berada di dalam rumah Ardila. “Di minum dulu, Zakki. Maaf cuma seadanya,” seru Ardila merasa tidak enak karena hanya ada beberapa camilan. Camilan yang biasanya Ardila simpan, benar-benar ludes ketika ia pulang. “Kakak Besar nggak perlu repot-repot, aku yang nggak enak karena di layani begini.” “Kamu kan, tamu di sini, Zak. Masa nggak aku kasih apa-apa,” kekeh Ardila. Zakki ikut terkekeh, sorot matanya menatap lurus ke arah Ardila. Ia ingin bertanya sesuatu, tapi ragu untuk memberitahunya. Ardila yang paham berdehem pelan, “Ada yang mau kamu tanyakan?” Zakki membuka mulutnya, kemudian terkantup lagi. “Apa Kakak Besar kenal dengan Sinta?” “Sinta?” beo Ardila. “Iya Kak, tadi aku nggak sengaja melihatnya … jadi, aku pikir Kakak Besar pasti mengenalnya.” Ardila mengangguk paham, “Sinta menantu di sini, memangnya kenapa?” Wajah